• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH KONSEP TALAQ-1

N/A
N/A
Amisha Dwi Qomaria

Academic year: 2024

Membagikan "MAKALAH KONSEP TALAQ-1"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

KONSEP TALAQ MENURUT IBNU QOYYIM AL-JAUZIYAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Munakahat Dan Mawaris

Dosen Pengampu: Subhan Amin,M.Hi

Disusun Oleh Salsabila (2223210026)

4B

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN TADRIS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI FATMAWATI SUKARNO BENGKULU TAHUN 2024

(2)

ii

KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayahnya kepada makhluknya. Shalawat beriring salam, tidak lupa dihaturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa manusia dari zaman jahilliyah ke zaman yang modern ini.

Penulis ucapkan terima kasih kepada Subhan Amin,M.Hi selaku Dosen Pengampu mata kuliah , yang telah memberikan tugas ini. Serta kepada teman teman yang telah membantu penulis hingga dapat terselesainya makalah ini.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Bengkulu, Juni 2024

Penulis

(3)

iii DAFTAR ISI

COVER ... i KATA PENGANTAR ... ii DAFTAR ISI ... iii BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1 B. Rumusan Masalah ... 2 C. Tujuan Penulisan ... 2 BAB II PEMBAHASAN

A. Konsep Talaq Dalam Islam ... 3 B. Konsep Talaq Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah ... 8 BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ... 14 B. Saran ... 15 DAFTAR PUSTAKA ... 17

(4)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Talak merupakan hukum yang disyariatkan bagi satu pasangan yang tidak mungkin lagi membina hubungan keluarga dengan baik. Peluang talak ini dapat dipilih oleh suami dengan memperhatikan tata cara dan prosedur yang sesuai dengan hukum Islam. Terdapat beberapa hukum yang ulama tidak padu dan berbeda pendapat, khususnya mengenai konsep talak dilihat dari sisi waktu dan jumlah penjatuhannya. Dalam pelepasan hubungan perkawinan yang dilakukan oleh suami terhadap isteri, tentu harus memenuhi syarat serta dilakukan menurut anjuran agama seperti yang disyariatkan Allah. Oleh karenanya seseorang (suami) akan dihukumi berdosa ketika pelaksanaan talak telah menyimpang dari apa yang telah disyariatkan.

Perceraian atau talak syar‟i merupakan perceraian yang dilakukan menurut landasan hukum Islam. Fuqaha sepakat bahwa talak yang sesuai menurut hukum itu jika dilakukan pada waktu-waktu tertentu seperti isteri dalam keadaan suci yang belum digauli. Demikian pula setiap kekurangan dan kesengsaraan yang menghantam rumah tangga, mereka tanggung dan jalani bersama pula, inilah adanya ujian besar, hin dısınılah adanya ujian besar, hingga keduanya harus dapat bersabar, saling memaafkan serta saling pengertian, jangan sampai suami istri tidak bisa menahan dan membendung bujuk rayuan syetan yang berakibat fatal

Islam memang tidak melarang umatnya melakukan talak atau perceraian, tetapi bukan berarti bahwa islam membuka jalan yang selebar- lebarnya, akan tetapi terdapat batasan-batasan tertentu kapan suami dan istri baru dibolehkan melakukan perceraian. Batasan-batasanitu diantaranya adalah bahwa setiap talak atau perceraian harus didasarkan atas alasan yang kuat dan merupakan jalan terakhir yang ditempuh oleh suami istri setelah usaha lain tidak mampu mengembalikan keutuhan kehidupan rumah tangga.

Dalam kehidupan rumah tangga meskipun dalam satu atap, akan tetapi tidak menutup kemungkinan akan adanya perbedaan pendapat, pola pikir tersebut sering kali berpengaruh terhadap kerukunan rumah tangga, bahkan sampai

(5)

2

terjadi perceraian. setiap orang tentu tidak menginginkan perceraian terjadi dalam kehidupan mereka. Banyak alasan yang membuat suami istri mengambil jalan perceraian misalnya karena tidak ada saling kecocokan, disharmoni yang diakibatkan banyak faktor, KDRT dan lain sebagainya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Konsep Talaq dalam Islam?

2. ⁠Bagaimana Konsep Talaq menurut Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui Konsep Talaq dalam Islam

2. Untuk mengetahui Konsep Talaq menurut Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah

(6)

3 BAB II PEMBAHASAN

A. Konsep Talaq Dalam Islam 1. Pengertian Talak

Suatu perkawinan menurut hukum Islam ialah untuk tujuan kemaslahatan masyarakat, secara lebih eksplisit bahwa tujuan dari perkawinan adalah untuk menjaga keturunan. Hukum perkawinan secara umum adalah sunnah, hal ini merupakan pendapat dari mayoritas ulama ahlu sunnah wal jama‟ah. Oleh karenanya perkawinan sangat dianjurkan.

Talak merupakan suatu bentuk cara memutuskan hubungan perkawinan.

Talak adalah melepaskan hubungan pernikahan dengan dengan menggunakan lapaz talak dan sejenisnya. Talak juga diartikan sebagai pemutusan tali pernikahan dari seorang suami terhadap isteri dengan alasan yang diterima secara syar’i. Talak merupakan perbuatan halal, namun dibenci oleh Allah swt. Perkawinan mesti ada aqad dan begitu juga dengan Talak. Aqad itu berfungsi sebagai penghalalan atau legalitas hubungan yang akan dijalani oleh suami isteri setelah menikah. Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk selamanya. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal- hal yang menghendaki putusnya perkawinan, dalam arti bila perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudaratan akan terjadi. Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan tersebut merupakan jalan keluar yang terbaik. Maka Islam membuka pintu untuk terjadinya perceraian. Perceraian atau talak suatu perbuatan yang tidak disenangi yang dalam istilah ushul fiqh disebut makruh. Hukum makruh dapat dilihat dari adanya usaha pencegahan terjadinya talak itu dengan berbagai tahapan.

Pada masa Rasulullah dan sahabat talak dapat kerjadi kapan saja dan dimana saja tanpa ada lembaga atau majlis yang menjadi tempat persaksian terjadinya talak kecuali suami isteri, dan setelah suami mentalak isterinya barulah suami menceritakan masalah tersebut kepada

(7)

4

Rasul atau sahabat. Seperti yang diriwayatkan dari Ibnuu Thawus, ra dari bapaknya, katanya Abu Shahba’ bertanya kepada Ibnuu Abbas ra : Tahukah kamu bahwa talak tiga yang diucapkan sekaligus pada masa Rasulullah saw. Hukumnya hanya satu kali, begitu pula pada masa pemerintah Abu Bakar, kemudian pada masa pemerintah Umar bin Khothob tetap tiga kali. Ibnuu Abbas menjawab : ya, benar begitu.

Didalam hadist juga dijelaskan bahwa talak atau perceraian merupakan alternatif terakhir, sebagai ‘pintu darurat” yang boleh ditempuh, manakala bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan keutuhan dan kesinambungannya. Sifatnya sebagai alternatif terakhir, Islam menunjukkan agar sebelum terjadinya talak atau perceraian, ditempuh usaha-usaha perdamaian antara kedua belah pihak, baik melalui hakam (arbitrator) dari kedua belah pihak.

Hukum Islam menetapkan hak talak bagi suami dan suamilah yang memegang kendali talak, karena suami dipandang mampu memelihara kelangsungan hidup bersama. Suami diberi beban membayar mahar dan memikul nafkah isteri dan anak-anaknya. Demikian pula suami diwajibkan menjamin nafkah isteri selama ia menjalankan masa iddahnya.

Hal-hal tersebut menjadi pengikat bagi suami untuk menjatuhkan talak dengan sesuka hati. Umumnya, suami dengan pertimbangan akal dan bakat pembawaannya, lebih tabah menghadapi apa yang kurang menyenangkan ketimbang isteri. Biasanya suami tidak cepat-cepat menjatuhkan talak karena sesuatu yang menimbulkan amarah emosinya, atau karena sesuatu keburukan pada diri isteri yang memberatkan tanggung jawab suami. Berbeda dengan isteri, biasanya wanita itu lebih menonjol sikap emosionalnya, kurang menonjol sikap rohaniahnya, cepat marah, kurang tahan menderita, mudah susah dan gelisah, dan jika bercerai bekas isteri tidak menganggung beban materil terhadap bekas suaminya, tidak wajib membayar mahar, sehingga andai kata talak menjadi hak yang berada di tangan isteri, maka besar kemungkinan isteri akan lebih mudah menjatuhkan talak karena sesuatu sebab yang kecil.

Hukum Islam tidak menutup kemungkinan bagi isteri untuk

(8)

5

menyelamatkan diri dari penderitaan yang menimpa dirinya sehingga menimbulkan kemudharatan baginya bila perkawinan dilanjutkan, maka isteri boleh mengajukan gugatan cerai kepada Pengadilan Agama, kemudian Hakim menceraikan antara keduanya melalui keputusan pengadilan.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, rumusan talak setidaknya memiliki poin-poin yaitu proses memutuskan ikatan pernikahan, dilakukan oleh suami terhadap isteri, akibatnya mengurangi hak talak suami, dilakukan dengan ucapan talak atau lainnya. Dengan demikian, talak adalah perceraian antara suami dengan isteri atas inisiatif suami, sehingga dengan inisiatif tersebut mengurangi jumlah hak talak suami yang dilakukan melalui ucapan talak atau lafaz lainnya yang memiliki indikasi yang sama dengan makna talak.

2. Dasar Hukum Talaq

Perspektif Islam tentang talak hadir oleh karena adanya petunjuk dasar pembolehannya dalam Alquran maupun hadis, bahkan ulama sepakat bahwa talak dalam kondisi-kondisi tertentu memang dibolehkan bagi seorang suami yang ingin menceraikan isteri. Tidak hanya itu, petunjuk dan dasar pensyariatan talak secara langsung difirmankan kepada Rasulullah saw. Hal ini mengacu pada ketentuan QS. al-Ṭalāq :1

َا ۤ

َاةَّديعْلاَاوُصْحَاااوََّنييتَِّديعيلََّنُهْوُقي لاطافَاءٓااسي نلاَُمُتْقَّلاطَااذياَُّيبَِّنلاَااهُّ يَ ٰي ااوََ َ ۚ

اوُقَّ ت

َاٰ للا َ

َْمُكَّبار َ

َالَ َ ۚ

ََّنُهْوُجيرُْتُ

َ ْنيم ََ

ََ

ََّنييتِْوُ يُ ب

َالاو َ

َانْجُرْايَ َ

َ

ََّۤليا

َْناا َ

َاْييتَّْيَّ َ اافيب َ

َ ةاشيح ََ

َ ةاني يا بُّم َ

َاكْليتاو َ ۚ

َُدْوُدُح َ

َيٰ للا َ

َْناماو َ ۚ

ََّداعا تَّ ي َ

َادْوُدُح َ

َيٰ للا َ

َْداقا ف َ

َامالاظ َ

ََ

َهاسْفا ن

َ ۚ ٗ

َْييرْدات َالَ

ََّلاعال َ

َاٰ للا َ

َُثيدُْيُ َ

َادْعا ب َ

َاًرْمااَاكيلٰذ َ

"Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu idah itu, serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan) keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas. Itulah hukum-hukum Allah, dan barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sungguh, dia telah berbuat zalim

(9)

6

terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali setelah itu Allah mengadakan suatu ketentuan yang baru." (QS. At-Talaq 65: Ayat 1)

Riwayat tersebut secara hukum mengandung informasi bahwa Rasulullah saw., sendiri telah melakukan talak kepada isterinya dan tentunya diperkenankan, bahkan ada penegasan secara khusus dalam QS.

al-Ṭalāq ayat 1, yaitu jikapun terpaksa untuk melakukan talak, maka prosesnya harus dilakukan ketika isteri mudah melaksanakan masa idah.

Hal tersebut menunjukkan bahwa Islam melegalkan talak dengan tata cara tertentu sebagaimana maksud ayat tersebut. Poin inti yang dapat dipahami dari ketentuan dalil di atas adalah talak disyariatkan dalam Islam namun harus dilakukan dengan cara dan waktu tertentu seperti menceraikan isteri pada saat isteri suci atau pada saat isteri belum digauli sebelumnya.

3. Bentuk-Bentuk Talaq

a. Talak dilihat dari lafaz yang digunakan

Dilihat dari lafaz, maka talak dibagi ke dalam dua bentuk, yaitu talak dengan ungkapan ṣarīḥ dan talak dengan ungkapan kināyah.

Dikatakan talak ṣarīḥ karena ketiga kata tersebut terdapat di dalam syariat dan disebutkan secara berulang-ulang dalam Alquran Selain alasan tersebut, dikatakan talak ṣarīḥ juga karena tidak ada kemungkinan adanya keraguan tentang makna lafaz tersebut kecuali hanya dimaknai keinginan suami untuk berpisah atau bercerai. Rizem Aizid menyebutkan talak ṣarīḥ atau talak dengan menggunakan lafaz yang eksplisit merupakan setiap kata yang bisa langsung dipahami makna talak ketika diucapkan Ungkapannya dapat dibuat pemisalannya seperti suami menyatakan kepada isteri, “saya talak kamu”, “saya ingin cerai (firāq)”, atau “saya melepaskan (sarāḥ) kamu”

Adapun talak kināyah yaitu talak kiasan yang membutuhkan penegasan niat dari pihak suami. Dalam pengertian lain, talak kināyah yaitu talak yang dilakukan dengan menggunakan lafaz yang implisit, namun lafaz yang digunakan mirip pengertiannya dengan lafaz talak.

(10)

7

Misalnya, dengan menggunakan kalimat, “Pulangkah kamu ke rumah orang tuamu!”. Dalam konteks ini, jika suami meniatkannya sebagai talak, maka jatuh talak. Sementara jika suami tidak meniatkannya sebagai talak, maka talak tidak jatuh. Intinya, lafaz sindiran atau kināyah masih memerlukan kejelasan maksud suami. Dalam hal ini, isteri tentu boleh menanyakan maksud perkataan tersebut, atau ia mengadukan kepada keluarganya dan keluarganya kemudian menanyakan secara langsung apakah maksud lafaz kināyah tersebut ditujukan untuk talak atau bukan.

b. Dilihat dari segi konsekuensi hukum talak

Dilihat dari segi konsekuensi atau akibat hukum talak, maka talak dibedakan menjadi dua macam, yaitu talak bā‟in dan talak raj‟ī.

Talak bā‟in merupakan talak yang berakibat pada suami tidak halal lagi terhadap isterinya dan tidak ada hak rujuk baginya kecuali dengan akad nikah dan mahar yang baru. Misalnya, talak kesatu atau kedua yang suami pada saat itu belum merujuknya hingga akhir masa idah.

Talak dalam Islam juga cukup beragam, baik dilihat dari sisi lafaz, akibat hukum, maupun kesesuaian dengan dalil hukum. Untuk itu, dapat dirinci kembali dalam poin berikut: 1. Dilihat dari sisi lafaz yang digunakan saat talak: Talak yang ekplisit atau ṣarīḥ (tegas dan jelas) dan Talak yang implisit kināyah (masih samar-samar atau sindiran) 2. Dilihat dari sisi akibat talak: Talak bā‟in yaitu terbagi dua alak bā’in ṣughrā dan alak bā’in kubrā.kemudian talak raj’ī 3. Dilihat dari sisi kesesuainnya dalil talak: Talak sunnī dan Talak bid’ī.

B. Konsep Talaq menurut Ibnuu Qoyyim Al-Jauziyah

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, merupakan nama yang masyhur dan populer digunakan oleh banyak literatur ke-Islaman. Nama lengkap beliau adalah Abū Abdillāh Syams al-Dīn Muḥammad bin Abī Bakr bin Ayyūb bin Sa‟d bin Ḥuraiz bin Makkī Zain al-Dīn al-Zur‟ī al-Dimasyqī al-Ḥanbalī. Ia merupakan salah satu ulama yang berafiliasi dengan mazhab Hanbali. Di samping itu, dapat pula dipahami sebutan beliau dengan nama penjang beliau cukup jauh

(11)

8

berbeda. Alasan penamaan Ibnuu Qayyim al-Jauziyyah dengan sebab tertentu. Ibnuu Qayyim al-Jauzī tumbuh dewasa dalam suasana ilmiah yang kondusif. Ayahnya adalah kepala sekolah al-Jauziyah di Dimasyq (Damaskus) selama beberapa tahun. Ibnu Qayyim merupakan tokoh ulama dengan wawasan keilmuan di atas rata-rata. Beliau hafal Alquran dan banyak hadis, menguasai dalam berbagai bidang ilmu, baik fikih, ushul fikih (ilmu alat), ilmu tafsir, akiddah, akhlak, tasawwuf, dan berbagai ilmu ke-Islaman lainnya. Sedari kecil, Ibnu Qayyim memiliki keinginan yang sungguh- sungguh dalam menuntut ilmu. Ia memiliki tekad dalam mengkaji dan menelaah ilmu ke-Islaman. Dia memulai perjalanan ilmiahnya pada usia tujuh tahun, memliki daya akal luas, pikiran cemerlang, daya hafal mengagumkan, dan energi yang luar biasa. Dia menimba ilmu dari setiap ulama spesialis sehingga dia menjadi ahli dalam ilmu-ilmu Islam dan mempunyai andil besar dalam berbagai disiplin ilmu.

Menurut Ibnu Qayyim ayat tersebut bermaksud bahwa talak yang diizinkan oleh agama yakni talak yang bisa menjadi iddah. Hal ini menunjukkan selain talak demikian bukan termasuk sebagai talak.

Sesungguhnya Allah membatasi talak yang disyariatkan dan diizinkan pada talak yang masih memiliki hak rujuk yaitu dua kali. Selain itu tidak bisa dianggap sebagai talak. Konsep talak yang ditetapkan dalam Islam mengacu pada dua persoalan pokok, yaitu talak yang memperhatikan waktu penjatuhannya, dan talak dari sudut bilangan atau jumlahnya. Berkaitan dengan waktu, Ibnu Qayyim memandang suami wajib melihat pada kondisi di mana isteri dapat menjalankan iddah. Hal ini baru dapat dilakukan dalam dua keadaan waktu. Pertama menjatuhkan talak pada saat isteri tidak haid atau suci. Waktu kedua adalah menjatuhkan talak pada waktu tidak digauli (dijimak) pada saat suci itu. Makna “tidak digauli” maksudnya bukan belum pernah digauli sama sekali, tetapi saat suami menceraikan ia tidak menggauli isterinya.

Ibnu Qayyim mengakui bahwa talaq adalah salah satu solusi terakhir untuk masalah dalam rumah tangga. Namun, talaq tidak boleh diambil secara sembarangan karena pernikahan adalah ikatan yang sakral. Adapun juga talaq

(12)

9

dalam hal ini merupakan dalam kondisi darurat Menurut Ibnuu Qayyim, talaq seharusnya hanya digunakan dalam kondisi darurat ketika semua upaya untuk memperbaiki hubungan telah gagal. Dia menekankan bahwa tujuan utama dari talaq adalah untuk menghindari kerusakan yang lebih besar dalam rumah tangga. Ibnuu Qayyim membahas beberapa jenis talaq, termasuk talaq raj'i (yang bisa dirujuk kembali selama masa iddah) dan talaq bain (yang tidak bisa dirujuk kembali kecuali dengan pernikahan baru). Dia juga menyoroti pentingnya memahami perbedaan antara keduanya untuk menghindari kesalahpahaman dalam penerapan hukum talaq. Ibnu Qayyim menekankan bahwa talaq harus dilakukan dengan cara yang adil dan penuh tanggung jawab. Suami yang ingin menalak istrinya harus melakukannya dalam keadaan yang tenang dan tidak terburu-buru, serta mengikuti prosedur yang ditetapkan dalam syariah. Ibnu Qayyim juga membahas konsekuensi hukum dan sosial dari talaq. Dia menjelaskan bahwa talaq membawa tanggung jawab besar, termasuk hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak setelah perceraian. Secara keseluruhan, pandangan Ibnu Qayyim tentang talaq menekankan perlunya kehati-hatian, keadilan, dan tanggung jawab dalam setiap tahap proses perceraian. Pendekatannya yang seimbang menunjukkan bahwa meskipun talaq diperbolehkan dalam Islam, itu harus menjadi pilihan terakhir setelah semua upaya untuk rekonsiliasi telah dicoba.

Adapun dari segi jumlah, Ibnu Qayyim berpendapat bahwa syariat talak dalam Islam hanya dibatasi pada tiga kali saja. Suami memiliki hak untuk menceraikan isterinya dengan jumlah tiga kali. Setelahnya, suami tidak lagi halal berhubungan dengan suami selama mantan isteri belum menikah lagi dengan laki-laki lain. Pendapat Ibnu Qayyim dalam dua pembagian tersebut cenderung sama dengan ulama lain dari berbagai mazhab, juga yang ditulis dalam literatur hukum pernikahan dewasa ini. Namun menariknya, aspek mendasar dari kedua bentuk baik dari segi waktu maupun jumlah talak tersebut memiliki perbedaan yang cukup signifikan, khususnya konsekuensi dan cara penjatuhannya.

a. Talak dari segi waktu dan konsekuensinya

(13)

10

Dari segi waktu penjatuhan talak, Ibnuu Qayyim menyatakan ada dua hal yang diharamkan dan dua dihalalkan. Ibnuu Qayyim pada dasarnya hendak memperjelas ketetapan talak yang haram dan yang halal dari segi waktu penjatuhan. Yang halal hanya sebatas menceraikan isteri saat suci dan belum digauli. Dua waktu inilah yang disyariatkan dalam talak.

Kehalalan dalam dua waktu tersebut boleh jadi karena isteri pada saat itu bisa langsung menjalankan kewajiban iddahnya tanpa harus khawatir dengan kondisi dan keadaan rahimnya, apakah ia hamil atau tidak.

Sementara yang diharamkan justru sebaliknya yaitu menceraikan pada saat kotor (haid) atau sesaat setelah suami menggaulinya. Larangan pada saat kotor juga berpengaruh pada pelaksanaan iddah isteri. Menurut Ibnuu Qayyim, memperhatikan keadaan waktu penjatuhan talak tersebut dengan tujuan agar isteri dapat menjalankan iddah secara wajar. Oleh sebab itu, dua kondisi terakhir (menalak isteri saat haid dan telah digauli) membuat isteri tidak akan dapat melaksanakan iddah secara wajar.

Alasan pertama, jika suami menceraikannya dalam kondisi kotor atau haid, maka isteri akan memulai hitungan iddahnya pada saat ia haid kemudian, bukan haid waktu ia diceraikan. Alasan kedua, jika suami menceraikan isteri pada saat setelah ia menggaulinya, maka sangat dimungkinkan ada benih janin di dalam rahim wanita itu, sehingga dalam keadaan ini isteri akan khawatir apakah ia menjalankan hingga tiga kali haid sempurna atau hingga melahirkan anak lantaran kehamilannya akan nampak pada saat-saat akhir iddahnya. Oleh sebab itu, tujuan isteri dapat menjalankan iddah secara wajar juga tidak akan tercapai

Ibnuu Qayyim memandang talak yang disyariatkan (atau dalam istilah sebelumnya yang digunakan yaitu talak yang halal) pada saat isteri tengah suci dan belum digauli saat suci itu. Dua keadaan waktu inilah yang disyariatkan bagi suami yang hendak menceraikan isterinya. Uraian tentang pendapat Ibnu Qayyim tentang talak dalam jenis waktu agaknya cukup jelas dan tidak ada perbedaan pendapat yang signifikan dengan ulama lainnya. Bahkan boleh dikatakan keadaan tersebut merupakan kesepakatan seluruh ulama. Namun Ibnu Qayyim berbeda soal

(14)

11

konsekuensi hukumnya, apakah talak pada dua kondisi yang diharamkan tadi itu batal dan tidak sah, atau dipandang sah dan jatuh talak. Ibnu Qayyim dalam konteks ini memandang talak saat haid dan belum digauli adalah talak yang haram dan talakya tidak jatuh.

Ibnu Qayyim membantah pendapat ulama yang memandang jatuh talak waktu haid. Ia melihat bahwa ulama yang memandang jatuh tidak konsisten dalam menelaah dan menetapkan status hukum. Ia membandingkan status hukum talak haram dengan nikah yang haram.

Satu sisi, jumhur ulama memandang tidak sah nikah yang haram, di sisi lain justru memandang sah talak yang diharamkan. Atas dasar ini, Ibnu Qayyim melihat adanya pendapat jumhur ulama yang ambigu dalam menetapkan status hukum perkara yang haram. Menurutnya, status hukum talak yang diharamkan oleh Allah Swt., tidak sah atau tidak jatuh sebagaimana status nikah yang diharamkan juga tidak sah.

b. Talak dari segi jumlah dan konsekuensinya

Ibnu Qayyim juga cenderung tidak berbeda dengan ulama lain dalam soal suami hanya mempunyai hak talak hingga tiga kali. Talak dari segi jumlah dalam perspektif Ibnu Qayyim harus dilakukan secara terpisah- pisah, artinya tiga jumlah hak talak suami tersebut tidak dapat dilakukan secara serta-merta dan sekaligus. Ibnu Qayyim menyebutkan talak di sisi syariat berlaku secara bertahap. Misalnya, suami menjatuhkan talak satu, kemudian ia merujuknya. Dalam kondisi lain suami juga menjatuhkan talak yang kedua, dan merujuknya hingga tiga kali talak. Talak tiga pada dasarnya talak terkahir sebagai kesempurnaan bilangan talak suami.

Talak tiga yang dimaksud adalah talak tiga yang sebelumnya telah dijatuhkan talak dua kali.

Ibnu Qayyim memandang jumlah talak hingga tiga kali, hak suami untuk menjatuhkan talak hanya dibatasi dalam tahapan tertentu, dan tidak dilakukan secara sekaligus. Misalnya, suami berkat: “kamu telah tertalak tiga sekaligus”, atau “kamu telah tertalak dua sekaligus”. Talak semacam ini dipandang telah menyalahi syariat talak. Agaknya, Ibnu Qayyim memahami talak suami harus dan wajib dilakukan secara bertahap, yaitu

(15)

12

talak pertama, kemudian rujuk, talak kedua, kemudian rujuk, dan talak ketiga, maka suami sudah tidak halal lagi. Oleh sebab itu, konsekuensi dari talak tiga jenis ini adalah adanya keharaman bagi mantan isterinya sebelum ia menikah kembali dengan laki-laki lain tanpa syarat taḥlīl.

Sebab menurut Ibnu Qayyim, setiap nikah yang ditetapkan batasan waktu di dalamnya atau dibuat syarat maka nikah tersebut fasid atau rusak.

Nikah taḥlīl adalah bagian dari nikah yang ada syarat penghalalan di dalamnya.

Ibnu Qayyim terhadap ulama yang memandang talak tiga sekaligus jatuh tiga, begitu juga talak dua sekaligus jatuh dua. Ibnu Qayyim melihat semua syariat talak dalam Alquran maupun hadis justru ditetapkan secara terpisah. Untuk itu, Ibnu Qayyim mempertanyakan tentang sah talak tiga sekaligus yang bertentangan dengan syariat, di mana syariat justru mewajibkan penjatuhan talak dilakukan secara terpisah-pisah, harus diselangi oleh iddah, kemudian rujuk. Ibnu Qayyim di sini agaknya melihat ketentuan hukum iddah dan rujuk harus ada dalam satu talak. Artinyam setiap ada talak, maka di sana ada hukum iddah dan rujuk. Sementara dalam talak tiga sekaligus akan menghilangkan salah satu dari dua hukum tersebut

Ibnu Qayyim dalam hal ini memandang talak tiga sekaligus, atau talak dua sekaligus, tidak boleh dan tidak berlaku kecuali hanya satu talak.

Sebelumnya telah diuraikan pendapat Ibnu Qayyim cara melakukan talak terhadap isteri, yaitu dengan bertahap, dilakukan sekali, kemudian diikuti dengan hak talak seterusnya. Penggabungan jumlah talak sama sekali tidak sejelan dengan nilai dan informasi hukum talak yang ada dalam Alquran maupun sunnah. Hal ini barangkali bersesuaian dengan penjelasan sebelumnya, di mana suami hanya boleh melakukan talak secara bertahap, yaitu satu kali, kemudian diikuti dengan talak berikutnya setelah iddah dan rujuk dilakukan. Agaknya, pendapat Ibnu Qayyim dalam soal ini tidak sejalan dengan pendapatnya yang pertama, di mana pada saat menjelaskan hukum talak haid sebelumnya, Ibnu Qayyim justru beranggapan talak tersebut haram dan tidak sah. Tidak sah talak waktu

(16)

13

haid karena keharammnya itu tadi. Sementara dalam kasus haramnya talak dua atau tiga sekaligus, justru memandag sah hanya satu kali. Untuk itu, konsistensi Ibnu Qayyim dalam memandang status hukum perkara haram cenderung tidak tetap. Satu sisi, beliau mengharamkan talak haid dan tidak jatuh, sementara dalam talak tiga juga diharamkan namun dipandang jatuh hanya satu kali.

(17)

14 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

Islam memang tidak melarang umatnya melakukan talak atau perceraian, tetapi bukan berarti bahwa islam membuka jalan yang selebar- lebarnya, akan tetapi terdapat batasan-batasan tertentu kapan suami dan istri baru dibolehkan melakukan perceraian. Batasan-batasanitu diantaranya adalah bahwa setiap talak atau perceraian harus didasarkan atas alasan yang kuat dan merupakan jalan terakhir yang ditempuh oleh suami istri setelah usaha lain tidak mampu mengembalikan keutuhan kehidupan rumah tangga. Dalam kehidupan rumah tangga meskipun dalam satu atap, akan tetapi tidak menutup kemungkinan akan adanya perbedaan pendapat, pola pikir tersebut sering kali berpengaruh terhadap kerukunan rumah tangga, bahkan sampai terjadi perceraian. setiap orang tentu tidak menginginkan perceraian terjadi dalam kehidupan mereka.

Ibnu Qayyim menekankan bahwa talaq harus dilakukan dengan cara yang adil dan penuh tanggung jawab. Suami yang ingin menalak istrinya harus melakukannya dalam keadaan yang tenang dan tidak terburu-buru, serta mengikuti prosedur yang ditetapkan dalam syariah. Ibnu Qayyim juga membahas konsekuensi hukum dan sosial dari talaq. Dia menjelaskan bahwa talaq membawa tanggung jawab besar, termasuk hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak setelah perceraian. Secara keseluruhan, pandangan Ibnu Qayyim tentang talaq menekankan perlunya kehati-hatian, keadilan, dan tanggung jawab dalam setiap tahap proses perceraian.

B. Saran

Diharapkan dengan mempelajari makalah yang berisi beberapa materi solat ini dengan baik. Setelah membaca makalah ini, diharapkan mahasiswa dan pembaca yang lainnya mendapat pengetahuan dan informasi yang bermanfaat. Kepada lembaga, supaya lebih sering mengaplikasikan menjadi warga negara yang baik.

(18)

15

DAFTAR PUSTAKA

Abū Umar al-Afghānī, al-Furūq al-Fiqhiyyah „Inda al-Imām Ibn Qayyim alJauziyyah, Riyadh: Maktabah al-Rusyd

Ahmad Rofiq, MA, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), cet. 3,.

Ibn Qayyim al-Jauziyyah, „Aun al-Ma‟būd Syarḥ Sunan Abī Dāwud, Juz 6, Madinah: Maktabah al-Salafiyyah, 1968

Rizem Aizid, Fikih Keluarga Terlengkap: Pedoman Praktis Ibadah Sehari-Hari Bagi Keluarga Muslim, Yogyakarta: Laksana, 2018

Wahbah az-Zuhailī, Fiqih Imam Syafi’i Jilid 2, alih bahasa; Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz, Cet 1, Jakarta: Almahira, 2010,

Referensi

Dokumen terkait

- Menyampaikan hasil belajar atau hasil temuan tentang macam -macam bersuci , tanda-tanda balig , pengertian, dalil, waktu , ketentuan , tata cara dan hikmah bersuci dari haid.

- Menyampaikan hasil belajar atau hasil temuan tentang macam -macam bersuci , tanda-tanda balig , pengertian, dalil, waktu , ketentuan , tata cara dan hikmah bersuci dari haid.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa, lubb merupa- kan inti dari segala hati yang terkait dengannya cahaya tauhid, di mana cahaya-cahaya seperti Islam, iman, dan makrifat

Selain ketentuan di atas, dalam Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam juga dinyatakan bahwa perceraian antara suami isteri hanya dapat dilakukan di depan sidang

a. Pembacaan sighat taklik talak dengan suara yang dikeras atau di dengarkan kepada hadirin yang hadir di prosesi ijab qobul sebagai penguat apabila suatu waktu

Islam datang dengan mengupayakan adanya pengurangan waktu tunggu dan berkabung bagi seorang isteri, dan ini dilakukan tidak dengan cara-cara yang merendahkan atau menistakan

Penelitian ini juga akan membahas inti dari kekuatan normatif seperti yang disampaikan Ian Manners, yakni bahwa ketiga poin dasar diatas harus mampu membawa ketertarikan

Syaikhul Islam mengatakan, “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, tidak