TUGAS MAKALAH
“PENGAKUAN DALAM HUKUM INTERNASIONAL”
(Ibu Melly Aida, S.H., M.Hum.)
Disusun Oleh:
1. Siti Azzahra Febrlia Putri 2312011204
2. Regina Krisna Murti 2312011329
3. Silvana Deswita Sari 2312011332
4. Noach Karen Adisura 235011090
5. Radi Pramudya Wansri 2312011325
6. Gerswin Tarnama Samosir 2312011366
7. Damar Adyatma Ahkap 2312011335
8. Muhammad Rifandi Husni Mubaroq 2312011368
9. Damar Adyatma Ahkap 2312011335
10. Zacky Ilham Abror 2312011367
PROGRAM STUDI S1 HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
2024/2025
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
"Pengakuan dalam Hukum Internasional". Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas akademik untuk memberikan pemahaman lebih mendalam mengenai konsep pengakuan dalam hukum internasional serta implikasinya terhadap hubungan antarnegara.
Makalah ini menguraikan berbagai bentuk pengakuan, mulai dari pengakuan de jure, de facto, hingga bentuk-bentuk pengakuan lainnya yang kerap diperdebatkan dalam hubungan internasional. Topik ini dipilih karena pentingnya memahami bagaimana proses pengakuan dapat mempengaruhi stabilitas politik dan legitimasi internasional suatu negara baru.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis telah berupaya menyajikan materi secara sistematis dan menyertakan berbagai referensi yang relevan. Namun demikian, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi perbaikan di masa yang akan datang.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan menjadi referensi yang berguna bagi pembaca yang ingin mendalami topik pengakuan dalam hukum internasional.
Lampung, 11 September 2024
Penulis
DAFTAR ISI
COVER... i
KATA PENGANTAR...ii
DAFTAR ISI... iii
BAB I PENDAHULUAN...1
A. Latar Belakang...1
B. Rumusan Masalah... 1
C. Tujuan... 2
BAB II PEMBAHASAN... 3
A. Definisi Pengakuan dalam Hukum Internasional...3
B. Jenis – Jenis Pengakuan...4
BAB III PENUTUP... 9
A. Kesimpulan...9
DAFTAR PUSTAKA... 10
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Dalam hal pemberian pengakuan kepada negara lain tersebut, pertama-tama negara harus dapat bertanggungjawab atas negara-negara lain, lalu pemerintah yang ada di negara baru tersebut harus memperoleh kekuasaannya yang didasari melalui konstitusional (Hadju, 2019). Berawal dari fakta ini, banyak pasar internasional yang memberikan pendapat terkait dengan pengakuan ini sebagai suatu tindakan politik negara untuk mengenali negara lain yang baru mendapatkan pengakuan pembentukan suatu negara dimata dunia (Pujilestari, 2018).
Pengakuan itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu hal yang berguna untuk menjamin bahwa suatu negara yang baru dapat menempati serta menduduki tempatnya yang sesuai dan wajar sebagai suatu organisme politik yang merdeka dan berdaulat ditengah keluarga bangsa-bangsa yang lain, sehingga ia dapat mengadakan dan menghadiri berbagai hubungan dengan negara-negara lain seperti hubungan kerjasama secara aman serta tanpa khawatir dengan kedudukannya sebagai suatu kesatuan politik itu akan terganggu dan atau diganggu oleh negara-negara berdaulat yang lain yang sudah ada atau yang sudah diakui terlebih dahulu sebagaimana seperti yang dikatakan oleh pakar Hukum Internasional Amerika Serikat, MOORE (Widagdo, Wahyudi, Setyorini, &
Basuki, 2008).
Pengakuan merupakan salah satu elemen penting dalam hukum internasional, terutama ketika berbicara mengenai pengakuan negara dan pemerintahan baru. Dalam konteks hukum internasional, pengakuan dapat menjadi faktor penentu legitimasi serta keabsahan entitas tertentu dalam hubungan internasional. Dalam makalah ini, akan dibahas tentang konsep pengakuan dalam hukum internasional, jenis-jenis pengakuan, serta dampaknya terhadap sistem hukum internasional dan hubungan antarnegara (Libella, Salsabila, and Putri 2020).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam makalah ini yaitu:
1. Apa definisi dari pengakuan dalam hukum internasional?
2. Apa saja jenis – jenis dalam pengakuan?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan diatas maka tujuan dalam makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui tentang pengakuan dalam hukum internasional.
2. Untuk mengetahui berbagai bentuk pengakuan.
BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Pengakuan dalam Hukum Internasional
Dalam Hukum Internasional, Pengakuan (recognition) merupakan bentuk pernyataan formal tentang status negara yang berdaulat dari suatu negara kepada negara lainnya. Recognition sebagai sebuah tindakan diplomatik dapat diberikan secara sepihak oleh satu negara maupun lebih. Tujuan praktis dari recognition adalah untuk mengawali hubungan resmi antara negara yang mengakui dengan negara yang diakui. Pengakuan secara konstitutif dapat menciptakan status kenegaraan atau melengkapi otoritas pemerintahan baru di lingkungan internasional (Arman Anwar 2021).
Pengakuan negara adalah pengakuan bahwa suatu kesatuan yang lahir, diakui telah memenuhi persyaratan yang ditentukan hukum internasional sebagai negara sehingga diakui pula sebagai pribadi dalam hukum dan masyarakat internasional. Bila munculnya negara baru sebagai hasil proses dekolonisasi damai, maka pengakuan tidak akan menimbulkan masalah. Tapi kalau negara baru itu hasil pemberontakan, revolusi atau gerakan kemerdekaan, pemberian pengakuan dapat berakibat memburuknya hubungan dengan negara induk, sebab negara induk akan merasa tersinggung dan bahkan menganggap sebagai intervensi. Konsekuensi pengakuan negara hanya terbatas pada negara yang diakui dan negara yang mengakui konsekuensi tersebut antara lain:
a. Pengakuan personalitas hukum internasional penuh negara baru.
b. Hubungan kedua negara bersangkutan dilakukan atas dasar kesamaan.
c. Negara baru diakui memiliki kedaulatan dalam wilayahnya, serta mempunyai kapasitas memberikan nasionalitas dan perlindungan politik.
d. Negara baru bertanggung jawab atas semu tindakanya berdasarkan hukum internasional.
Telah disinggung diatas bahwa pengakuan merupakan unsur penting dalam hukum internasional, tetapi sangat rumit dalam prakteknya dan banyak menimbulkan kesulitan- kesulitan. Kesulitan ini timbul disebabkan tidak adanya aturan hukum yang tegas dalam pemberian pengakuan dan tidak ada kekuatan internasional yang berwenang dan mampu memaksakan untuk dipatuhinya aturanaturan pengakuan itu oleh negara-negara. Pada prinsipnya persoalan ini (kesulitan - kesulitan tersebut) melekat dengan kondisi pengakuan itu sendiri, yang sangat dipahami berdasarkan dua sisi, yaitu: pengakuan merupakan
bagian dari hukum internasional, dan sifat hukum internasional itu sendiri yang bersifat menjelaskan atau koordinatif, dan tidak mengenal hierarkis. Berdasarkan bentuk pengakuan dapat di bedakan menjadi; pengakuan de jure, pengakuan de facto, pengakuan kolektif, pengakuan bersyarat, pengakuan sementara, pengakuan ad hoc, pengakuan prematur, dan pengakuan kuasi (Fachri and Bangsa 2015).
Pengakuan dalam hukum internasional merupakan persoalan yang cukup rumit karena sekaligus melibatkan masalah hukum dan politik. Dalam masalah pengakuan, unsur-unsur politik dan hukum sulit untuk dipisahkan secara jelas karena pemberian dan penolakan pengakuan oleh suatu negara sering dipengaruhi pertimbangan politik, sedangkan akibatnya mempunyai ikatan hukum. Kesulitan juga berasal dari fakta bahwa hukum internasional juga tidak mengharuskan suatu negara untuk mengakui negara lain atau pemerintah lain seperti juga halnya bahwa suatu negara atau suatu pemerintah tidak mempunyai hak untuk diakui oleh negara lain. Tidak ada keharusan untuk mengakui seperti juga tidak ada kewajiban untuk tidak mengakui. Seperti dikemukakan Komisi Arbitrase, konvensi Perdamaian mengenai Yugoslavia, pengakuan merupakan suatu perbuatan berhati-hati yang dapat dilakukan negara disaat yang dikehendaki dan dalam bentuk yang ditentukanya secara bebas. Moore dalam tulisannya yang termuat dalam Digest of International Law, Vol 1, disebutkan bahwa suatu jaminan yang telah diberikan kepada suatu Negara baru bahwa ia akan diperkenankan mengambil tempat atau tingkatan yang layak dalam karakteristiknya sebagai suatu orgnisasi politik dalam masyarakat bangsa-bangsa.
B. Jenis – Jenis Pengakuan
Pengakuan dalam hukum internasional merupakan salah satu konsep kunci dalam menentukan legitimasi sebuah negara atau pemerintahan baru dalam tatanan global.
Pengakuan ini pada dasarnya adalah tindakan formal oleh satu negara untuk mengakui keberadaan negara atau pemerintahan lain, yang secara langsung mempengaruhi hubungan internasional dan stabilitas kawasan. Ada beberapa bentuk pengakuan yang dikenal dalam hukum internasional, termasuk pengakuan de jure, de facto, pengakuan kolektif, pengakuan bersyarat, pengakuan sementara, pengakuan ad hoc, pengakuan prematur, dan pengakuan kuasai. Masing-masing memiliki implikasi dan dinamika tersendiri.
1. Pengakuan De Jure
Pengakuan de jure adalah bentuk tertinggi dari pengakuan yang dapat diberikan oleh suatu negara kepada negara atau pemerintahan baru. Pengakuan ini menyiratkan bahwa entitas yang diakui telah secara formal memenuhi semua persyaratan yang ditentukan oleh hukum internasional untuk dianggap sebagai negara yang sah. Dalam konteks hukum internasional, syarat-syarat ini biasanya mencakup adanya wilayah yang jelas, pemerintahan yang berfungsi, populasi yang tetap, serta kemampuan untuk menjalin hubungan internasional secara independen.
Pengakuan de jure memiliki sifat permanen dan tidak dapat ditarik kembali, kecuali dalam situasi di mana negara atau pemerintahan yang diakui tersebut kehilangan statusnya sebagai negara, seperti melalui pembubaran atau aneksasi oleh negara lain. Dalam kasus tersebut, pengakuan akan otomatis hilang bersama dengan hilangnya eksistensi negara tersebut.
Pengakuan de jure juga memiliki dampak signifikan dalam hubungan diplomatik. Negara yang diakui de jure akan memperoleh hak penuh sebagai anggota komunitas internasional, termasuk hak untuk menjalin hubungan diplomatik, berpartisipasi dalam organisasi internasional, serta membuat perjanjian-perjanjian internasional yang sah. Selain itu, negara-negara yang telah memberikan pengakuan de jure wajib memperlakukan negara yang diakui tersebut dengan hormat dan setara di bawah hukum internasional.
2. Pengakuan De Facto
Sementara pengakuan de jure bersifat formal dan permanen, pengakuan de facto adalah bentuk pengakuan sementara atau tentatif yang diberikan kepada suatu negara atau pemerintahan baru yang telah memenuhi syarat-syarat dasar sebagai negara, namun mungkin masih berada dalam situasi yang tidak stabil. Pengakuan de facto diberikan ketika negara atau pemerintahan baru tersebut secara faktual telah memiliki kontrol efektif atas wilayahnya, meskipun mungkin belum mencapai stabilitas politik atau hukum yang memadai untuk diakui de jure.
Pengakuan de facto seringkali bersifat politis dan tidak bersifat hukum sepenuhnya. Negara-negara memberikan pengakuan de facto sebagai langkah awal sebelum memberikan pengakuan penuh de jure, sering kali dengan tujuan untuk melindungi kepentingan mereka, seperti kepentingan ekonomi atau keselamatan warga negara mereka yang tinggal di negara yang diakui tersebut.
Meskipun pengakuan de facto tidak memberikan legitimasi hukum penuh kepada negara yang diakui, pengakuan ini dapat memberikan kesempatan bagi negara tersebut untuk memperbaiki situasi internalnya dan membuktikan stabilitas politik serta kemampuannya dalam menjalankan pemerintahan yang sah. Jika negara yang diakui de facto berhasil mencapai stabilitas dan memenuhi persyaratan hukum internasional, pengakuan ini dapat ditingkatkan menjadi pengakuan de jure.
3. Pengakuan Kolektif
Pengakuan kolektif merupakan bentuk pengakuan yang diberikan oleh sekelompok negara secara bersamaan melalui mekanisme organisasi internasional atau perjanjian multilateral. Pengakuan ini biasanya diambil melalui keputusan internasional, seperti hasil konferensi multilateral atau resolusi yang dikeluarkan oleh organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Contoh pengakuan kolektif dapat dilihat dalam pengakuan terhadap negara- negara baru yang terbentuk setelah pecahnya Uni Soviet atau Yugoslavia. Dalam kasus tersebut, PBB dan organisasi internasional lainnya memainkan peran penting dalam memberikan pengakuan kolektif kepada negara-negara baru yang muncul, memberikan legitimasi internasional yang lebih kuat kepada negara-negara tersebut.
4. Pengakuan Bersyarat
Pengakuan bersyarat diberikan dengan menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh negara atau pemerintahan baru yang diakui. Syarat-syarat ini dapat bersifat objektif, yaitu berkaitan dengan kondisi faktual di negara yang diakui, atau bersifat subjektif, yang melibatkan konsesi politik atau ekonomi yang diberikan kepada negara pengakui.
Misalnya, sebuah negara dapat memberikan pengakuan bersyarat kepada negara baru dengan syarat negara tersebut harus memperbaiki situasi hak asasi manusia atau mematuhi prinsip-prinsip demokrasi. Jika negara yang diakui gagal memenuhi syarat-syarat tersebut, meskipun pengakuan bersyarat tidak dapat dibatalkan secara hukum, pengakuan tersebut bisa kehilangan arti politis atau moral.
5. Pengakuan Sementara
Pengakuan sementara sering kali diberikan dalam situasi di mana terdapat dua
yang memiliki kepentingan dalam stabilitas wilayah tersebut biasanya memberikan pengakuan sementara kepada salah satu pemerintahan yang dianggap memiliki kontrol administratif yang lebih baik.
Pengakuan sementara bersifat terbatas, dan biasanya diberikan hanya sampai situasi politik di negara yang bersangkutan menjadi lebih jelas atau stabil. Jika pemerintahan yang diakui sementara berhasil mempertahankan kontrol dan legitimasi, pengakuan ini dapat ditingkatkan menjadi pengakuan de jure.
6. Pengakuan Ad Hoc
Pengakuan ad hoc diberikan dalam situasi khusus di mana suatu negara atau pemerintahan baru belum memenuhi syarat untuk mendapatkan pengakuan de facto atau de jure, tetapi masih memerlukan interaksi formal dengan negara-negara lain.
Pengakuan ini biasanya diberikan untuk tujuan-tujuan khusus dan terbatas, seperti negosiasi atau kesepakatan bilateral yang tidak berdampak hukum secara luas.
Sebagai contoh, negara-negara dapat melakukan korespondensi diplomatik dengan negara yang belum diakui penuh untuk mencapai kesepakatan perdagangan atau bantuan kemanusiaan. Pengakuan ad hoc ini tidak memberikan legitimasi penuh kepada negara yang diakui, namun memungkinkan adanya kerjasama sementara dalam situasi mendesak.
7. Pengakuan Prematur
Pengakuan prematur terjadi ketika pengakuan diberikan kepada suatu negara atau pemerintahan baru sebelum syarat-syarat yang ditetapkan oleh hukum internasional terpenuhi. Pengakuan prematur seringkali dipandang sebagai bentuk intervensi dalam urusan internal negara yang bersangkutan, terutama jika negara lama atau pemerintahan yang sah masih berupaya untuk mempertahankan kontrol atas wilayahnya.
Pengakuan prematur dapat menimbulkan konflik diplomatik, karena dapat dianggap sebagai dukungan terbuka terhadap pemberontak atau pemerintah yang tidak sah. Dalam beberapa kasus, pengakuan prematur digunakan sebagai alat politik untuk mendukung pihak tertentu dalam konflik internal suatu negara.
8. Pengakuan Kuasai
Pengakuan kuasai adalah bentuk pengakuan tidak resmi di mana suatu negara tidak secara eksplisit memberikan pengakuan kepada negara atau pemerintahan baru,
namun tetap menjalin hubungan diplomatik atau ekonomi yang baik. Pengakuan ini dapat ditafsirkan dari tindakan-tindakan seperti perdagangan, korespondensi diplomatik, atau partisipasi dalam organisasi internasional bersama negara yang tidak diakui.
Meskipun pengakuan kuasai tidak memiliki dasar hukum yang jelas, praktik ini sering digunakan untuk menjaga hubungan yang pragmatis antara negara-negara tanpa memberikan legitimasi penuh kepada pihak yang diakui.
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan
Pengakuan dalam hukum internasional adalah elemen penting yang menentukan legitimasi suatu negara atau pemerintahan baru dalam tatanan global. Pengakuan ini memungkinkan negara baru untuk menempati posisinya dalam komunitas internasional serta menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain. Pengakuan dapat diberikan dalam berbagai bentuk, masing-masing dengan konsekuensi hukum dan politik yang berbeda.
Pengakuan de jure adalah bentuk tertinggi dari pengakuan yang menunjukkan bahwa negara tersebut telah memenuhi semua persyaratan internasional secara formal dan tidak dapat dicabut. Sementara itu, pengakuan de facto diberikan secara sementara ketika suatu negara baru memenuhi syarat dasar untuk diakui, namun belum memiliki stabilitas yang cukup. Pengakuan kolektif diberikan melalui keputusan organisasi internasional, sedangkan pengakuan bersyarat disertai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh negara yang diakui.
Selain itu, pengakuan sementara diberikan kepada pemerintahan yang belum sepenuhnya stabil, sementara pengakuan ad hoc bersifat terbatas pada tujuan-tujuan khusus. Pengakuan prematur terjadi sebelum syarat-syarat internasional terpenuhi dan bisa dianggap sebagai intervensi, sedangkan pengakuan kuasi adalah bentuk pengakuan tidak resmi yang tetap memungkinkan hubungan antara negara-negara tanpa legitimasi formal.
Dengan demikian, pengakuan memainkan peran penting dalam stabilitas politik dan hubungan internasional, namun seringkali kompleks karena melibatkan pertimbangan politik, hukum, dan diplomatik.
DAFTAR PUSTAKA Arman Anwar. 2021. Cahaya Islam Di Eropa.
Fachri, Yuli, and Jurnal Antar Bangsa. 2015. “Yuli Fachri , ‘ Politik Pengakuan Dalam Hukum Internasional ’, Jurnal Antar Bangsa, Volume 2, Nomor 2, Juli 2015. 1” 2.
Hadju, Z. A. A. (2019). Anotasi Spirit Unable dan Unwilling Terhadap Kejahatan Perang Israel Palestina. Jambura Law Review, 1(2), 167-191.
Libella, Elsa, Fatimah Zulfa Salsabila, and Regika Pramesti Echa Marsanto Putri. 2020.
“Pengakuan Dalam Pembentukan Negara Ditinjau Dari Segi Hukum Internasional.”
Journal of Judicial Review 22 (2): 165. https://doi.org/10.37253/jjr.v22i2.1498.
Pujilestari, Y. (2018). Peranan Pengakuan dalam Hukum Internasional: Teori Lahirnya Suatu Negara dan Ruang Lingkup Pengakuan. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, 5(2), 167- 178.
Widagdo, S., Wahyudi, S., Setyorini, Y., & Basuki, I. (2008). Masalah-Masalah Hukum Internasional Publik, Malang: Bayu Media Publishing.