• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I - PENDAHULUAN. 1 Perjanjian Westphalia pada tahun 1648 menciptakan konsep kedaulatan Westphalia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I - PENDAHULUAN. 1 Perjanjian Westphalia pada tahun 1648 menciptakan konsep kedaulatan Westphalia"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I - PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penelitian ini ingin melihat kebijakan eksternal Uni Eropa (UE) di Indonesia yang dapat dikategorikan sebagai bentuk implementasi dari konsep kekuatan normatif. Konsep kekuatan normatif menarik untuk dibahas karena konsep ini, terlepas dari usianya yang masih muda, telah mendapat pengakuan dari akademisi ketika European Union Studies Association (EUSA) memilih tulisan Manners tentang kekuatan normatif sebagai satu dari lima tulisan terpenting mengenai studi regionalisme dan integrasi Eropa (European Union Student Association, 2007). Konsep ini juga menjadi satu perspektif baru dalam memandang Uni Eropa sebagai aktor hubungan internasional. Riset ini penting sebagai salah satu bentuk pengembangan kajian normative power yang masih memiliki potensi besar untuk dibahas, dikritik, dan diperkuat.

Identitas UE sebagai aktor normative power pertama kali disampaikan oleh Ian Manners pada tahun 2002, melalui tulisannya dalam Journal of Common Market Studies sebagai berikut:

the EU as a normative power has an ontological quality to it – that the EU can be conceptualized as a changer of norms in the international system; a positivist quantity to it – that the EU acts to change norms in the international system; and a normative quality to it – that the EU should act to extend its norms into the international system (Manners, 2002).

Konsep kekuatan normatif memiliki dua dasar argumen yang relatif berbeda dibanding konsep „kekuatan‟ (power) tradisional seperti hard power atau soft power. Argumen pertama adalah bahwa UE adalah aktor yang tidak memiliki latar belakang sejarah, sifat, dan bentuk yang berasal dari konsep kedaulatan Westphalia1. Dengan kata lain, UE memiliki sifat dan bentuk

1 Perjanjian Westphalia pada tahun 1648 menciptakan konsep kedaulatan Westphalia

(Westphalian sovereignty) yang hingga sekarang digunakan untuk menjelaskan bentuk negara-bangsa modern. Perjanjian ini berisikan pengakuan bahwa setiap negara berkedudukan setara, serta komitmen agar masing-masing negara memiliki kedaulatan mutlak atas rakyat dan wilayahnya (tidak ada campur tangan dari entitas eksternal). Konsep kedaulatan Westphalia ini tentu kontras dengan Uni Eropa yang berusaha melebur kedaulatan negara-negara Eropa ke tingkat kerjasama regional, misalnya melalui visa schengen (penghilangan batas teritori negara), eurozone (satu mata uang dan pasar), serta common

(2)

2

keaktoran yang berbeda dengan „negara‟ (state), yang selama ini menjadi bentuk „aktor‟ utama dalam Ilmu Hubungan Internasional. Pun, UE berbeda jika dibandingkan dengan institusi regional maupun internasional. EU adalah sebuah aktor dengan karakter yang belum pernah ada (Manners, 2002). Sedangkan dasar argumen yang kedua adalah pada proses difusi dari kekuatan tersebut kepada pihak ketiga atau aktor eksternal di luar UE. Selama ini proses difusi dari konsep kekuatan tradisional (hard power atau soft power) memiliki basis self-interest dan kepemilikan terhadap sumber-sumber kekuatan. Dalam kajian hard ataupun soft power, sebuah aksi atau kebijakan dilakukan demi memenuhi kepentingan dari aktor atau negara yang dimaksud. Konsep kekuatan tersebut menjadi cara atau metode dalam memenuhi kepentingan nasional. Tujuan itu dicapai melalui sumber-sumber kekuatan seperti militer (hard power) serta kemampuan berdiplomasi (soft power).

Hal tersebut berbeda dibandingkan dengan kekuatan normatif yang disampaikan Manners. Uni Eropa tidak memiliki kedaulatan untuk mengatur apa yang mereka miliki di dalam wilayahnya, karena mereka terdiri dari individu negara yang mandiri dan memiliki kedaulatan masing-masing. Oleh karena itu, konsep seperti kedaulatan Westphalia dan kepentingan nasional tidak berlaku apabila kita ingin menelaah bagaimana Uni Eropa bertindak dan merumuskan kebijakan eksternal mereka. Manners menjelaskan bahwa bentuk kekuasaan yang dimiliki Uni Eropa berlandaskan pada bentuk ide (norma, nilai) dibanding bentuk materi atau fisik, dimana Uni Eropa menyatukan visi mereka bukan melalui kepentingan nasional melainkan melalui pemenuhan terhadap ide-ide universal (Manners, 2009, p. 1).

Permasalahannya, apa yang disampaikan Ian Manners hanya terpusat pada pembentukan kerangka konseptual kekuatan normatif, dan belum banyak sisi yang menjelaskan mengenai pelaksanaan atau kasus empirik mengenai proses difusi norma-norma Eropa kepada pihak ketiga (aktor non-UE). Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan sebagai usaha untuk memberikan satu kajian baru mengenai kasus difusi kekuatan normatif Uni Eropa kepada negara lain. Dalam penelitian ini, studis kasus yang akan diambil adalah hubungan kerjasama Uni Eropa dengan Indonesia, terutama pasca-jatuhnya rezim Orde Baru. Periode waktu ini menjadi menarik karena dapat memberikan informasi mengenai progres perkembangan serta peningkatan intensitas kerjasama

(3)

3

Indonesia-Uni Eropa. Terutama, di bidang-bidang yang terkait dengan norma-norma Eropa (lihat sub-bab Landasan Konseptual, hal. 4). Indonesia mengalami proses transformasi dan demokratisasi pasca jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Dalam masa ini pula Uni Eropa meningkatkan intensitas hubungan mereka dengan Indonesia, dan bahkan terlibat langsung dalam beberapa kasus, misalnya, proses mediasi pemerintah Indonesia dengan kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kini, Indonesia tampil sebagai salah satu aktor yang berhasil dalam melakukan proses demokratisasi. Tulisan ini nantinya akan melihat bagaimana Uni Eropa melakukan transfer norma-norma universal kepada Indonesia dalam masa reformasi tersebut.

B. Rumusan Masalah

Untuk mempersempit ruang lingkup penelitian, maka skripsi ini akan mengajukan rumusan masalah berupa:

Bagaimana Uni Eropa menerapkan kekuatan normatif di Indonesia?

C. Landasan Konseptual

Dalam penelitian ini ada dua konsep yang akan digunakan untuk menjawab rumusan masalah, yakni:

1. Norma-Norma Eropa

Uni Eropa merupakan sebuah entitas yang sangat berpegang pada ikatan norma atau hukum formal, baik itu norma universal yang diterima masyarakat internasional maupun norma-norma yang mereka ciptakan sendiri. Hal ini yang membuat Uni Eropa seringkali diidentikkan sebagai aktor normatif. Sonia Lucarelli, misalnya, menyatakan bahwa: “Europe is a normative actor because Europe itself is based on normative principle” (Lucarelli, 2008). Ada beberapa isu yang menjadi kajian utama dari norma-norma yang menjadi fokus Uni Eropa. Isu tersebut dapat ditelusuri dari beberapa perjanjian yang pernah dilakukan oleh Uni Eropa, seperti misalnya Copenhagen Criteria.

Copenhagen Criteria berisi serangkaian syarat dan kebutuhan yang harus dipenuhi sebuah negara agar dapat bergabung dengan Uni Eropa. Kriteria ini berawal dari pertemuan Dewan Eropa di Copenhagen (ibukota Denmark) pada

(4)

4

bulan Juni 1993, guna membahas Pasal 49 Traktat Uni Eropa yang menyebutkan bahwa “any European state which respects the principles on which the EU is based may apply for membership” (EU Information Centre Denmark, 2005). Sejak itu, Copenhagen Criteria menjadi standar acuan bagi proses perluasan keanggotaan Uni Eropa. Copenhagen Criteria meliputi beberapa syarat sebagai berikut:

Kriteria Politik

Stabilitas institusi yang menjamin proses demokrasi, penegakan hukum, penghormatan terhadap kelompok minoritas dan hak asasi manusia (HAM);

Kriteria Ekonomi

Berfungsinya sistem ekonomi pasar serta kemampuan untuk bersaing dan berkompetisi dengan pasar bebas;

Kriteria Administratif

Memiliki kapabilitas untuk mengaktifkan instrumen institusi Uni Eropa serta menjalankan kewajiban sebagai anggota Uni Eropa.

Ian Manners merangkum „ide dan norma-norma Eropa‟ ke dalam lima bidang, yakni (1) peace - perdamaian, (2) liberty – kemerdekaan, (3) democracy – demokrasi, (4) rule of law – penegakan hukum, dan (5) human rights – hak asasi manusia (Manners, 2002, hal. 242). Kelima norma tersebut ia kategorikan sebagai core atau inti dari prinsip-prinsip yang dibawa Eropa dalam kebijakan internal maupun eksternal. Selain kelima norma tersebut, masih ada pula beberapa norma sekunder2 seperti: (1) social solidarity - solidaritas sosial, (2)

anti discrimination – anti diskriminasi, (3) sustainable development – pembangunan berkelanjutan, dan (4) good governance – tata kelola pemerintahan yang baik (Manners, 2002).

2 Ian Manners menyebut kelima norma inti sebagai core norms. Sedangkan norma sekunder ia

sebut sebagai minor norms. Norma sekunder ini adalah norma-norma lain yang penting, namun dapat digeneralisasikan ke dalam satu atau dua norma inti

(5)

5

2. Kekuatan Normatif (Normative Power)

Konsep normative power memiliki fungsi untuk menjelaskan definisi Uni Eropa sebagai aktor dalam dinamika hubungan internasional. Definisi Uni Eropa sebagai aktor normatif ditegaskan Lucarelli yang mengatakan bahwa. Artinya, Uni Eropa dapat dikategorikan sebagai aktor normatif karena dia dibangun dengan menggunakan satu set nilai dan norma yang disepakati bersama. Set norma tersebut juga sekaligus menjadi alat pengikat dan kerangka berpikir Uni Eropa dalam berinteraksi dengan aktor eksternal. Selain itu, Ian Manners mengatakan bahwa Uni Eropa adalah aktor normatif karena karakter mereka yang dibentuk oleh kumpulan norma universal. Dari karakterisasi ini, norma tidak hanya menjadi sebuah metode yang dilakukan Uni Eropa, melainkan menjadi sesuatu yang seharusnya atau idealnya dilakukan oleh mereka (Manners, 2009, hal. 1). Manners lebih lanjut menjelaskan bahwa „ide-ide Eropa‟ inilah yang menjadi basis kekuatan normatif, karena kekuatan ide ini membedakannya dari kekuatan-kekuatan lain yang berbasis pada sesuatu berbentuk materi, misalnya uang (economic power) dan militer (military power).

Gambar 1. Unsur Kekuatan Normatif Eropa (Sugiono, 2012)

Selain itu, kekuatan normatif dibangun oleh tiga unsur yang melekat dalam proses pelaksanaan kebijakan luar negeri (lihat Gambar 1). Pertama, adalah prinsip (principles), baik prinsip Eropa maupun prinsip umum yang diakui secara universal, sebagai dasar kebijakan. Kedua, adalah aksi atau tindakan (action) yang dilakukan untuk mempromosikan prinsip tersebut,

(6)

6

dengan menggunakan metode-yang cenderung persuasif. Ketiga, dampak (impact) dari proses aksi yang mampu menciptakan suatu hubungan berkesinambungan (Manners, 2009, pp. 2-4).

Konsep ini akan digunakan untuk menjelaskan bahwa norma menjadi basis politik Uni Eropa dalam berinteraksi dengan aktor-aktor eksternal. Pembahasan dari konsep ini akan diperdalam dalam bab II.

D. Hipotesa

Normative power merupakan sebuah konsep kekuatan yang kompleks. Ia dilandasi oleh prinsip-prinsip universal yang diakui di tingkat internasional maupun regional; proses transfer kepada negara lain melalui metode yang persuasif dan tidak menekan; serta memiliki dampak yang berkelanjutan. Penelitian ini berargumen bahwa ketiga poin mendasar dari kekuatan normatif tersebut telah dilakukan oleh Uni Eropa di Indonesia. Yakni melalui berbagai program seperti proses bina-damai di Aceh, Human Rights Dialogue, penandatanganan Partnership and Cooperation Agreement 2009, serta kerjasama di bidang perdagangan kayu legal dalam kerangka FLEGT-VPA. Penelitian ini juga akan membahas inti dari kekuatan normatif seperti yang disampaikan Ian Manners, yakni bahwa ketiga poin dasar diatas harus mampu membawa ketertarikan dari negara partner untuk menerapkan norma-norma Eropa atas keinginan sendiri.

E. Sistematika Penulisan

Untuk membahas masalah tersebut di atas, penelitian ini akan dibagi ke dalam lima bab. Bab pertama membahas latar belakang masalah, pertanyaan riset, serta landasan konseptual yang dipakai dalam riset. Konsep kekuatan normatif dan hak asasi manusia menjadi dua konsep yang dijelaskan dalam bab ini. Bab kedua akan membahas konsep kekuatan normatif yang dikemukakan oleh Ian Manners. Penjelasan pertama akan dilakukan dengan melihat bagaimana dinamika kajian konsep „power‟ untuk memberikan pemetaan terma kekuatan normatif di antara „kekuatan-kekuatan‟ lain. Setelah itu bab ini akan menjelaskan konsep kekuatan normatif yang ditulis oleh Ian Manners dalam beberapa publikasinya, serta bagaimana Ian Manners meletakkan Uni Eropa

(7)

7

sebagai aktor kekuatan normatif. Bab ini diakhiri dengan gambaran umum pelaksanaan kekuatan normatif oleh UE dalam hubungan internasional. Bab ketiga akan membahas kebijakan-kebijakan eksternal yang dilakukan oleh Uni Eropa di Indonesia. Bab keempat akan berisi analisis mengenai hubungan antara program-program tersebut dengan konsep normative power yang diusung Ian Manners. Bab kelima akan berisi kesimpulan yang dapat diambil dari keseluruhan penelitian

Gambar

Gambar 1. Unsur Kekuatan Normatif Eropa (Sugiono, 2012)

Referensi

Dokumen terkait

Kelompok bahan baku yang termasuk ke dalam kelompok sumber protein utama dan kelompok yang bukan sumber protein utama (sebut saja sebagai kelompok sumber protein

harga per unit dari hasil produksi yang dijualnya dari tanggal 1 s/d 15 bulan pencacahanI. PENGENALAN TEMPAT DAN

dalam Perbankan Syariah$ tercatat hingga saat ini sudah C% "at8a yang dikeluarkan .S- ,+I terkait ;embaga Keuangan Syariah ,aka$ dari "at8a?"at8a .S- dan

Tahap penilaian resiko adalah proses identifikasi dan penilaian resiko serta analisa dampak kerugian atas kehilangan asset yang ditimbulkan masing-masing

Dari kasus, telah dijelaskan oleh seorang psikiatris bahwa Tuan X suami dari ibu yang berusia 68 tahun didiagnosis menderita dimensia tipe

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Januari 2017 di SMA N 1 Pajangan dengan cara wawancara langsung kepada 10 siswi didapatkan hasil bahwa 6 remaja

Pada tahun 1985 industri keramik Plered mulai berupaya untuk meningkatkan keramik gerabahnya baik secara kualitas dan kuantitasnya ke industri kerajinan keramik hias

Apakah Bapak mempunyai anak kandung laki-laki atau perempuan yang sekarang masih hidup tetapi tidak tinggal bersama Bapak?. Berapa jumlah anak laki-laki yang tinggal