• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH INTERAKSI OBAT “GASTRITIS KRONIS”

N/A
N/A
nurul aulia

Academic year: 2024

Membagikan "MAKALAH INTERAKSI OBAT “GASTRITIS KRONIS”"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

OLEH:

Laela Nabila 4820121160 Lia Wulandari 4820121097 Manazil haj 4820121110 Navila Avidayana 4820121117 Reza Rezita 4820121091 Riskia Yumna Utami 4820121104 Umin agustiani 4820121085

PROGRAM STUDI S-1 FARMASI FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS QAMARUL HUDA BADARUDDIN BAGU

TAHUN 2024

(2)

ii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ucapan puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat, hidayah dan inayah- Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada bapak/ibu dosen pengampu mata kuliah interaksi obat yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk menyusun makalah ini yang berjudul “INTERAKSI OBAT “GASTRITIS KRONIS”. Dan juga kami ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu memberikan materi dan masukannya sehingga terselesainya makalah ini.

Dengan keseriusan dan ketekunan dalam pembuatan makalah ini, harapan kami dapat memberikan manfaat bagi teman-teman dan para pembaca, khususnya memotivasi untuk memulai menulis makalah. Serta dapat menjadi pembelajaran bagi kami dalam pembuatan sebuah makalah, terkhusus dalam materi sediaan steril.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan makalah ini, baik dari segi materi maupun dari tata bahasa. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima kritik dan saran dari ibu Supiani Rahayu, M.Farm demi perbaikan makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini, dapat menjadi inspirasi bagi teman-teman dan pembaca, untuk memulai berkarya khususnya dalam hal tulis menulis.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Bagu, 12 Januari 2024

(3)

iii DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... iv

BAB I ... 1

PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 2

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

BAB II ... 4

TINJAUAN PUSTAKA... 4

2.1 Interaksi Obat ... 4

2.2 Macam-macam Interaksi obat ... 5

2.2.1 Interaksi Farmasetik ... 5

2.2.2 Interaksi Farmakokinetik ... 5

2.2.3 Interaksi Farmakodinamik ... 13

2.3 Gambaran kejadian Interkasi Obat di Indonesia ... 14

2.4 Kategori Interaksi obat berdasarkan Tingkat keparahan ... 15

2.5 Interaksi Penggunaan Non-Steroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAID) Pada Sistem Gastrointestinal ... 17

BAB III... 19

STUDI KASUS ... 19

BAB IV ... 20

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

4.1 Subjektif ... 20

4.2 Objektif ... 20

4.3 Assesment ... 22

4.4 Plan ... 22

BAB V ... 25

KESIMPULAN ... 25

DAFTAR PUSTAKA ... 26

(4)

iv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tabel Interaksi Farmasetik ... 5

Tabel 2. Interaksi Langsung ... 6

Tabel 3. Interaksi Obat Pada Saluran Pencernaan ... 7

Tabel 4. Interaksi Obat Terkait Motilitas Saluran Cerna ... 8

Tabel 5. Interaksi farmakodinamik ... 13

(5)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Interaksi obat dapat terjadi ketika efek dari suatu obat berubah dengan adanya obat lain, dapat berupa obat herbal, zat kimia, makanan, dan minuman (Kurniawati, 2021). Drug related problem merupakan suatu keadaan yang melibatkan terapi obat yang sebenarnya atau berpotensi mengganggu hasil kesehatan yang diinginkan atau untuk mencegah terjadinya toksik dalam tubuh (Hanutami dan Keri, 2019). Jika pasien mengonsumsi dua obat atau lebih secara bersamaan memiliki potensi terjadinya interaksi obat dimana memberikan efek terhadap obat yang di konsumsi. Interaksi antara kedua obat itu dapat menurunkan maupun meningkatkan mekanisme kerja dari obat – obat yang di konsumsi (Rahayu & Susilawati, 2023 ; Musdalipah & Nurhikma, 2017).

Pentingnya pengetahuan terkait interaksi obat akan membantu dokter dan farmasis untuk mengidentifikasi dan mencegah terjadinya interaksi obat pada pasien. Pengetahuan mengenai interaksi obat dapat mencegah morbiditas dan mortalitas serta meningkatkan keamanan dari pasien (Fadholah, 2021).

Kejadian interaksi obat yang potensial diperkirakan antara 2,2% sampai 30% dalam penelitian pasien rawat inap di rumah sakit, dan berkisar antara 9,2%

sampai 70,3% pada pasien rawat jalan di rumah sakit. Kemungkinan ini ada hingga 11,1% pasien yang mengalami gejala interaksi obat . Interaksi kelas obat dapat menyebabkan tiga jenis interaksi utama yaitu interaksi sinergis, antagonis dan efek aditif (Calzetta et al., 2018).

Gastritis merupakan peradangan pada lapisan lambung. Gastritis disebabkan oleh tiga faktor utama yaitu infeksi helicobacter pylori, penggunaan obat non steroid antiinflammatory drug (NSAID) jangka panjang dan stress related mucosal damage (SRMD). Selain itu gastritis juga dapat disebabkan oleh faktor lain misalnya tidak teraturnya pola makan, konsumsi kopi, teh, cola, alkohol, makanan yang pedas dan kondisi stress ( (Putra, J., &

Ornvold, K, 2017). Masyarakat pada umumnya mengenal gastritis dengan sebutan

(6)

2

penyakit maag yaitu penyakit yang menurut mereka bukan suatu masalah yang besar, gastritis terjadi pada semua usia mulai dari anak-anak, remaja, dewasa sampai tua (Jannah , 2020).

Gastritis biasanya dianggap sebagai suatu hal yang remeh namun gastritis merupakan awal dari sebuah penyakit yang dapat menyusahkan.

Persentase dari angka kejadian gastritis di Indonesia menurut WHO adalah 40,8% . Angka kejadian gastritis pada beberapa daerah di Indonesia cukup tinggi dengan prevalensi 274,396 kasus dari 238,452,952 jiwa penduduk (Handayani et al., 2018). Sedangkan di Jawa Timur angka kejadian gastritis mencapai 31,2% yaitu dengan jumlah 30.154 kejadian (Mustakim et al., 2021).

Dampak dari gastritis dapat mengganggu aktifitas sehari-hari pasien karena munculnya berbagai keluhan seperti rasa sakit di ulu hati, rasa terbakar, mual, muntah, lemas, tidak nafsu makan dan keluhan-keluhan lainnya. Bila gastritis tidak ditangani secara optimal dan di biarkan dalam jangka waktu yang lama maka akan berkembang menjadi ulkus peptikus sehingga menyebabkan kemungkinan terjadinya komplikasi seperti perdarahan, perforasi gaster, peritonitis, bahkan kematian (Wahyuni, S. D., Rumpiati, & Lestariningsih, R. E. M., 2017).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan interaksi obat dan pembagiannya.

2. Untuk mengetahui penggunaan obat pada pasien gastritis serta untuk mengkaji rasionalitas penggunaan obat pada pasien gastritis menggunakan metode SOAP.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah :

(7)

1. Mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan interaksi obat dan pembagiannya.

2. Mengetahui penggunaan obat pada pasien gastritis serta untuk mengkaji rasionalitas penggunaan obat pada pasien gastritis menggunakan metode SOAP.

1.4 Manfaat Penelitian

Dari uraian diatas peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat bagi mahasiswa

Hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan dan pengalaman langsung serta menambah wawasan dalam dunia farmasi klinis mengenai interaksi obat pada pasien gastritis kronis dengan komplikasi penyakit degeneratif sehingga peneliti dapat menerapkan ilmu kefarmasian khususnya dalam farmasi klinis.

2. Manfaat bagi pasien

Dapat memberikan pengetahuan serta menambah wawasan dalam dunia farmasi klinis mengenai interaksi obat pada pasien gastritis kronis.

3. Manfaat bagi Farmasist

Dapat memberikan pengetahuan dan pengalaman langsung serta menambah wawasan dalam dunia farmasi klinis mengenai interaksi obat pada pasien gastritis kronis.

(8)

4 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Interaksi Obat

Interaksi obat merupakan efek merugikan yang timbul ketika beberapa obat digunakan secarabersaman. Secara umum interaksi obat dibagi menjadi 3, yaitu Farmasetik, Farmakokinetik danFarmakodinamik. Pada prakteknya interaksi farmasetik sering disebut sebagai OTT (Obat Tak Tercampurkan) misalnya antara kampora dan mentol yang campurannya eutektik. Interaksi farmasetik lebih banyak dibahas pada materi teknologi farmasi karena berhubungan dengan formulasi sediaan ( Bailie, et al., 2021).

Interaksi farmakokinetik berhubungan dengan kinetika (laju) dan jumlah obat untuk mencapalseptor, besar atau kecilnya efek interaksi ini tergantung dari laju atau banyaknya obat yang sampai reseptor untuk memberikan efek farmakologis. Sementara interaksi farmakodinamika berhubungan dengan dinamika obat (efek obat) pada reseptor tidak berhubungan dengan jumlannya ( Bailie, et al., 2021).

Meningkatnya kejadian interaksi obat pada pola peresepan dapat disebabkan banyaknya obat yang sering digunakan (polipharmacy atau multiple drug therapy). Potensi terjadinya interaksi obat dalam suatu pola peresepan masih sangat sering terjadi. Data menunjukan dalam penelitian yang berlangsung di Amerika bahwa kejadian interaksi obat dirumah sakit sebesar 88% diantaranya terjadi pada kelompok pasien geriatri dan pasien dewasa sedangkan laporan mengenai kejadian interaksi obat pada pasien anak masih sedikit. Seorang Farmasis yang memiliki pengetahuan lebih dibidang farmakologi dapat mencegah terjadinya interaksi obat akibat kombinasi antar obat yang dapat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan. Dengan mengetahui adanya potensi interaksi obat berdasarkan kategori signifikansi klinis yang dapat terjadi pada pasien sehingga dapat diperkirakan kemungkinan resiko yang ditimbulkan pada pasien serta cara penanganannya (Agustin & Fitrianingsih, 2020).

(9)

2.2 Macam-macam Interaksi obat

Mekanisme dari interaksi obat ini sendiri dapat dibagi menjadi tiga : Interaksi farmasetik dimana interaksi ini terjadi antara dua obat yang diberikan dalam waktu bersamaan yang biasanya terjadi sebelum obat tersebut dikonsumsi.

Interaksi farmakokinetik adalah interaksi yang dapat terjadi ketika obat mempengaruhi proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi (ADME) daripada obat lain, sehingga dampaknya dapat meningkatkan atau mengurangi efek farmakologis salah satu dari obat yang dikonsumsi tersebut, sedangkan interaksi farmakodinamik merupakan interaksi yang dapat terjadi antar obat yang memiliki efek farmakologis, antagonis, atau efek samping yang hampir sama (Agustin & Fitrianingsih, 2020 ; Rahayu & Susilawati, 2023).

2.2.1 Interaksi Farmasetik

Interaksi farmasetik merupakan interaksi secara fisik atau kimiawi yang terjadi sebelum obat masuk ke tubuh dan menyebabkan terbentuknya endapan, perubahan warna, obat menjadi tidak aktif, atau terbentuk gas. Contoh interaksi farmasetik dapat dilihat pada Tabel 1 (Almasdy, 2015).

Tabel 1. Tabel Interaksi Farmasetik

Campuran obat Efek

Phenytoin + infus Ringer Lactate atau Dextrose

Terbentuk endapan kristal

Dopamine hydrochloride + Sodium bicarbonate

Terbentuk warna merah muda 5 menit setelah pencampuran

Ampicillin sodium + Gentamicin sulfate

Penurunan aktivitas Gentamicin sulfate 50%

2.2.2 Interaksi Farmakokinetik

Interaksi farmakokinetik adalah interaksi yang terjadi antara obat-obat atau obat-makanan baik pada proses absorbsi, distribusi, metabolism ataupun ekskresi dan interaksi ini akan mempengaruhi kadar obat di dalam darah (Ramatillah, 2020).

(10)

6

A. Interaksi Dalam Mekanisme Absorbsi

Obat-obat yang digunakan secara oral biasanya diserap dari saluran cerna ke dalam sistem sirkulasi. Ada banyak kemungkinan terjadi interaksi selama obat melewati saluran cerna. Absorpsi obat dapat terjadi melalui transport pasif maupun aktif, di mana sebagian besar obat diabsorpsi secara pasif. Proses ini melibatkan difusi obat dari daerah dengan kadar tinggi ke daerah dengan kadar obat yang lebih rendah. Pada transport aktif terjadi perpindahan obat melawan gradien konsentrasi (contohnya ion-ion dan molekul yang larut air) dan proses ini membutuhkan energi. Absorpsi obat secara transport aktif lebih cepat dari pada secara tansport pasif (Ramatillah, 2020).

Obat dalam bentuk tak-terion larut lemak dan mudah berdifusi melewati membran sel, sedangkan obat dalam bentuk terion tidak larut lemak dan tidak dapat berdifusi. Di bawah kondisi fisiologi normal absorpsinya agak tertunda tetapi tingkat absorbsi biasanya sempurna. Bila kecepatan absorpsi berubah, interaksi obat secara signifikan akan lebih mudah terjadi, terutama obat dengan waktu paro yang pendek atau bila dibutuhkan kadar puncak plasma yang cepat untuk mendapatkan efek. Mekanisme interaksi akibat gangguan absorpsi antara lain sebagai berikut:

1. Kompleksasi dan adsorbsi (interaksi langsung)

Interaksi langsung yaitu terjadi reaksi/pembentukan senyawa kompleks antar senyawa obat yang mengakibatkan salah satu atau semuanya dari macam obat mengalami penurunan kecepatan absorpsi. Interaksi ini dapat dihindarkan bila obat yang berinteraksi diberikan dalam jangka waktu minimal 2 jam (Nurdiana, 2021).

Tabel 2. Interaksi Langsung

Obat A Obat B Efek Interaksi

Tetrasiklin Antasida

(mengandung ion logam) Susu bermineral

(mengandung logam)

Terbentuk kelat tak terabsobsi.

Absorbsi tetrasiklin dan logam tertentu (Fe2+) berkurang

(11)

Levodopa FeSO4 Terbentuk kompleks kelat, absorbsi levodopa berkurang Digoksin

Digitoksin

Kolestiramin, kortikosteroid, Tiroksin

Pengikatan obat A oleh obat B, absorbsi obat A berkurang

Digoksin Linkomisin

Kaolin-pektin Pengikatan obat A oleh obat B, absorbsi obat A berkurang

Rifampisin Bentonit (bahan pengisi tablet)

Pengikatan obat A oleh obat B, absorbsi obat A berkurang

2. Perubahan pH saluran pencernaan

pH cairan saluran cerna mempengaruhi laju absorbsi obat yang bersifat asam atau basa lemah. Pada pH cairan saluran cerna yang alkalis obat asam terionisasi, kurang terabsorbsi, misalnya akibat adanya antasid, akan meningkatkan kelarutan obat yang bersifat asam yang sukar larut dalam saluran cerna, misalnya aspirin. Dengan demikian dipercepatnya disolusi aspirin oleh basa akan mempercepat absorpsinya. Akan tetapi, suasana alkalis di saluran cerna akan mengurangi kelarutan beberapa obat yang bersifat basa (misalnya tetrasiklin) dalam cairan saluran cerna, sehingga mengurangi absorpsinya. Berkurangnya keasaman lambung oleh antasida akan mengurangi pengrusakan obat yang tidak tahan asam sehingga meningkatkan bioavailabilitasnya. Ketokonazol yang diminum per oral membutuhkan medium asam untuk melarutkan sejumlah yang dibutuhkan sehingga tidak memungkinkan diberikan bersama antasida, obat antikolinergik, penghambatan H2, atau inhibitor pompa proton (misalnya omeprazol). Jika memang dibutuhkan, sebaiknya abat-obat ini diberikan sedikitnya 2 jam setelah pemberian ketokonazol (Nurhayati, 2017).

Tabel 3. Interaksi Obat Pada Saluran Pencernaan

Obat A Obat B Efek Interaksi

NaHCO3 Aspirin pH lambung asam, kecepatan

absorbsi aspirin meningkat

NaHCO3 Tetrasiklin pH lambung turun, tetrasiklin

(12)

8

kurang larut, absorbsi berkurang H2-bloker

(hambat sekresi asam lambung)

Ketokonazol(asam lemah)

Kelarutan ketokonazol berkurang, absorbsi berkurang

3. Perubahan motilitas atau laju pengosongan lambung

Usus halus adalah tempat absorbsi utama untuk semua obat termasuk obat bersifat asam. Disini absorbsi terjadi jauh lebih cepat dari pada di lambung. Oleh karena itu, makin cepat obat sampai di usus halus, makin cepat pula absorbsinya.

Kecepatan pengosongan lambung biasanya hanya mempengaruhi kecepatan absorbsi tanpa mempengaruhi jumlah obat yang diabsorbi. Ini berarti, kecepatan pengosongan lambung biasanya hanya mengubah tinggi kadar puncak dan waktu untuk mencapai kadar tersebut tanpa mengubah bioavailibilitas obat. Karena kapasitas metabolisme dinding usus halus lebih terbatas dibandingkan kapasitas absorbsinya, maka makin cepat obat ini sampai di usus halus, makin tinggi bioavailibilitanya (Nurdiana, 2021 ; Ramatillah, 2020).

Tabel 4. Interaksi Obat Terkait Motilitas Saluran Cerna

Obat A Obat B Efek Interaksi

Antikolinergik Antidepresi trisiklik Analgesik narkotik

Parasetamol Diazepam Fenilbutazon Propranolol Levodopa

Obat A memperlambat obat B keluar dari lambung, absorbsi B terhambat

Antikolinergik Digoksin Obat A memperlama transit di usus, absorbsi B meningkat

Metoklopramid Parasetamol Diazepam Fenilbutazon Propranolol

Obat A mempercepat obat B keluar dari lambung, absorbsi B cepat

(13)

4. Penghambatan Enzim Pencernaan

Obat-obat atau makanan tertentu dapat mempengaruhi sistem transpor enzim sehingga mempengaruhi absorbsi obat-obat spesifik pada usus. Alopurinol dan sediaan atau makanan yang mengandung besi tidak boleh diberikan secara bersamaan karena alopurinol memblok sistem enzim yang mencegah absorbsi besi. Kelebihan absorbsi dan kelebihan muatan besi pada pasien dapat terjadi sehingga menyebabkan hemosiderosis (deposit hematin yang tidak larut di dalam jaringan). Asam folat pada umumnya terdapat di dalam makanan dalam bentuk poliglutamat yang sukar terabsorbsi. Agar absorbsi mudah ter-jadi, maka poliglutamat itu harus diubah menjadi turunannya yang mu-dah terabsorbsi, yaitu folat. Perubahan ini dikatalisis oleh enzim konjugase di dalam usus. Fenomena interaksi ditemukan pada pasien yang mengalami anemia akibat kekurangan asam folat setelah diberi fenitoin. Berdasarkan hal ini disimpulkan bahwa fenitoin menghambat aktivitas enzim konjugase yang mengubah poliglutamat menjadi asam folat (Nurdiana, 2021 ; Ramatillah, 2020)..

5. Perubahan Flora Saluran Pencernaan

Flora normal usus berperan, antara lain, untuk: 1) sintesis vitamin K 2) memecah sulfasalsin menjadi bagian-bagian yang aktif yaitu sulfapiridin dan 5- amino salisilat 3) metabolisme obat-obat tertentu seperti levodopa dan digoksin 4) hidrolisis glukuronida yang dieks-kresi melalui empedu sehingga memperpanjang kerja obat-obat tertentu seperti kontrasepsi oral.

Obat-obat yang dapat mempengaruhi flora saluran pencernaan adalah antimikroba, khususnya antibakteri. Pemberian antibakteri spek-trum luas akan mengubah atau menekan flora normal sehingga mengakibatkan: 1) meningkatnya aktivitas antikoagulan oral (antagonis Vitamin K) yang diberikan bersamaan 2) menurunnya efektivitas sulfasalasin 3) meningkatnya bioavailabilitas levo-dopa dan digoksin 4) menurunnya efektivitas kontrasepsi oral.

B. Interaksi Dalam Mekanisme Distribusi

Distribusi obat adalah distribusi obat dari dan ke darah dan beberapa jaringan tubuh (misalnya lemak, otot, dan aringan otak) dan proporsi relative obat di dalam jaringan. Setelah suatu obat diabsorbsi ke dalam aliran darah maka obat akan bersirkulasi dengan cepat ke seluruh tubuh, waktu sirkulasi darah rata – rata

(14)

10

adalah 1 menit. Saat darah bersirkulasi obat bergerak dari aliran darah dan masuk ke jaringan – jaringan tubuh. Sebagian terlarut sempurna di dalam cairan plasma, sebagian diangkut dalam bentuk molekul terlarut dan dalam bentuk terikat protein plasma (albumin).Ikatan protein sangat bervariasi, sebagian terikat sangat kuat Banyak obat terikat pada protein plasma, obat yang bersifat asam terutama pada albumin, sedangkan obat yang bersifat basa pada asam a1-glikoprotein (Nurdiana, 2021 ; Ramatillah, 2020).

Oleh karena jumlah protein plasma terbatas, maka terjadi kompetisi antara obat bersifat asam maupun antara obat bersifat basa untuk berikatan dengan protein yang sama. Tergantung dari kadar obat dan afinitasnya terhadap protein, maka suatu obat dapat digeser dari ikatannya dengan protein oleh obat lain, dan peningkatan kadar obat bebas menimbulkan peningkatan efek farmakologinya.

Akan tetapi keadaan ini hanya berlangsung sementara karena peningkatan kadar obat bebas juga meningkatkan eliminasinya sehingga akhirnya tercapai keadaan mantap yang baru dimana kadar obat total menurun tetapi kadar obat bebas kembali seperti sebelumnya (mekanisme konpensasi) (Ramatillah, 2020)..

Beberapa contoh obat yang berinteraksi di dalam proses distribusi yang memperebutkan ikatan protein adalah sebagai berikut.

1. Warfarin – Fenilbutazon

Kedua obat ini terikat kuat pada protein plasma, tetapi fenilbutazon memiliki afinitas yang lebih besar, sehingga mampu menggeser warfarin dan jumlah/kadar warfarin bebas meningkat Aktivitas antikoagulan meningkat terjadi resikopendarahan.

2. Warfarin – Kloralhidrat

Metabolit utama dari kloralhidrat adalah asam trikloroasetat yang sangat kuat terikat pada protein plasma. Kloralhidrat mendesak wafrarin dari ikatan protein sehingga meningkatkan respon antikoagulan (Nurdiana, 2021 ; Ramatillah, 2020).

(15)

C. Interaksi Dalam Mekanisme Metabolisme

Ada 2 kategori utama reaksi metabolisme yaitu fase I dan fase II. Reaksi Fase I adalah serangkaian reaksi yang menimbulkan perubahan kimia yang relative kecil, membuat lebih banyak senyawa menjadi hidrofilik. Metabolisme fase I biasa terjadi selama proses absorbs (Nurdiana, 2021).

1. Metabolisme Obat Dipercepat

Berbagai interaksi obat terjadi karena adanya suatu obat yang merangsang metabolisme obat lain. Di samping itu pemberian secara kronis obat-obat tertentu dapat pula merangsang metabolisme selanjutnya. Interaksi ini terjadi akibat meningkatnya aktivitas enzim hepatik yang terlibat dalam metabolisme obat tersebut.

a. Warfarin – Fenobarbital

Melalui induksi enzim, feno-barbital meningkatkan laju metabolisme antikoagulan kumarin, seperti warfarin, sehinga terjadi penurunan respon terhadap antikoagulan karena lebih cepat termetabolisme dan ter-ekskresi, yang memungkinkan timbulnya resiko pembentukan trombus.

b. Kontrasepsi Oral – Fenobarbital

Fenobarbital maupun bebe-rapa obat yang lain meningkatkan metabolisme hormon steroid, termasuk estrogen dan progestin yang digunakan dalam kontrasepsi oral, sehingga dapat menggagalkan kerja dari kontrasepsi oral tersebut.

2. Metabolisme Obat Dihambat

Sejumlah reaksi obat didasarkan pada penghambatan obat tertentu oleh obat lain, sehingga terjadi peningkatan durasi dan intensitas aktivitas farmakologi dari obat yang dihambat. Contoh obat yang berinteraksi pada penghambatan metabolisme antara lain sebagai berikut.

a. Alkohol – Disulfiram

Interaksi ini merupakan interaksi yang bermanfaat dalam pengobatan alkoholisme. Disulfiram menghambat aktivitas dehidrogenase yang bertugas untuk mengoksidasi asetaldehid, suatu produk oksidasi alkohol, sehingga terjadi akumulasi asetaldehid di dalam tubuh, yang menimbulkan

(16)

12

rasa tidak nyaman bagi peminum alkohol, sehingga ia akan menghentikan minum minuman beralkohol.

b. Merkaptopurin – Alopurinol

Dengan menghambat aktivitas enzim xantin oksidase, alopurinol menurunkan produksi asam urat sehingga menjadi dasar untuk pengobatan rematik. Xantin oksidase juga berperan penting dalam metabolisme obat- obat yang berpotensi toksik, seperti merkaptopurin dan aza-tioprin, dan bila enzim tersebut dihambat oleh alopurinol, maka efek kedua obat tersebut akan meningkat dengan nyata (Nurdiana, 2021 ; Ramatillah, 2020)..

D. Interaksi Dalam Mekanisme Ekskresi 1. Interaksi Obat dengan Perubahan pH Urin

Perubahan pH urin mengakibatkan perubahan bersihan ginjal, melalui perubahan jumlah reabsorbsi pasif di tubuli ginjal, yang hanya bermakna secara klinis bila:

a. Fraksi obat yang diekskresikan melalui ginjal cukup besar, lebih dari 30%.

b. Obat berupa basa lemah dengan pKa 7,5 – 10 atau asam lemah dengan pKa 3,0 – 7,5.

Senyawa yang dapat meningkatkan pH urin adalah natrium bikarbonat, sehingga bila diberikan bersamaan dengan amfetamin dosis tunggal, maka efek amfetamin dapat berlangsung selama beberapa hari. Sebaliknya, obat yang bersifat asam, seperti salisilat, sulfonamid, fenobarbital, lebih cepat terekskresi bila urin alkalis (pH tinggi). Oleh karena itu pemberian bersama-sama obat ini dengan obat yang me-ningkatkan pH urin, seperti diuretik penghambat karbonat anhidrase (asetazolamid), atau antasida sistemik (natrium bikarbonat), dapat mempercepat bersihan obat asam sehingga efeknya cepat hilang (Nurdiana, 2021 ; Ramatillah, 2020)..

2. Interaksi Obat dengan Perubahan Transpor Aktif

Penghambatan sekresi pada tubuli ginjal terjadi akibat kompetisi antarobat atau antarmetabolit untuk sistem transpor aktif yang sama, terutama sistem transpor untuk obat asam atau metabolit yang bersifat asam. Proses ini mungkin melibatkan sistem enzim di dalam ginjal. Obat-obat tersebut diangkut dari darah

(17)

melintasi sel-sel tubuli proksimal dan masuk ke urin, melalui transpor aktif. Bila obat diberikan bersamaan maka salah satu di antaranya dapat mengganggu eliminasi obat lainnya. Sebagai contoh, pemberian bersamaan antara probenesid dan penisilin. Probenesid menghambat ekskresi penisilin sehingga kadar antibiotik ini di dalam darah tetap tinggi dan efeknya lama. Waktu paruh eliminasi penisilin akan meningkat 2 – 3 kali lebih lama. Hal ini merupakan interaksi yang menguntungkan untuk pengobatan infeksi (Nurdiana, 2021 ; Ramatillah, 2020).

2.2.3 Interaksi Farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat-obat atau obat-makanan dalam berkompetisi menduduki reseptor. Interaksi ini tidak mempengaruhi kadar obat dalam darah (Ramatillah, 2020). Interaksi farmakodinamika terbagi menjadi 2, yaitu Antagonis dan Sinergis. Interaksi Antagonis terjadiketika dua obat diberika bersaman memiliki efek yang berlawanan baik hasil akhir berlawanan ataumekanisme kerjanya yang berlawanan. Sementara interaksi Sinergis terjadi ketika dua obat diberikanbersamaan memiliki efek kerja baik hasil akhir maupun mekanisme kerja yang sama, sehingga efeknyaakan berlebihan, atau kedua obat ini memiliki efek berbeda namun memiliki efek samping serupa, sehingga saling menguatkan efek sampingnya (Nurhayati, 2017 ; Nurdiana, 2021). Contoh interaksi farmakodinamik dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Interaksi farmakodinamik Jenis

Interaksi

Contoh Interaksi

Obat Mekanisme Kerja

Antagonis Salbutamol + Propanolol

Mekanisme kerja obat berlawanan di reseptor peta Salbutamol merupakan Beta 2 adrenergik sementara propanolol merupakan Beta blocker non selektif

Efedrin + Metformin Metformin merupakan antidiabatik sementara efedrin memiliki efek seperti adrenalin yang meningkatkan

(18)

14

glukagonolisis

Captopril + NSAID NSAID akan mengkontraksi pembuluh darah afferen sementara kaptopril akan mendelatasi pembuluh darah afferent, interaksi ini akan mengakibatkan hipertensi tidak terkontrol dan peningkatan resiko gagal ginjal

Agonis Kombinasi antidiabetik Efek kerjanya yang sama memungkinkan efek hipoglikemiknya berlebih

Glibenklamid + Sulfadiazin

Glibenklamid merupakan sulfonilurea sementara pada sulfadiazin pada bawang putih juga mengandung gugus sulfon sehingga efek hipoglikemiknya akan meningkat

Aspirin + Clopidogrel Kedua obat ini memiliki efek samping yang sama yaitu mengiritasi saluran cerna sehingga kombinasi keduanya beresiko meningkatkan efek sampingnya

Captopril + Allopurinol Kedua obat ini memiliki efek samping berupa reaksi alergi terutama efek penghambatan angiotensin converting enzim yang juga berperan dalam bradikininase sehingga dapat mengakibatkan resiko alergi meningkat

2.3 Gambaran kejadian Interkasi Obat di Indonesia

Berdasarkan WHO Global Individual Case Safety Report Database, selama periode 20 tahun ditemukan 3766 kasus yang dilaporkan berhubungan dengan interaksi obat. Di Amerika Serikat, sekitar 195.000 pasien rawat inap

(19)

mengalami interaksi obat tiap tahunnya. Di Meksiko sebanyak 5,6% hingga 63%

masalah terkait pengobatan disebabkan oleh interaksi obat. Angka kejadian interaksi obat di Indonesia belum diperoleh angka pasti karena dokumentasi interaksi obat belum berjalan optimal sehingga pengkajian interaksi obat belum bisa dilakukan secara menyeluruh. Berikut beberapa peneitian terkait interaksi obat yang dilakukan di kota-kota di Indonesia.

1. Penelitian yang dilakukan Fivy Kurniawati, dkk tahun 2020 dalam judul

“Kajian Adverse Drug Reactions Terkait Interaksi Obat di Bangsal Rawat Inap Rumah Sakit Akademik UGM” menyatakan kejadian interaksi obat yang potensial terjadi pada pasien rawat inap RS Akademik UGM periode Januari-Juni 2018 yaitu sebanyak 115 dari 362 pasien (31,8%) dengan jumlah kejadian interaksi sebanyak 182 interaksi obat. Jenis interaksi obat yang paling banyak terjadi adalah interaksi moderate sejumlah 115 interaksi (63,2%) sedangkan jumlah mekanisme paling banyak adalah unknown (54,4%). Terdapat 6 pasien (3,3%) yang mengalami aktual ADRs terkait interaksi obat (Kurniawati & Yasin, 2020).

2. Penelitian yang dilakukan Wina Melinda tahun 2023 dalam judul “Kajian Interaksi Obat Antihipertensi Pada Pasien Hipertensi Di Rumah Sakit X Provinsi Jambi” menjelaskan interaksi pada pasien hipertensi terdapat farmakokinetika sebanyak 2 kasus (100%) sedangkan farmakodinamik tidak ditemukan nya kasus (0%) Dari kejadian interaksi obat pada pasien Hipertensi ditemukan interaksi obat dengan tingkat keparahan mayor 0 kasus (0%), moderat 1 kasus (50%) dan minor 1 kasus (50%) (Melinda, 2023).

2.4 Kategori Interaksi obat berdasarkan Tingkat keparahan

Interaksi obat berdasarkan level signifikansi klinis atau tingkat keparahan dapat diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan yaitu minor jika interaksi mungkin terjadi tetapi bisa dianggap tidak berbahaya, interaksi moderate dimana interaksi ini dapat terjadi sehingga bisa meningkatkan efek samping obat. Interaksi mayor merupakan potensi berbahaya dari interaksi obat yang dapat terjadi pada pasien sehingga cara yang diperlukan adalah dilakukannya monitoring/intervensi.

(20)

16

Adapun yang dimaksud dengan potensi berbahaya adalah jika ada probabilitas tinggi dari peristiwa yang dapat merugikan pasien dimana salah satu akibatnya dapat menyebabkan kerusakan organ yang dapat membahayakan kehidupan pasien (Nurhayati, 2017 ; Nurdiana, 2021).

Interaksi obat berdasarkan tingkat keparahannya dapat dipecah menjadi tiga, yaitu :

a. Mayor

Interaksi dengan tingkat keparahan mayor merupakan Interaksi obat yang berpotensi berbahaya yang dapat terjadi pada pasien, sehingga perlu dilakukan pemantauan atau intervensi. Berikut contoh obat yang mengalami interaksi obat berdasarkan mekanisme mayor yaitu Clopidogrel + Warfarin : Clopidogrel tampaknya tidak memiliki efek yang relevan secara klinis pada farmakokinetik atau farmakodinamik warfarin. Namun, penggunaan bersamaan clopidogrel, dengan warfarin atau bila digunakan dengan warfarin dan aspirin, meningkatkan risiko perdarahan. Penggunaan bersamaan warfarin dan clopidogrel meningkatkan risiko perdarahan, jadi kedua obat harus digunakan hanya jika ada indikasi yang jelas untuk penggunaan bersamaan. INR efektif terendah harus ditargetkan dan digabungkan digunakan untuk waktu sesingkat mungkin. selanjutnya pantau tanda-tanda perdarahan dan periksa waktu perdarahan jika perlu.

b. Moderate

Pada Interaksi Moderate ini interaksi dapat terjadi dengan cara yang meningkatkan efek samping obat. Berikut contoh obat yang mengalami interaksi obat berdasarkan mekanisme moderate yaitu Heparin + Aspirin : Meskipun penggunaan aspirin dan heparin secara bersamaan diindikasikan dalam situasi tertentu (seperti sindrom koroner akut), penggunaan kombinasi sedikit meningkatkan risiko perdarahan dan dapat berkontribusi pada pengembangan sindrom koroner akut, hematoma epidural atau tulang belakang setelah anestesi epidural. Kecuali diindikasikan secara khusus, mungkin lebih bijaksana untuk menghindari aspirin dalam kombinasi dengan heparin karena peningkatan risiko perdarahan. Melakukan

(21)

pemantauan secara ketat pada pasien untuk mengetahui adanya pendarahan. Sangat hati-hati harus dilakukan jika kombinasi dianggap tepat pada pasien yang menerima anestesi epidural.

c. Minor

Interaksi Minor terjadi jika interaksi dimungkinkan tetapi dapat dianggap tidak berbahaya. Berikut contoh obat yang mengalami interaksi obat berdasarkan mekanisme minor yaitu Spironolactone + Aspirin : Meskipun penelitian pada subyek sehat telah menunjukkan penurunan natrium urin yang diinduksi spironolakton, sebuah penelitian pada pasien hipertensi telah menunjukkan bahwa efek antihipertensi spironolakton tidak dipengaruhi oleh dosis pereda nyeri aspirin. Penggunaan simultan tidak boleh dihindari, jika reaksi diuretik terhadap spironolactones kurang dari yang diharapkan, pertimbangkan interaksi ini sebagai penyebabnya (Nurhayati, 2017 ; Nurdiana, 2021).

2.5 Interaksi Penggunaan Non-Steroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAID) Pada Sistem Gastrointestinal

Obat Non-Steroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAID) adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit Gastrointestinal (GI), ialah suatu kelainan atau penyakit pada saluran pencernaan. Penyakit GI yang termasuk yaitu kelainan penyakit kerongkongan (eshopagus), lambung (gaster), usus halus (intestinum), usus besar (colon), hati (liver), saluran empedu (traktus biliaris) dan pancreas. Terjadinya efek samping NSAID terhadap saluran cerna dapat disebabkan oleh efek toksik langsung NSAID terhadap mukosa lambung sehingga mukosa menjadi rusak (Simanjuntak dan Siahaan, 2018).

Interaksi NSAID dengan obat lain terjadi lebih sering dikarenakan NSAID adalah salah satu obat yang paling banyak digunakan. Interaksi ini ada yang berdampak tidak signifikan pada pemberian obat, tetapi ada juga yang memberikan dampak serius/membahayakan nyawa, khususnya pada obat-obat dengan jendela terapi sempit pada penyakit dengan tingkat keseriusan tinggi, seperti oral antikoagulan, glikosida, antiaritmia, antikonvulsan, dan sitotoksik.

Potensi interaksi dapat muncul pada usia berapa pun, tetapi frekuensi terjadinya

(22)

18

pada kondisi polifarmasi dan usia yang lebih tua dengan prevalensi 20-40%

(Isnenia, 2020). NSAID bekerja dengan menghambat sintesis prostaglandin yang dapat meredakan rasa nyeri, tetapi NSAID juga menghambat Cyclooxygenase 2 (COX 2) yang berperan dalam sekresi mukus pada lambung, yang menyebabkan pengikisan lapisan dinding lambung sehingga terjadi ulkus (Dipiro, dkk, 2019).

(Dipiro, J.T dkk, 2019)

Ada 2 golongan obat NSAID yakni NSAID Selektif dan NSAID Non Selektif. Terdapat 2 isoform prostaglandin yang dikenal sebagai COX-1 dan COX-2. NSAID Non Selektif menghambat kedua isoform COX-1 dan COX-2, sehingga terjadi efek samping pada GI meningkat. Sedangkan NSAID COX-2 Selektif efek samping yang terjadi pada mukosa lambung menurun (IRA, 2014).

Banyak negara termasuk Indonesia, penggunaan obat NSAID menyebabkan efek samping . Data (Riskesdas, 2013) menunjukkan bahwa menurut diagnosis tenaga kesehatan, prevalensi penyakit sendi masing-masing adalah 11,9% dan 24,7%

(berdasarkan diagnosis atau gejala).

Bila menggunakan dosis maksimal NSAID non selektif dalam waktu lama, akan mengakibatkan risiko perdarahan saluran cerna, tekanan darah tinggi dan gagal jantung, sehingga dokter perlu berhati-hati terhadap efek penggunaan obat NSAID. Obat NSAID adalah salah satu obat yang paling sering diresepkan.

Beberapa tersedia tanpa resep dan kemungkinan besar disalahgunakan. Efek samping gastrointestinal (GI), ginjal dan kardiovaskular (CV) membatasi penggunaan NSAID. Efek samping ini terjadi pada tingkat serendah 1% -5%

untuk pengguna NSAID. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa NSAID konvensional dikaitkan dengan risiko AKI dan GN dan penurunan fungsi hemodinamik ginjal, termasuk ekskresi natrium (Puppala dan Alekhya, 2020).

(23)

19 BAB III STUDI KASUS

Ny. AA (40 tahun, 57 kg, 155 cm datang ke RS dengan keluhan nyeri bagian perut. Nyeri sering terjadi setiap hari selama beberapa hari belakangan dan memburuk hari ini yang disertai muntah cair berwarna gelap. Ny. AA juga mengatakan bahwa BAB sejak 2 hari terakhir berwarna hitam. Sebulan terakhir Ny. AA sering merasa pusing karena kapekerjaannya yang menumpuk sehingga pasien sering menggunakan obat amefenamat atau aspirin untuk mengatasinya.

Dokter menyarankan Ny. AA untuk melakukan pemeriksaan laboratorium secara menyeluruh.

(24)

20 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Subjektif

Nama: Ny. AA Usia: 40 Tahun Berat Badan: 57 Kg Tinggi Badan: 155 cm

Keluhan Utama : nyeri bagian perut: nyeri sering terjadi setiap hari selama beberapa hari belakangan dan memburuk hari ini yang disertai muntah cair yang berwarna gelap.

Riwayat Pengobatan: Ny. AA juga sering merasa pusing sejak sebulan terakhir karena pekerjaannya yang menumpuk sehingga pasien sering menggunakan obat asam mefenamat atau aspirin untuk mengatasinya.

4.2 Objektif Jenis Pemeriksaan

Normal Hasil Keterangan

Pemeriksaan Fisik

Tekanan Darah < 140/90 mmHg 85/75 mmHg Normal

Nadi 70-80x/menit

Catatan:

Takikardia (Nadi di atas normal) : Lebih dari 100 x/mnt Bradikardia (Nadi dibawah normal) : Kurang dari 60x/mnt

105x/menit Takikardia

Suhu 36,6oC - 37,2 oC 36,7oC Normal

Pernafasan 16-20 x/mnt 20x/menit Normal

Darah Lengkap

(25)

Hemoglobin 13 – 18 g/dL 8 g/dL Rendah

Leukosit 3200 – 10000 /UL 6200 /UL Normal

Trombosit 170 – 380. 103/mm3 340000 /UL Normal

Ureum 5 – 40 mg/dL 38 mg/dL Normal

Creatinin 0,6 – 1,3 mg/dL 1,1 mg/dL Normal

Bilirubin total 0,3 -1,3 mg/dL 1,0 mg/dL Normal

SGOT 0 – 50 U/L 26 U/L Normal

SGPT 0 – 50 U/L 30 U/L Normal

Albumin 3,4 – 5,4 g/dL 3,7 g/dL Normal

Asam Urat 2 – 6,5 mg/dL 7,1 mg/dL Tinggi

GDP/ 2 jam PP < 140 mg/dL 97 mg/dL/138

mg/dL

Normal Kolestrol Total < 150 mg/dL 238 mg/dL Bahaya HDL ➢ Normal: 60

Hati-hati: 40 – 59 Bahaya: < 40

38 mg/dL Bahaya

LDL Normal: < 130 Hati-hati: 130 – 159 Bahaya: >160

168 mg/dL Bahaya

Trigliserid Normal: < 200 Hati-hati: 200 – 400 Bahaya: > 400

278 mg/dL Hati-hati

Urinalisis

Hematokrit 36 – 45% 21% Rendah

LED Wanita di bawah 50 tahun: < 20 mm / jam.

56 mm/jam Tinggi

(26)

22

Pemeriksaan Feses

Warna Kuning Hitam Tidak

Normal

Benzidine test - Positif 4 Positif

4.3 Assesment

Berdasarkan data subjektif dan objektif maka dapat dinyatakan bahwa pasien Ny. BTS didiagnosa terkena peptic ulcer disease yang diakibatkan karena mengkonsumsi obat-obatan golongan NSAID (Asam mafenamat dan Aspirin) dengan keluhan Nyeri di abdomen sering hilang-timbul: nyeri sering terjadi setiap hari selama beberapa minggu belakangan dan memburuk hari ini yang disertai muntah cair yang berwarna gelap dan dilihat dari data darah lengkap Ny. BTS mempunyai nilai hemoglobin yang rendah yaitu 8 g/dL, nilai kolestrol dan nilai asam urat yang tinggi sekali dilihat dari nilai kolestrol total yaitu 238 mg/dL, HDL 38 mg/dL, dan LDL 168 mg/dL serta nilai trigliserid yang tinggi yaitu 278 mg/dL serta nilai asam urat yaitu7,1 mg/dL

4.4 Plan

1. Terapi Non Farmakologi

Terapi nonfarmakologi dapat dilakukan oleh pasien PUD dengan cara menghilangkan atau mengurangi stress fisiologis, menghentikan konsumsi rokok dan alkohol serta menghentikan pemakaian NSAID yang tidak selektif (termasuk aspirin) jika memungkinkan. Walaupun tidak ada diet khusus untuk mencegah penyakit peptik ulkus tetapi pasien harus diberikan edukasi ntuk menghindari makanan atau minuman yang dapat memicu dyspepsia atau memperburuk gejala peptik ulkus. Jika memungkinkan dilakukan penggantian terapi analgetik NSAID dengan analgetik yang cenderung lebih aman untuk lambung seperti paracetamol, non asetilsalisilat (salsalate) atau analgetik penghambat selektif enzim COX-2.

2. Terapi Farmakologi

(27)

Terapi tahap pertama untuk pengatasan peptik ulkus dengan paparan Terapi farmakologi. Pengobatan yang disarankan :

Obat Indikasi Aturan Pakai

Omeprazol  Mengurangi produksi asam lambung

 Mencegah dan mengobati gangguan pencernaan atau nyeri ulu hati, tukak lambung, penyakit asam lambung atau GERD

1x sehari

Dianjurkan pagi hari 1 jam sebelum makan

Ferrofumarat Pencegahan dan pengobatan anemia karena kekurangan zat besi

Dewasa: 65–200 mg, 2–3 kali sehari

Simvastatin Penurunan kadar kolesterol total dan LDL pada penderita hiperkolesterolemia primer

Simvastatin 20 mg 1 kali sehari di malam hari

Allopurinol Hiperurisemia primer, Gout Hiperurisemia sekunder

Allopurinol 100 mg 3x sehari setelah makan

Paracetamol membantu meredakan rasa sakit, seperti sakit kepala, sakit/nyeri pada anggota tubuh lainnya dan demam atau panas

Jika perlu

Penggunaan NSAID yang tidak selektif seharusnya mulai dihentikan (jika memungkinkan) apabila pasien telah mengalami ulkus. Terapi ulkus untuk pasien yang telah menghentikan penggunaan NSAID dapat dimulai dengan pemberian agen antisekretori seperti H2RA, PPI. PPI lebih direkomendasikan karena memiliki efektifitas yang lebih poten dalam menghentikan sekresi asam klorida (HCl) dan memiliki kecepatan dalam menyembuhkan ulkus lebih cepat jika dibandingkan dengan H2RA.

Omeprazol meningkatkan efek simvastatin sehingga meningkatkan risiko kerusakan hati dan rhabdomyolysis sedangkan omeprazole akan menurunkan

(28)

24

kadar atau efek ferrous fumarat dengan meningkatkan pH lambung. Cara mengatasi interaksi tersebut yaitu dengan memberikan jeda waktu minum.

(29)

BAB V KESIMPULAN

1. Interaksi obat merupakan efek merugikan yang timbul ketika beberapa obat digunakan secara bersaman. Secara umum interaksi obat dibagi menjadi 3,fase yaitu Farmasetik, Farmakokinetik dan Farmakodinamik.

Interaksi farmasetik merupakan interaksi obat yang terjadi diluar tubuh.

Interaksi farmakokinetik berhubungan dengan kinetika (laju) dan jumlah obat untuk mencapaireseptor, besar atau kecilnya efek interaksi ini tergantung dari laju atau banyaknya obat yang sampaldi reseptor untuk memberikan efek farmakologis. Sementara interaksi farmakodinamika aberhubungan dengan dinamika obat (efek obat) pada reseptor tidak berhubungan dengan jumlahnya

2. Dalam studi kasus pemberian obat omeprazol meningkatkan efek simvastatin sehingga meningkatkan risiko kerusakan hati dan rhabdomyolysis sedangkan omeprazole akan menurunkan kadar atau efek ferrous fumarat dengan meningkatkan pH lambung. Cara mengatasi interaksi tersebut yaitu dengan memberikan jeda waktu minum obat.

(30)

26

DAFTAR PUSTAKA

Bailie, G. R., Johnson, C. A., Mason, N. A., & Peter, W. L. (2021). Pocket Guide Of Drug Interactions Second Edition. MedFacts.

Agustin, O. A., & Fitrianingsih. (2020). Kajian Interaksi Obat Berdasarkan Kategori Signifikansi Klinis Terhadap Pola Peresepan Pasien Rawat Jalan Di Apotek X Jambi. e-Sehad Published by Center Of Excellence Scientific Of Environmental And Health Diseases Universitas Jambi, 01-10.

Almasdy, D. (2015). Evaluasi Penggunaan Obat Antidiabetik pada Pasien Diabetes Melitus Tipe-2 di Suatu Rumah Sakit Pemerintah Kota Padang - Sumatera Barat. Jurnal Sains Farmasi & Klinis, 104-110.

Calzetta, L., Matera, M. G., Rogliani, P., & Cazzola, M. (2018). Dual LABA/LAMA bronchodilators in chronic obstructive pulmonary disease:

why, when, and how. In Expert Review of Respiratory Medicine. National Library of Medicine, 261–264.

Dipiro, J.T dkk. (2019). Pharmacotherapy Handbook. sixth edition.

Fadholah, A., Aulia Safitri, D., Saptarina, N. (2021). Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Pengobatan Pencernaan dan Pernapasan Pasien Stroke di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten Periode 2018. PHARMASIPHA : Pharmaceutical Journal of Islamic Pharmacy Pharmacy Department of UNIDA, 57-62.

Hanutami, Berlian, NP., dan Keri Lestari Dandan. (2019). Identifikasi Potensi Interaksi Antar Obat pada Resep Umum di Apotek Kimia Farma. Jurnal Farmaka, 57-64.

Jannah , F. (2020). Asuhan Keperawatan Anak Yang Mengalami Gastritis Dengan Nyeri Akut Di Ruang Anggrek Rsud Ibnu Sina Gresik. Journal of Universitas Airlangga.

Kurniawati, F., & Yasin, N. M. (2020). Kajian Adverse Drug Reactions Terkait Interaksi Obat di Bangsal Rawat Inap Rumah Sakit Akademik UGM.

Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi.

Kurniawati, F., Yasin, N. M., Dina, A., Atana, S., & Hakim, S. N. (2021). Kajian Adverse Drug Reactions Terkait Interaksi Obat di Bangsal Rawat Inap Rumah Sakit Akademik UGM. Journal of Management and Pharmacy Practice, 4-10.

Melinda, W. (2023). Kajian Interaksi Obat Antihipertensi Pada Pasien Hipertensi Di Rumah Sakit X Provinsi Jambi. Jurnal Inovasi Penelitian.

(31)

Musdalipah, & Nurhikma, E. (2017). Identifikasi Drps (Drug Related Problems) Penderita Ispa Pasien Pediatrik Di Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Warta Farmasi, 37 – 49 .

Mustakim, Rimbawati, Y., & Wulandari, R. . (2021). dukasi Pencegahan Dan Penanganan Gastritis Pada Siswa Bintara Polda Sumatera Selatan. Journal of Universitas Airlangga.

Nurdiana, R. (2021). Expert Pharmacist ed 7 Modul Belajar Obat 2021. Jakarta:

Belajar Obat.

Nurhayati. (2017). Bahan Ajar Rekam Medis dan Informasi Kesehatan :Farmakologi. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Puppala, N., & Reddy, G. A. (2020). Review on Effects of NSAID`S on Different Systems. Asian Journal of Pharmaceutical Research and Development.

Putra, J., & Ornvold, K. (2017). Focally Enhanced Gastritis In Children With Inflammatory Bowel Disease: A Clinicopathological Correlation. National Institutes of Health, 808–810.

Rahayu, F. P., & Susilawati, Y. (2023). Identifikasi Interaksi Obat Pada Resep Tentang Gangguan Pernapasan Di Bulan Februari 2023 Di Apotek Kota Bandung. Jurnal Farmaka , 298-306.

Ramatillah, D. L. (2020). Buku Ajar Interaksi Obat. Jakarta: UTA Press.

Simanjuntak, S. G. U., & Siahaan, J. M. (2018). Patofisiologi Gastropati Nsaid.

Majalah Ilmiah Methoda, 73–82.

Wahyuni, S. D., Rumpiati, & Lestariningsih, R. E. M. (2017). Hubungan PolaMakan Dengan Kejadian Gastritis Pada Remaja. Global Health Science, 149–154.

Gambar

Tabel 3.  Interaksi Obat Pada Saluran Pencernaan
Tabel 4.  Interaksi Obat Terkait Motilitas Saluran Cerna
Tabel 5. Interaksi farmakodinamik Jenis

Referensi

Dokumen terkait

obat antidiabetes yang sering berpotensi terjadi interaksi adalah insulin, pola mekanisme potensi interaksi obat antidiabetes meliputi farmakodinamik, farmakokinetik, dan

obat antidiabetes yang sering berpotensi terjadi interaksi adalah insulin, pola mekanisme potensi interaksi obat antidiabetes meliputi farmakodinamik, farmakokinetik, dan

obat antidiabetik oral yang sering berpotensi terjadi interaksi adalah metformin, pola mekanisme potensi interaksi obat antidiabetes meliputi. farmakodinamik, farmakokinetik, dan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persentase peresepan antipsikotik; persentase adanya potensi interaksi obat; persentase interaksi obat secara farmakokinetik,

Perkuliahan mencakup pendahuluan: pengertian dan definisi obat, klasifikasi obat, obat dan medicinal chemist; aspek farmakokinetik obat: absorpsi, distribusi, metabolisme, dan

Sedangkan pada rawat jalan ditemukan 128 interaksi obat terdiri dari 47 kasus interaksi obat-obat dan 81 kasus interaksi obat-makanan dengan pola interaksi obat farmakokinetik

Bila kecepatan absorpsi berubah, interaksi obat secara signifikan akan lebih mudah terjadi, terutama obat dengan waktu paro yang pendek atau bila dibutuhkan kadar puncak plasma

Sedangkan pada rawat jalan ditemukan 128 interaksi obat terdiri dari 47 kasus interaksi obat-obat dan 81 kasus interaksi obat-makanan dengan pola interaksi obat farmakokinetik 72%,