MAKALAH
LARANGAN MENIMBUN HARTA DAN MONOPOLI
DOSEN PENGAMPU DR.H.SUBKI,M.PD,I
DI SUSUN OLEH:
Muhammad Umar Zain 240102087
Sentia Afianida 240102093
Muh. Musoddaqoh Rumawe 240102111
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
2024
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah, berkat limpahan rahmat dan taufiq-Nya kami dapat menyelesaikan tulisan ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad shallallahu’alayhiwasallam, beserta keluarga, sahabat dan pengikut beliau sampai akhir jaman. Kami sampaikan rasa terima kasih kepada Dosen Pengampu Mata Kuliah
“HADIST”, yakni Bapak DR.H.Subki,M.Pd,I . yang telah memberikan pengetahuan kepada kami terutama tentang mata kuliah ini, sehingga kami dapat menyelesaikan tulisan dengan judul
Kami menyadari betul bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan kemampuan dan ilmu yang kami miliki. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran serta masukan yang membangun demi kesempurnaan laporan ini. Akhirnya hanya kepada Allah kita berserah diri. Semoga tulisan inidapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin Allahumma Aamiin.
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI... iii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
BAB II PENDAHULUAN ... 1
2.1 Konsep Ekonomi Islam... 3
2.2 Definisi Penimbunan Harta ... 4
2.3 Aturan Islam terhadap Larangan Praktek Penimbunan Harta ... 4
2.4 Hukum Monopoli (Ihtikar) ... 6
BAB III PENDAHULUAN... 9
3.1 Kesimpulan ... 9
DAFTAR PUSTAKA ... 10
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Pada kenyataannya, berbagai aktivitas ekonomi adalah dinamika yang dipengaruhi banyak hal.Pengaruh itu dapat berupa unsuryang berasal dari ekonomi itu sendiri seperti mencari keuntungan, atau pengaruh sosial maupun politik. Hal-hal ini kemudian memunculkan dinamika perdagangan yang kurang mempertimbangkan etika ekonomi dan sosial.pelanggaranpelanggaran bahkan dilakukan. Pelanggaran-pelanggaran yang dimaksud dilakukan dengan banyak cara, antara lain dengan cara melakukan penimpunan, pemaksaan, atau penahanan (penimbunan) barang dagangan atau pada tingkat yang lebih luas monopoli pasar.semua itu dilakukan untuk menunjukan kekuasaan dan penguasaan terhadap perdagangan atau pasar karena berbagai alasan yang disebutkan tadi.
Menimbun dan memonopoli adalah tindakan menyimpan harta, manfaat atau jasa dan enggan menjual dan memberikannya kepada orang lain, sehingga mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara drastis karena disebabkan persediaan terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar. Sedangkan masyarakat memerlukan produk, manfaat, atau jasa tersebut.
Dalam Islam, permasalahan ekonomi merupakan salah satu yang sangat fundamental bagi umat Islam. Maka dari itu, tidak sedikit umat Islam pada masa lampau yang bergelut dalam permasalahan tersebut.
Perlu diingat pula bahwa Islam pada sekitar empat abad (ke-8, ke-9, ke-10, ke-11) lama- nya menjadi penguasa di belahan dunia ini. Hal itu bisa terjadi karena umat Islam mendapat dukungan sektor ekonomi yang sangat besar. Dalam sejarah tercatat bahwa negara Islam pada masa itu menjadi transit perdagangan internasional sebelum barang- barang dagangan diekspor ke wilayah-wilayah Eropa dan sekitarnya. Namun, sayangnya umat Islam pada masa-masa berikutnya malah tertindas, bahkan dijajah oleh bangsa- bangsa Barat.
Pemilahan Allah Swt ke dalam bentuk dan tersebut barangkali dimaksudkan untuk memberikan dimensi aktif dan pasif dalam memperolah rizqi tersebut. Dengan kata lain,
2
bahwasanya rizqi itu sudah disediakan oleh Allah Swt. Akan tetapi, untuk mencapainya seseorang harus bekerja keras dan tidak boleh berpangku tangan me nunggu hujan rizqi.
Dalam kaitan manusia sebagai makhluk sosial,. umat Islam tidak bisa menghindarkan diri dari proses ekonomi global seperti pada masa sekarang ini, karena ia merupakan salah satu tolak ukur bagi kesuksesan manusia itu sendiri. Betapa banyak orang berekonomi lemah di dunia ini yang tersisa dari percaturan kehidupan, bahkan ditindas dan hampir-hampir saja diperbudak oleh yang berekonomi kuat. Ini merupakan salah satu indikasi yang bisa dijadikan sandaran analisis selanjutnya bagi penyamaan peran serta umat Islam dalam bidang ekonomi. Mengingat pentingnya ekonomi di dalam kehidupan manusia, sampai-sampai Nabi Muhammad dalam suatu kesempatan bersabda,”Aku berlindung kepadaMu (ya Allah) dari (malapetaka) kufur dan kefakiran”.
3 BAB II PEMBAHASAN 2.1 Konsep Ekonomi Islam
Sebagai mahluk sosial, manusia sangat berkepentingan dengan ekonomi, oleh karena ia merupakan penopang kehidupannya. Karena sangat interesnya manusia akan hal itu, sampai-sampai Allah Swt ketika menurunkan suatu wahyu-Nya, ia memulai dengan kalimat “tijârah”. “Apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah).
Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah sebaik-baik Pemberi rizqi”(Q.s./62:11)Kata tijârah tersebut diproyeksikan untuk menarik perhatian manusia yang secara naluriah berkecimpung dengan masalah ekonomi (perdagangan). Ini membuktikan bahwa prinsip ekonomi dalam Islam bersifat religius yang bertendensikan tauhid. Begitu juga sebaliknya orang yang taat beragama dan menghayati esensi ajarannya tidak akan mengabaikan aspek dunia.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.s/28:77) Di dalam ayat ini tercakup aspek ekonomi. Oleh karena itu, aspek ekonomi tidak bisa dipisahkan dari tujuan untuk mencapai kehidupan akhirat karena ia merupakan pengantar bagi kehidupan itu. Indikasi akan hal itu dapat tercermin dari ucapan Nabi tersebut di atas bahwa antara kondisi kehidupan dunia berimplikasi kepada status keimanan seseorang.
Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa setiap muslim harus berpartisipasi di dalam aktivitas ekonomi. “Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Q.s/62:10) Dan harus bekerja keras. “dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah”. (Q.s/73:20) Di samping itu, disebutkan juga di dalamnya bahwa setiap muslim dijamin. untuk mendapatkan dari apa yang diusahakannya.
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian
4
daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”(Q.s/4:32) 2.2 Definisi Penimbunan Harta (Ihtikhar)
Penimbunan harta atau dalam bahasa arab lebih dikanl dengan Ihtikar(ر اك تح ْ لاا ), yaitu penimbunan barang sehingga persediaan (Stok) hilang di pasar dan harga menjadi naik.5 Al- Fahrius Abdi menyebutkan bahwa ihtikar artinya mengumpulkan, menahan barang, dengan harapan mendapatkan harga yang mahal. Dan Ibnu Mandzur menyebutkan bahwa ihtikar adalah perbuatan mengumpulkan makanan atau yang sejenis dan menahan dengan maksud menunggu naiknya harga barang tersebut. Berdasarkan kedua pendapat diatas dapat dikatakan bahwa kegiatan penimbunan harta merupakan kegiatan menahan barang yang dikumpulkan saat harga murah kemudian menjualnya pada saat harga barang tersebut tinggi.
Lebih lanjut lagi para ulama fikih memberikan gambaran lebih jauh tentang praktek penimbunan harta (ihtikar) tersebut, pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Asy-Syukaini mendefenisikan bahwa Ihtikar merupakan penimbunan barang dari peredarannya.
2. Al-Gazali mendefinisakan ihtikar sebagai penyipanan barang dagang oleh penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga harga dan penjualannya ketika harga melonjak.
3. Al-Maliki mendefenisikan ihtikar sebagai penyimpanan barang oleh produsen, baik makanan, pakaian, dan segala barang yang merusak pasar.
Dari pendapat diatas dapat ditarik makna bahwa praktek tersebut merupakan suatu penimbunan barang pada saat lapang sehingga dapat membuat bara ng tersebut akan menjadi langkah dipasarannya dan menjaulnya pada saat harganya berangsur mulai melonjak.
2.3 Aturan Islam terhadap Larangan Praktek Penimbunan Harta (Ihtikar) 1. Landasan Hukum Larangan Praktek Penimbunan Harta
Ihtikar (penimbunan) yaitu membeli komuditas makanan pokok pada saat keadaan tertentu kemudian menimbunnya dan menjualnya kembali dengan harga yang mahal pada saat kebutuhan mendesak. Mayoritas fuqaha berpendapat haram pada
5
praktek ini berdasarkan landasan hukum yang ada. Berdasarkan landasan hukum praktek penimbunan harta terdapat dalam sebuah hadis nabi yang diriwayatkan oleh Ma’mar bin Abdullah :
Artinya:
“Dari Sa’id ibnul Musayyib, dari Ma’mar bin Abdillah dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:”Tidaklah seorang menimbun kecuali dia berdosa”
Dari penjelasan hadis diatas dapat di fahami bahwa hadis tersebut hukumnya belaku mutlak, artinya tidak ada pembatasan secara khusus dalam beberapa komoditas tertententu dalam praktek ihtikhar, larangan menimbun harta itu mencakup segala komuditas yang diperlukan masyarakat bukan hanya kebutuhan makanan pokok saja.
Akan tetapi lain halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh kalangan mazhab Syafi’iyah bahwa mereka menganggap larangan menimbun harta hanya berlaku pada komuditas makanan pokok saja, gagasan ini didasari dengan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh dari Abu Ummah menjelaskan bahwa “Rasulullah saw melarang ihtokar Makanan”.
Menurut mereka hadis Ma’mar telah di taqyid (dibatasi berlakuannya) dengan hadis dari abu Ummah.
Akan tetapi asy-Syaukani memberikan pendapat bahwa illat keharaman perbuatan menimbun harta itu bila merugukan kaum muslimin. Namun jika tidak sampai merugikan, hukumnya tidak diharamkan.11 Pendapat ini seolah memberikan jalan tengah bahwa keharaman dari praktek penimbunan harta itu dilihat dari segi illatnya. Dalam hal ini jelas kalau dalam hal praktek penimbunan makanan pokok itu diharamkan karena memberikan sebuah kemudhratan yang luar biasa, akan tetapi tidak menutup juga barang-barang lain selama itu menjadi sebuah kebutuhan masyarakat.
2. Kriteria Pelarangan Praktek Penimbunan Harta dan Monopoli
Menurut Monzer Khaf perbuatan penimbunan harta merupakan sutatu kejahatan.
Oleh karena itu padre fuqaha sepakat untuk mengharamkan praktek tersebut. Tentu saja pengharaman praktek penimbunan harta telah dilihat dari sudut pandang kemaslahatannya. Dengan demikian para fuqaha membagi menjadi tiga kriteria pelarangan atau keharaman praktik ihtikar sebagai berkut:
6
pertama, Objek barang yang ditimbun itu kelebihan dari yang ia butuhkan, berikut tanggungan untuk persediaan setahun penuh. Karena seseorang boleh menimbun untuk persediaan kebutuhan dirinya dan keluarganya dalam jangka waktu satu tahun kedepannya.
Kedua, pelaku ihtikar menunggu saat-saat naiknya harga barang agar dapat menjualnya dengan harga yang lebih tinggi karena masyarakat luas sangat membutuhkan barang tersebut kepadanya.
Ketiga, praktik penimbunan dilakukan pada saat dimana orang-orang membutuhkan barang yang timbun, seperti halnya makanan, bahan bakar dan kebutuhan pokok lainnya, jika barang yang ditangan pedagang tersebut tidak dibutuhkan oleh manusia maka tidak termasuk dalam hal penimbunan karena tidak mengakibatkan kesulitan atau kemudharatan pada manusia.
Berdasarkan landsan hukum dan kriteria tersebut dapat dapat ditarik kesimpulan bahwa pelarangan praktik penimbunan harta itu merujuk kepada kemaslahatan umat dengan prinsip maqasidu syariah yaitu menjaga harta sehingga akan membuat umat muslim jauh dari perbuatan tersebut, sehingga terhindar dari perbuatan mendzolimi antara umat.
2.4 Hukum Monopoli (Ihtikar)
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum monopoli (ihtikar), dengan perincian sebagai berikut:
1. Haram secara mutlak (tidak dikhususkan bahan makanan saja), hal ini di dasari oleh sabda Nabi SAW:
Artinya: “Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa”.
(HR. Muslim 1605)
2. Makruh secara mutlak, dengan alasan bahwa larangan Nabi SAW berkaitan dengan ihtikar adalah terbatas kepada hukum makruh saja, lantaran hanya sebagai peringatan bagi umatnya
3. Haram apabila berupa bahan makanan saja, adapun selain bahan makanan, maka dibolehkan, dengan alasan hadits riwayat Muslim di atas, dengan melanjutkan riwayat
7
tersebut yang dlohirnya membolehkan ihtikar selain bahan makanan, sebagaimana riwayat lengkapnya, ketika Nabi SAW bersabda:
Artinya: “Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. Lalu Sa'id ditanya,
"Kenapa engkau lakukan ihtikar?" Sa'id menjawab, "Sesungguhnya Ma'mar yang meriwayatkan hadits ini telah melakukan ihtikar!' (HR. Muslim 1605).
Imam Ibnu Abdil Bar mengatakan: "Kedua orang ini (Said bin Musayyab dan Ma'mar (perowi hadits) hanya menyimpan minyak, karena keduanya memahami bahwa yang dilarang adalah khusus bahan makanan ketika sangat dibutuhkan saja, dan tidak mungkin bagi seorang sahabat mulia yang merowikan hadits dari Nabi SAW dan seorang tabi'in (mulia) yang Bernama Said bin Musayyab, setelah mereka meriwayatkan hadits larangan ihtikar lalu mereka menyelisihinya (ini menunjukkan bahwa yang dilarang hanyalah bahan makanan saja).
4. Haram ihtikar disebagian tempat saja.
Seperti di kota Makkah dan Madinah, sedangkan tempat-tempat lainnya, maka dibolehkan ihtikar di dalamnya, hal ini lantaran Makkah dan Madinah adalah dua kota yang terbatas lingkupnya, sehingga apabila ada yang melakukan ihtikar salah satu barang kebutuhan manusia, maka perekonomian mereka akan terganggu dan mereka akan kesulitan mendapatkan barang yang dibutuhkan, sedangkan tempat-tempat lain yang luas, apabila ada yang menimbun barang dagangannya, maka biasanya tidak mempengaruhi perekonomian manusia, sehingga tidak dilarang ihtikar di dalamnya
5. Boleh ihtikar secara mutlak
Mereka menjadikan hadits-hadits Nabi SAW yang memerintahkan orang yang membeli bahan makanan untuk membawanya ke tempat tinggalnya terlebih dahulu sebelum menjualnya kembali sebagai dalil dibolehkahnya ihtikar, seperti dalam hadits:
8
Artinya: “Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata: "Aku melihat orang-orang yang membeli bahan makanan dengan tanpa ditimbang pada zaman Rosulullah SAW mereka dilarang menjualnya kecuali harus mengangkutnya ke tempat tinggal mereka terlebih dahulu."
(HR. Bukhori 2131, dan Muslim 5/8).
Secara esensi definisi di atas sama, dan dapat difahami bahwa iktikar yaitu:
1. Membeli barang ketika harga mahal.
2. Menyimpan barang tersebut sehingga kurang persediaannya di pasar.
3. Kurangnya persediaan barang membuat permintaan naik dan harga juga naik.
4. Penimbun menjual barang yang di tahannya ketika harga telah melonjak.
5. Penimbunan barang menyebabkan rusaknya mekanisme pasar.
9 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan makalah di atas maka kami sebagai penulis memberikan bebebrapa kesimpulan dalam pembahasa tersebut yaitu sebagai beriku:
1. Penimbunan harta atau dalam bahasa arab lebih dikanl dengan Ihtikar (ر اك تح ْ لاا ). Praktik ihtikar dapat dikatakan bahwa kegiatan penimbunan harta merupakan kegiatan menahan barang yang dikumpulkan saat harga murah kemudian menjualnya pada saat harga barang tersebut tinggi.
2. Berdasarkan landsan hukum dan kriteria tersebut dapat dapat ditarik kesimpulan bahwa pelarangan praktik penimbunan harta itu merujuk kepada kemaslahatan umat dengan prinsip maqasidu syariah yaitu menjaga harta sehingga akan membuat umat muslim jauh dari perbuatan tersebut, sehingga terhindar dari perbuatan mendzolimi antara umat
3. Secara umum, hikmah larangan perbuatan menimbun harta adalah mecegah dari segala sesuatu yang dapat menyulitkan manusia, karena hal itu mempunyai kadar kemudharatan. Secara khusus pelarangan praktik penimbunan harta lebih mengatur kepada masalah sosial eknomi masyarakat seperti mecegah perbuatan dzalim antar sesame umat, memunculkan sifat kepedulian sosial, memunculkan lapangan kerja serta tidak adanya perbuatan monopoli dalam pasar.
10
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqalani Ibn Hajar, Panduan Lengkap Masalah-Masalah Fiqih, Akhlak dan Keutamaan Amal. Bandung: Mizan Pustaka, 2010
Aravik, Havis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Kontenporer. Cet. I; Jakarta: Kencana. 2017 Nasution, Mustafa Edwin. Pengantar Eksklusif Ekonomi Islam. Cet. V; Jakarta: Kencana. 2016.
Soemitra, Andri. Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqih Muamalah di Lembaga Keuangan dan Bisnis Kontenporer. Cet. I; Jakarta: Kencana. 2019.
M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi al-Qur’an., h. 586