• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH SEJINDO KEL3

N/A
N/A
Nadiatul Muttafiqo

Academic year: 2025

Membagikan "MAKALAH SEJINDO KEL3"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

BELANDA DI HINDIA-BELANDA

Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Indonesia Dosen Pengampu: Wafiyatu Maslahah, M.Pd

Disusun Oleh:

Dewi Hayatul Maghfiroh (23842071002) Nadiatul Muttafiqo (23842071005)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS PENDIDIKAN

UNIVERSITAS ISLAM RADEN RAHMAT MALANG APRIL

2025

(2)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT. yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.

Tanpa pertolongan-Nya tentu kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW. yang kita nantikan syafaatnya di akhirat kelak.

Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada Ibu Wafiyatu Maslahah, M.Pd. selaku dosen pengampu Mata Kuliah Sejarah Indonesia yang membimbing kami dalam tugas makalah ini. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman yang selalu bersedia membantu dalam hal mengumpulkan data-data dalam pembuatan makalah ini.

Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT. atas karunia-Nya. Baik itu berupa Kesehatan jasmani dan rohani, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “BELANDA DI HINDIA-BELANDA”.

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna menjadi acuan agar penulis bisa lebih baik lagi dimasa mendatang.

Malang, April 2025

Penulis

DAFTAR ISI

(3)

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI...iii

BAB I...1

PENDAHULUAN...1

1.1 LATAR BELAKANG...1

1.2 RUMUSAN MASALAH...2

1.3 TUJUAN... 2

BAB II... 3

PEMBAHASAN...3

2.1 Proses terjadinya kekuasaan Belanda di Hindia Belanda...3

2.2 Berakhirnya kekuasaan Belanda di Hindia Belanda...5

2.3 Perlawanan rakyat melawan Belanda...8

BAB III...12

PENUTUP...12

3.1 Kesimpulan... 12

DAFTAR PUSTAKA... 14

(4)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

kedatangan Belanda ke Indonesia adalah akibat meletusnya perang delapan puluh tahun antara Belanda dan Spanyol (1568-1648). Pada awalnya, perang antara Belanda dan Spanyol bersifat agama, karena Belanda mayoritas beragama kristen protestan sedangkan orang Spanyol beragama kristen katolik. Perang tersebut kemudian menjadi perang ekonomi dan politik. Raja Philip II dari Spanyol memerintahkan kota Lisabon tertutup bagi kapal Belanda pada tahun 1585 selain karena faktor tesebut, juga karena adanya petunjuk jalan ke Indonesia dari Jan Huygen Van Lischoten, mantan pelaut Belanda yang bekerja pada Portugis dan pernah sampai di Indonesia.

Tujuan kedatangan Belanda ke Indonesia adalah untuk berdagang rempah-rempah. Setelah berhasil menemukan daerah penghasil rempah- rempah dan keuntungan yang besar, Belanda berusaha untuk mengadakan monopoli perdagangan rempah-rempah dan menjajah. Untuk melancarkan usahanya, Belanda menempuh beberapa cara seperti pembentukan VOC dan pembentukan pemerintahan kolonial Hindia-Belanda.

Pada awal abad XIX Jawa setelah pemerintahan Inggris berakhir, yaitu pada tahun 1816, Indonesia kembali dikuasai oleh Pemerintahan Kolonial Belanda. Pada masa kedua penjajahan ini, yang sangat terkenal adalah sistem tanam paksa yang diterapkan oleh Van den Bosch. Pelaksanaannya pun dimulai pada tahun 1830. Terdapat ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaan sistem tanam paksa tersebut. Namun pada akhirnya, dalam praktek

sesungguhnya terdapat banyak penyimpangan-penyimpangan.

Terdapat perbedaan antara penerapan sistem sewa tanah yang dilaksanakan oleh Raffles serta sistem tanam paksa yang dilaksanakan oleh Van den Bosch. Keduanya membawa dampak yang tidak sedikit bagi kehidupan bangsa Indonesia.

Dalam perkembangan sampai dengan paruh pertama abad ke-19, kebijakan selain bidang perekonomian, dalam bidang pendidikan juga tidak

(5)

diabaikan oleh pemerintah Hindia-Belanda, tetapi itu hanya masih berupa rencana dari pada tindakan nyata. Dalam periode itu pemerintah harus melakukan penghematan anggaran, biaya untuk menumpas Perang Dipenogoro (1825-1830), dan untuk pelaksanaan Culturstelsel.

Dalam rangka usahanya menguasai Indonesia, Belanda secara licik menjalankan politik pecah belah, sehingga kerajaan-kerajaan yang saling bertentangan itu menjadi lemah. Kesempatan inilah digunakan oleh Belanda untuk menjajah Indonesia.

1.2 RUMUSAN MASALAH

a. Jelaskan Proses terjadinya kekuasaan Belanda di Hindia Belanda b. Jelaskan Berakhirnya kekuasaan Belanda di Hindia Belanda c. Jelaskan Perlawanan rakyat melawan Belanda?

1.3 TUJUAN

a. Jelaskan Proses terjadinya kekuasaan Belanda di Hindia Belanda b. Jelaskan Berakhirnya kekuasaan Belanda di Hindia Belanda c. Jelaskan Perlawanan rakyat melawan Belanda?.

(6)

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Proses terjadinya kekuasaan Belanda di Hindia Belanda

Awal mula keterlibatan Belanda di Nusantara tak bisa dilepaskan dari gelombang penjelajahan samudra bangsa Eropa pada abad ke-16, yang didorong oleh hasrat untuk menemukan jalur perdagangan rempah-rempah langsung ke Asia. Sebelumnya, komoditas berharga seperti lada, cengkeh, pala, dan kayu manis diperdagangkan melalui perantara, yang meningkatkan harga secara signifikan di pasar Eropa. Ketika bangsa Portugis dan Spanyol berhasil mencapai dan mendirikan pos-pos dagang di beberapa wilayah Nusantara, hal ini memicu ketertarikan dan persaingan dari negara-negara Eropa lainnya, termasuk Belanda. Ekspedisi Cornelis de Houtman pada tahun 1596 menjadi penanda kedatangan pertama kapal-kapal dagang Belanda di Banten, membuka jalan bagi interaksi yang lebih intensif.

Menyadari potensi keuntungan besar namun juga persaingan sengit antar pedagang Belanda sendiri dan dengan kekuatan Eropa lain, terutama Portugis dan Inggris, maka pada tahun 1602 didirikanlah Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Pembentukan VOC merupakan langkah strategis yang memberikan monopoli perdagangan di wilayah timur Tanjung Harapan hingga Selat Magelhaens, termasuk Nusantara. Lebih dari sekadar perusahaan dagang, VOC dilengkapi dengan kekuasaan yang luar biasa, termasuk hak untuk membangun benteng, mengangkat dan memberhentikan pegawai, membuat perjanjian, mencetak uang, dan bahkan melakukan peperangan. Dengan modal yang besar dan kewenangan yang luas, VOC secara sistematis berusaha untuk menguasai sumber-sumber rempah-rempah dan jalur perdagangannya.

Strategi VOC dalam memperkuat kekuasaannya melibatkan berbagai cara. Mereka membangun benteng dan pangkalan perdagangan yang berfungsi sebagai pusat administrasi, pertahanan militer, dan pengawasan aktivitas perdagangan. Batavia (Jayakarta yang direbut dan diubah namanya)

(7)

menjadi pusat kekuasaan VOC di Nusantara. Selain itu, VOC aktif terlibat dalam intrik politik kerajaan-kerajaan lokal. Mereka tak segan mendukung penguasa yang bersedia bekerja sama demi kepentingan perdagangan VOC dan menyingkirkan, bahkan melalui kekerasan dan peperangan, penguasa yang dianggap menghalangi. Contohnya adalah penaklukan Kesultanan Banten dan Ambon serta pembantaian di Banda untuk memonopoli pala.

Melalui serangkaian perjanjian yang seringkali tidak adil dan paksaan militer, wilayah pengaruh dan kekuasaan VOC secara bertahap meluas, mencakup tidak hanya pelabuhan-pelabuhan penting tetapi juga wilayah-wilayah penghasil rempah-rempah.

Untuk memaksimalkan keuntungan, VOC menerapkan berbagai kebijakan ekonomi yang sangat eksploitatif terhadap penduduk lokal. Sistem verplichte leverantie (penyerahan wajib hasil bumi dengan harga yang ditentukan sepihak oleh VOC) dan contingenten (pajak berupa hasil bumi) membebani petani dan merampas sebagian besar hasil jerih payah mereka.

Monopoli perdagangan juga mematikan jalur perdagangan alternatif bagi penguasa dan pedagang lokal, melemahkan ekonomi mereka secara signifikan.

Memasuki akhir abad ke-18, VOC mulai mengalami kemunduran akibat korupsi yang merajalela di kalangan para pejabatnya, manajemen yang buruk, dan biaya peperangan yang tinggi. Utang VOC menumpuk, dan pada tahun 1799, perusahaan dagang raksasa ini dibubarkan. Seluruh aset dan wilayah kekuasaannya kemudian diambil alih oleh pemerintah Belanda.

Peralihan ini menandai era pemerintahan kolonial Belanda secara langsung di Hindia Belanda.

Di bawah pemerintahan langsung Belanda, upaya konsolidasi dan perluasan kekuasaan terus dilakukan. Pada abad ke-19, pemerintah Belanda melakukan ekspedisi militer ke wilayah-wilayah yang sebelumnya belum sepenuhnya dikuasai VOC, terutama di pedalaman Jawa (Perang Diponegoro) dan Sumatera (Perang Aceh). Pembangunan infrastruktur seperti jalan, rel kereta api, pelabuhan, dan jaringan irigasi digalakkan, meskipun tujuan

(8)

utamanya adalah untuk mendukung eksploitasi sumber daya alam dan memperlancar administrasi kolonial. Kebijakan Cultuurstelsel atau tanam paksa yang diterapkan pada pertengahan abad ke-19 menjadi puncak eksploitasi ekonomi, di mana penduduk dipaksa menanam tanaman komoditas ekspor di sebagian besar tanah mereka, seringkali dengan konsekuensi kelaparan dan kemiskinan.

Baru pada awal abad ke-20 muncul kritik yang kuat terhadap dampak negatif kebijakan kolonial. Sebagai respons, pemerintah Belanda

mencanangkan Politik Etis yang meliputi bidang irigasi, edukasi, dan emigrasi. Namun, implementasi kebijakan ini seringkali terbatas dan lebih berorientasi pada kepentingan Belanda dalam jangka panjang, seperti menciptakan tenaga kerja terdidik yang dibutuhkan oleh administrasi dan perusahaan-perusahaan Belanda.

Memasuki abad ke-20, benih-benih perlawanan terhadap kekuasaan kolonial semakin kuat dengan muncul dan berkembangnya berbagai organisasi pergerakan nasional yang menuntut kemerdekaan Indonesia.

Situasi global yang berubah, terutama dengan pecahnya Perang Dunia II dan pendudukan Jepang atas Hindia Belanda pada tahun 1942-1945, memberikan momentum baru bagi perjuangan kemerdekaan. Pendudukan Jepang secara tidak langsung melemahkan citra dan kekuasaan Belanda serta memberikan pelatihan militer dan organisasi kepada para pemuda Indonesia. Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, para pemimpin nasional Indonesia

memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Belanda berusaha untuk kembali berkuasa, namun perlawanan gigih dari rakyat Indonesia dalam Perang Kemerdekaan (1945-1949) dan tekanan internasional akhirnya memaksa Belanda untuk mengakui kedaulatan Republik Indonesia, menandai berakhirnya era kekuasaan kolonial Belanda di Hindia Belanda.

2.2 Berakhirnya kekuasaan Belanda di Hindia Belanda

Akar perlawanan terhadap kolonialisme Belanda telah tertanam jauh sebelum abad ke-20. Berbagai pemberontakan lokal seperti Perang Padri, Perang Diponegoro, dan Perang Aceh menunjukkan ketidakpuasan dan

(9)

perlawanan terhadap dominasi Belanda, meskipun seringkali bersifat

kedaerahan dan belum terorganisir secara nasional. Namun, memasuki abad ke-20, muncul generasi baru kaum intelektual Indonesia yang terinspirasi oleh ide-ide nasionalisme dan kemerdekaan. Mereka mendirikan organisasi- organisasi modern seperti Budi Utomo (1908), Sarekat Islam (1912), dan Indische Partij (1912), yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran nasional dan memperjuangkan hak-hak rakyat Indonesia. PNI di bawah kepemimpinan Soekarno, yang didirikan pada tahun 1927, secara tegas menyerukan kemerdekaan penuh bagi Indonesia, mengkonsolidasikan aspirasi nasional dalam satu gerakan politik yang kuat.

Perkembangan politik internasional juga turut memengaruhi dinamika di Hindia Belanda. Kemenangan Jepang atas Rusia dalam Perang Rusia- Jepang (1905) memberikan inspirasi bagi gerakan nasional di Asia bahwa bangsa Asia juga mampu mengalahkan kekuatan Barat. Ideologi-ideologi baru seperti sosialisme dan komunisme juga mulai menyebar dan

mempengaruhi pemikiran para pemimpin pergerakan nasional.

Pendudukan Jepang pada tahun 1942-1945 menjadi katalisator penting dalam proses berakhirnya kekuasaan Belanda. Meskipun Jepang datang sebagai penjajah baru yang juga melakukan eksploitasi, mereka secara tidak langsung melemahkan hegemoni Belanda. Administrasi kolonial Belanda lumpuh, dan banyak pejabat Belanda ditawan. Jepang memanfaatkan

sentimen anti-Belanda dan melibatkan tokoh-tokoh nasional Indonesia dalam pemerintahan boneka mereka. Hal ini memberikan pengalaman berorganisasi dan berpolitik bagi para pemimpin Indonesia serta melatih para pemuda dalam bidang militer melalui organisasi seperti PETA (Pembela Tanah Air).

Ketika Jepang mulai terdesak dalam Perang Dunia II, mereka bahkan menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia sebagai upaya untuk mendapatkan dukungan.

Kekalahan Jepang dan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 menjadi momen krusial. Namun, Belanda, yang didukung oleh Sekutu, berusaha untuk kembali menegakkan kekuasaannya di

(10)

Indonesia. Mereka mengirimkan pasukan dan melakukan agresi militer sebanyak dua kali (Agresi Militer I pada tahun 1947 dan Agresi Militer II pada tahun 1948). Tindakan Belanda ini mendapat kecaman luas dari dunia internasional.

Perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia tidak hanya dilakukan melalui pertempuran fisik oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan berbagai laskar rakyat, tetapi juga melalui jalur diplomasi. Pemerintah Republik Indonesia yang baru terbentuk aktif mencari dukungan

internasional. Simpati dan dukungan dari negara-negara di Asia, Afrika, dan bahkan sebagian negara Barat mulai mengalir. PBB juga mengeluarkan resolusi-resolusi yang mendesak Belanda untuk menghentikan agresi militer dan menyelesaikan sengketa secara damai.

Perundingan-perundingan antara Indonesia dan Belanda, seperti

Perjanjian Linggarjati (1946) dan Perjanjian Renville (1948), meskipun tidak sepenuhnya memuaskan bagi Indonesia, menunjukkan adanya tekanan internasional dan keinginan untuk mencari solusi damai. Namun, Belanda terus melakukan agresi militer, yang semakin memperburuk citra mereka di mata dunia dan meningkatkan dukungan internasional untuk kemerdekaan Indonesia.

Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag dari tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949 menjadi babak akhir dari perjuangan diplomatik. Di bawah tekanan internasional yang kuat, Belanda akhirnya setuju untuk mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS). Meskipun RIS merupakan bentuk negara federal yang dipaksakan oleh Belanda, pengakuan kedaulatan ini menjadi kemenangan besar bagi bangsa Indonesia. Beberapa isu penting seperti status Irian Barat (Papua) belum berhasil diselesaikan dan menjadi agenda perjuangan selanjutnya.

Pada tanggal 27 Desember 1949, penandatanganan dokumen

pengakuan kedaulatan di Amsterdam secara resmi mengakhiri lebih dari tiga setengah abad kekuasaan kolonial Belanda di Nusantara. Momen ini

menandai lahirnya negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat, meskipun

(11)

perjalanan untuk membangun bangsa yang utuh dan berkeadilan masih panjang. Berakhirnya kekuasaan Belanda adalah hasil dari kombinasi faktor internal, yaitu perjuangan gigih bangsa Indonesia, dan faktor eksternal, yaitu perubahan konstelasi politik internasional pasca Perang Dunia II dan tekanan dari dunia internasional.

2.3 Perlawanan rakyat melawan Belanda

Perlawanan rakyat Indonesia terhadap penjajahan Belanda terbentang dalam rentang waktu yang panjang dan melibatkan berbagai bentuk, mulai dari perlawanan fisik bersenjata hingga perlawanan non-fisik yang bersifat kultural dan sosial-ekonomi. Secara garis besar, perlawanan ini dapat

dikategorikan menjadi dua fase utama: perlawanan sebelum abad ke-20 yang bersifat kedaerahan, dan perlawanan pada abad ke-20 yang lebih terorganisir dan bersifat nasional.

Perlawanan Sebelum Abad ke-20 (Bersifat Kedaerahan): Fase ini ditandai dengan munculnya berbagai perlawanan di berbagai daerah di Nusantara yang dipimpin oleh tokoh-tokoh lokal, seperti raja, sultan, atau pemimpin agama. Latar belakang perlawanan ini beragam, mulai dari penolakan monopoli perdagangan VOC, campur tangan Belanda dalam urusan internal kerajaan, hingga penindasan dan eksploitasi ekonomi.

Beberapa contoh perlawanan terkenal pada periode ini meliputi:

a. Perlawanan Pattimura (1817): Rakyat Maluku di bawah kepemimpinan Thomas Matulessy (Pattimura) bangkit melawan upaya Belanda untuk kembali berkuasa dan memonopoli perdagangan rempah-rempah.

Perlawanan sengit terjadi di Saparua, namun akhirnya berhasil dipadamkan dan Pattimura dihukum mati.

b. Perang Padri (1803-1838): Konflik di Sumatera Barat yang awalnya merupakan perselisihan antara kaum agama (Padri) dan kaum adat, kemudian melibatkan Belanda yang memanfaatkan situasi untuk memperluas pengaruhnya. Perlawanan gigih dari Tuanku Imam Bonjol dan para pemimpin Padri lainnya akhirnya dapat ditaklukkan oleh kekuatan Belanda.

(12)

c. Perang Diponegoro (1825-1830): Perlawanan besar di Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro akibat ketidakpuasan terhadap campur tangan Belanda dalam urusan Kesultanan Yogyakarta dan pembangunan jalan yang melintasi tanah makam leluhur. Perang ini menguras banyak sumber daya Belanda dan baru berakhir setelah Diponegoro ditangkap melalui tipu muslihat.

d. Perang Bali (berbagai periode): Serangkaian perlawanan di Bali yang didasari oleh tradisi puputan (perang habis-habisan) untuk

mempertahankan kehormatan dan kemerdekaan kerajaan dariIntervensi Belanda. Tokoh-tokoh seperti I Gusti Ketut Jelantik memimpin

perlawanan yang sengit namun berakhir dengan kekalahan pihak Bali.

e. Perang Aceh (1873-1914): Perlawanan terpanjang yang dihadapi Belanda di Nusantara, dipimpin oleh para ulama, tokoh masyarakat, dan pejuang wanita seperti Cut Nyak Dien dan Teuku Umar. Perang ini baru berakhir setelah Belanda menerapkan strategi perang gerilya dan berhasil

menangkap atau menewaskan para pemimpin perlawanan.

f. Perlawanan Kalimantan: Meliputi Perang Banjarmasin yang dipimpin oleh Pangeran Antasari sebagai bentuk penolakan terhadap campur tangan Belanda dalam suksesi kesultanan dan eksploitasi sumber daya alam.

Ciri khas perlawanan pada fase ini adalah sifatnya yang lokal, tidak terorganisir secara nasional, dan seringkali bergantung pada kepemimpinan karismatik tokoh setempat. Meskipun gigih, perlawanan-perlawanan ini pada umumnya dapat dipadamkan oleh kekuatan militer Belanda yang lebih unggul dalam persenjataan dan strategi. Namun, semangat perlawanan ini terus membara dan menjadi landasan bagi munculnya pergerakan nasional di kemudian hari.

Perlawanan Abad ke-20 (Bersifat Nasional): Memasuki abad ke-20, muncul kesadaran nasional yang lebih luas di kalangan rakyat Indonesia, terutama kaum intelektual terdidik. Perlawanan terhadap Belanda tidak lagi bersifat kedaerahan dan sporadis, tetapi mulai terorganisir dalam bentuk

(13)

organisasi-organisasi modern dengan tujuan yang jelas: kemerdekaan Indonesia. Bentuk perlawanan juga mengalami pergeseran, tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik tetapi juga melalui jalur politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Beberapa bentuk perlawanan pada fase ini meliputi:

a. Organisasi Pergerakan Nasional: Berdirinya berbagai organisasi seperti Budi Utomo (1908), Sarekat Islam (1912), Indische Partij (1912), dan Partai Nasional Indonesia (PNI) (1927) yang secara sistematis menggalang massa, menyebarkan ide-ide nasionalisme, dan menuntut kemerdekaan melalui berbagai cara seperti propaganda, demonstrasi, dan aksi politik lainnya.

b. Perlawanan Melalui Pendidikan: Pendirian sekolah-sekolah swasta oleh tokoh-tokoh nasionalis seperti Taman Siswa oleh Ki Hajar Dewantara menjadi bentuk perlawanan kultural untuk menanamkan rasa kebangsaan dan mencerdaskan rakyat Indonesia di luar sistem pendidikan kolonial.

c. Perlawanan Melalui Media Massa: Penerbitan surat kabar dan majalah seperti De Express dan Indonesia Moeda menjadi sarana untuk

menyebarkan gagasan-gagasan nasionalisme dan mengkritik kebijakan kolonial Belanda.

d. Perlawanan Ekonomi: Upaya untuk membangun ekonomi kerakyatan dan melakukan boikot terhadap produk-produk Belanda juga menjadi bagian dari strategi perlawanan.

e. Keterlibatan dalam Volksraad (Dewan Rakyat): Meskipun bersifat terbatas, keterlibatan tokoh-tokoh nasionalis dalam Dewan Rakyat yang dibentuk oleh Belanda menjadi salah satu cara untuk menyuarakan aspirasi rakyat Indonesia dan mengkritisi kebijakan pemerintah kolonial dari dalam sistem.

Perlawanan pada abad ke-20 ini menunjukkan perubahan signifikan dalam strategi dan tujuan. Kesadaran akan persatuan dan kesatuan sebagai bangsa Indonesia semakin kuat, dan cita-cita kemerdekaan menjadi tujuan bersama. Meskipun Belanda terus melakukan penindasan dan menangkap para

(14)

pemimpin pergerakan, semangat nasionalisme tidak padam dan terus berkobar hingga akhirnya Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945.

(15)

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kekuasaan Belanda di Hindia Belanda memperlihatkan sebuah narasi kompleks tentang ambisi ekonomi, dominasi politik, eksploitasi sumber daya, dan perjuangan panjang menuju kemerdekaan. Kedatangan Belanda, yang awalnya didorong oleh hasrat untuk menguasai perdagangan rempah-rempah, bertransformasi menjadi penjajahan sistematis yang berlangsung selama lebih dari tiga abad. Melalui Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan kemudian pemerintahan kolonial langsung, Belanda berhasil

mencengkeramkan kekuasaannya di berbagai wilayah Nusantara,

mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia demi keuntungan материële mereka.

Meskipun kekuasaan Belanda membawa modernisasi dalam beberapa aspek seperti infrastruktur dan administrasi, hal tersebut tidak dapat menutupi dampak negatif yang mendalam bagi rakyat Indonesia. Kebijakan-kebijakan eksploitatif seperti monopoli perdagangan, tanam paksa, dan penindasan politik menyebabkan penderitaan dan kesenjangan sosial yang besar. Namun, penindasan ini juga menumbuhkan benih-benih perlawanan yang membara di berbagai lapisan masyarakat.

Perlawanan rakyat Indonesia terhadap penjajahan Belanda terwujud dalam berbagai bentuk, mulai dari pemberontakan kedaerahan yang gigih hingga pergerakan nasional yang terorganisir pada abad ke-20. Kesadaran akan identitas nasional dan cita-cita kemerdekaan menjadi kekuatan pendorong utama dalam perjuangan ini. Momentum Perang Dunia II dan pendudukan Jepang melemahkan cengkeraman Belanda dan memberikan peluang bagi Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945.

(16)

Meskipun proklamasi telah dikumandangkan, Belanda berusaha untuk kembali berkuasa, memicu Perang Kemerdekaan yang penuh dengan

heroisme dan pengorbanan. Dukungan internasional dan kegigihan bangsa Indonesia akhirnya memaksa Belanda untuk mengakui kedaulatan Republik Indonesia pada tahun 1949. Dengan demikian, berakhirnya kekuasaan Belanda di Hindia Belanda bukan hanya sekadar perpindahan kekuasaan, melainkan hasil dari perjuangan panjang, persatuan, dan tekad bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan dan menentukan nasibnya sendiri.

Warisan kolonialisme Belanda tetap membekas dalam berbagai aspek kehidupan di Indonesia, namun semangat perjuangan untuk mencapai kemerdekaan abadi menjadi fondasi yang kuat bagi pembangunan bangsa.

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, T. (2020). "Historiografi Indonesia di Era Digital: Tantangan dan Peluang." Jurnal Sejarah dan Budaya, 7(1).

Aziz, M. (2021). "Dampak Kebijakan Ekonomi Kolonial Belanda Terhadap Struktur Agraria di Jawa." Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, 21(2),

Carey, P. (2022). Kuasa Ramalan Pangeran Diponegoro: Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 (Edisi Revisi). Jakarta: Komunitas Bambu.

Colombijn, F. (2021). Kota Kolonial di Indonesia: Sejarah Sosial dan Ekonomi, 1600-2000. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Hakim, L. (2023). "Representasi Identitas Pribumi dalam Literatur Kolonial Belanda." Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 12(3),

Heringa, H. (2023). Kuasa dan Identitas di Hindia Belanda: Kajian Sejarah Hukum. Depok: Komunitas Bambu.

Ibrahim, M. (2024). "Politik Etis dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Pendidikan di Hindia Belanda." Jurnal Pendidikan Sejarah, 9(1).

Kusuma, A. (2020). "Resistensi Lokal Terhadap Ekspansi Kekuasaan VOC di Sulawesi." Jurnal Arkeologi dan Sejarah, 35(2),

Legge, J.D. (2020). Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Lestari, A. (2021). "Pengaruh Hukum Kolonial Belanda Terhadap Sistem Hukum Adat di Indonesia." Jurnal Hukum dan Masyarakat, 8(2),

Pratama, B. (2022). "Perkembangan Pers di Hindia Belanda dan Perannya dalam Membangun Kesadaran Nasional." Jurnal Komunikasi dan Media, 6(1), Rahmawati, S. (2023). "Mobilitas Sosial dan Pembentukan Kelas Menengah di

Era Kolonial Belanda." Jurnal Sosiologi Indonesia, 13(1).

(18)

Ricklefs, M.C. (2021). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Edisi Keempat).

Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Schulte Nordholt, H. (2024). Negara di Lautan: Sejarah Indonesia. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.

Van den Doel, H.W. (2020). Masa Lalu yang Belum Berlalu: Belanda dan Indonesia Sejak 1945. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI).

Referensi

Dokumen terkait

Faktor – faktor yang menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda karena Belanda ingin berkuasa kembali di Indonesia Peran dunia internasional dalam

Pengeluaran Belanda digunakan untuk membiayai keperluan militer sebagai akibat Perang Belgia pada tahun 1830 di Negeri Belanda dan Perang Jawa atau Perang Diponegoro

Masa Kemerdekaan dan Perjuangan untuk Mempertahankan Kemerdekaan dimulai dari tahun 1945-1949, diwarnai dengan pengisian perlengkapan sebagai negara merdeka dan

Faktor –faktor yang menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda karena Belanda ingin berkuasa kembali di Indonesia Peran dunia internasional dalam

Penelitian berjudul “Bireuen Pada Masa Mempertahankan Kemerdekaan (1945- 1949)” ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang keadaan Bireuen pada masa proklamasi kemerdekaan,

Era kemerdekaan  Belum terlaksana akibat benturan Belanda : Indonesia terus diganggu oleh Belanda, melalui genjatan senjata dan berbagai perang, bedanya Indonesia sudah bersatu 

➢ Bagan alur Peristiwa Perang padri : Tuanku Iman Bonjol Perlawanan kaum padri dan kaum adat melawan Belanda Perang Padri bermula dari pertentangan antara kaum ulama dan

Agresi Militer II Dimulai pada tahun 1948, Agresi Militer II adalah kelanjutan dari upaya Belanda untuk menguasai kembali Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus