BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wilayah laut memiliki nilai strategis yang terus meningkat dalam tatanan global abad ke-21, seiring dengan meningkatnya kebutuhan energi, pangan, serta jalur logistik lintas benua. Laut tidak lagi dipandang sebagai batas, melainkan sebagai ruang hidup dan sumber daya yang menjadi rebutan antarnegara. Dalam konteks ini, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 hadir sebagai payung hukum internasional yang memberikan kerangka aturan atas pengelolaan laut, termasuk hak atas landas kontinen—wilayah dasar laut yang merupakan kelanjutan dari daratan negara pantai hingga kedalaman tertentu1.
Landas kontinen memiliki karakter hukum dan geografis yang berbeda dari perairan teritorial dan zona ekonomi eksklusif (ZEE). Menurut UNCLOS, landas kontinen memberikan hak eksklusif bagi negara pantai untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam di dasar laut dan lapisan tanah di bawahnya, bahkan jika wilayah tersebut melampaui 200 mil laut dari garis pantai asalkan memenuhi kriteria geologi tertentu2. Hak ini bersifat sui generis, yaitu tidak tergantung pada deklarasi kedaulatan, melainkan merupakan perpanjangan alami wilayah daratan negara tersebut ke bawah laut.
Secara ekonomi, landas kontinen menyimpan potensi sumber daya yang luar biasa, terutama hidrokarbon (minyak dan gas bumi), mineral dasar laut, serta biota bentik. Di Indonesia, data dari Kementerian ESDM menunjukkan bahwa potensi gas alam di wilayah landas kontinen mencapai 334,5 triliun kaki kubik (TCF), dengan cadangan terbukti sebesar 43,3 TCF3.Selain itu, potensi sumber daya mineral laut seperti kobalt, nikel, dan pasir logam juga menarik perhatian sebagai
1 R. Churchill & A.V. Lowe, The Law of the Sea, 3rd ed. (Manchester University Press, 1999), hlm. 149–154.
2 United Nations, United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982, Part VI, Article 76.
3 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), Potensi Energi di Landas Kontinen Indonesia, 2021.
bahan baku industri strategis. Optimalisasi pengelolaan wilayah ini menjadi bagian integral dari strategi ketahanan energi nasional dan diversifikasi ekonomi biru (blue economy).
Namun, kepemilikan atas landas kontinen bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga berkaitan erat dengan isu geopolitik dan kedaulatan negara. Di Laut Natuna Utara, klaim Tiongkok melalui konsep Nine-Dash Line tumpang tindih dengan wilayah ZEE dan landas kontinen Indonesia. Hal serupa juga terjadi di Blok Ambalat yang menjadi titik ketegangan antara Indonesia dan Malaysia sejak awal 2000-an4. Sengketa-sengketa ini menunjukkan bahwa batas laut, terutama landas kontinen, tidak hanya menjadi domain teknis, melainkan juga medan kontestasi politik regional dan internasional.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia menghadapi tantangan kompleks dalam menetapkan dan mempertahankan hak atas landas kontinen.
Hingga saat ini, terdapat sembilan segmen batas laut yang belum terselesaikan, sebagian besar terkait dengan klaim landas kontinen yang tumpang tindih dengan negara tetangga5. Persoalan ini tidak hanya mengganggu kepastian hukum, tetapi juga menyulitkan upaya eksplorasi dan investasi di sektor kelautan. Diplomasi batas maritim menjadi instrumen penting untuk menyelesaikan sengketa secara damai dan berdasarkan hukum internasional.
Di sisi lain, dari aspek teknis, delineasi landas kontinen memerlukan data geologi dan hidrografi yang sangat rinci. Penetapan batas luar landas kontinen (extended continental shelf) harus disertai bukti ilmiah yang diserahkan ke Komisi Batas Landas Kontinen PBB (CLCS). Indonesia sendiri telah mengajukan beberapa klaim, antara lain di wilayah barat Sumatra dan utara Papua, namun prosesnya berjalan lambat akibat keterbatasan sumber daya dan kapasitas teknis6. Hal ini menuntut investasi pada penelitian oseanografi dan teknologi survei laut dalam.
4 H. Santosa, “Ambalat Dispute and Indonesian Maritime Boundary Policy,”
Jurnal Hukum Internasional, Vol. 11 No. 2 (2014): hlm. 118–121.
5 Kementerian Luar Negeri RI, Laporan Tahunan Diplomasi Maritim Indonesia, 2023
6 A. Nugroho, “Indonesia’s Submission to the CLCS: Challenges and Strategic Implications,” Indonesian Journal of International Law, Vol. 17 No. 1 (2020):
hlm. 90–93.
Tak kalah penting adalah isu pengawasan dan penegakan hukum di wilayah landas kontinen. Banyak wilayah yang rawan terhadap aktivitas ilegal seperti pencurian ikan, pengeboran liar, dan pelanggaran batas. Pengawasan yang masih terbatas, terutama di wilayah perbatasan dan laut dalam, menyulitkan Indonesia dalam mengontrol aktivitas ekonomi di wilayah kedaulatannya7. Peningkatan kapasitas armada pengawasan, penggunaan teknologi satelit, dan integrasi data maritim menjadi bagian krusial dari strategi pengelolaan yang berkelanjutan.
Dengan mempertimbangkan kompleksitas di atas, penelitian ini menjadi penting untuk menjawab pertanyaan strategis: bagaimana Indonesia dapat mengoptimalkan pemanfaatan landas kontinen sekaligus memperkuat posisi kedaulatannya di tengah dinamika geopolitik kawasan? Diharapkan, kajian ini dapat memberikan kontribusi dalam bentuk rekomendasi kebijakan yang holistik, mencakup aspek hukum internasional, strategi diplomasi maritim, pertahanan negara, dan penguatan kapasitas teknis nasional.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penulisan ini adalah:
1. Apa definisi dan batasan landas kontinen menurut hukum laut internasional?
2. Bagaimana pengaturan landas kontinen dalam Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982?
3. Apa saja dampak ekonomi dan geopolitik dari penguasaan landas kontinen?
4. Bagaimana implementasi dan tantangan pengelolaan landas kontinen di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Penulisan ini bertujuan untuk:
1. Menjabarkan konsep dan batasan landas kontinen dari perspektif hukum dan geografi.
7 Y. Rachmawati, “Illegal, Unreported and Unregulated Fishing in Indonesian Waters,” Marine Policy Review, Vol. 38 (2018): hlm. 225–227.
2. Menganalisis kerangka hukum internasional yang mengatur landas kontinen, khususnya dalam UNCLOS 1982.
3. Mengkaji dampak strategis—baik ekonomi maupun geopolitik—dari penguasaan landas kontinen terhadap Indonesia.
4. Menelaah praktik implementasi dan hambatan yang dihadapi Indonesia dalam mengelola landas kontinennya.
D. Manfaat Penelitian
Penulisan ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Menambah kontribusi terhadap literatur akademik dalam bidang hukum laut dan geopolitik maritim.
2. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran publik mengenai pentingnya pengelolaan landas kontinen dalam konteks kedaulatan nasional.
3. Memberikan masukan strategis bagi pembuat kebijakan dalam merumuskan langkah-langkah penguatan pengelolaan wilayah laut Indonesia.
BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep Landasan Kontinen dalam Hukum Laut
Landas Kontinen merupakan wilayah yang berada di dasar laut dimana memiliki kekuatan hukum yang mengikat dalam pengaturannya. Dalam hal pemanfaatan dan pengelolahan harus memiliki konsep pengaturannya, yang diatur dalam ketentuan Hukum Laut. Landas Kontinen juga merupakan dasar laut atau tanah di bawahnya dimana yang pembahasannya selalu berhubungan dengan wilayah laut teritorial. Landas Kontinen atau Landas Benua (Continental Shelf) pada mulanya adalah istilah dalam ilmu geologi (Geology), khususnya geologi kelautan (Marine Geology), Kemudian istilah ini diadopsi oleh parah ahli Hukum Internasional menjadi Hukum Laut8.
Landas Kontinen disebut juga denganterusan kontinen atau terusan benua.
Perpanjangan kedaulatan Negara pantai dan Negara kepulauan pada wilayah laut tertentu mengakibatkan adanya kepemilikan atas dasar wilayah perairan.9 Diperluasnya pengertian Landas Kontinen ini, yakni termasuk pulau juga dapat memiliki Landas Kontinen, tampaknya disebabkan karena rumusan pasal 1. Ini merupakan hasil kompromi dari Negara-Negara yang menjadi peserta dalam Konferensi Jenewa 1958, yakni dalam rangka memberikan hak yang sama antara Negara pantai, dari Negara-Negara pulau dan Negara10.
Pada Landas Kontinen itu, Negara pantai yang bersangkutan memiliki dan melaksanakan hak-hak kedaulatannya (sovereign rights). Untuk maksud mengeksplorasi Landas Kontinen itu sendiri dalam rangka menemukan sumbersumber daya alam yang terkandung didalamnya (pasal 2 ayat 1). Pasal ini
8 I Wayan Parthiana, Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia, (Bandung: Yrama widya, 2014), Hlm.169.
9 Dhiana Puspitawati, Hukum Laut Internasional Edisi Kedua, (Jakarta:
Kencana, 2017), Hlm.118.
10I Wayan Parthiana, SH., MH., Landas Kontinen Dalam Hukum Laut Internasional, (Bandung: CV. Mandara Maju, 2015), Hlm.16.
secara tegas membedakan antara “exploration” (eksplorasi) dan “exploitation”
(eksploitasi)11.
Penjelasan dalam pasal 76 UNCLOS merupakan pencerminan dari kompromi antara negara-negara pantai yang memiliki Landas Kontinen yang luas. seperti Kanada yang mendasarkan kriteria eksploitasi sebagaiman yang termuat dalam UNCLOS 1958. Penjelasan pada UNCLOS 1958 tentang Landas Kontinen sangat berbeda dengan pengertian pasal76 UNCLOS 1982. Untuk itu Negara pantai dengan Landas Kontinen yang luas tetap mempertahankan posisi mereka memiliki hak diseluruh Landas Kontinennya, dengan negara-negara yang menginginkan kawasan Internasional seluas mungkin. Dengan hal itu tidak menutup kemungkinan jika Negara-Negara berpantai, akan bersaing untuk mengklaim wilayah yang memiliki Landas Kontinennya. Klaim atau pendaulatan ini bertujuan untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral dan sumber daya non hayati lainnya di dasar laut dan tanah di bawahnya.
Pengaturan Landas Kontinen hampir mirip dengan pengaturan Zona Ekonomi Eksklusif. dimana lebar ZEE adalah 200 mil laut diukur dari garis pangkal dan atas ZEE Negara pantai juga mempunyai hak berdaulat untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam12. Pengaturan Landas Kontinen dalam Konvensi Hukum Laut 1982, diatur dalam bab VI pasal 76 sampai pasal 85 UNCLOS 198213. Diuraikan sebagai berikut di bawah ini:
Pasal 76 Mengatur tentang Batasan Landas Kontinen;
Pasal 77 Mengatur tentang Hak Pantai Atas Landas Kontinen;
Pasal 78 Mengatur tentang Status Hukum Perairan Bagian Atas (superjacent waters) dan Ruang Udara serta Hak dan Kebebasan Negara Lain;
Pasal 79 Mengatur tentang Kabel dan Pipa Laut di Landas Kontinen;
Pasal 80 Mengatur tentang Pulau Buatan, Instalasi dan Bangunan di atas Landas Kontinen;
11 Ibid. Hlm.17
12 Dhiana Puspitawati, Hukum Laut Internasional, (Jakarta: Kencana, 2017).
Hlm 122.
13 Op.cit
Pasal 81 Mengatur tentang Pengoboran di Landas Kontinen;
Pasal 82 Mengatur tentang Pembayaran dan Sumbangan berkaitan dengan Eksploitasi Landas Kontinen;
Pasal 83 Mengatur tentang Penetapan Garis Batas Landas Kontinen antara Negara Pantainya Berhadapan atau Berdampingan;
Pasal 84 Mengatur tentang Peta dan Daftar Koordinasi Geografis;
Pasal 85 Mengatur tentang Penggaliang Terowongan14.
Pengaturan wilayah Landas Kontinen dengan berlakunya Konvensi Hukum Laut PBB 1982, dimana menetapkan lebar Landas Kontinen berdasarkan pada kriteria kedalaman atau kriteria kemampuan eksploitasi. Maka dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982 mendasarkannya pada berbagai kriteria, yaitu:
1) Jarak sampai 200 mil laut jika tepian luar kontinen tidak mencapai jarak 200 mil tersebut;
2) Kelanjutan alamiah wilayah dataran di bawah laut hingga tepian luar kontinen yang lebarnya tidak boleh melebihi 350 mil laut yang diukur dari garis dasar laut teritorial jika diluar 200 mil laut masi terdapat daerah dasar laut yang merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah dataran dan jika memenuhi kriteria kedalaman sedimentasi yang diterapkan dalam konvensi: atau
3) Tidak boleh melebihi 100 mil laut darin garis kedalaman 2500 meter (isobath).
Selain hal diatas, dengan menetapkan batas terluar Landas Kontinen apabila melebihi jarak 200 mil harus berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982 pada pasal 76 ayat 4-7. Kriteria yang digunanakan dalam penetapan batas terluar Landas Kontinen yang leih dari 200 mil laut mengacu pada ketentuan sebagai berikut;15
1) Didasarkan pada titik tetap terluar dimana ketebalan batu endapan (sedimentary rock) paling sedikit sebesar 1% dari jarak terdekat antara titik
14 UNCLOS 1982
15 Prof. Dikdik Mohamad Sodik, SH., Mh., Ph.D., Hukum Laut Internasional dan Pngaturannya di Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama 2016). Hlm 113
tersebut dengan kaki lereng kontinen atau sejauh 60 mil laut dari kaki lereng kontinen (foot of the slope) pasal 76 (4) UNCLOS 1982;
2) Batas terluar tersebut tidak melebihi 350 mil laut dari garis pangkal laut territorial atau tidak melebihi jarak 100 mil dari ngaris kedalaman 2500 meter pasal 76 (5) UNCLOS 1982.
Penetapan batas terluar Landas Kontinen ini sangat penting, karena berdasarkan ketentuan pasal 76, sebuah Negara Pantai berhak atas Landas Kontinen melebihi 200 mil laut (M) yang diukur dari garis pangkalnya. Hal ini dikenal juga dengan istilah Landas Kontinen Ekstensi (LKE). Adapun prosedur pengajuan Landas Kontinen ekstensi diatur dalam pasal 76 ayat 8 dan 9 UNCLOS 198216. Berdasarkan UNCLOS 1982 penentuan batas Landas Kontinen Ekstensi dapat dilakukan dengan memperhatikan 4 kriteria yang diatur dalam pasal 76. Dua kriteria pertama adalah yang membolehkan (formulae), sedangkan dua kriteria terahkir adalah yang membatasi (constrainst).
Tujuan ditetapkannya prosedur pengajuan Landas Kontinen Ekstensi adalah untuk mencegah agar klaim Negara pantai atas Landas Kontinen, tidak melebihi batas jarak yang diperkenankan oleh Hukum Internasional. Penetapan batas terluar Landas Kontinen tersebut memudahkan Negara pantai untuk melaksanakan hak- hak berdaulatnya atas sumber daya alam yang terkandung di dalam Landas Kontinen. Hak dan kewajiban Negara pantai atas Landas Kontinen, diatur dalam pasal 77 UNCLOS.17 Adapun beberapa hak yuridiksi dan kewajiban Negara pantai pada Landas Kontinen, yang terurai sebagai berikut :
1) Hak berdaulat untuk mengeksplorasi Landas Kontinen dan mengeksploitasi sumber daya alam;
2) Hak untuk memasang kabel-kabel dan pipapipa saluran;
3) Hak yang berhubungan dengan pencemaran atau polusi;
4) Hak untuk membangun pulau buatan, instalasi-instalasi, dan struktur-struktur pada atau diatas landas kontinen;
16 Prof. Dikdik Mohamad Sodik, SH., Mh., Ph.D., Hukum Laut Internasional dan Pngaturannya di Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama 2016).
Hlm.114.
17 UNCLOS 1982, Hlm.79
5) Hak untuk memberikan wenang melakukan pengoboran pada Landas Kontinen;
6) Hak untuk mendapatkan zona keselamatan (safety zone); dan 7) Yuridiksi eksklusif Negara pantai.
Dengan adanya pengaturan konsep pada Landas Kontinen, dan hak kewajiban dari NegaraNegara pantai atas Landas Kontinen, hal itu dapat membantu untuk menyelsaikan permasalahan yang terjadi antar Negara berpantai atas Landas Kontinen. Misalnya dalam masalah klaim area, antara batas Landas Kontinen dari Negara-Negara berpantai. Baik batasan Negara berhadapan maupun negara yang berdampingan.
B. Pengaturan Landasan Kontinen dalam UNCLOS 1982 C. Implikasi Ekonomi dan Geopolitik
D. Studi Kasus: Indonesia