• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH KONSEP DASAR PENDIDIKAN INKLUSI

N/A
N/A
muhamad mahmud

Academic year: 2023

Membagikan "MAKALAH KONSEP DASAR PENDIDIKAN INKLUSI"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH KONSEP DASAR PENDIDIKAN INKLUSI

NAMA KELOMPOK : Dian Fitri Handayani (2021143097) Weni Nopita(2021143120)

Resti Yenti Adinda (2021143089)

Dosen Pengampuh : Santa Idayana Sinaga,M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG TAHUN 2021/2022

(2)

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah senantiasa kami panjatkan Kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Pendidikan Inklusi. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

Palembang, 13 Maret 2022

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...1

DAFTAR ISI...2

BAB I...3

PENDAHULUAN...3

1.1.LATAR BELAKANG...3

1.2.RUMUSAN MASALAH...4

1.3.MANFAAT...4

BAB II...5

PEMBAHASAN...5

2.1. Pengertian Pendidikan Inklusi...5

2.2. Kategori Siswa Pendidikan Inklusi...9

2.3. Prinsip Dasar Pendidikan Inklusi...10

2.4. Tujuan Pendidikan Inklusi...11

2.5. Isu Dan Permasalahan Pendidikan Inklusi...16

BAB III...17

PENUTUP...17

3.1 Kesimpulan...17

DAFTAR PUSTAKA...18

(4)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG

Sekolah inklusi merupakan salah satu bentuk pemerataan dan bentuk perwujudan pendidikan tanpa diskriminasi dimana anak berkebutuhan khusus dan anak-anak pada umumnya dapat memperoleh pendidikan yang sama. Pendidikan inklusi merupakan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang mensyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus dapat menerima pendidikan yang setara dikelas biasa bersama teman-teman usianya. Selama ini anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel) disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi anak – anak yang berkebutuhan khusus.

Penyelenggaraan pendidikan sekolah inklusi bagi anak berkebutuhan khusus hendaknya menciptakan lingkungan yang menyenangkan, ramah dan dapat menumbuhkan rasa percaya diri siswa berkebutuhan khusus untuk mengenyam pendidikan yang layak sesuai dengan hak mereka. Kenyataan penyelenggaran sekolah inkusi di Indonesia masih belum sesuai dengan konsep yang dikemukakan dan pedoman pengelolaan, baik dari segi siswa, kualifikasi guru, sarana dan prasarana, dukungan orang tua dan masyarakat.

Akibat sistem pendidikan tersebut dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya. Untuk mengatasi masalah tersebut pendidikan inklusif diharapkan dapat memecahkan

(5)

salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus selama ini.

1.2.RUMUSAN MASALAH

1) Apa pengertian pendidikan inklusi ? 2) Apa kategori siswa pendidikan inklusi ? 3) Apa prinsip dasar pendidikan inklusi ? 4) Apa tujuan pendidikan inklusi ?

1.3.MANFAAT

1) Mahasiswa calon guru dapat memahami latar belakang pendidikan inklusi.

2) Mahasiswa dapat mengetahui kategori siswa pendidikan inklusi.

3) Mahasiswa calon guru dapat memahami prinsip dasar pendidikan inklusi.

4) Mahasiwa calon guru dapat memahami tujuan pendidikan inklusi.

(6)

BAB II PEMBAHASAN 2.1. Pengertian Pendidikan Inklusi

Istilah pendidikan inklusi berasal dari bahasa inggris “inclusion” yang berarti sebagai penerima anak-anak yang memiliki hambatan kedalam kurikulum, lingkungan, interaksi sosial dan konsep diri atau visi misi sekolah. Inklusi juga dapat diartikan sebagai cara berfikir dan bertindak yang memungkinkan setiap individu merasakan diterima dan dihargai. Lebih jauh lagi inklusi berarti bahwa semua anak dapat di terima meskipun konsep “semua anak” harus cukup jelas, dan masih sulit bagi banyak orang untuk memahaminya,. Para ahli pendidikan mengemukakan konsep pendidikan inklusi secara beragam, namun pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama.

Pendidikan inklusif sering dihubungkan dengan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus. Namun sebenarnya, Pendidikan inklusi lahir atas prinsip bahwa layanan sekolah seharusnya diperuntukkan untuk semua siswa, baik siswa dengan kondisi kebutuhan khusus, perbedaan sosial, emosional, kultural, maupun bahasa (Florian, 2008). Departemen Education Tasmania Australia merumuskan pengertian pendidikan inklusif sebagai pendidikan yang menerima siswa yang berbeda sebagai bagian utuh dari sekolah dan merasa memiliki sekolah, diberi jaminan untuk akses, berpartisipasi, dan meraih prestasi pada seluruh bagian dari pendidikan yang dijalaninya (Kaayenoord, 2007).

Ada beberapa ahli pendidikan mendefinisikan pendidikan inklusi sebagai berikut:

(7)

1. Menurut Stainback bahwa sekolah inklusif adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama.

2. Staub dan Peck mengemukakan pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas. Hal ini menunjukkan kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak- anak berkelainan, apapun kelainan jenisnya.

3. Sirinam Khalsa pendidikan inklusif adalah suatu cara

untuk menghilangkan model segregasi atau pemisahan anak-anak berkelainan yang belajar dengan cara yang berbeda.

4. Sapon-Shevin yang dikutip Geniofam mendefinisikan pendidikan inklusif adalah sebagai sistem layanan

pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat di kelas reguler bersama-sama teman seusianya.

5. Depdiknas menegaskan bahwa

pendidikan inklusif didefinisikan sebagai Sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan

tempat tinggalnya.Dengan demikian penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak

sekolah untuk melakukan penyesuaian baik dari segi

kurikulum, sarana prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik (siswa).

6. Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 tahun 2009, menyebutkan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik umumnya.

Inti pendidikan inklusif adalah hak azazi manusia atas pendidikan.

Seperti yang diinformasikan pada Deklarasi Hak Azazi Manusia pada tahun

(8)

1994, yang sama pentingnya adalah hak agar tidak didiskriminasikan. Suatu konsekuensi logis dari hak ini adalah bahwa semua anak mempunyai hak untuk menerima pendidikan. Tidak didiskriminasikan dengan dasar kecacatan, etnis, agama, bahasa, jenis kelamin, kemampuan dan lain-lain.

Melalui pendidikan inklusif, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Freiberg, 1995). Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan (berkelainan) yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas.

Berdasarkan perkembangan model pendidikan khusus, model segregasi merupakan model pendidikan khusus tertua yang menempatkan anak berkelainan di sekolah-sekolah khusus, terpisah dari teman sebayanya.

Sekolah-sekolah ini memiliki kurikulum, metode mengajar, sarana pembelajaran, sistem evaluasi, dan guru khusus. Dari sisi manajemen sekolah, model segregasi memudahkan guru dan administrator untuk mengelolanya.

Tetapi dari sudut pandang peserta didik, model segregasi kurang baik bagi perkembangannya. Seperti yang dinyatakan Reynolds dan Birch (1988) bahwa model segregatif tidak menjamin kesempatan anak berkelainan mengembangkan potensi secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Selain itu, secara filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat normal, tetapi mereka dipisahkan dengan masyarakat normal. Kelemahan lain yang tidak kalah penting adalah bahwa model segregatif relatif mahal.

Pada pertengahan abad model yang muncul adalah model mainstreaming. Belajar dari berbagai kelemahan model segregatif, model mainstreaming memungkinkan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan. Alternatif yang tersedia mulai dari yang sangat bebas (kelas biasa penuh) sampai yang paling berbatas (sekolah khusus sepanjang hari). Oleh karena itu, model ini juga dikenal dengan model yang paling tidak

(9)

berbatas (the least restrictive environment), artinya seorang anak berkelainan harus ditempatkan pada lingkungan yang paling tidak berbatas menurut potensi dan jenis/tingkat kelainannya. Secara hirarkis, Deno (1970) mengemukakan alternatif Pendidikan model mainstreaming sebagai berikut:

a.Kelas biasa penuh

b. Kelas biasa dengan tambahan bimbingan di dalam, c. Kelas biasa dengan tambahan bimbingan di luar kelas, d. Kelas khusus dengan kesempatan bergabung di kelas biasa, e. Kelas khusus penuh,

f. Sekolah khusus, dan g. Sekolah khusus berasrama

(10)

2.2. Kategori Siswa Pendidikan Inklusi

Dalam Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 pasal 2 disebutkan bahwa setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental dan sosial atau memiliki kecerdasan serta bakat istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusif pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Kemudian pada pasal 3 disebutkan bahwa peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud terdiri atas tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, memiliki gangguan motorik, menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang dan zat adiktif lainnya, memiliki kelainan lainnya, tunaganda.

Anak berkebutuhan khusus ditujukan pada segolongan anak yang memiliki kelainan atau perbedaan sedemikian rupa dari anak rata-rata normal dalam segi fisik, mental, emosi, sosial, atau gabungan dari ciri-ciri itu dan menyebabkan mereka mengalami hambatan untuk mencapai perkembangan yang optimal sehingga mereka memerlukan layanan pendidikan khusus untuk mencapai perkembangan yang optimal.Istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa, anak cacat dan juga anak cerdas istimewa dan bakat istimewa Adapun anak yang di maksud berkebutuhan khusus adalah:

1. Anak tunanetra, yaitu anak yang mengalami kelainan kehilangan ketajaman penglihatan sedemikian rupa sehingga penglihatannya tidak dapat digunakan untuk melakukan aktivitas sehari-hari termasuk untuk sekolah sehingga memerlukan layanan pendidikan khusus.

2. Anak tunarungu, yaitu anak yang mengalami kehilangan kemampuan mendengar, baik kehilangan kemampuan mendengar sama sekali maupun kehilangan kemampuan mendengar sebagian.

3. Anak tunagrahita, yaitu anak yang memiliki keterbatasan perkembangan fungsi-fungsi inteligensi, kapasitas inteligensinya berada di bawah rata- rata anak.

(11)

4. Anak tunadaksa, yaitu anak yang memiliki kelainan fungsi fisik yang sedemikian rupa sehingga mengganggu proses pembelajaran yang biasa digunakan bagi siswa umum.

5. Anak tunalaras, yaitu anak dengan gangguan emosional, anak dengan kekacauan psikologis, atau anak dengan hambatan mental.

6. Anak berkesulitan belajar, adalah anak yang mengalami kesulitan atau gangguan dalam belajar bidang akademik dasar sebagai akibat terganggunya sistem saraf yang terkait atau pengaruh secara langsung dari berbagai faktor lainnya dan ditandai dengan kesenjangan antara potensi yang dimiliki dengan prestasi yang dicapai.

7. Anak lambat belajar, yaitu siswa yang inteligensinya berada pada taraf perbatasan dengan IQ 70-85 berdasarkan tes inteligensi baku.

8. Anak berbakat, yaitu anak yang secara umu keberbakatannya ditandai dengan ciri IQ yang secara signifikan di atas rata-rata anak biasa dan mempunyai karakteristik tertentu.

9. Anak autisme, yaitu anak yang sangat asyik dengan dirinya sendiri seolah-olah ia hidup dalam dunianya sendiri. Autisme merupakan suatu keadaan ketidakmampuan seseorang melakukan kontak sosial dengan lingkungannya dengan berbagai komunikasi.

2.3. Prinsip Dasar Pendidikan Inklusi

Prinsip dasar pendidikan inklusi adalah bahwa semua anak harus memperoleh kesempatan untuk bersama-sama belajar dan terakomodir kebutuhan-kebutuhannya tanpa ada diskriminasi apapun yang mendasari. Hal ini berarti sekolah reguler/umum harus dilengkapi untuk dapat melihat dan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan siswa yang heterogen, termasuk mereka yang secara tradisional telah tersingkirkan, baik dari akses sekolah maupun peran serta yang ada di sekolah. Menurut Smith, tujuan pendidikan bagi siswa yang memiliki hambatan adalah keterlibatan yang sebenarnya dari tiap anak dalam kehidupan sekolah yang menyeluruh. Inklusi dapat berarti penerimaan anak-anak yang memilki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan interaksi sosial dan konsep diri (visi – misi) sekolah. Dengan demikian, pendidikan inklusi berati bahwa sekolah dan pendidikan harus mengakomodasi dan bersikap tanggap terhadap peserta didik secara individual inklusivitas ini tergantung sekolah, guru dan seluruh pelajar.

(12)

2.4. Tujuan Pendidikan Inklusi

Menurut Mohammad Takdir Illahi tentang tujuan pendidikan inklusif yaitu

“memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Serta mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik”

Pendidikan inklusif di Indonesia diselenggarakan dengan tujuan.

 Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak termasuk anak berkebutuhan khusus mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya.

 Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar

 Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah.

 Menciptakan amanat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal 31 ayat 1 yang berbunyi ‘setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat 2 yang berbunyi setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’. UU no 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Pasal 5 ayat 1 yang berbunyi setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. ‘UU No 23/2002 tentang perlindungan Anak, khususnya pasal 51 yang berbunyi anak yang menyandang cacat fisik dan atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksessibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.

Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan inklusif pada hakikatnya adalah untuk memanusiakan manusia sebagai bentuk perlawanan terhadap sikap diskriminatif terhadap lembaga sekolah yang menolak menampung anak berkebutuhan khusus. Memberikan kesempatan yang seluas- luasnya dan mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminatif terhadap semua peserta didik

1. Landasan Filosofis

Secara filosofis, penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dijelaskan sebagai berikut:

(13)

a. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang negara Burung Garuda yang berarti ‘bhineka tunggal ika.’ Keragaman dalam etnik, adat istiadat, keyakinan, tradisi, dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang tetap menjungjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b. Pandangan agama khususnya Islam antara lain ditegaskan bahwa: (1) manusia dilahirkan dalam keadaan suci, (2) kemuliaan seseorang di hadapan Tuhan bukan karena fisik tetapi taqwanya, (3) Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri, (4) manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturahmi(‘inklusif’)

c. Pandangan universal hak azasi manusia, menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak kesehatan, hak pekerjaan.

2. Landasan Yuridis

a. UUD 1945 (Amandemen) Ps 31 : (1) berbunyi setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Ayat (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

b. UU no 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Ps 48 Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 tahun untuk semua anak. Ps 49 Negara, Pemerintah, Keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.

c. UU no 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional. Pasal 5 ayat (1) setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan bermutu. Ayat (2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan /atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Ayat (3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. Ayat (4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. Pasal 11 ayat (1) dan (2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Pasal 12 ayat (1) setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya (1b) Setiap peserta didik berhak

(14)

pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara (1e) Pasal 32 ayat (1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

Ayat (2) Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat terpencil, dan mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi. Dalam penjelasan pasal 15 alinea terakhir dijelaskan bahwa pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal 45 ayat (1) Setiap satuan pendidikan formal dan non formal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik.

d. Peraturan pemerintah no 19 tahun 2005 tentang standar Nasional pendidikan Pasal 2 ayat (1) Lingkungan Standar Nasional Pendidikan meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan kependidikan, standar sarana prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.

Dalam PP No 19/2005 tersebut juga dijelaskan bahwa satuan pendidikan khusus terdiri atas SDLB, SMPLB, SMA LB.

e. Surat edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No 380/C.C6/MNB/2003 tanggal 20 Januari 2003 perihal pendidikan inklusif menyelenggarakan dan mengembangkan di setiap kabupaten/kota sekurang-kurangnya 4 sekolah yang terdiri dari : SD, SMP, SMA, dan SMK.

3. Landasan Empiris

a. Deklarasi Hak Azasi Manusia, 1948 b. Konvensi Hak Anak, 1989

c. Konferensi dunia tentang Pendidikan untuk semua, 1990

d. Resolusi PBB nomor 48/49 tahun 1993 tentang persamaan kesempatan bagi orang berkelainan.

e. Pernyataan Salamanca tentang pendidikan inklusi, 1994 f. Komitment Dakar mengenai Pendidikan untuk semua, 2000

g. Deklarasi Bandung (2004) dengan komitmen “Indonesia menuju pendidikan inklusif,”

(15)

h. Rekomendasi Bukittinggi (2005), bahwa pendidikan yang inklusif dan ramah terhadap anak seyogyanya dipandang sebagai :

1. sebuah pendekatan terhadap peningkatan kualitas sekolah secara menyeluruh yang akan menjamin bahwa strategi nasional untuk semua adalah benar-benar untuk semua

2. sebuah cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai bagian dari program-program untuk perkembangan anak usia dini, pra sekolah dasar dan menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih rentan terhadap marginalisasi dan eksklusi

3. sebuah kontrbusi terhadap pengembangan masyarakat yang menghargai dan menghormati perbedaan individu semua warga negara.

Disamping itu juga menyepakati rekomendasi berikut ini untuk lebih meningkatkan kualitas sistem pendidikan di Asia dan benua-benua lainnya :

1) inklusi sebaiknya dipandang sebagai sebuah prinsip fundamental yang mendasari semua kebijakan nasional

2) konsep kualitas selayaknya difokuskan pada perkembangan nasional, emosional dan fisik, maupun pencapaian akademik lainnya

3) sistem asesmen dan evaluasi nasional perlu direvisi agar sesuai dengan prinsip-prinsip non diskriminasi dan inklusi serta konsep kualitas sebagaimana telah disebutkan di atas

4) orang dewasa sebaiknya menghargai dan menghormati semua anak, tanpa memandang perbedaan karakteristik maupun keadaan individu, serta seharusnya pula memperhatikan pandangan mereka

5) semua kementrian seharusnya berkoordinasi untuk mengembangkan strategi bersama menuju inklusi

6) Demi menjamin pendidikan untuk semua melalui kerangka sekolah yang ramah terhadap anak, maka masalah non diskriminasi dan inklusi harus diatasi dari semua dimensi, dengan upaya bersama yang terkoordinasi antara lembaga-lembaga pemerintah dan non pemerintah, donor, masyarakat, berbagai kelompok lokal, orang tua, anak maupun sistem swasta

7) pemerintah dan organisasi internasional serta organisasi non pemerintah, sebaiknya berkolaborasi dan berkoordinasi dalam setiap upaya mencapai

(16)

keberlangsungan pengembangan masyarakat inklusif dan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran bagi semua anak.

8) Pemerintah sepatutnya mempertimbangkan implikasi sistem maupun ekonomi bila tidak mendidik semua anak, dan oleh karena itu dalam manajemen sistem informasi sekolah harus mencangkup semua anak usia sekolah

9) Program pendidikan pra-jabatan maupun pendidikan dalam jabatan guru seharusnya direvisi guna mendukung pengembangan praktek inklusi sejak pada tingkat usia pra sekolah hingga usia-usia di atasnya dengan menekankan pada pemahaman secara sistem tentang perkembangan dan belajar anak termasuk pada intervensi dini

10) Pemerintah (pusat, propinsi, dan lokal) dan sekolah sebaiknya membangun dan memelihara dialog dengan masyarakat, termasuk orang tua, tentang nilai-nilai sistem pendidikan yang non diskriminatif dan inklusif.

2.5. Isu dan Permasalahan Pendidikan Inklusi

(17)

Masalah-masalah yang berkaitan dengan pendidikan inklusi merupakan isu yang sangat sensitif bagi anak yang dianggap berkelainan, karena bagaimanapun isu tersebut akan berdampak pada kepercayaan mereka ketika memasuki pendidikan formal dan berkumpul dengan anak normal pada umumnya. Penelitian Sunardi (2009) dalam Ilahi (2013) terdapat lima isu dan permasalahan inklusi di tingkat sekolah yang perlu dicermati dan diantisipasi yaitu:

a. Pemahaman dan pengimplemtasiannya pemahaman orang tentang anak berkebutuhan khusus harus diluruskan karena mereka tidak biasa dianggap sebagai anak yang selalu termarginalkan dari lingkungan mereka tinggal. Sementara dalam implementasinya, guru cenderung belum mampu bersikap proactive dan ramah terhadap semua anak.

b. Kebijakan sekolah keberhasilan pendidikan inklusi tidak hanya didukung oleh perhatian pemerintah melalui bantuan dana pendidikan dan fasilitas pendukung lainnya yang sangat dibutuhkan oleh anak berkebutuhan khusus, tetapi juga menyangkut kebijakan sekolah.

c. Proses pembelajaran permasalahan inti dari pendidikan inklusi menyangkut persoalan proses pembelajaran yang belum menggunakan sistem team teaching sehingga menjadikan anak berkebutuhan khusus mengalami kesulitan dalam menerima materi pelajaran. Selain itu, permasalahan sistem pengajaran juga belum memberikan jaminan akan keberhasilan anak berkebutuhan khusus dalam menangkap materi. Hal ini disebabkan kurangnya fasilitas dan media pembelajaran.

d. Kondisi guru kondisi guru juga perlu dipertanyakan mengenai masalah-masalah yang dihadapi berkaitan dengan kualitas dan komitmennya dalam membina dan mengayomi anak berkebutuhan khusus. komitmen seorang guru perlu dipertanyakan

(18)

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pendidikan inklusif yang kini sedang marak dibicarakan, mencoba membantu memberikan hak dasar pendidikan yang sama bagi Anak Berkebutuhan Khusus dengan anak normal lainnya, untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Melalui pendidikan inklusif, anak berkelainan di didik bersama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.

Dalam pelaksanaannya, pendidikan inklusif bertujuan untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya dan mewujudkan penyelenggaran pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai kebutuhan dan kemampuannya.

Prinsip inklusi mendorong setiap unsur yang terlibat di dalam proses pembelajaran mengusahakan lingkungan belajar dimana semua siswa dapat belajar secara efektif bersama-sama.

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Ashman, A. & Elkins,J.(1994).Educating Children With Spercial Needs. New York : Prentice Hall.

Baker,E.T.(1994). Metaanalysis enidence for non- inclusive Educational practices.

Disertasi. Temple University.

Colley, Helen.(2003).Mentoring for Social Inclusion, London : Routledge Falmer. Fish,J.

(1985). Educational opportunities for All. London : Inner London Educational Authority.

Johnsen,Berit H dan Miriam D.Skjorten.(2003) Pendidikan Kebutuhan khusus;

Sebuah Pengantar, Bandung : Unipub.

O’Neil,J.(1994/1995).Can inclusion work.A Conversation With James Kauffman and Mara Sapon-Shevin. Educational Leadership. 52(4) 7-11.

Skidmare, David.(2004). Inclusion the Dynamic of School Development. New York : Open University Press.

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional UNESCO.

(1994).The Salamanca Statement and Framework For Action on Special Needs Education. Paris : Auth

IP Darma, B Rusyidi - Prosiding penelitian dan pengabdian …, 2015 - journal.unpad.ac.id

Riza putri ayu pendidikan inklusif 2017

BI Suwandayani - … Pendidikan dan Pembelajaran Sekolah Dasar, 2019 NK Dewi - Jurnal Pendidikan Anak, 2017

SW Lukitasari, BS Sulasmono, Manajemen Pendidikan, 2017

E Wati - JURNAL ILMIAH DIDAKTIKA: Media Ilmiah Pendidikan

Referensi

Dokumen terkait

CONCLUSION Based on the results of study, the conclusion of study are; 1 most of the conceptual action items identified, have been implemented in primary schools, and a small part

This includes simple bifurcation in Section 1 , pseudo-arclength continuation in Section 2 and the notion of local exchange of linearized stability in Section 3 Keller [12], Crandall