LAPORAN PRAKTIKUM
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TANAMAN OLEH :
NAMA : MIRNA DEFRIYA WULANDARI
NIM : 2110253032
KELAS : PROTEKSI B
KELOMPOK : 1 (SATU)
ANGGOTA KELOMPOK : 1. PUTRI FARADIBA R. S (2110251023) 2. DEBY RAHMADANI (2110251041) 3. VISCO NANDA PRATAMA (2110252032) 4. ADELWIS RAMADANI T (2110253037) 5. NAJLAA MALAHATI R (2110253042) DOSEN PENGAMPU : 1. Dr. ZURAI RESTI, SP. MP
2. Prof. Dr. Ir. NURBAILIS, MS
ASISTEN : 1. M. ARIF RIDHO, SP. MP
2. ZIKRI ABI BAKTHI P (2010252045)
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ANDALAS PADANG
2024
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan Laporan Akhir Praktikum Pengantar Epidemiologi Penyakit Tanaman ini tepat pada waktunya.
Terlebih dahulu, saya mengucapkan terima kasih kepada asisten dan dosen penjab yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni. Adapun tujuan dari penyusunan laporan ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Epidemiologi Penyakit Tanaman dan sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Ujian Akhir Praktikum.
Saya selaku penyusun menyadari bahwa laporan praktikum ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, saya menerima dengan terbuka semua kritik dan saran yang membangun agar laporan praktikum ini tersusun lebih baik lagi.
Saya juga berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Padang, Juni 2024
MDW
iii DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR LAMPIRAN ... v
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Tujuan ... 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4
A. Epidemi ... 4
B. Cabai Merah (Capsicum annum L.) ... 6
C. Penyakit Antraknosa ... 8
BAB III. METODOLOGI PRAKTIKUM ... 10
A. Alat dan Bahan ... 10
B. Alat dan Bahan ... 10
C. Cara kerja ... 10
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 12
A. Hasil ... 12
B. Pembahasan ... 13
BAB V. PENUTUP ... 15
A. Kesimpulan ... 15
B. Saran ... 15
DAFTAR PUSTAKA ... 16
LAMPIRAN ... 18
iv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Rata-rata severitas dan insidensi per titik sampel ... 12 2. Model perkembangan severitas penyakit ... 12 3. Model perkembangan insidensi penyakit ... 12
v
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Data Pengamatan Severitas Penyakit ... 18 2. Data Pengamatan Insdensi Penyakit ... 19 3. Dokumentasi Praktikum ... 22
vi
1
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Usaha pertanian sejak terimplementasikannya revolusi industri selalu tidak terlepas dari gangguan organisme yang sangat tidak diharapkan. Penggunaan bahan-bahan kimia dalam tiap praktek budidaya tanaman telah mengganggu dan mengubah keseimbangan ekosistem yang pada akhirnya membuat ketahanan agrosistem dalam mendukung produksi tanaman menjadi goyah. Gangguan serangan hama dan patogen penyebab penyakit bukan hanya menurunkan kuantitas dan kualitas panen tetapi juga seringkali menimbulkan fuso bahkan pada akhirnya berimbas pada gangguan sistem pengadaan pangan di hampir seluruh dunia (Sutarman, 2020).
Dalam proses budidaya, petani seringkali mengalami beberapa kendala yang menyebabkan terjadinya gagal panen. Kendala yang sering terjadi di antaranya yaitu tanaman terserang penyakit sehingga menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi terhambat bahkan menyebabkan kematian. Kerentanan tanaman terhadap serangan penyakit juga dapat meningkat seiring dengan kondisi iklim yang kurang mendukung, khususnya saat musim penghujan. Selain itu, kurangnya pengetahuan petani dalam mengenali penyakit tanaman dan cara penanganannya juga menjadi salah satu kendala dalam keberhasilan budidaya tanaman (Basri et al., 2020).
Tanaman menjadi sakit disebabkan oleh patogen (penyebab penyakit).
Penentu sebab-sebab timbulnya suatu penyakit tanaman ditentukan dari hasil pengamatan gejala dan tanda. Tanda penyakit biasanya merupakan suatu struktur yang merupakan tubuh atau bagian tubuh patogen yang sebagian besar dibentuk di dalam sel dan/atau disekitar jaringan tanaman sebagai bentuk kegiatan perbanyakan dan akan digunakan oleh patogen untuk melakukan penyebaran baik di bagian lain dalam satu tanaman atau di tanaman lain di sekitarnya atau pada jarak yang jauh.
Suatu penyakit dapat menimbulkan gejala yang berbeda atau dapat pula sama dari tanaman-tanaman yang berbeda. Apabila beberapa penyakit bersama- sama menyerang satu tanaman, maka gejala yang ditunjukkan oleh tanaman akan
2
sangat sulit untuk dipisahkan atau ditentukan penyebab utama karena gejala yang timbul merupakan suatu campuran. Gejala adalah kelainan atau penyimpangan dari keadaan normal yang ditunjukkan oleh tumbuhan atau tanaman.
Banyak kejadian penyakit tanaman tertentu berbeda intensitas dan luas serangannya antara di suatu pulau dengan pulau lainnya, di suatu provinsi dengan provinsi lainnya. Bahkan di kawasan yang berdekatan, misalnya di dalam satu kabupaten bisa berbeda intensitasnya. Sementara itu dari suatu waktu ke waktu tertentu yang berarti terdapat perbedaan rata-rata kondisi lingkungan, sering menunjukkan intensitas yang berbeda (Sutarman, 2020).
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang di dunia yang sedang berupaya meningkatkan pembangunan dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang potensial dalam perkembangan ekonomi di Indonesia. Hal itu dikarenakan Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari lahan pertanian dan sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Komoditas hortikultura merupakan komoditas potensial yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan memiliki potensi untuk terus dikembangkan. jenis komoditas sayuran.
Salah satu komoditas hortikultura potensi untuk dikembangkan adalah komoditas cabai, terutama cabai merah besar dan cabai merah keriting (Isnirobit, 2022).
Cabai merupakan salah satu jenis sayuran komersial yang sejak lama telah di budidayakan di Indonesia dan merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mendapat perhatian lebih untuk dikembangkan. Pada tahun 2016 total konsumsi cabai diperkirakan akan naik menjadi 2,90 kg/kapita, tahun 2017 (2,95 kg/kapita), tahun 2018 (3,00 kg/kapita) dan tahun 2019 (3,05 kg/kapita). Bagi kehidupan masyarakat cabai merupakan komoditas penting, karena hampir semua rumah tangga mengkonsumsi cabai setiap hari bahkan tidak bisa ditinggalkan (Ashari, 2015).
Di Indonesia, permintaan cabai terus meningkat seiring berjalannya waktu.
Namun sampai saat ini produksi cabai Indonesia masih belum mampu memenuhi kebutuhan seluruh penduduk. Ini adalah hasil dari output yang tidak konsisten dan produktivitas yang rendah. Banyak penyebab, termasuk kualitas benih yang kurang baik, berkurangnya kesuburan tanah, metode penanaman yang kurang
3
baik, dan masalah serangga dan penyakit tanaman, dianggap sebagai akar dari rendahnya produksi cabai (Meilin, 2014).
Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2022), produksi cabai besar di Indonesia mencapai sekitar 1.475.821 ton di tahun 2022, sedangkan di Provinsi Sumatra Barat produksinya mencapai sekitar 123.504 ton pada tahun 2022.
Sumatra Barat merupakan provinsi penghasil cabai besar terbesar kelima di Indonesia pada tahun tersebut. Sentra produksi cabai merah di Sumatra Barat yaitu; Kab. Agam dengan produksi 33.463,80 ton; Kab. Solok dengan produksi 32.474,50 ton; Kab. Tanah Datar dengan produksi 19.917,30 ton; Kab. Lima Puluh Kota dengan produksi 19.818,70 ton; Kab. Pasaman Barat dengan produksi 9.558,50 ton; Kab. Pesisir Selatan dengan produksi 5.505,50 ton; Kab. Solok Selatan dengan produksi 5.428,40 ton, Sedangkan produksi cabai di daerah lain di Sumatra Barat masih rendah.
Salah satu unsur penting yang membatasi pertumbuhan tanaman budidaya termasuk cabai adalah adanya hama dan penyakit tanaman. Hama yang banyak dikhawatirkan petani cabai yaitu thrips, lalat buah, kutu daun, dan tungau. Selain itu, di sejumlah sentra produksi cabai sering terserang bakteri , fusarium, antraknosa, dan virus penyakit kuning. Adanya hama dan penyakit tersebut dapat menurunkan hasil panen cabai. Hama dan penyakit bahkan dapat menyebabkan gagal panen dalam keadaan yang jarang terjadi. Menurut Rienzani Supriadi (2018), kerugian berkelanjutan mungkin antara 40-50%.
Faktor yang mempengaruhi penyakit dapat dilihat dari komponen epidemi adalah dari tiga faktor utama yaitu patogen, inang dan lingkungan. Jamur membentuk badan buah aservulus dalam lingkaran-lingkaran terpusat, yang membentuk konidium berwarna merah jambu. Jamur bereproduksi dengan membentuk masa konidium dalam aservulus yang tersusun di bawah epidermis tanaman inang (Kommula et al., 2017).
B. Tujuan
Adapun tujuan dari pelaksanaan praktikum ini yaitu, untuk mengetahui keparahan dan tingkat serangan penyakit antraknosa pada tanaman cabai agar dapat menentukan pengendalian yang tepat.
4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Epidemi
Epidemiologi penyakit tanaman adalah ilmu yang mempelajari tentang penyakit pada populasi tanaman. Menurut van der Plank (1963) epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari penyakit dalam populasi. Kranz (1973) menambahkan adanya faktor pengaruh lingkungan dan perilaku manusia di dalamnya, kemudian dilengkapi oleh Zadock (1979) bahwa proses tersebut terjadi dalam waktu dan ruang tertentu yang mempunyai saat awal, optimal dan akhir, sehingga populasi patogen merupakan fungsi dari waktu ( X = ft ). Menurut Oka (1993) epidemiologi adalah studi kuantitatif tentang perkembangan penyakit dalam ruang dan dalam jangka waktu tertentu sebagai akibat interaksi antara populasi inang dengan populasi patogen yang dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik, biotik dan manusia (Sutarman, 2020)
Pengertian lengkap tentang epidemiologi penyakit tanaman merupakan cabang ilmu penyakit tanaman yang membahas tentang fenomena populasi tanaman inang dan populasi patogen dengan memperhatikan interaksinya yang dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik, biotik dan manusia yang terjadi dalam areal dan waktu tertentu yang berakibat merugikan tanaman yang dianalisis secara kuantitatif tentang bagaimana pewabahannya. Pengertian epidemi tersebut digunakan untuk menunjukkan dinamika penyakit dalam populasi tanaman tanpa mempertimbangkan keganasannya. Epidemi terjadi pada tempat, ruang, wilayah tertentu, atau tidak merata di setiap tempat. Suatu penyakit yang terdapat merata, terjadi terus menerus di setiap musim dan berasal dari daerah yang bersangkutan, tidak dianggap sebagai penyakit epidemi, tetapi penyakit endemik. Penyakit exotik terdapat merata tetapi berasal dari daerah lain. Suatu penyakit yang merata di seluruh benua atau dunia disebut pandemik, tetapi jika penyakit hanya terdapat di sana-sini dengan selang waktu yang tidak tertentu dan tidak meningkat disebut sporadik (Leonard, 2015).
Penyakit epidemi terjadi karena interaksi yang tepat pada waktunya dari unsur-unsur yang mengakibatkan terjadinya penyakit tanaman. Pada sistem alami, unsur yang dipertimbangkan dalam interaksi yang menimbulkan terjadinya
5
penyakit hanya tiga, yaitu tanaman inang rentan, patogen virulen dan kondisi lingkungan yang menguntungkan interaksi. konsep timbulnya penyakit yang menggunakan pertimbangan tiga unsur ini disebut konsep segi tiga penyakit.
Peramalan peyakit adalah suatu istilah dalam memprediksi status serangan penyakit tanaman tertentu dengan memanfaatkan model epidemiologi yang dibangun dari hasi penelitian atau hasil penghitungan hubungan antara pertubuhan intensitas serangan penyakit dengan komponen epidemi yang diukur dalam periode tertentu. Status serangan ditunjukkan oleh indeks penyaki atau indeks luka, indeks serangan, atau intensitas gejala serangan penyakit. Variabel ini ditentukan dengan memasukkan data komponen epdemi dalam rumus atau model epidemi sehingga akan diperoleh nilainya. Biasanya indeks penyakit atau intensitas serangan penyakit ditunjukkan dalam persentasi dengan kisaran 0-100.
Kajian epidemiologi penyakit tanaman sesungguhnya merupakan kajian yang mempelajari struktur dan pola epedemi, modelling epidemi penyakit tanaman, serta pemanfaatannya bagi penyusunan dan pelaksanaan program pengelolaan penyakit tanaman. Interaksi antara pathogen, tanaman, lingkungan, dan waktu akan membentuk suatu pola yang mencerminkan model epidemi suatu penyakit. Sebelum memulai menyusun sistem prakiraan, terlebih dahulu faktor- faktor yang membantu perkembangan penyakit perlu diketahui. Selain pengamatan faktor-faktor cuaca, seperti kelembaban udara, penyinaran matahari, sering diperlukan pengamatan biologis, seperti kerapatan spora patogen di udara, populasi vektor serangga dan lain-lain (Leonard, 2015).
Jika datangnya epidemi dapat diprakirakan (diramal, diprediksi) dengan jangka waktu yang cukup untuk melakukan usaha pencegahan, kerugian-kerugian besar akan dapat dihindarkan. Namun demikian, kebanyakan epidemi, terutama ditentukan oleh faktor-faktor cuaca yang sukar diprakirakan dan hanya sedikit penyakit yang sudah diketahui faktor penentunya maka hanya sedikit penyakit yang dapat diprakirakan epideminya. Prakiraan penyakit tanaman memungkinkan untuk memprediksi peluang terjadinya peledakan (out-break) atau peningkatan intensitas penyakit dan kemudian bagi kita untuk menentukan apa, kapan dan dimana tindakan pengendalian akan dilakukan.
6 B. Cabai Merah (Capsicum annum L.)
Komoditas tanaman hortikultura merupakan komoditas unggulan yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan mempunyai potensi untuk terus dikembangkan. Dalam perkembangannya komoditas hortikultura, terutama sayursayuran, baik sayuran daun maupun sayuran buah, cukup memberikan keuntungan yang besar karena didukung oleh potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, ketersediaan teknologi, dan potensi serapan pasar di dalam negeri maupun pasar internasional yang terus meningkat. Salah satu jenis tanaman yang banyak dikonsumsi dan dibudidayakan oleh masyarakat adalah cabai (Fidilia, 2017).
Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan tanaman hortikultura yang termasuk dalam famili Solanaceae. Cabai merah memiliki nilai ekonomi serta nutrisi yang tinggi. Kandungan gizi yang terdapat pada tanaman cabai merah seperti protein, lemak, karbohidrat, kalsium, vitamin A dan C menjadikan cabai merah sebagai komoditi yang dibutuhkan masyarakat untuk bahan masakan.
Tanaman cabai merupakan tanaman jenis perdu dengan rasa buah pedas yang disebabkan oleh kandungan capsaicin. Secara umum cabai memiliki banyak kandungan gizi dan vitamin, diantaranya kalori, protein, lemak, kabohidarat, kalsium, vitamin A, B1, dan vitamin C (Rindani, 2015).
Tanaman cabai merah berasal dari kawasan Amerika Selatan dan Tengah.
Tanaman ini dapat diperbanyak dengan biji. Komoditas cabai merah digunakan dihampir semua jenis masakan karena merupakan bumbu masak utama yang umumnya dikonsumsi dalam bentuk segar. Karena merupakan komoditas yang banyak digunakan, cabai merah memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan banyak diusahakan oleh petani di Indonesia. Selain itu, tanaman ini merupakan tanaman yang mudah ditanam di dataran rendah maupun di dataran tinggi, sehingga dapat ditemukan hampir di seluruh kabupaten/kota di Indonesia (Isnirobit, 2022).
Di wilayah Indonesia tanaman cabai merah dibudidayakan sebagai tanaman semusim di lahan bekas sawah dan lahan kering atau biasa disebut dengan tegalan. Tanaman cabai merah relaitif lebih mudah untuk dibudidayakan, namun demikian tetap harus memperhatikan syarat-syarat tumbuh tanaman cabai merah itu sendiri agar diperoleh pertumbuhan tanaman cabai merah yang tumbuh
7
subur dengan baik. Pada tahun 2021 Sumatera Barat merupakan provinsi kedua terbesar produksi cabainya di Pulau Sumatera dan masuk lima besar produsen cabai di Indonesia (BPS, 2022). Menurut data BPS (2022), produksi cabai Sumatera Barat pada tahun 2021 adalah 115.705,5 ton dan jumlah tersebut berkurang dari tahun 2020 dengan jumlah 133.189,8 ton. Kebutuhan cabai di Padang mencapai 20 ton per hari dan 60 persen diantaranya didatangkan dari luar Sumbar. Hal yang menyebabkan produksi cabai tidak stabil salah satunya disebabkan oleh Organisme Pengganggu Tanaman(OPT). Jenis OPT yang sangat berdampak serangannya terhadap pertumbuhan tanaman cabai salah satunya hama dan penyakit. Hama dan penyakit ini biasa menyerang semua bagian tanaman, mulai dari akar, batang, daun dan buah (Baidoo et al., 2017)
Tanaman cabai merah merupakan salah satu tanaman rempah-rempah yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi karena cabai merah selain digunakan sebagai bumbu masak juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat- obaatan tradisional misalnya sebagai perangsang untuk meringankan perut kembung. Kebutuhan cabai terus meningkat setiap tahun sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri yang membutuhkan bahan baku cabai. Produksi cabai di Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan cabai nasional sehingga pemerintah harus mengimpor cabai yang mencapai lebih dari 16.000 ton per tahun. Rata-rata produksi cabai nasional baru mencapai 4,35 ton/ha, sementara potensi produksi cabai dapat mencapai lebih 10 ton/ha (Chandra, 2014).
Faktor yang dapat menurunkan produktivitas cabai merah adalah tanaman mengalami kebanjiran atau kekeringan yang juga berdampak pada perkembangan hama dan penyakit tanaman. penyakit pada tanaman cabai merah yang sering menimbulkan kerugian diantaranya adalah penyakit bercak daun, penyakit antraknosa, penyakit tepung, penyakit busuk leher akar, penyakit layu fusarium, dan penyakit rebah semai. Hingga saat ini kajian mengenai jenis-jenis penyakit terutama yang disebabkan oleh cendawan pada tanaman cabai merah masih terus dilakukan (Suwardani et al., 2014).
8 C. Penyakit Antraknosa
Tanaman cabai (Capsicum annum) berasal dari dunia tropika dan subtropika Benua Amerika, khususnya Colombia, Amerika Selatan, dan terus menyebar ke Amerika Latin. Bukti budidaya cabai pertama kali ditemukan dalam tapak galian sejarah Peru dan sisa biji yang telah berumur lebih dari 5000 tahun SM didalam gua di Tehuacan, Meksiko.Penyebaran cabai keseluruh dunia termasuk negara-negara di Asia, seperti Indonesia dilakukan oleh pedagang Spanyol dan Portugis. Cabai (Capsicum spp.) merupakan tanaman hortikultura yang penting dan diprioritaskan pengembangannya sesuai dengan permintaan yang semakin meningkat. Produksi cabai di Indonesia masih di bawah Cina, Taiwan dan Mexico. Keberlanjutan produksi cabai terganggu adanya faktor biotik seperti adanya serangga dan patogen (Prasad, 2016).
Penyakit antraknosa merupakan penyakit utama pada cabai baik di daerah tropis maupun subtropis, yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum spp. Di Indonesia sering ditemukan C. capsici, C. gloeosporioides dan C. accutatum, meskipun masih terdapat Colletotrichum yang lain yaitu C. dematium, C.
coccodes. Spesies Colletotrichum yang menginfeksi tanaman cabai dibedakan berdasarkan stadium pertumbuhan tanaman. Daun dan batang cabai terinfeksi oleh C. coccodes dan C. dematium, sedangkan C acutatum dan C. gloeosporioides menginfeksi buah (Welideniya et al., 2019). C. capsici ditemukan menyebabkan infeksi pada cabai merah dan C. gloeosporioides menginfeksi baik pada buah muda maupun buah cabai yang matang, sehingga menyebabkan kehilangan hasil sampai 100% (Jayawardana et al., 2015).
Kerugian hasil karena penyakit antraknosa dapat mencapai 80% apabila kondisi mendukung untuk perkembangan patogen. Infeksi C. capsici banyak terjadi pada musim hujan dan lahan yang berdrainase kurang baik. Konidium Colletotrichum dapat terpencar oleh angin sehingga penularannya sangat cepat bahkan dapat merata pada lahan cabai. Serangan patogen Colletotrichum dapat terjadi pada tanaman cabai fase vegetatifsampai menjelang panen (Saxena et al., 2016). Selain buah yang diserang, patogen ini juga dapat menginfeksi batang, ranting, daun, dan buah.
9
Gejala awal penyakit antraknosa ditandai dengan adanya bintik-bintik kecil yang berwarna kehitam-hitaman dan sedikit melekuk (sunken). Selanjutnya buah yang terinfeksi mengerut, membusuk dan rontok/gugur. Bercak berbentuk bundar cekung dengan berbagai ukuran dan berkembang pada buah muda. Pada serangan parah, bercak akan bersatu dan merata hampir di seluruh permukaan kulit buah (Welideniya et al., 2019).
Daur hidup jamur C. capsici diawali dari pertumbuhan koloni berupa miselium berwarna putih, dengan pertumbuhan miselium aerial di permukaan.
Secara perlahan-lahan berubah menjadi hitam dan akhirnya membentuk aservulus, yang tertutup warna merah muda sampai cokelat muda yang merupakan masa konidium. Miselium terdiri atas beberapa septa, inter dan intraseluler hifa.
Aservulus dan stroma pada batang berbentuk hemispirakel dan ukuran 70-120 µm. Seta menyebar, berwarna coklat gelap sampai coklat muda. Konidium berbentuk hialin, uniseluler, berukuran 17-18 x 3-4 µm. Konidium dapat berkecambah pada permukaan buah yang hijau atau merah tua. Tabung kecambah akan segera membentuk apresorium sebagai bantalan infeksi ketika jamur akan melakukan penetrasi ke jaringan tanaman inang (Saxena et al., 2016).
Penyakit Antraknosa disebabkan oleh sejenis jamur Deuteromycotina yakni Colletotricum capsici. Antraknosa umumnya menyerang hampir di semua bagian tanaman, mulai dari ranting, cabang, daun hingga buah. Fase serangannya pun beragam, bisa dimulai dari fase vegetatif (perkecambahan) atau pun fase generatif (pembuahan). Jamur penyebab penyakit ini dapat menyebar dengan cepat dengan bantuan air atau angin serta juga adanya peran dari serangga yang menyerang buah. jamur ini berkembang pesat pada kelembaban di atas 90% dan suhu di bawah 320C. Pada saat musim penghujan penyakit ini dapat dengan cepat meluas dan menyebar. Pada udara yang lembab jamur membentuk banyak spora pada bagianbagian tanaman yang sakit. Infeksi dibantu oleh kelembaban yang tinggi, terutama jika hal ini terjadi bersamaan dengan perkembangan yang cepat dari bagian tanaman tertentu, dan pemencaran spora akan terjadi karena air hujan yang memercik atau meleleh dari buah yang sakit ke buah yang sehat.
10
BAB III. METODOLOGI PRAKTIKUM A. Alat dan Bahan
Praktikum Epidemiologi Penyakit Tumbuhan dilaksanakan pada hari Jumat mulai dari Maret - Juni 2024 di Laboratorium Fitopatologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas dan pengamatan lapangan dilaksanakan di lahan cabai merah yang berlokasi di Kuranji.
B. Alat dan Bahan
Adapun alat yang diperlukan pada praktikum ini yaitu alat tulis, dan kamera hp. Adapun bahan yang dibutuhkan yaitu lahan tanaman cabai yang terserang penyakit antraknosa dan label sebagai penanda.
C. Cara kerja 1. Survey Lahan
Lahan tanaman cabai yang dipilih adalah lahan tanaman cabai yang bergejala antraknosa dan dapat diamati selama empat kali pengamatan.
2. Pengambilan Sampel
Lahan tanaman cabai yang telah sesuai, kemudian ditentukan teknik pengambilan sampel untuk pengamatan. Pengambilan sampel dilakukan secara diagonal. Satu anggota kelompok mengamati 2 tanaman cabai per titik sampel.
Total seluruh tanaman cabai yang diamati yaitu 60 tanaman cabai untuk satu kelompok.
3. Pengamatan Mingguan
Pengamatan dilakukan setiap minggu selama 4 minggu. Pengamatan meliputi jumlah buah cabai pada satu tanaman dan jumlah buah yang terserang. Selain itu juga dilakukan analisa tingkat serangan yang di alami pada tanaman dengan tabel skoring yang telah ditentukan.
4. Pengolahan Data
Setelah dilakukan pengamatan selama 4 minggu, dari data yang diperoleh ditentukan insidensi dan intensitas serangan penyakit.
11
Persentase tanaman sakit (P) merupakan perbandingan antara tanaman yang mengalami gejala dengan total keseluruhan tanaman, sesuai dengan rumus:
Intensitas Penyakit (IP), untuk mengetahui keparahan lokal penyakit atau berat ringannya serangan penyakit perlu menentukan intensitas penyakit, dihitung dengan rumus:
Keterangan :
IP = Intensitas penyakit (%)
n = Jumlah bagian tanaman sakit dengan skor tertentu v = Nilai skala numerik (skor)
N = Jumlah seluruh tanaman yang diamati Z = Nilai skor tertinggi
Skoring gejala penyakit antraknosa pada cabai yang digunakan, sesuai dengan tabel berikut ini :
Skor Penyakit Antrakosa (%)
0 Tanpa serangan
1 >0-20%
2 >20-40%
3 >40-60%
4 >60-80%
5 >80-100%
12
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil
1. Data Pengamatan
Data pengamatan severitas dan insidensi dari penyakit antraknosa pada buah tanaman cabai dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata severitas dan insidensi per titik sampel Titik
sampel
Severitas (%)
Insidensi (%)
A 0,013 0,06
B 0,037 0,05
C 0,012 0,05
D 0,004 0,02
E 0,002 0,01
2. Model Perkembangan Penyakit
Model perkembangan severitas penyakit antraknosa pada buah tanaman cabai dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Model perkembangan severitas penyakit
Titik Sampel Eksponensial Monomolekuler Logistik Gompertz
A -4,34281 0,013085 -4,32972 -1,46852
B -3,29684 0,037702 -3,25914 -1,19296
C -4,42285 0,012073 -4,41078 -1,48678
D -5,52146 0,004008 -5,51745 -1,70864
E -6,21461 0,002002 -6,21261 -1,8269
Model perkembangan insidensi penyakit antraknosa pada buah tanaman cabai dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Model perkembangan insidensi penyakit
Titik sampel Eksponensial Monomolekuler Logistik Gompertz
A -2,81341 0,061875 -2,75154 -1,0344
B -2,99573 0,051293 -2,94444 -1,09719
C -2,99573 0,051293 -2,94444 -1,09719
D -3,91202 0,020203 -3,89182 -1,36405
E -4,60517 0,01005 -4,59512 -1,52718
13 B. Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil pengamatan perkembangan penyakit antraknosa pada lahan tanaman cabai selama 4 minggu, diperoleh data insidensi dan severitas penyakit. Insidensi penyakit dihitung berdasarkan jumlah buah cabai yang terserang dalam satu tanaman pada masing-masing titik sampel. Insidensi penyakit atau kejadian penyakit merupakan proporsi individu dari tanaman yang diserang penyakit tanpa memperdulikan seberapa berat penyakitnya. Diseases severity (DS) atau intensitas penyakit adalah proporsi area tanaman yang rusak atau dikenai gejala penyakit karena serangan patogen dalam satu tanaman. Intensitas penyakit merupakan ukuran berat-ringannya tingkat kerusakan tanaman oleh suatu penyakit, baikk pada populasi atau individu tanaman.
Pengamatan intensitas serangan penyakit menggunakan skala numerik atau skoring untuk menentukan berat-ringannya tingkat serangan atau kerusakan tanaman oleh suatu penyakit. Pada pengamatan perkembangan penyakit antraknosa pada tanaman cabai menggunakan skoring 1-5. Pada skor 1-2 Gejala antraknosa awal, yaitu berupa luka kecil berwarna hitam dengan diameter ± 5 mm dan sedikit cekung pada skor 3 daerah hitam yang lebih melebar dan daging buah tampak lunak pada daerah luka, dan ada pengerutan daging buah pada daerah tersebut pada skor 4 gejala semakin melebar dengan hampir 50% permukaan buah menjadi hitam, daerah hitam tersebut tampak lunak karena busuk pada skor 5 gejala tertinggi yaitu hampir keseluruhan buah menjadi busuk, warna merah cabai berubah menjadi cokelat.
Berdasarkan rata-rata severitas dan insidensi dan model perkembangan penyakit dapat dilihat bahwa terjadi penurunan tingkat serangan dan insidensi dari penyakit antraknosa di lahan pengamtan tanaman cabai yang berlokasi di kecamatan Kuranji. Hal ini tentunya disebabkan oleh beberapa faktor.
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan penurunan tingkat serangan maupun insidensi penyakit antraknosa disebabkan oleh beberapa hal seperti, kondisi lahan, monitoring rutin, dan beberapa pengendalian yang dilakukan petani.
14
Lokasi lahan tanaman cabai yang berdekatan dengan rumah petani memudahkan petani untuk selalu melakukan monitoring secara rutin. Tanaman cabai yang bergejala antraknosa oleh petani, dicabut dan dibuang agar tidak menular ke tanaman cabai yang sehat. Kondisi lahan yang bersih juga menjadi faktor penghambat atau penurunan tingkat serangan penyakit antraknosa di lahan tersebut.
Pada saat pengamatan di lokasi pertanaman cabai, curah hujan yang turun juga tidak terlalu tinggi sehingga penyebaran spora tidak maksimal karena suhu udara yang kering. Namun bisa di prediksi apabila terjadi hujan maka perkembangan penyakit ini akan lebih besar persentasi kerusakaannya. Hal ini seiring dengan yang diungkapkan oleh Dermawan (2014) perkembangan dan penyebaran spora jamur Colletotricum capsici akan sangat tergantung dengan kelembaban iklim mikro di sekitar tanaman cabai. Ini karena semakin lembab pertanaman cabai maka semakin mudah jamur membentuk spora dan menyebarkannya melalui perantara angin.
Perkembangan intensitas penyakit tanaman dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori utamafaktor lingkungan, faktor inang, dan faktor patogen. Faktor lingkungan dipengaruhi oleh kelembaban, suhu, curah hujan, cahaya matahari dan angin. Faktor tanaman inang dipengaruhi oleh jenis atau varietas tanaman, kondisi kesehatan atau kerentanan tanaman, dan tahappertumbuhan tanaman. Faktor patogen dipengaruhi oleh tingkat virulensi patogen, mekanisme penyebaran, jumlah inookulum dan kemampuan adaptasi patogen.
Penyakit tanaman sering kali berkembang karena interaksi kompleks antara faktor-faktor ini. Misalnya, kondisi lingkungan yang optimal dapat meningkatkan virulensi patogen dan menurunkan resistensi tanaman, yang pada gilirannya meningkatkan intensitas penyakit. Sangat penting bagi kita untuk mengetahui seberapa parah intensitas penyakit yang ada pada suatu area tanam dan menentukan tingkat serangan pertanaman dalam populasi.
15
BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan
Dari pengamatan yang telah dilakukan serta hasil yang diperoleh, dapat di simpulkan bahwa tanaman cabai yang diamati terserang penyakit antraknosa disebabkan oleh jamur Colletotrichum capsici. Penyakit ini dapat diamati dengan gejala adanya bintik-bintik kecil yang berwarna kehitam-hitaman dan sedikit melekuk. Bercak berbentuk bundar cekung dengan berbagai ukuran.
Penyakit tanaman dapat mengurangi hasil panen secara signifikan. Dengan memantau tingkat serangan penyakit, petani dapat mengimplementasikan strategi pencegahan dan pengendalian yang dapat meningkatkan hasil panen dan kualitas produk. Dengan mengetahui intensitas penyakit, petani dapat mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengelola dan mencegah penyebaran penyakit ke area lain. Ini termasuk penggunaan pestisida yang tepat, rotasi tanaman, atau teknik pengelolaan lainnya.
B. Saran
Adapun saran untuk pelaksanaan praktikum kedepannya yaitu menentukan lokasi lahan yang lebih sesuai untuk pengamatan perkembangan penyakit tanaman.
16
DAFTAR PUSTAKA
Ashari, Saptana, dan Tri Bastuti Purwantini. 2015. Potensi Dan Prospek Pemanfaatan Lahan Pekarangan untuk Mendukung Ketahanan Pangan.
Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 30 No. 1 Hal 13-30.
Baidoo., E. Adu., S. Peprah. 2017. The Role of Ethanolic Extracts of Leaves and Roots of Lantana camara L. in the Management of Pests of Okra Abelmoschus esculentus L. MoenchPhilip Kweku. Advances in Entomology. Vol.5 No.3.
BPS (Biro Pusat Statistik). 2022. Available at:
https://www.bps.go.id/indicator/55/61/1/produk si-tanaman-sayuran.html.
Diakses pada 22 Juni 2024.
Fidalia, Lindi. 2018. Efektivitas Kelompok Tani Dalam Meningkatkan Pendapatan Usahatani Cabai Merah (Capsicum annuum L) Dan Jagung (Zea Mays) Di Desa Margototo Kecamatan Metro Kibang Kabupaten Lampung Timur. (Skripsi). Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.
Isnirobit. 2022. Analisis Pengaruh Luas Panen, Harga Jual dan Produktivitas Terhadap Jumlah Produksi Cabai Merah (Capsicum annum L.) di Indonesia Tahun 1999-2019. Jurnal Ilmu Pertanian 10(3) 278-290.
Jayawardana H.A.R.K, Weerahewa, H. L. D. & Saparamadu M.D.J.S. (2015).
Enhanced resistance to anthracnose disease in chili pepper (Capsicum annuum L) by amendment of the nutrient solution with silicon. Journal of Horticultural Science & Biotechnology, 90(5), pp. 557–562
Kommula SK, R. G. & Undrajavarapu P, K. K. (2017). Effect of Various Factors (Temperature , pH and Light Intensity) on Growth of Colletotrichum capsici Isolated from Infected Chilli. Int.J.Pure App. Biosci., 5(6), pp.
535–543.
Leonard, K. J. & W. E. Fry. 2015. Plant Disease Epidemiology. Macmillan Publishing Co. New York.
Meilin, A. (2014). HAMA DAN PENYAKIT PADA TANAMAN CABAI SERTA PENGENDALIANNYA.
17
Nita Wahyu Suwardani, Purnomowati, Eddy Tri Sucianto. 2014. Kajian Penyakit Yang Disebabkan Oleh Cendawan Pada Tanaman Cabai Merah (Capsicum Annum L.) Di Pertanaman Rakyat Kabupaten Brebes. Scripta Biologica Volume 1 Nomer 3.
Prasad, R. R. (2016). Survey of Chilli Anthracnose ; Potential Threat to Chilli Crop a Focus on Bulileka, Labasa, Fiji Island. International Journal of Scientific and Research Publications, 6(11), pp. 558–563.
Rienzani Supriadi, D., D. Susila, A., & Sulistyono, E. (2018). Penetapan Kebutuhan Air Tanaman Cabai Merah (Capsicum annuum L.) dan Cabai Rawit (Capsicum frutescens L.). Jurnal Hortikultura Indonesia, 9(1), 38–
46.
Rindani, M. 2015. Kesesuaian lahan tanaman cabai merah di lahan jorong kota Kenagarian Lubuak Batingkok, Kecamatan. Harau, Kabupaten. Lima Puluh Kot Payakumbuh. Nasional Ecopedon. 2(2): 28-33.
Saxena A, Raghuwanshi R, Gupta. V. K & Singh. H.B. (2016). Chilli Anthracnose : The Epidemiology and Management Chilli Anthracnose : The Epidemiology and Management. Frontiers in Microbiology, 7, pp. 1–
18.
Sutarman. 2020. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Tanaman. Umsida Press. Sidoarjo.
Welideniya, W. A. Rienzie K.D.R.C., Wickramaarachchi W.A.R.T, & Aruggoda A.G.B. (2019). Characterization of fungal pathogens causing anthracnose in capsicum pepper (Capsicum annuum L .) and their seed borne nature.
Ceylon Journal of Scence, 48(3), pp. 261–269.
18 LAMPIRAN Lampiaran 1. Data Pengamatan Severitas Penyakit
Titik Sampel
Tanaman Ke
Pengamatan
Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4
A
1 0 0,022 0 0
2 0 0,05 0 0
3 0 0 0 0
4 0 0 0 0
5 0,028 0,067 0 0,08
6 0 0 0,025 0
7 0 0 0 0
8 0 0,013 0 0,089
9 0 0,067 0,02 0
10 0 0,057 0 0
11 0 0,028 0 0
12 0,015 0 0 0,045
B
1 0 0 0,019 0
2 0 0 0 0
3 0 0 0 0
4 0 0,44 0,9 0
5 0 0 0 0
6 0 0 0 0
7 0,053 0 0,008 0
8 0 0 0 0,089
9 0 0 0 0
10 0 0 0 0,228
11 0,033 0 0 0
12 0 0 0,027 0
C
1 0 0 0 0
2 0 0 0 0
3 0 0,053 0 0
4 0,02 0,05 0 0
5 0,025 0 0 0,033
6 0 0 0 0
7 0 0,16 0 0
8 0,01 0,129 0 0
9 0,015 0,029 0 0
10 0 0,012 0,05 0
11 0 0,012 0 0
12 0 0 0 0
D 1 0 0 0 0
2 0 0 0 0
19
3 0 0 0 0
4 0 0 0 0
5 0 0 0,02 0
6 0 0 0 0
7 0 0 0 0
8 0 0 0 0
9 0 0 0 0,025
10 0 0 0 0
11 0 0,15 0 0
12 0 0 0 0
E
1 0 0 0 0
2 0,029 0 0 0
3 0 0 0 0
4 0 0 0 0
5 0 0 0 0
6 0 0 0 0
7 0 0 0 0
8 0,033 0 0 0
9 0 0 0 0
10 0 0 0 0
11 0,033 0 0 0
12 0 0 0 0
Lampiaran 2. Data Pengamatan Insdensi Penyakit Titik
Sampel
Tanaman
Ke Pengamatan
Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4
A
1 0% 11,10% 0% 0%
2 0% 25% 0% 0%
3 0% 0% 0% 0%
4 0% 0% 0% 0%
5 14,20% 17% 0% 66,60%
6 0% 0% 12,50% 0%
20
7 0% 0% 0% 0%
8 0% 6,60% 0% 12,50%
9 0% 16,60% 10% 0%
10 0% 28,70% 0% 0%
11 0% 14,28% 0% 0%
12 7,60% 0% 0% 22,20%
B
1 0% 0% 2,40% 0%
2 0% 0% 0% 0%
3 0% 0% 0% 0%
4 0% 60% 100% 0%
5 0% 0% 0% 0%
6 0% 0% 0% 0%
7 10,50% 0% 2,10% 2,90%
8 0% 0% 0% 11,10%
9 0% 0% 0% 0%
10 0% 0% 0% 14,20%
11 16,60% 0% 0% 0%
12 0% 0% 6,60% 22,20%
C
1 0% 0% 0% 0%
2 0% 0% 0% 0%
3 0% 10,52% 0% 0%
4 1% 25% 0% 0%
5 12,50% 0% 0% 16,60%
6 0% 0% 0% 0%
7 0% 50% 0% 0%
8 5,10% 58,82% 0% 0%
9 7,60% 14,28% 0% 0%
10 0% 5,55% 25% 0%
11 0% 5,88% 0% 0%
12 0% 0% 0% 0%
D
1 0% 0% 0% 0%
2 0% 0% 0% 0%
3 0% 0% 0% 0%
4 0% 0% 0% 0%
5 0% 0% 10% 0%
6 0% 0% 0% 0%
7 0% 0% 0% 0%
8 0% 0% 0% 0%
9 0% 0% 0% 12,50%
10 0% 0% 0% 0%
11 0% 50% 0% 0%
21
12 0% 0% 0% 0%
E
1 0% 0% 0% 0%
2 7,10% 0% 0% 0%
3 0% 0% 0% 0%
4 0% 0% 0% 0%
5 0% 0% 0% 0%
6 0% 0% 0% 0%
7 0% 0% 0% 0%
8 16,60% 0% 0% 0%
9 0% 0% 0% 0%
10 0% 0% 0% 0%
11 16,60% 0% 0% 0%
12 0% 0% 0% 0%
22 Lampiaran 3. Dokumentasi Praktikum
No Keterangan Dokumentasi
1 Survey Lahan
2 Pemasangan label pada tanaman sampel
3 Pengamatan
4 Tanaman cabai bergejala antraknosa