A. Latar Belakang
Ali bin Abi Thalib adalah khalifah ke empat dari kekhalifahan islam. Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah setelah meninggalnya khalifah Usman bin Affan dalam peristiwa pembunuhan yang terjadi dirumah khalifah Usman bin Affan.
Pertama kali yang dirasakan kaum muslimin ketika mengkaji sejarah tentang Ali bin Abi Thalib adalah kerumitan-kerumitan yang menjadi tanda tanya besar. Pada waktu itu, terjadi berbagai konflik atau tepatnya fitnah di kalangan para sahabat, seperti Perang Jamal (terjadi antara golongan Ali dan Aisyah) dan perang Shifin (terjadi antara golongan Ali dan Muawiyah).
Generasi sahabat yang disebut di dalam al-Qur’an sebagai Khairu Ummah mengalami peristiwa yang benar-benar tidak terduga, bahkan oleh para sahabat di masa itu sekali pun. Hal itu menimbulkan banyak pertanyaan yang harus diselesaikan oleh kaum muslim, terutama para pengkaji sejarah islam.
A. Simpulan
1. Ali menjadi Khalifah ditunjuk oleh para sahabat.
2. Masa kekhalifahannya 35-40 H / 656-661 M
3. Memindahkan pusat pemerintahan ke Kuffah.
4. Memecat para gubernur yang diangkat oleh Utsman dan mengirim kepala daerah yang baru yang
menggantikan
5. Menarik kembali harta dan tanah yang dihadiahkan Utsman kepada keluarga dan kerabat
Utsman dengan jalan yang tidak sah.
6. Melaksanakan kembali sistem pajak yang pernah diterapkan Umar.
7. Perang Jamal => Pemberontakan yang dipimpin oleh Thalhah, Zubair, dan Aisyah => menuntut
balas atas terbunuhnya Utsman dan Ali tidak mau menghukum pembunuh Utsman. Perang dimenangkan Ali.
8. Perang Shiffin => Pemberontakan oleh Mu’awiyah. Diakhiri dengan Tahkim.
9. Perang Nahrawan => Pemberontakan oleh Khawarij.
kata pengantar
puji syukur alhamdulillah, atas kehadirat allah swt. yang telah menimpahkan rahmat dan karunia- nya , sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik. shalawat dan salam penulis sampaikan kepada nabi Muhammad saw yg di utus untuk menjadi rahmat selain alam. seiring dengan itu, tdk lupa kami ucapkan terima kasih kepada guru pembimbing yg telah memberikan motivasi dalam menyelesaikan makalah ini.
daftar pustaka
https://taufiqaliromdloni.blogspot.com/2016/04/makalah-ali-bin-abi-thalib.html https://id.wikipedia.org/wiki/Ali_bin_Abi_Thalib
https://an-nur.ac.id/prestasi-ali-bin-abi-thalib/
http://repository.radenintan.ac.id/3473/
peristiwa
1. Perang Jamal
Perang Jamal adalah peperangan yang terjadi anatara Aisyah dengan Khalifah Ali. Aisyah telah dihasut oleh anak angkatnya Abdullah bin Zubair yang sebenarnya menginginkan jabatan khalifah. Alasan perang ini karena khalifah Ali dianggap tidak mengusut pembunuhan khallifah ustman dan dianggap membiarkan kasus pembunuhan usman. Khalifah Ali berusaha supaya tidak teradi peperangan dengan melakukan perundingan akan tetapi ternyata ada pasukan Aisyah yang mengajak berperang maka perangpun tidak bisa dihindarkan.
Perang Jamal terjadi pada tahun 36 H atau pada awal kekhalifahan Ali. Perang ini mulai berkecamuk setelah dzuhur dan berakhir sebelum matahari terbenam pada hari itu. Dalam peperangan ini, Ali disertai 10.000 personil pasukan, sementara Pasukan Jamal berjumlah antara 5.000-6.000 prajurit. Bendera Ali dipegang oleh Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, sementara bendera Pasukan Jamal dipegang oleh Abdullah bin az-Zubair.[12]
Perang Jamal ini dimenangkan Ali. Kedua saingan (Thalha-Zubair) gugur atau terbunuh dimalam hari dan tidak diketahui siapa pembunuhnya. Sementara Aisyah kalah perang dan ditangkap. Ali dengan penuh hormat memulangkan Aisyah ke Madinah seperti biasa diperlakukan terhadap seorang “ibu negara”
2. Perang Shiffin
Perang Shiffin adalah peperangan pasukan Ali melawan Mu’awiyah. Perang ini tidak berakhir dengan kalah-menang antara keduanya, tetapi hanya dengan mengamati indikasi peperangan, akan tampak kelemahan Ali kalau tidak mau kalah. Peperangan ini terjadi karena faktor politik. Dapat dikemukakan dua hal yang mempengaruhi: Pertama, Ali diangkat menjadi khalifah pada tahun 656, namun Mu’awiyah jauh lebih mapan karena dua puluh tahun lebih dulu telah menjadi Gubernur Syiria; Kedua, Mu’awiyah cukup berpengalaman dan memiliki pengaruh yang mengakar, yang mampu membangun kemakmuran bagi wilayah dan penduduknya, sedangkan Ali tidak memilik kemantapan politik pada masa khilafah.[14]
Perang Jamal terjadi diwilayah Shiffin, sebelah selatan Raqqah tepi barat sungai Efrat.
Dalam peperangan ini, Ali membawa pasukan sebanyak 50.000 orang, dan Mu’awiyah membawa tentara Suriah. Di bawah pimpinan Malik al-Asytar, pasukan Ali hampir menang ketika Amr bin Ash pemimpin pasukan Mu’awiyah yang cerdik dan licik melancarkan siasat.
Salinan al-Qur’an yang dilekatkan diujung tombak terlihat diacung-acungkan, sebuah tanda yang diartikan sebagai seruan untuk mengakhiri bentrokan dan mengikuti keputusan al-Qur’an. Perang ini diakhiri dengan tahkim, tapi tahkim tidak menyelesaikan masalah, bahkan telah menimbukan perpecahan dikalangan umat Islam yang terbagi menjadi tiga kekuatan politik yaitu Mu’awiyah, Syi’ah dan Khawarij.[15] Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Munculnya kelompok Khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu’awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H (660 M), Ali dibunuh oleh salah satu anggota Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam dengan pedang beracun di dahinya yang mengenai otak.[16]
3. Perang Nahrawan
Perang ini terjadi pada tahun 38 H. Sepulangnya ke Kufah, kaum Khawarij memberontak terhadapnya. Sebelumnya, mereka menolak adanya tahkim. Mereka mengatakan: “tidak boleh ada hukum yang dipatuhi kecuali hukum Allah”. Mereka memprovokasi orang-orang untuk menentang Ali.
Setelah itu, kaum Khawarij membunuh seorang sahabat yang mulia, Abdullah bin Khabbabdan istrinya yang ketika itu sedang hamil tua. Ketika ksaus ini sampai kepada Ali, ia
mengirimkan surat kepada mereka, isinya: “Siapa yang menbunuh Khabbab?” Mereka menjawab: “Kamilah semua yang membunuhnya”. Maka Ali pun keluar menuju tempat mereka dengan pasukan berjumlah 10.000 prajurit, dan menyerang mereka di daerah Nahrawan.[17]
4. Munculnya Sekte-sekte
Sebagai akibat perang Shiffin, sekte-sekte muncul secara serius pada masa Ali. Bahkan persinggungan antara faktor teologi dan politik muncul pertama kali dalam suatu percekcokan yang terjadi dikalangan pengikut Ali.
Dalam sejarah umat Islam, sekte-sekte sebagai wujud perbedaan pemikiran dan ide pada pokoknya disebabkan perbedaan aspirasi politik: kelompok setia Ali yang selanjutnya dinamakan Syi’ah dan kelompok eksodus yang selanjutnya dikenal dengan Khawarij, benar-benar berbeda sangat jauh.
Syi’ah merupakan kelompok sayap kanan dan Khawarij adalah kelompok sayap kiri.
Keduanya sama radikal dan ekstrim. Adanya imam menurut Syi’ah adalah wajib. Keharusan agama dan dunia akan hancur tanpa imam. Tetapi Khawarij mengatakan, adanya imam tidak diharuskan agama. Imam tidak perlu bila manusia dapat menyelesaikan masalahnya sendiri, bahkan karena imamlah manusia membuat kehancuran dengan membunuh.
Kemelut yang semula menitikberatkan hal-hal politik, kini beralih pada persoalan teologi.
Seperti apa yang dilontarkan Syi’ah maupun Khawarij, mempunyai konotasi dengan pembicaraan yang didasarkan atas prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran Islam.[18]