• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH ASWAJA KEL-1

N/A
N/A
Fahmi amhar

Academic year: 2024

Membagikan " MAKALAH ASWAJA KEL-1"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

Memahami Khittah NU

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “ ASWAJA”

Dosen pengampu :Akhamad Sirojuddin,M.Pd.I

Disusun oleh:

Fahmi amhar Faren Syahrul

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH FAKULTAS TARBIYAH

UNIVERSITAS PESANTREN KH. ABDUL CHALIM MOJOKERTO

2024

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat, Taufiq, dan Hidayah serta Inayah-Nya, sehingga penulisan makalah yang berjudul “ASWAJA” dapat terselesaikan.

Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. KH. Asep Saifuddin Chalim, MA. Sebagai pengasuh Institut Pesantren KH.

Abdul Chalim.

2. Bapak Dr. H. Mauhiburrohman, Lc.MIRKH. Selaku Rektor Institut KH. Abdul Chalim.

3. Ibu Yhasinta Agustyarini, M.Pd. Selaku Ketua Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah.

4. Bapak Akhmad Sirojuddin,M.Pd.I Selaku Dosen Pengampu mata kuliah Aswaja yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan sampai selesainya penulisan makalah ini.

5. Serta seluruh yang berkecimpun dalam proses pembuatan karya tulis ilmiah ini yang berbentuk makalah.

Tidak dapat dipungkiri, keterbatasan penulis dalam Menyusun makalah ini masih jauh dari sempurna, banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritikan dari berbagai pihak sangat diharapkan. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat untuk kepentingan dan kemajuan dunia Pendidikan.

Aamiin.

(3)

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

(4)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nahdlatul Ulama didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926. Organisasi ini merupakan sebuah organisasi masyarakat Islam terbesar ditanah air yang tidak pernah tuntas untuk diamati dan diteliti. Nahdlatul Ulama adalah sebuah organisasi yang dikontrol oleh para ulama yang memiliki massa pengikut riil.

Nahdlatul Ulama juga adalah organisasi ulama tradisional yang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan pondok pesantren, dan dalam mengingat sebagaian besar pendiri dan pendukung utamanya merupakan para kiai. Dalam perjuangannya, Nahdlatul Ulama banyak memiliki hal yang dikembangkan dan dilestarikan mulai dari pendidikan, sosial, politik, ekonomi dan lain-lain.1

Keberadaan organisasi yang didirikan oleh para ulama ini sangatlah diperhitungkan dalam kancah perpolitikan di wilayah negara Indonesia. Hal ini tidak lepas dari sejarah perjalanan panjang yang mengiringi perjalanan bangsa negara Indonesia, menjadikan organisasi ini mempunyai kekuatan untuk memberikan perubahan bagi perkembangan Islam di negara Indonesia.

Perkembangan Nahdatul Ulama (NU) dalam dunia universal perpolitikan banyak mengalami naik turun. Nahdatul Ulama didirikan sebagai organisasi sosial keagamaan oleh KH. Hasyim Asy’ari beserta para ulama pesantren lainya dengan pedoman Ahlusunnah Wal Jamaah mengalami banyak perubahan sesuai dengan kondisi yang dihadapi dalam bergabung bersama Masyum. Akibat dari kekecewaan yang dialami dalam NU, maka muncullah sebuah pemikiran atau gagasan untuk kembali ke Khittah 1926.

Pemikiran untuk kembali ke Khittah NU yang diucapkan oleh KH. Ahmad Shiddiq dalam muktamar NU yang ke 27 di Situbondo. Paham atau ajaran yang utama sudah berkembang yang disebut dengan Khittah NU 1926. Para Ulama pembangun ini diungkapkan dan disalurkan kedalam NU, untuk dilestarikan dan diberikan menjadi “trayek” (garis perjalanan) untuk organisasi itu. Secara garis besar dari Khittah NU merupakan untuk mengembalikan NU menjadi organisasi sosial keagamaan dan tidak terlibat dalam politik praktis.2

Nahdlatul Ulama didirikan dengan tujuan untuk menciptakan kesadaran dan keimanan bahwa setiap manusia hanya bisa memenuhi kebutuhannya untuk bersedia hidup bermasyarakat, serta manusia berusaha mewujudkan kebahagiaan dan menolak bahaya. Sikap persatuan dan kesatuan, saling membantu, saling menghargai atau ikatan hati merupakan yang jadi syarat dari belahan munculnya tali 1 Ahmad Zainuri, Doktrin Kultural Politik Nu, Al-Tsaqafa : Jurnal Ilmiah Peradaban Islam, Vol 18, No

2 (2021),hlm.73

2 Akhmad Syaekhu Rakhman, Dinamika Perkembangan Politik Nahdatul Ulama Pasca Khittah, Heuristik: Jurnal Pendidikan Sejarah. 1 (1) (2021),hlm. 8-17

(5)

persaudaraan (al-ukhuwah) dan saling mengasihi untuk menjadi pedoman dalam terciptanya tatanan kemasysrakatan yang baik dan sejahtera.

Nahdlatul Ulama merupakan sebagai jam’iyyah diniyah dalam wadah bagi para ulama dan pengikut-pengikutnya yang didirikan 16 Rajab 1344 H / 31 Januari 1926 M. Organisasi ini didirikan dengan tujuan untuk melestarikan, memelihara, mengembangkan serta mengamalkan ajaran Islam yang berpedoman Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menganut empat maadzhab, yaitu Abu Hanifah An-Nu’man (Imam Hanafi), Imam Malik bin Anas (Imam Maliki), Imam Muhammad bin Idris Asy- Syafi’I (Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali), serta untuk mempersatukan langkah-langkah para ulama dan pengikut-pengikutnya untuk melakukan kegiatan yang memiliki tujuan untuk menciptakan kemaslahatan atau kebaikan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat serta martabat manusia3.

Nahdlatul Ulama merupakan gerakan keagamaan yang memiliki tujuan untuk ikut membangun, menjaga dan mengembangkan insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT, terampil, cerdas, tentram, berakhlak mulia, adil dan sejahtera. Nahdlatul Ulama bertujuan untuk mewujudkan cita-cita dan tujuannya melalui serangkaian ikhtiyar yang didasari oleh dasar-dasar dan ajaran-ajaran faham keagamaan yang membentuk sikap serta kepribadian yang sesuai ajaran agama islam.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Latar Belakang Khittah NU ? 2. Apa Pengertian Khittah NU ?

3. Bagaimana Dasar Dasar Faham Keagamaan NU ? 4. Bagaimana Sikap Kemasyarakatan NU ?

5. Bagaimana Prilaku Keagamaan Dan Sikap ? 6. Apa Fungsi Organisasi Dan Kehidupan Bernegara ? 7. Bagaimana Implikasi Politik Khittah ?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk Mengetahui Latar Belakang Dari Khittah NU.

2. Untuk Mengetahui Apa itu Khittah NU.

3. Untuk Mengetahui Dasar Dasar Faham Keagamaan NU.

4. Untuk Mengetahui Sikap Kemasyarakatan NU.

5. Untuk mengetahui Prilaku Keagamaan Dan Sikap.

3 Fitrotun Nikmah, Implementasi Konsep At-Tawasuth Ahlus- Sunnahwal Jama'ah Dalam Membangun Karakter Anak Di Tingkat Sekolah Dasar (Studi Analisis Khittahnahdlatul Ulama), Jurnal Tarbawi Vol. 15. No.1 (2018),hlm. 208-2011,

(6)

6. Untuk Mengetahui Fungsi Organisasi Dan Kehidupan Bernegara.

7. Untuk Mengetahui Implikasi Politik Khittah.

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Khittah Nahdhiyah

Secara bahasa kata khitthah berasal dari Bahasa arab yang artinya garis, koredor, landasan. Maksudnya ialah garis-garis batas, garis-garis menjadi landasan garis-garis yang

(7)

diikuti, garis-garis yang dialami. Kemudian kata khitthoh disambung dengan kata Nahdliyyah.

Nahdiyah berasal Nahdha yang mempunyai makna kebangkitan. Jadi Khittoh NU mempunyai arti sebagai garis-garis aturan yang selalu ditempuh oleh warga NU secara khusus dan semua umat Islam secara umum. Makna tersebut memberikan jalan tempuh yang lurus kepada umat Islam dalam menjalankan aktifitas sosial keagamaan. Jadi pengertian Khitthah NU adalah landasan berfikir, bersikap, dan bertindakwarga NU, secara individual maupun organisatoris.

Landasan tersebut adalah faham Ahlussunnah wal jama’ah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan.

B. Dasar Dasar Paham Keagamaan NU .

1. Manhaj Fikrah Nahdliyah (Metode berpikir ke-NU-an)

Dalam merespon persoalan, baik yang berkenaan dengan persaoalan keagamaan maupun kemasyarakatan, Nahdlatul Ulama memiliki manhaj Ahli sunnah wal Jama'ah sebagai berikut:

a) Dalam bidang Aqidah/teologi, Nahdlatul Ulama mengikuti manhaj dan pemikiran Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi.

Permasalahan-permasalahan keagamaan sebenarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw., masih hidup Namun waktu itu setiap kali persoalan muncul, para sahabat dapat segera memecahkannya dengan jalan Rasulullah Muhammad Saw. Apabila ada ayat-ayat yang kurang bisa dipahami, Sahabat akan menanyakannya langsung kepada Rasul, dan segera mendapatkan jawabannya. Apabila terjadi perbedaan pendapat, Rasulullah Saw. akan menengahi dan selesailah masalah. Namun begitu, setelah wafatnya Baginda Rasulullah Muhammad Saw., seiring dengan berjalannya waktu, berbagai permasalahan keagamaan terus bermunculan. Al-Qur'an dan Hadist yang menjadi pondasi utama umat Islam dalam beraqidah dan beribadah ditafsirkan secara berbeda-beda. sehingga niscaya menimbulkan pemahaman yang berbeda.

Sesungguhnya persengketaan akidah pada mulanya diakibatkan oleh pertentangan masalah imamah. Dari persoalan tersebut, kemudian merambah ke wilayah agama, terutama seputar hukum seorang muslim yang berdosa besar dan bagaimana statusnya ketika ia meninggal; mukmin ataukah sudah kafir.4 Dari situ, pembicaraan tentang akidah kemudian meluas ke persoalan-persoalan Tuhan dan manusia baik menyangkut perbuatan dan kekuasaan Tuhan, juga sifat keadilan Tuhan, sampai pada persoalan apakah Al- Qur'an termasuk makhluk atau bukan.

4 Tim PWNU Jawa Timur , Aswaja An-nahdhiyyah,Cet.II (Khalisa: Surabaya, 2007). Hal. 11

(8)

Sampai kemudian lahirlah paham-paham akidah, seperti Qadariyah, Jabbariyah, Mu'tazilah, Asy'ariyah dan Maturidiyah. Dua kelompok terakhir itulah yang mengambil sikap moderat yang kemudian dikenal dengan pahamnya Ahlusunnah wal Jamaah.

Disebut Asy'ariyah karena madzhab tersebut didirikan oleh Imam Abu al-Hasan al- Asy'ari, dan Maturidiyah karena pendirinya adalah Imam Abu Manshur al-Maturidi.

b) Dalam Bidang Fiqih/Hukum Islam, Nahdlatul Ulama bermazhab secara qauli dan

manhaji kepada salah satu Al- Madzahib Al-'Arba'ah (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali).

Sumber hukum Islam (Fiqh) yang utama adalah Al- Qur'an dan hadist. Sementara kita tahu bahwa ayat-ayat al- Qur'an tidak bertambah dan tidak berkurang. Sedangkan permasalahan-permasalahan baru terus muncul seiring perkembangan zaman. Maka, dibutuhkan upaya penggalian hukum, atau yang lebih sering disebut dengan istilah ijtihad.

Ijtihad sendiri sebenamya sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw., ketika Sahabat menjumpai suatu persoalan yang harus segera diputuskan sementara mereka tidak sedang bersama Rasulullah. Pada masa Khulafarurrashidin, khalifah kerap mengumpulkan para Sahabat untuk membahas suatu masalah dan menentukan hukumnya, lalu lahirlah ijma' atau kesepakatan. Di antara tokoh yang mampu berijtihad sejak generasi sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in, terdapat banyak tokoh yang ijtihadnya kuat (disebut mujtahid mustaqil). Bukan hanya mampu berijtihad sendiri tetapi juga mampu menciptakan pola pemahaman (manhaj) tersendiri terhadap sumber pokok hukum Islam, yakni al-Qur'an dan Hadis.

Hal tersebut dibuktikan dengan metode ijtihad yang mereka rumuskan sendiri, menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh, qawa'idul ahkam, qawa'idul fiqhiyyah dan sebagainya. Proses dan prosedur ijtihad yang mereka hasilkan dilakukan sendiri tersebut mendandakan bahwa secara keilmuan dan pemahaman keagamaan serta ilmu penunjang dalam berijtihad lainnya telah mereka miliki dan kuasai.

Perbedaan pendapat (ikhtilaf) dalam masalah fiqih memang tidak bisa dicegah, tetapi bukan berarti setiap orang bebas untuk berijtihad (menjadi mujtahid). Bagi orang awam, mengikuti para imam madzhab adalah wajib, demikian pendapat ulama Nahdhiyyin.

Madzhab sendiri berarti jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan dalam masalah keagamaan. Pada hakikatnya, semua orang pasti bermadzhab. Kalau tidak bermadzhab pada madzhab-madzhab lama, mereka bermadzhab kepada madzhab yang baru. Taqlid (mengikuti) pada imam madzhab bukanlah suatu kemunduran, tetapi justru sebagai

(9)

sarana melestarikan dan mengembangkan ajaran Islam. Dengan bermadzhab, pewarisan dan pengamalan ajaran Islam menjadi terpelihara, ajaran Islam terjamin kemurniannya

Para imam madzhab adalah orang-orang yang sudah terkenal kealimannya dan sangat menguasai ilmu-ilmu al- Qur'an dan hadist. Jadi, apabila dikatakan bahwa bermadzhab bukanlah jalan yang diajarkan oleh Rasulullah, sesungguhnya hal tersebut tidak berdasar.

Sebab para Imam madzhab adalah orang-orang yang ketaatannya pada al-Qur'an dan sunnah sudah teruji. Bermadzhab berarti mengikuti apa yang sudah menjadi pegangan imam madzhab.

Dalam ranah fiqh, NU bermadzhab kepada madzhab empat yang masyhur, yakni, Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Pertanyaan yang krap muncul adalah, kenapa NU hanya memilih empat madzhab untuk dijadikan pijakan dalam berfiqh? Dalam buku Aswaja an-Nahdliyah, sebagaimana dikutip K.H Busyairi Harist,5 adalah karena:

Pertama, kualitas pribadi dan keilmuan mereka sudah masyhur. Jika disebut nama mereka hampir dipastikan mayoritas umat Islam di dunia mengenal dan tidak perlu lagi menjelaskan secara detail tentang keilmuan mereka. Kedua, keempat Imam madzhab tersebut merupakan Imam Mujtahid Mutlak Mustaqil, yaitu imam mujtahid yang mampu secara mendiri menciptakan manhaj al-fiqr (metode berpikir), pola, proses dan prosedur istimbath dengan seluruh perangkat yang dibutuhkan. Ketiga, Imam madzhab itu mempunyai murid-murid yang secara konsisten mengajar dan mengembangkan madzhabnya yang didukung oleh buku induk yang masih terjalin keasliannya hingga saat ini. Keempat, jika ditelusuri ternyata para Imam madzhab tersebut mempunyai mata rantai dan jaringan intelektual di antara mereka.

c) Dalam bidang Tasawuf, Nahdlatul Ulama mengikuti Imam al Junaid al Baghdadi (w.297H.) dan Abu Hamid al Ghazali (450- 505 H./1058-11 11 M.). Dasar utama tasawuf Aswaja tidak lain adalah Al-Qur'an dan Sunnah. Oleh karena itu, jika ada orang yang mengaku telah mencapai derajat Makrifat namun meninggalkan al-Qur'an dan sunnah, maka ia bukan termasuk golongan Aswaja. Meski Aswaja mengakui tingkatan- tingkatan kehidupan rohani para sufi, tetapi Aswaja menentang jalan rohani yang bertentangan dengan al-Qur'an dan as- Sunnah. Imam Malik pernah mengatakan, "Orang yang bertasawuf tanpa mempelajari fikih telah merusak imannya sedangkan orang yang memahami fikih tanpa menjalankan tasawuf telah merusak dirinya sendiri. Hanya orang

5 Drs. K.H. Busyairi, M.Ag, Islam NU: Pengawal Tradisi Sunni Indonesia, (Khalista: Surabaya, 2010) hal. 7-8

(10)

yang memadukan keduanyalah yang akan menemukan kebenaran.6 "Sudah sepantasnya, para sufi harus selalu memahami dan menghayati pengalaman-pengalaman yang pernah dilalui oleh Nabi Muhammad selama kehidupannya.

Demikian juga pengalaman-pengalaman para sahabat yang kemudian diteruskan oleh tabi'in, tabi'ut tabi'in sampai pada para ulama sufi hingga sekarang. Memahami sejarah kehidupan (suluk) Nabi Muhammad hingga para ulama waliyullah itu, dapat dilihat dari kehidupan pribadi dan sosial mereka. Kehidupan individu artinya, ke-zuhud- an (kesederhanaan duniawi), wara' (menjauhkan diri dari perbuatan tercela) dan dzikir yang dilakukan mereka. Kehidupan sosial, yakni bagaimana mereka bergaul dan berhubungan dengan sesama manusia. Sebab tasawuf tercermin dalam akhlak; bukan semata hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan manusia dengan manusia lainnya.

Jalan sufi yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para pewarisnya adalah jalan yang tetap memegang teguh perintah-perintah syari'at. Karena itu, kaum Aswaja An-Nahdliyah tidak dapat menerima jalan sufi yang melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban syari'at, seperti praktik tasawuf al-Hallaj (al-hulul) dengan pernyataannya "ana al-haqq" atau tasawuf Ibnu 'Arabi (ittihad; manunggaling kawula gusti). Kaum Aswaja An-Nahdliyah hanya menerima ajaran-ajaran tasawuf yang moderat, yakni tasawuf yang tidak meninggalkan syari'at dan Aqidah.

B. Khashaish (Ciri-ciri) Fikrah Nahdliyah

1. Fikrah tawassuthiyyah (pola pikir moderat)

artinya Nahdlatul Ulama senantiasa bersikap tawazun (seimbang) dan itidal (moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan. Nahdlatul Ulama tidak tafrith atau ifrath. Fikrah pertama ini mengedepankan sikap moderat yang telah mendarah daging dan menjadi identifikasi NU sebagai

"anak pertama" di Indonesia. Organisasi ini memiliki modal sosial budaya yang bisa diterima oleh berbagai kalangan, kecuali kelompok teroris, dalam upaya menjaga kerukunan beragama dan kerukunan berbangsa. Dalam perjalanan sejarah, NU menghindari sikap radikal, karena sikap ini hanya menimbulkan resiko jangka panjang dan lebih banyak nilai negatif dibandingkan nilai positifnya. NU tidak bersikap reaktif dan keras, karena keduanya hanya akan membuat NU mudah

"dijebak" dan terpancing. NU juga tidak bersikap sebagaimana avonturir yang pragmatis, melainkan menjalankan prinsip-prinsip yang factual dan realistis.

6 Syekh Muhammad Hisyam Kabbani, Tasawuf dan Ikhsan: Antivirus Kebatilan dan Kedzaliman, (Serambi: Jakarta, 2007). Hal. 63

(11)

Melalui penggunaan aspek al-tawassuth ini dalam konteks berbangsa dan bernegara, NU mampu berlayar di antara karang ekstremisme dan liberalism, kedua kata yang memang dicurigai sebagai penyebab kehancuran sebuah peradaban. Melalui rel tawassuth ini, NU diharapkan mampu menjadi jangkar Islam Indonesia agar tidak mudah terseret kepada pusaran konflik global yang rumit. Hal ini disebabkan fakta bahwa yang menjadikan organisasi NU tetap eksis hingga hari ini adalah sikap moderat dalam banyak hal, meskipun sering dituding sebagai oportunis, avonturir dan cari aman.

Tuduhan-tuduhan semacam ini muncul karena, dalam batas tertentu, pihak penuduhnya belum mampu memahami cara pandang NU yang khas terhadap "sesuatu" maupun peristiwa.

Dalam konteks pemahaman seperti ini, sangat menarik kalimat yang telah disampaikan oleh KH. A.

Wahid Hasyim berikut ini: "Saya berkata demikian (kegembiraan berdirinya PTAIN-pen) bukanlah karena saya seorang muslim yang kebetulan berbangsa Indonesia, akan tetapi sebagai seorang putra Indonesia yang beragama Islam. Melalui ungkapan di atas, terlihat bahwa Kiai Wahid menolak identifikasi diri sebagai seorang muslim yang tinggal di sebuah wilayah.... Kiai Wahid bahkan dengan tegas melakukan upaya peneguhan sebagai ...seorang Indonesia yang beragama Islam. Dengan demikian, Kiai Wahid saat itu telah memulai wacana kepercayaan diri sebagai Indonesia yang beragama Islam dan bukan muslim yang kebetulan tinggal di Indonesia Kiai Wahid telah berusaha menghindarkan umat Islam agar tidak menjadi tamu di negeri sendiri, melainkan menjadi umat Islam Nusantara sebagai tuan di rumah sendiri.

Kiai Wahid, dalam berbagai kesempatan, selalu menandaskan keniscayaan bagi para pemuda Indonesia agar percaya diri saat menyuarakan pendapat maupun bersikap percaya diri sebagai seorang muslim Indonesia, terutama ketika berhadapan dengan bangsa lain. Dalam buku Pentingnja Terdjemah Hadis Pada Masa Pembangunan, Kiai Wahid juga menegaskan: "Maksud saya ialah tidak menyetujui meng-Arab-kan angkatan (generasi) kita yang akan beda dari pada bahasa dan adat istiadat Indonesia.

Pendapat Kiai Wahid di atas merupakan representasi gagasan Islam Pribumi maupun Islam Nusantara. Islam corak ini berurat nadi dengan entitas ke-Indonesia-an. Secara konsepsional, sebenarnya tidak ada yang salah dalam mengadaptasi kebudayaan Arab untuk mengekspresikan keberagamaan atau ke-Islam-an seseorang. Permasalahan akan muncul saat menggunakan ekspresi ke- Arab-an sebagai ekspresi tunggal dan dianggap paling sah dalam beragama, sehingga ekspresi Arab menjadi dominan, bahkan menghegemoni budaya dan tradisi lain. Dalam bahasa KH. Abdurrahman Wahid, Arabisasi atau proses pengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah adalah

"...tercerabutnya kita dari akar budaya kita sendiri." Lagipula, demikian lanjutnya, Arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan.

(12)

2. Fikrah tasamuhiyah (pola pikir toleran),

artinya Nahdlatul Ulama dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun aqidah, cara pikir, dan budayanya berbeda meskipun memiliki akidah, cara pikir dan budaya berbeda. NU menyadari bahwa membangun dan mempertahankan Indonesia tidak bisa dilakukan kecuali dengan cara menggandeng tangan pihak lain. Peradaban mustahil dibangun dengan egosentrisme sektarian, karena peradaban hanya bisa diwujudkan oleh mereka berjiwa besar yang memahami hakikat multikulturalisme, pluralisme dan sikap koeksistensi. Bangsa Indonesia sejak dulu memang kuat dalam hal watak toleransi. Budhaisasi, Hinduisasi sampai Islamisasi Nusantara terjadi dengan jalan damai, kecuali Kristenisasi yang didukung VOC. Watak demikian merupakan mindset yang menghargai keberadaan perbedaan dan hidup berdampingan dengan orang lain.

Al-tasamuh masih merupakan sesuatu yang absurd saat tidak diwujudkan dalam kehidupan nyata. Dalam hal ini, masyarakat Indonesia bisa belajar dari para kiai di masa lampau yang mendirikan pesantren dengan cara khas tanpa pertumpahan darah. Al-tasamuh juga menjadi parameter dakwah di masyarakat, karena dengan toleransi ini keberhasilan dakwah bisa dibuktikan.

3. Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif),

artinya Nahdlatul Ulama senantiasa mengupayakan perbaikan menuju ke arah yang lebih baik (al-ishlah ila ma huwa al-ashlah). Fikrah ketiga ini menempatkan NU selalu mengupayakan perbaikan menuju ke arah yang lebih baik (al-ishlah ila ma huwa al- ashlah). Dalam beberapa hal, manhajini terbukti menjadi salah satu poros pergerakan NU saat menyikapi perkembangan jaman.

Artikulasi sikap reformis di sini, misalnya, terdapat dalam berbagai jawaban atas persoalan yang diajukan di dalam forum muktamar melalui bahtsul masa il.

Secara organisatoris, NU selalu mendorong perubahan ke arah lebih baik dan realistis. Dua kali pergantian rezim, misalnya, NU selalu mendukung. Hal ini tidak melihat pihak yang akan berkuasa, melainkan mengawasi proses pergantian rezim ini agar berjalan dengan tepat dan mencegah agar tidak ada konflik horisontal berkepanjangan. Dalam konteks lebih nyata, secara personal KH. Ahmad Sahal Mahfudh, Rais Aam Syuriah PBNU 1999-2014, telah memberikan contoh realisasi sikap ini. Kiai Sahal melalui gagasan Figh Sosial telah melakukan pemberdayaan masyarakat sekitar pesantren melalui beberapa terobosan sosial-ekonomi yang berpusat di pesantren.

Kiai Sahal menjadikan pesantren sebagai penggerak agar masyarakat lebih berdaya dalam bidang ekonomi melalui pengem bangan usaha kerupuk tayammum, yang digoreng menggunakan pasir, tepung tapioka maupun pengembangan pertanian kacang dengan cara bekerjasama dengan salah satu produsen kacang kemasan skala internasional. Kiai Sahal juga merintis dan mengembangkan sebuah bank yang kini asetnya mencapai puluhan miliar rupiah dan memiliki

(13)

beberapa cabang. Ada wujud lain, di tahun 1980-an, Kiai Sahal melalui forum bahtsul masa 'i/

mempelopori penolakan Tebu Insentif Rakyat (TIR) yang dipaksakan pemerintah kepada para petani tebu. Bagi Kiai Sahal, konsep TIR sangat merugikan petani. Meskipun keputusan ini lahir dari bahtsul masa il skala kecamatan atau MWC, namun keputusan yang "membela rakyat kecil"

itu cukup menghebohkan dan menginspirasi aksi pembelaan para kiai terhadap rakyat kecil.

Dalam wujud personal lain, Gus Dur gigih mendampingi dan memperjuangkan masyarakat yang menjadi korban pembangunan waduk Kedungombo pada tahun 1990-an, hingga mendampingi sebagian penduduk desa di Jepara yang tanahnya "dijual paksa" dengan alasan untuk pembangunan PLTN yang hingga kini rencana pembangunannya masih kontroversi.

Gus Dur juga mendampingi masyarakat korban sengketa tanah di Grati Pasuruan yang terintimidasi oleh militer pada pertengahan tahun 2000-an silam. Di samping itu, tentu masih banyak kiprah Gus Dur dalam mendampingi rakyat kecil yang tidak berdaya menghadapi kebijakan pemerintah yang seringkali memihak korporasi besar. Sikap reformis ini bukan semata ideologi yang diperjuangkan melalui cara-cara revolusioner. Hal ini disebabkan dalam banyak peristiwa, NU memilih cara evolutif jika mampu menjadi parameter mewujudkan kebaikan bersama (mashlahah).

Dalam konteksnsejarah, terhitung dua kali NU menggerakkan semangat revolusi. Pertama, saat menyongsong kedatangan Inggris dan pasukan Sekutu dalam Perang 10 Nopember 1945 di Surabaya melalui Resolusi Jihad. Kedua, saat Peristiwa G/30/S/PKI terjadi di tahun 1965 lalu.

Kedua peristiwa besar itu, secara tidak langsung, merupakan reaksi atas aksi 4. Fikrah Tathowwuriyah (pola pikir dinamis),

artinya Nahdlatul Ulama senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan. Fikrah keempat ini mendorong NU agar selalu melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan. Tradisi bahtsul masa 'il yang tidak terpisahkan dari komunitas NU dan pesantren adalah wadah tepat untuk merespon setiap dinamika perkembangan jaman.

Setiap kasus dan permasalahan yang muncul senantiasa dicari jawaban dan solusi melalui perangkat fikih. Pola pikir dinamis ini juga tampak sejak pendirian NU, saat Ibnu Suud sebagai penguasa Nejd dan Hijaz yang didukung paham radikal-ekstrem Gerakan Wahabi memulai razia ideologis dan mengontrol secara ketat tata cara peribadatan umat Islam. Saat itu para ulama langsung membentuk Komite Hijaz sebagai respon dan perwakilan umat Islam tradisional di Indonesia untuk melakukan lobi agar penguasa Hijaz tersebut bersedia menghormati pluralisme bermadzhab, melindungi peninggalan bersejarah Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya serta beberapa tuntutan lain.

(14)

Dalam konteks kenegaraan, fikrah tathawwuriyah juga tampak saat NU melihat negara Indonesia yang baru saja lahir digoncang kisruh internal. Pemberontakan merajalela di daerah dan ini tentu saja membahayakan situasi negara Indonesia yang baru dirintis. Musyawarah Nasional Alim Ulama yang diprakarsai NU pada tahun 1954 memberikan gelar waliyyul amri al-dharuri bi al-syaukah kepada Bung Karno adalah langkah strategis sekaligus berani.

Disebut strategis karena langkah ini secara tidak langsung mengukuhkan Bung Karno sebagai penguasa RI yang sah. Langkah ini secara langsung juga mendelegitimasi klaim sebagai imam yang dilakukan Sekarmadji Marijan Kartosuwirjo dengan DI/TII-nya. Disebut berani, karena terdapat kata al-dharuri yang berarti menilai Bung Karno belum memenuhi syarat sempurna, baik secara agama dan politik, sebagai waliyyul amr, mengingat Bung Karno saat itu belum dipilih melalui jalur pemilu yang sah. Sedangkan secara fiqh, keputusan ini juga berpengaruh kepada tatanan hukum Islam.

Sebagai contoh adalah dalam soal penyerahan perwalian bagi perempuan yang kawin dan tidak memiliki wali nasab (tauliyah). Menurut madzhab Syafi'i, wali hakim harus memperoleh kuasa dari sulthan atau pemerintah. Dalam posisi yang belum "sempurna" ini, karena masih dharuri, Bung Karno dikukuhkan sebagai waliyyul amri, se hingga status ini memiliki pengaruh signifikan dalam beberapa nomenklatur fikih. dari umat Islam Indonesia yang selalu memegang teguh prinsip persaudaraan (ukhuwah), toleransi (al- tasamuh), kebersamaan dan hidup berdampingan, baik dengan sesama warga negara yang memiliki keyakinan atau agama lain, untuk bersama-sama mewujudkan citacita persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan dinamis.

5. Fikrah Manhajiyah (pola pikir metodologis),

artinya Nahdlatul Ulama senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang mengacu pada manhaj yang telah ditetapkan oleh Nahdlatul Ulama. Fikrah keempat ini mendorong NU agar selalu melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan. Tradisi bahtsul masa 'il yang tidak terpisahkan dari komunitas NU dan pesantren adalah wadah tepat untuk merespon setiap dinamika perkembangan jaman. Setiap kasus dan permasalahan yang muncul senantiasa dicari jawaban dan solusi melalui perangkat fikih. Pola pikir dinamis ini juga tampak sejak pendirian NU, saat Ibnu Suud sebagai penguasa Nejd dan Hijaz yang didukung paham radikal-ekstremGerakan Wahabi memulai razia ideologis dan mengontrol secara ketat tata cara peribadatan umat Islam.

Saat itu para ulama langsung membentuk Komite Hijaz sebagai respon dan perwakilan umat Islam tradisional di Indonesia untuk melakukan lobi agar penguasa Hijaz tersebut bersedia menghormati pluralisme bermadzhab, melindungi peninggalan bersejarah Nabi

(15)

Muhammad Saw dan para sahabatnya serta beberapa tuntutan lain. Menghidupi diri sendiri, berkembang dengan cara sendiri dan tidak bergantung kepada bantuan pemerintah. Meskipun demikian, tetap ada beberapa pondok pesantren yang berafiliasi secara politis dengan partai penguasa dan secara otomatis memperoleh fasilitas melimpah, namun mayoritas pondok pesantren saat itu memilih berkreasi secara mandiri dan tidak berkenan menyetorkan pengajuan pendanaan bersumber dari dana negara.

Namun saat Orde Reformasi bergulir dan kemudian banyak warga NU menduduki jabatan strategis, saat itu pula kultur kemandirian mulai runtuh berganti dengan tradisi bergantung kepada dana bantuan pemerintah. Independensi secara ekonomi yang dibangun selama puluhan tahun kemudian runtuh secara perlahan- lahan. Fikrah manhajiyyah ini, dalam konteks berbangsa dan bernegara, bisa dirujuk dari tradisi besar dan sejarah panjang paham Sunni. Mereka seringkali menghindari jalan terabas revolusioner karena selain memiliki resiko besar "diberangus" dengan cepat, revolusi seringkali "memakan" anak kandungnya sendiri, sebagaimana yang disampaikan Bung Karno.

Sunni selalu mendahulukan cara persuasif, gradual dan evolutif, namun cara revolusi akan menjadi langkah alternatif terakhir untuk mewujudkan cita-cita kemaslahatan. Dalam konteks historis di Indonesia, NU menggunakan aspek manhajiyyah ini sebagai salah satu metode meredam gejolak radikalisme. Secara manhajiy, pijakan epistemologis dan ideologis NU sudah tepat, apalagi secara genealogi keilmuan, mata rantai para ulama pendiri NU sudah terkoneksi dengan Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian, fikrah manhajiyyah perpspektif NU yang bisa dirumuskan melalui fomasi 4-2-2 mampu menjadi penopang agar tetap berpijak pada relnya sesuai dengan garis besar Sunni.7

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN

7 Rijal Mumazziq Zionis Fikrah Nahdliyyah Sebagai Pondasi Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara. pdf

(16)

DARTAR PUSTAKA

Rijal Mumazziq Zionis, Fikrah Nahdliyyah Sebagai Pondasi Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara. Pdf

(17)

Tim PWNU Jawa Timur. 2007. Aswaja An-nahdhiyyah, Surabaya; Khalista.

Referensi

Dokumen terkait

Pemikiran Politik Perempuan Nahdlatul Ulama (NU) dalam Perspektif Feminisme: Penelusuran Pemikiran Mainstream dan Non-Mainstream. Linda Dwi Eriyanti

Lembaga pendidikan SMA NU Lekok Pasuruan merupakan lembaga pendidikan di bawah naungan Nahdlatul Ulama yang memiliki program pendidikan keagamaan ke- NU-an yang

Maka berdasar dari fenomena tersebut, PWNU Jawa Timur melalui Aswaja NU Center PWNU Jatim sebagai sayap perjuangan Nahdlatul Ulama khususnya dalam penguatan nilai-nilai

202 Nahdlatul Ulama and the Struggle for Power 4 Lembaga Perekonomian Nahdlatul NU Economics Institute Ulama (LPNU) 5 Lembaga Pengembangan Pertanian NU Agricultural

NU adalah organisasi sosial keagamaan atau Jam‟iyyah diniyah Islamiyah yang didirikan oleh para ulama, pemegang teguh salah satu dari empat madzhab berhaluan

Pengelolaan Wakaf Tunai di Lembaga Wakaf dan Pertanahan NU Bagi Nahdlatul Ulama NU, mengelola wakaf bukanlah sesuatu yang baru, karena sebagai gerakan sosial keagamaan, NU

Selain dalam komunitas NU, K.H- Haderanie HN juga terlibat aktif dalam organisasi Majelis Ulama Indonesia N{UI, l.ang metupakan organisasi keagamaan yang kepengurusannya terditi dari

Mars Muslimat NU Marilah Kaum Ibu Muslimat Nahdlatul Ulama nan setia Al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas Menjadi pedoman utama Demi agama, nusa, dan bangsa Negara damai bahagia