• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH ANALISIS KASUS TINDAK PIDANA TERORISME

N/A
N/A
NAURA DINI HARLIANDA

Academic year: 2023

Membagikan "MAKALAH ANALISIS KASUS TINDAK PIDANA TERORISME"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

ANALISIS KASUS TINDAK PIDANA TERORISME

Untuk memenuhi Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Hukum Pidana Khusus Kelas C Yang Dibina oleh Bapak Solehuddin, S.H., M.H.

Disusun oleh:

Naura Dini Harlianda 205010100111116

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BRAWIJAYA

KOTA MALANG TAHUN 2022

(2)

BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang

Bangsa Indonesia sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD NKRI 1945 Alinea VI mencitrakan cita-cita bangsa untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Demi mewujudkan cita-cita bangsa tersebut, segenap bangsa Indonesia perlu bersama-sama menjaga keamanan, ketentraman, dan kedinamisan dengan melakukan berbagai upaya baik upaya preventif, represif, maupun kuratif untuk melindungi stabilitas nasional bangsa Indonesia.

Stabilitas nasional dapat terguncang karena sejumlah kejahatan, salah satunya adalah tindak pidana terorisme. Tindak pidana terorisme pada dasarnya diartikan sebagai aktivitas secara terbuka yang menggunakan kekerasan atau ancaman untuk menyebarkan situasi ketakutan. Federan Bureau of Investigation mengartikan terorisme sebagai pengaplikasian kekerasan secara melanggar hukum dan dilaksanakan untuk mengintimidasi suatu pemerintahan, maupun penduduk sipil. Indonesia mengundangkan peraturan perundang-undangan mengenai kejahatan terorisme, yakni UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang mendefinisikan terorisme sebagai perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, Iingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan. Secara bahasa, istilah terorisme diserap dari bahasa Latin ‘terrerre’ yang berarti membuat gemetar. Istilah ini memuat konotasi yang sensitif. Maka, dapat disimpulkan bahwa tindak pidana terorisme ini merupakanextra ordinary crimeatau kejahatan luar biasa.

Tindak pidana terorisme ini bukan merupakan isu baru melainkan isu global yang kerap kali menyedot perhatian publik, media, dan masyarakat nasional serta internasional. Salah satu persitiwa terkait tindak pidana terorisme yang menggemparkan dunia internasional adalah

(3)

Peristiwa 9/11 dimana pesawat menabrak gedung World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat dan menewaskan sekitar 2.996 orang. Pesawat tersebut dibajak terorisme yang diduga dari kelompok Al-Qaeda.1 Oleh sebab itu, isu terorisme selalu menjadi isu sensitif karena banyak korban jatuh karenanya.

Tak hanya dalam frekuensi Internasional, Indonesia juga memiliki frekuensi kejahatan terorisme yang cukup tinggi. Terhitung lebih dari lima kasus terjadi pada lima tahun belakangan ini yang sebagian besar dari peristiwa tersebut adalah peristiwa pengeboman., di antaranya Penembakan di Mabes Polri (31 Mret 2021), Penyerangan Sigi 2020, Bom Medan 2019, Bom Bunuh Diri Surabaya 2018 atau Bom Tiga Gereja, Serangan Jakarta 2016, dan lain sebagainya.

Kasus terorisme selalu mengganggu keamanan dan ketentraman warga, menimbulkan ketakutan yang meluas, hingga mengakibatkan kerugian harta benda hingga nyawa.

Pada kasus terorisme ini, Indonesia menerapkan PERPU Nomor 1 Tahun 2002 yang diubah menjadi UU No. 15 Tahun 2003 dan diubah kembali menjadi UU No. 5 Tahun 2018.

Namun, dalam faktanya masih banyak terjadi peristiwa terorisme. Walaupun tidak hingga terjadi peristiwa terorisme pun, masih banyak aliran yang menyebarkan paham terorisme, baik melalui kelompok maupun tulisan hingga tausiyah.

I.II Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan di atas ditentukan sejumlah persoalan sebagai berikut:

1. Bagaimana contoh kasus nyata terkait tindak pidana terorisme yang terjadi di Indonesia?

2. Apakah penanganan tindak pidana terorisme tersebut telah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme?

I.III Tujuan Analisis

Berdasarkan perumusan masalah pada sub bagian I.II, maka dapat diambil tujuan dari penulisan makalah ini antara lain :

1. Mengetahui contoh kasus nyata yang terjadi di Indonesia mulai dari posisi kasus, dakwaan, hingga amarnya.

1statisticbrain.com

(4)

2. Mengetahui kesesuaian putusan hakim terhadap terdakwa tindak pidana terorisme dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018. Apabila sesuai maka hakim bisa menerapkan pola hukuman serupa terhadap kasus-kasus selanjutnya, sebaliknya apabila tidak sesuai maka hakim dan masyarakat Indonesia perlu bersama-sama mencari titik tengah untuk menangani kasus terorisme.

BAB II PEMBAHASAN

II.I Contoh Kasus Tindak Pidana Terorisme di Indonesia A. KASUS I: Serangan Jakarta 2016

Kasus Posisi Putusan PN JAKARTA SELATAN Nomor 140/Pid.Sus/2018/PN JKT.SEL - Tanggal 22 Juni 2018

a. Identitas Terdakwa

Nama lengkap: OMAN ROCHMAN alias AMAN ABDURRAHMAN alias ABU SULAIMAN Bin ADE SUDARMA

Tempat lahir: Sumedang

Umur/tanggal lahir : 45 Tahun / 05 Januari 1972 Jenis Kelamin : Laki-laki

Kebangsaan : Indonesia

Tempat tinggal : Desa Licin Kampung Panteneun RT.02/RW.07 Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat

Agama : Islam

Pekerjaan : Tidak bekerja

Pendidikan : S-1 LIPIA (Lembawa Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab) b. Fakta Hukum

1. Peristiwa Serangan Jakarta 2016 atau Bom Thamrin bermula dari terbentuknya Jamaah Anshor Daulah (JAD) sebagai organisasi terorisme yang berkiblat pada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Oman Rochman memiliki keterkaitan dengan pimpinan JAD, Ambon Saiful Munthohir (Saiful).

2. Oman berperan sebagai penyebar paham terorisme dan radikalisme. Oman menyebarkan video paham ISIS saat ia berada di lapas, serta menyampaikan

(5)

instruksi pimpinan khilafah Suriah untuk mewujudkan negara Khilafah saat Saiful datang berkunjung. Oman menyebarkan beberapa paham sebagai berikut:

-Demokrasi termasuk syirik akbar yang bisa membatalkan keislaman seseorang.

-Yang termasuk dalam syirik demokrasi akbar sendiri adalah: menyembah berhala, berdoa kepada selain Allah, berkorban kepada selain Allah, mentaati hukum selain hukum Allah, dan lain lain, sehingga wajib bagi setiap muslim untuk berlepas diri dari system syirik demokrasi.

-Dalam sistem demokrasi Tuhannya bukan Allah, dalam pembuatan syariah atau aturan kehidupan atau hukum atau undang-undang yang berlaku atas manusia akan tetapi hukum yang berlaku adalah hukum yang dibuat oleh manusia, dalam hal ini MPR, DPR. Tuhan yang diibadahi atau ditaati dalam demokrasi ada banyak karena tuhan pembuat hukum (anggota DPR. MPR) jumlahnya banyak.

-Hukum yang berlaku pada sistem demokrasi adalah bukan hukum buatan Allah atau hukum Islam alias hukum buatan manusia.

3. Pimpinan khilafah Suriah yang disampaikan Oman itu bermaksud untuk melaksanakan amal jihad yang pelaksanaannya disampaikan oleh Iwan Darmawan (Rois). Amal jihad yang dimaksud menyasar warga negara asing dan untuk mewujudkannya Rois menyiapkan dana Rp 200 juta dan orang-orang sebagai pelaksana.

4. Pimpinan khilafah Suriah tersebut diinisiasi dalam peristiwa Serangan Jakarta 2016 atau Bom Thamrin.

5. Peristiwa ini terjadi di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat pada 14 Januari 2016. Bermula dari ledakan pertama di Starbucks yang terletak di seberang Mal Sarinah. Ledakan pertama tersebut diinisiasi oleh Ahmad Muhazan sebagai bom bunuh diri.

6. Selang beberapa detik ledakan kedua berlangsung di pos polisi dekat Mal Sarinah oleh Dian Juni Kurniadi yang melempar bom tabung dengan mengendarai sepeda motor.

7. Polisi mengambil aksi dengan menutup ruas Jalan MH Thamrin bersamaan dengan Sunakim dan M. Ali yang memulai baku tembak dengan polisi, juga

(6)

melepaskan tembakan ke dalam Starbucks dan mengenai warga negara asing bernama John Hansen dan Denny Mahieu.

8. Peristiwa Serangan Jakarta 2016 ini menimbulkan 21 korban, 13 orang luka-luka dan 8 orang tewas. Korban jiwa di antaranya 4 pelaku dan 4 warga sipil.

c. Tuntutan

1. Menyatakan Terdakwa OMAN ROCHMAN alias AMAN ABDURRAHMAN alias ABU SULAIMAN telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dalam Dakwaan KESATU Primair melanggar Pasal 14 Jo. Pasal 6 PERPPU No. 1 Tahun 2002 sebagaimana yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang berdasarkan UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang DAN KEDUA Primair melanggar Pasal 14 Jo. Pasal 7 PERPPU No. 1 Tahun 2002 sebagaimana yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang berdasarkan UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang;

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa OMAN ROCHMAN alias AMAN ABDURRAHMAN alias ABU SULAIMAN dengan pidana MATI, dengan perintah Terdakwa tetap berada dalam tahanan; dan

3. Menyatakan barang bukti yang telah disita dari Oman Rochman, disita untuk dimusnahkan. Berupa:

-1 (satu) buah buku At Thoriq As Shawi.

-1 (satu) buah buku Al fiah Ibnu Malik.

-1 (satu) buah buku Mufit Al mustafit.

-1 (satu) buah buku Jauhar Maknun.

-1 (satu) buah buku mukhtasar shahih bukhori.

-1 (satu) buah buku umdatul fiqih.

-1 (satu) buah buku kumpulan fiqih.

-1 (satu) buku haqoid.

-1 (satu) buah buku tulis.

-5 (lima) lembar kertas terdapat tulisan tangan huruf latin.

-Kertas-kertas terdapat tulisan tangan berhuruf Arab.

(7)

d. Dakwaan

1. Dakwaan Kesatu Primair melanggar Pasal 14 jo Pasal 6 PERPPU No.1/2002 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang No.15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

2. Dakwaan Kedua Primair melanggar Pasal 14 jo Pasal 7 PERPPU No.1/2002 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang No.15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

e. Amar Pidana mati.

B. KASUS II: Bom Bunuh Diri Surabaya 2018 Fakta hukum

1. Kasus Bom Bunuh Diri Surabaya 2018 dilakukan oleh sekeluarga yaitu Dita Oepriarto (48), Puji Kuswati (43), FP (9), FS (12), FA (16), dan YF (18), serta keluarga Tri Murtiono (50), Tri Ernawati (43), dan 3 orang anaknya (1 selamat).

2. Minggu 13 Mei 2018, pukul 06.30 WIB, YF dan FA mengendarai sepeda motor dengan berboncengan ke halaman Gereja Katolik Santa Maria, Jalan Ngagel Madya 01, Surabaya, dan meledakkan bom yang mereka bawa. Korban tewas 7 orang, yaitu 2 pelaku selaku YF dan FA serta 5 orang masyarakat.

3. Minggu 13 Mei 2018, pukul 07.15 WIB, Puji Kuswati dengan 2 orang anaknya, FP dan FS meledakkan diri di Gereja Kristen Indonesia (GKI), Jalan Diponegoro Surabaya. Ketiganya tewas dan tidak ada korban jiwa lain pada peledakan tersebut.

4. Minggu 13 Mei 2018, pukul 07.53 WIB, Dita Oepriarto (48) setelah mengantarkan Puji Kuswati selaku istrinya dan kedua orang anaknya di GKI, Dita meledakkan bom bunuh diri di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya dengan mengendarai Toyota Avanza yang ditabrakkan ke gereja tersebut. Korban tewas 7 orang, yaitu Dita sendiri sebagai pelaku dan 6 orang masyarakat.

5. Total korban jiwa dalam pengeboman 13 Mei 2018 oleh keluarga Dita terhitung 18 orang, terdiri dari 6 orang pelaku sekeluarga dan 12 masyarakat.

(8)

6. Senin, 14 Mei 2018, pukul 08.50 WIB, sekeluarga Tri Murtiono (50) dan Tri Ernawati (43) bersama ketiga anaknya meledakkan bom bunuh diri di Polrestabes Surabaya, Jalan Sikatan. Satu anak selamat dalam insiden ini.

II.II Penanganan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia menurut UU No. 5 Tahun 2018

Kasus I mengenai Serangan Jakarta 2016 di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat yang didalangi oleh Oman Rochman dan menyebabkan 21 korban jiwa, di antaranya 8 orang tewas termasuk pelaku dan 13 orang luka-luka. Pada kasus tindak pidana terorisme ini Oman Rochman diduga sebagai dalang atau pemberi instruksi kepada para pelaku untuk melancarkan aksi bom bunuh diri. Maka dari itu melalui Putusan Nomor 140/Pid.Sus/2018/PN JKT.SEL yang mengadili terdakwa Oman Rochman dijatuhkan dakwaan sesuai pada Pasal 14 jo. Pasal 6 PERPPU No.1/2002 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Pasal 14 jo Pasal 7 PERPPU No.1/2002 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang No.15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pada kasus ini masih diterapkan UU No. 5 Tahun 2003 karena UU No. 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme belum diundangkan. Namun, pada makalah ini menganalisis menggunakan UU No. 5 Tahun 2018 sebagai peraturan perundang-undangan terkait yang terbaru.

Pasal 14 jo. Pasal 6 dan Pasal 7 UU No. 5 Tahun 2018 yang didakwakan kepada Oman Rochman berbunyi sebagai berikut:

1. Pasal 6 sebagai dakwaan primair

Setiap Orang yang dengan sengaja menggunakan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap Objek Vital yang Strategis, lingkungan hidup atau Fasilitas Publik atau fasilitas internasional dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati.

2. Pasal 7 sebagai dakwaan sekunder

(9)

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.

3. Pasal 14

Setiap Orang yang dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasai 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasa} 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13 huruf b dan huruf c, dan Pasal 13A dipidana dengan pidana yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13 huruf b dan huruf c, dan Pasal 13A.

Pasal 6 dan Pasal 7 UU No. 5 Tahun 2018 memuat kedua unsur objektif dan unsur subjektif yang mirip, tetapi dibedakan dengan frasa ‘bermaksud’ dalam Pasal 7. Frasa

‘bermaksud’ ini salah satu ketentuannya diatur dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP yang berbunyi

“Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri”. Maksud dari pasal tersebut adalah percobaan merupakan tindak pidana yang dilakukan terdakwa sebagai percobaan tindak pidana atau tindak pidana yang tidak selesai2. Maka, yang harus dibuktikan dalam penerapan Pasal 7 adalah unsur perbuatan ‘dengan maksud’, yaitu timbulnya suasana teror secara meluas walaupun belum terlaksana unsur kekerasan atau ancaman kekerasannya. Sementara J. M. Van Bemmelen menyatakan frasa

‘bermaksud’ didefinisikan sebagai niat melakukan kejahatan dalam suatu percobaan kejahatan yang dilakukan dengan sengaja dalam delik yang sengaja yang ingin diselesaikan3. Namun, pada kasus ini Oman Rochman lebih memenuhi unsur-unsur dari pada Pasal 6 UU No. 5 Tahun 2018 sebagai dakwaan primair dalam putusan No. 140/Pid.Sus/2018/PN JKT.SEL yang menjatuhi hukuman terhadapnya. Pasal 6 tidak mengandung frasa ‘bermaksud’ yang berarti tindak pidana

3Sarlito Wirawan S. 2012. Terorisme di Indonesia: dalam Tinjauan Psikologi. Jakarta: Alvabet.

2F. Budi Hardiman, dkk. 2005. Terorisme, Definsi, Aksi dan Regulasi. Jakarta: Imparsial,hlm. 68.

(10)

terorisme yang diatur tersebut telah terlaksana dan tidak sekadar percobaan atau tindak pidana tidak berhasil.

Kasus yang mendakwa Oman Rochman sebagai pelaku utama ini cukup kontroversial karena putusan akhirnya yang mengandung vonis hukuman mati. Sejatinya sanksi pidana mati dimuat dalam Pasal 6 UU No. 5 Tahun 2018, tetapi sejumlah pendapat kontra terhadap pengadaan sanksi pidana mati karena bertentangan dengan prinsip dan nilai hak asasi manusia dan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, yakni UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terutama pada Pasal 4 yang berbunyi “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.” serta hak untuk hidup yang dimuat dalam melanggar hak untuk hidup yang diatur dalam Universal Declaration of Human Rights (DUHAM). Bahwa tidak ada seorangpun yang berhak merenggut nyawa orang lain walaupun dalam upaya pemidanaan karena tindakan merenggut nyawa orang lain tersebut tentu melanggar hak hidup yang melekat kepada seorang tersebut sejak ia lahir.

Kontroversi pemberlakuan sanksi pidana mati ini melibatkan 3 aspek, yakni ketidakrelevanan dalam perkembangan hukum global, ketidaksesuaian dengan dinamika sosial politik dan hukum nasional serta internasional yang memberi pengaruh terhadap hubungan pada masyarakat, serta bertentangan dengan konstitusi negara. Sanksi pidana mati salah bertentangan dengan dasar konstitusi Indonesia, yakni Amandemen ke -2 UUD NKRI 145 yang menegaskan bahwa setiap orang berhak hidup dan/atau mempertahankan hidupnya. Dalam hal ini Indonesia mengakui hak hidup manusia sebagai hukum kodrat yang melekat dan tidak berhak untuk dirampas oleh apapun atau siapapun. Ketentuan-ketentuan tersbeut bertentangan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia yang memuat dasar hukum sanksi pidana mati, di antaranya:

1. Pasal 10 KUHP mengenai penggolongan tindak pidana yang diancam hukuman mati, di antaranya adalah pembunuhan berencana

(11)

2. Pasal 11 KUHP mengenai tata cara penerapan sanksi pidana mati dengan hukuman gantung diri yang dlancarkan oleh seorang algojo.

3. UU Nomor 2/PNPS/1964 yang mengganti ketentuan dari pada Pasal 11 KUHP dengan hukuman mati berupa menembak mati.

Selain dimuat dalam UU No. 5 Tahun 2018, sanksi pidana mati juga dimuat dalam sejumlah pasal pada UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Apabila menilik putusan Nomor 140/Pid.Sus/2018/PN JKT.SEL yang memutus kasus keterlibatan Oman Rochman dalam Serangan Jakarta 2016 mampu ditarik sejumlah bukti yang berpotensial menjadi alasan majelis hakim untuk menjatuhkan vonis hukuman mati, di antaranya sebab:

1. Oman Rochman merupakan dalang utama Serangan Jakarta 2016 serta memiliki keterlibatan pula dengan beberapa aksi terorisme sebelumnya, sebut saja Bom Gereja Oikumene Samarinda 2016, Penembakan Polisi di Medan dan Bima 2017, serta Bom Kampung Melayu 2017. Keterlibatan Oman terhadap aksi-aksi terorisme di tahun 2016 hingga 2017 tersebut membuatnya ditahan di lapas. Namun, hal tersebut tidak menghalangi Oman untuk terus menyebarkan paham terorisme dan radikalisme dibuktikan dengan aksinya memberikan instruksi kepada Saiful untuk melancarkan Serangan Jakarta 2016 meskipun ia masih tertahan di lapas.

Maka, keberadaan Oman dinilai meresahkan dan mengganggu ketentraman serta keamanan masyarakat Indonesia karena aksi Serangan Jakarta 2016 bukan kali pertama baginya, sehingga apabila tidak dilancarkan hukuman mati ditakutkan terjadi aksi-aksi terorisme selanjutnya.

2. Serangan Jakarta 2016 menewaskan banyak orang dan menimbulkan banyak korban luka berat.

3. Oman Rochman merupakan salah satu pimpinan Jamaah Anshori Daulah (JAD) yang merupakan kelompok ekstremis Indonesia yang berkiblat kepada ISIS. JAD ini merupakan kelompok yang berbahaya karena selain terlibat dengan Serangan Jakarta 2016, kasus Bom Bunuh Diri Surabaya 2018 (tercantum dalam Kasus II sub-bab II.I) juga diinisiasi oleh JAD.

(12)

4. Berdasarkan alat bukti oleh jaksa penuntut umum yang tercantum dalam Putusan Nomor 140/Pid.Sus/2018/PN JKT.SEL, Oman Rochman terbukti menyebarkan paham radikalisme yang dinilai menghasut melalui buku seri tauhid.

Lantaran begitu, walaupun telah lewat 4 tahun sejak putusan dikeluarkan belum terlaksana pidana mati terhadap Oman Rachman.

Kasus II dalam tulisan ini memuat Bom Bunuh Diri Surabaya 2018 atau bom tiga gereja yang dilaksanakan oleh sekeluarga. Serupa dengan Serangan Jakaarta 2016, kasus ini melanggar ketentuan dalam UU No. 5 Tahun 2018 terutama Pasal 6 jo. Pasal 14 bahwa tindak pidana terorisme dengan meledakkan bom bunuh diri di tiga gereja tersebut merupakan kekerasan yang timbul suasana teror terhadapnya dari masyarakat dengan meluas, selain itu sebab berlangsungnya tindak pidana tersebut banyak korban jiwa berjatuhan, baik korban tewas maupun korban luka-luka. Pertanyaannya, mengapa pada kasus Bom Bunuh Diri 2018 tidak ada putusan yang dikeluarkan terhadapnya?

Peristiwa Bom Bunuh Diri Surabaya 2018 menewaskan sejumlah orang termasuk para pelakunya, yaitu keluarga Dita Oepriarto (48), istrinya Puji Kuswati (43), dan keempat anaknya FP (9), FS (12), FA (16), dan YF (18), serta keluarga Tri Murtiono (50), Tri Ernawati (43), dan 2 orang anaknya, sedangkan 1 orang anak selamat. Apabila pelaku tindak pidana dalam suatu kasus meninggal maka tuntutan perkara terhadapnya gugur, menurut Pasal 77 KUHP

“Kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh meninggal dunia”. Gugurnya perkara ini tidak memerlukan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) sebagaimana diatur dalam Pasal 109 KUHAP. Kewenangan untuk menuntut juga semerta-merta gugur tanpa memerlukan surat resmi apapun. Bedanya dengan kasus yang diputuskan suatu putusan hakim terhadapnya, status pelaku yang telah meningal ini adalah tersangka dan bukannya terdakwa karena belum ada pembuktian dan pembelaan dari pelaku dan pelaku belum diepriksa sebagai saksi, sehingga belum mampu ditentukan statusnya. WalaUpun tidak ada putusan hakim yang bisa menyatakan bersalah atau tidak bersalah, status tersangka tersebut akan terus melekat tanpa ada tindakan hukum yang bisa melepaskan mereka dari status tersebut. Ketentuan ini juga berlaku pada para pelaku yang meninggal dalam bom bunuh diri Serangan Jakarta 2016.

(13)

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN III.I Kesimpulan

Menanggapi kedua kasus tindak pidana terorisme di atas yakni Serangan Jakarta 2016 dan Bom Bunuh Diri Surabaya 2018 terkuak adanya organisasi radikalisme yang menggerakkan aksi terorisme di Indonesia. Tindak pidana terorisme ini dilancarkan oleh sekelompok orang, bukan individu. Hal tersebut membuat warga merasa was-was karena merasa bisa saja salah satu dari para teroris tersebut berada di sekitar tempat warga tinggal.

Serangan Jakarta 2016 didalangi oleh Oman Rochman dengan menyebarkan video paham terorisme dan memberikan instruksi pengeboman saat berada di lapas, serta menyebarkan tulisan-tulisan paham terorisme. Peristiwa yang menimbulkan 21 korban tersebut membuat Oman divonis hukuman mati dalam putusannya. Namun, hukuman mati tersebut mengundang banyak pro dan kontra. Pasal 6 UU No. 5 Tahun 2018 yang didakwakan kepada Oman memuat sanksi pidana mati. Namun, hukuman mati ini bertentangan dengan UU HAM, DUHAM, dan konstitusi Indonesia.

Sementara Bom Bunuh Diri 2018 menewaskan para pelaku yang merupakan keluarga, sehingga tidak mampu diperiksa sebagai saksi terhadapnya. Oleh karena itu, sesuai Pasal 77 KUHP tuntutan perkara terhadapnya dianggap gugur walaupun status tersangka tetap melekat pada pelaku.

III.II Saran

Tindak pidana terorisme di Indonesia terhitung cukup sering terjadi, maka dari itu perlu dilaksanakan sejumlah upaya agar tidak makin menjamur terjadinya aksi terorisme di Indonesia.

Pemerintah dan masyarakat sipil memiliki peran penting untuk menjaga bangsa Indonesia dari ancaman terorisme yang selalu merenggut korban jiwa. Ungkapan ‘mencegah lebih baik daripada mengobati’ mampu menjadi langkah utama untuk menekan angka tindak pidana terorisme, dimulai dari masyarakat sipil yang wajib cerdas dalam mengonsumsi media karena paham terorisme banyak disebarkan secara daring, baik melalui tulisan maupun video. Selain itu,

(14)

masyarakat juga perlu memilah-milah organisasi terutama organisasi keagamaan. Jangan sampai terjerumus pada perkumpulan fanatis dan fundamentalis terhadap suatu kepercayaan.

Pemerintah juga mampu mengambil langkah sebagaimana dibentuknya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang dengan menganalisis modus aksi terorisme sebelumnya mampu lebih cepat mencegah adanya peristiwa serupa ke depannya, memperkuat keamanan darat karena aksi teror di Indonesia selalu dilancarkan di darat daripada di udara.

Pemerintah juga perlu memperbaiki pasal pada UU No. 5 Tahun 2018 yang terbilang krusial, misalnya pada Pasal 15 yang memuat ketentuan permufakatan jahat, persiapan, serta percobaan atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme. Namun, tidak ada ketentuan lebih jelas lagi mengenai definisi maupun kapan terjadinya permufakatan jahat tersebut, sehingga bisa menimbulkan multitafsir.

(15)

DAFTAR PUSTAKA Peraturan Perundang-Undangan:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

PERPU No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Buku

Ari Wibowo. 2012. Hukum Pidana Terorisme: Kebijakan Formulatif Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu.

F. Budi Hardiman, dkk. 2005. Terorisme, Definsi, Aksi dan Regulasi. Jakarta: Imparsial.

Soetandyo Wignjosoebroto. 2002. Hukum Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalah.

Jakarta: ELSAM

Jurnal / Artikel

Agus Handoko. 2019. Analisis Kejahatan Terorisme Berkedok Agam. SALAM: Jurnal Sosial & Budaya Syar'i UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Vol. 6 No. 2

Bungasan Hutapea. 2016. Kontroversi Penjatuhan Hukuman Mati terhadap Tindak Pidana Narkotika. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.

Hilda M. R. 2018. Ini Waktu Tiga Ledakan Bom di Surabaya.

https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4018258/ini-waktu-tiga-ledakan-bom-di-surabaya, diakses pada 9 Juni 2022.

Referensi

Dokumen terkait

Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Untuk Menunjang Efektifitas Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang ditulis oleh Olivia

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak

Akibat Tindak Pidana Terorisme dan Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Mati Pelaku Tindak Pidana Terorisme ………. Akibat yang Ditimbulkan oleh Tindak Pidana

Hasil penelitian yang ditemukan; sanksi bagi pelaku tindak pidana terorisme menurut Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme terdapat pada Pasal

tindak pidana terorisme adalah setiap perbuatan yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang

15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme di atas adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan

“Setiap Orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan

1 tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang telah dipenuhi oleh perbuatan terdakwa dan oleh karena menurut pertimbangan Hakim