MAKALAH SISTEM ADMINISTRASI NEGARA SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA TAHUN 1945-1949
KELOMPOK 1
DANIEL ARVIN KURNIANTO 23041010044
ATHAILLAH ORVALA 23041010070
RENDRA IMADA 23041010154
HAIKAL FIRDAUS 23041010213
M. THORIQ ABDILLAH ARRIZAL 23041010255
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAWA TIMUR
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena karunianya kami bisa melaksanakan dan menyelesaikan Mata Kuliah Reguler Sistem Administrasi Negara yang membahas tentang Sistem Pemerintahan Indonesia Tahun 1945-1949.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan ini masih memiliki banyak kendala dan tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang membuat makalah ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan ini masih memiliki banyak kendala dan tak terlepas dari bantuan banyak pihak yang membuat makalah ini dapat terselesaikan. Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dikarenakan keterbatasan pengalaman, waktu dan pengatuhan yang kami miliki. Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca dan dapat dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran dan kritikan dari semua yang membangun dari pembaca dan dari pihak siapapun demi kesempurnaan makalah ini.
Surabaya, 3 Maret 2024
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah BAB 2 : PEMBAHASAN
2.1 Struktur Pemerintahan Dan Kabinet Indonesia Tahun 1945-1949 2.2 Sistem Pemerintahan Pada Tahun 1945-1949
2.3 Cir-ciri Sistem Presidensial Semi Parlementer 2.4
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Masa 1945-1949 merupakan periode penting dalam sejarah Indonesia. Periode ini ditandai dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan melawan Belanda dan gejolak politik internal untuk menentukan sistem pemerintahan yang tepat bagi negara yang baru merdeka. Makalah ini akan meneliti sistem pemerintahan Indonesia pada masa 1945-1949.
Saat awal kemerdekaan, Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial berdasarkan UUD 1945. Presiden Soekarno memiliki kekuasaan yang besar, termasuk melantik dan memberhentikan menteri. Namun, sistem ini tidak berjalan baik. Kekacauan politik dan keamanan, serta perselisihan antara partai politik, mendorong perubahan sistem pemerintahan.
Pada November 1945, dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai badan legislatif sementara. KNIP memiliki kewenangan untuk mengawasi presiden dan mengeluarkan mosi tidak percaya kepada kabinet. Hal ini menandakan perubahan ke arah sistem parlementer. Tahun 1949, Indonesia beralih ke sistem semi-presidensial berdasarkan Konstitusi RIS. Pada saat ini, presiden tetap sebagai kepala negara, tetapi perdana menteri sebagai kepala pemerintahan bertanggung jawab kepada parlemen. Perubahan sistem pemerintahan di Indonesia selama periode 1945-1949 didorong oleh beberapa faktor yang pertama adanya kekacauan politik dan keamanan situasi negara yang masih belum stabil setelah kemerdekaan membutuhkan kepemimpinan yang kuat. Sistem presidensial dirasa lebih tepat untuk mengatasi situasi ini. Yang kedua yaitu adanya perselisihan antara partai politik. Keberagaman partai politik di Indonesia pada masa awal kemerdekaan seringkali menimbulkan perselisihan dan kebuntuan dalam proses pengambilan keputusan. Sistem parlementer diharapkan dapat mengakomodasi kepentingan berbagai partai politik dan menghasilkan pemerintahan yang lebih stabil. Adanya tekanan dari Belanda, Belanda ingin
Indonesia menganut sistem parlementer karena dianggap lebih sesuai dengan sistem demokrasi Barat.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana struktur pemerintahan dan kabinet pada pasa itu 2. Sistem pemerintahan apa yang di anut pada masa itu
3. Peridtiwa apa saja yang terjadi pada masa itu 4. Seperti apa kebijakan luar negri pada masa itu
BAB II PEMBAHASAN
2.1 STRUKTUR PEMERINTAHAN DAN KABINET INDONESIA TAHUN 1945- 1949
Presiden : Ir. Soekarno Wakil Presiden : Moch. Hatta
Struktur Kabinet Perdana Menteri :
Sutan Sjahrir (14 November 1945 - 24 Juni 1947)
Amir Sjarifuddin (3 Juli 1947 - 29 Januari 1948)
Djuanda (29 Januari 1948 - 27 Agustus 1948)
Hatta (19 Desember 1948 - 20 Desember 1949) Kementerian
1. Departemen Dalam Negeri :
- Soekarno (18 Agustus 1945 - 14 November 1945) - R.P. Soeroso (14 November 1945 - 24 Juni 1947) - Soedirman (24 Juni 1947 - 3 Juli 1947)
- Moewardi (3 Juli 1947 - 29 Januari 1948)
- Sjarifuddin Prawiranegara (29 Januari 1948 - 19 Desember 1948) - Soesanto Tirtoprodjo (19 Desember 1948 - 20 Desember 1949) 2. Departemen Luar Negeri :
- Achmad Soebardjo (18 Agustus 1945 - 14 November 1945) - Sutan Sjahrir (14 November 1945 - 24 Juni 1947)
- Mochtar Kusumaatmadja (24 Juni 1947 - 3 Juli 1947) - Agus Salim (3 Juli 1947 - 29 Januari 1948)
- Alexander Andries Maramis (29 Januari 1948 - 19 Desember 1948) - Hatta (19 Desember 1948 - 20 Desember 1949)
3. Departemen Perahanan :
- Soekarno (18 Agustus 1945 - 14 November 1945)
- Sri Sultan Hamengkubuwono IX (14 November 1945 - 24 Juni 1947) - Amir Sjarifuddin (24 Juni 1947 - 3 Juli 1947)
- Soedirman (3 Juli 1947 - 29 Januari 1948)
- Abdul Halim (29 Januari 1948 - 19 Desember 1948)
- Sri Sultan Hamengkubuwono IX (19 Desember 1948 - 20 Desember 1949) 4. Departemen Kehakiman :
- Soewondo (18 Agustus 1945 - 14 November 1945) - Abdulrachman Saleh (14 November 1945 - 24 Juni 1947) - Teuku Mohammad Hasan (24 Juni 1947 - 3 Juli 1947) - Susanto Tirtoprodjo (3 Juli 1947 - 29 Januari 1948) - Sahardjo (29 Januari 1948 - 19 Desember 1948)
- Mohammad Roem (19 Desember 1948 - 20 Desember 1949)
2.2 SISTEM PEMERINTAHAN PADA TAHUN 1945 – 1949
Sistem presidensial semi-parlementer ini menggabungkan elemen-elemen dari dua sistem politik yang berbeda yaitu presidensial dan parlementer. Sistem presidensial semi- parlementer menggabungkan kekuasaan eksekutif yang dimiliki seorang presiden dengan bergantung kepada parlemen guna mendukung kebijakan dan pembentukan kabinet. Pada saat politik pasca-perang dunia kedua, indonesia mulai memakai sistem ini sebagai tindakan guna menciptakan stabilitas politik yang diharapkan dapat meningkatkan pembangunan negara.
Pada tahun 1945-1949, Indonesia menemui tantangan dalam membangun fondasi demokrasi yang kuat. Saat itu sistem presidensial semi-parlementer diusulkan sebagai solusi untuk mengatasi situasi ini karena sistem ini menggabungkan keuntungan dari kedua sistem yang ada. Di satu sisi, presiden dipilih langsung oleh rakyat, hal ini menunjukkan komitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Tetapi, parlemen juga penting untuk menjaga keseimbangan kekuasaan, mendorong kerja sama antar cabang pemerintahan, dan memperkuat legitimasi kebijakan. Karakteristik utama dari sistem ini adalah dualisme kekuasaan antara presiden dan parlemen. Walaupun presiden mempunyai wewenang eksekutif yang luas, ia tetap harus bekerja sama dengan parlemen guna memastikan dukungan terhadap kebijakannya. Pembentukan kabinet juga merupakan proses yang rumit, yang dimana presiden harus memperhitungkan pilihan politik parlemen untuk memastikan stabilitas politik. Namun, Sistem presidensial semi-parlementer juga tidak lepas dari suatu kritik dan tantangan. Ada kalanya presiden dengan parlemen berselisih hingga menghambar proses pengambilan keputusan dan menyebabkan politik tidak stabil. Selain itu, ada juga potensi terjadinya konflik kepentingan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif, yang bisa mengancam prinsip-prinsip demokrasi dan good governance.
Pada Akhirnya, Negara-negara yang berusaha mencari keseimbangan antara kekuasaan eksekutif yang kuat dan partisipasi legislatif yang kuat akan tertarik sistem presidensial semi-parlementer. Meskipun tantangan dan kompleksitasnya, sistem presidensial semi-parlementer mewakili upaya guna menciptakan sistem politik yang inklusif, responsif, dan efektif ddalam menghadapi dinamika politik yang beragam dan kompleks. Dengan suatu pemahaman yang dalam tentang konsep dan karakteristik dari sistem presidensial semi-parlementer, Indonesia dan negara-negara lain yang menggunakan sistem ini dapat terus mengembangkan dan menyempurnakan sistem presidensial semi- parlementer sesuai dengan kebutuhan dan konteksnya.
2.3 CIRI-CIRI SISTEM PRESIDENSIAL SEMI PARLEMENTER
1. Presiden memiliki kekuasaan yang kuat, tetapi tidak sekuat dalam sistem presidensial: Presiden memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan menteri, namun harus mendapat persetujuan dari parlemen.
Presiden memiliki hak veto atas undang-undang yang diajukan parlemen, namun parlemen dapat membatalkan veto tersebut dengan suara mayoritas 2/3.
2. Perdana menteri dipilih oleh parlemen dan bertanggung jawab kepada parlemen:
Perdana menteri memimpin kabinet dan bertanggung jawab atas jalannya pemerintahan sehari-hari. Perdana menteri dan kabinetnya dapat diberhentikan oleh parlemen melalui mosi tidak percaya.
3. Presiden dan perdana menteri berbagi berbagi kekuasaan dalam hal pemerintahan:
Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, memiliki kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, dan keamanan. Perdana menteri sebagai kepala pemerintahan, bertanggung jawab atas bidang politik dalam negeri, ekonomi, dan pembangunan.
2.4 PERISTIWA YANG TERJADI PADA TAHUN 1945 – 1949 A. Beberapa peristiwa yang ada pada tahun tersebut ialah:
1. Proklamasi Kemerdekaan Tahun 1945
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Pengumuman Kemerdekaan Indonesia dilakukan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta di Jakarta, mencerminkan momen bersejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia. Saat itu, Indonesia masih berada di bawah pengaruh Jepang yang tengah mengalami penurunan kekuasaan di akhir Perang Dunia II. Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada Agustus 1945, terjadi kekosongan kekuasaan di Indonesia. Soekarno dan Hatta, yang sebelumnya ditahan oleh pemerintah Jepang, melihat peluang untuk mengambil inisiatif dengan menyusun pernyataan kemerdekaan.
Pada malam tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta bersama sejumlah pemimpin nasionalis, termasuk Achmad Soebardjo, Wiweko Soepono, dan lainnya, berkumpul di rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta, untuk membahas dan menyusun naskah proklamasi. Tepat pukul 10 pagi tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta, didampingi oleh pejabat dan pemimpin nasionalis lainnya, berkumpul di istana (sekarang Istana Merdeka).
Di hadapan para pemimpin dan rakyat yang hadir, Soekarno membacakan teks proklamasi yang menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Momen bersejarah tersebut ditandai dengan pembacaan teks proklamasi oleh Soekarno, diikuti dengan tanda tangan Soekarno, Hatta, dan para saksi. Bendera Merah Putih kemudian dikibarkan sebagai lambang kemerdekaan. Suasana haru dan kebanggaan menyelimuti hadirin, namun di sisi lain, ketegangan dengan pihak Jepang yang masih berada di Indonesia juga terasa.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia menjadi langkah awal dalam perjuangan untuk mengamankan dan mempertahankan kemerdekaan dari berbagai tantangan, termasuk upaya Belanda yang berusaha merebut kembali kendali wilayah jajahannya. Momen ini menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah perjalanan panjang menuju kemerdekaan, yang pada akhirnya diakui secara resmi oleh pihak internasional setelah melalui berbagai perjuangan politik dan diplomasi.
2. Perjanjian Linggarjati
Perjanjian Linggarjati, yang ditandatangani pada 25 Maret 1947, memegang peranan penting sebagai sebuah kesepakatan yang melibatkan Indonesia dan Belanda, membentuk dasar bagi hubungan kedua negara setelah fase pendudukan Jepang dan pasca-Perang Dunia II. Setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, Indonesia secara resmi menyatakan kemerdekaan. Konflik pun muncul ketika Belanda berusaha mengembalikan kendali koloninya di Indonesia. Dalam konteks ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turut campur tangan sebagai mediator dalam upaya mediasi. Perundingan Linggarjati dimulai pada November 1946 di desa Linggarjati, Jawa Barat. Delegasi Belanda, dipimpin oleh H.J. van Mook, dan delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Sutan Sjahrir, saling berhadapan dalam usaha mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan.
Beberapa poin penting dalam Perjanjian Linggarjati
Belanda mengakui kekuasaan de facto Indonesia di Jawa, Madura, dan Sumatera. Wilayah yang masih dikuasai Belanda dan sekutunya akan dikembalikan.
Pembentukan negara Indonesia diusulkan untuk dilakukan secara bertahap, dengan rencana membentuk negara federal yang diberi nama Negara Indonesia Serikat (NIS).
Kesepakatan mencakup pembentukan Uni Indonesia-Belanda sebagai asosiasi longgar antara kedua negara. Dalam konteks ini, diatur bahwa Belanda dan Indonesia akan membentuk pemerintahan bersama untuk mengelola sektor ekonomi, keuangan, dan pertahanan.
Kesepakatan mencakup komitmen pemerintah Republik Indonesia (RI) untuk memulihkan dan melindungi hak milik individu. Ketidaksepakatan akan diselesaikan melalui komite arbitrase.
Perjanjian Linggarjati disetujui pada 15 November 1946 dan secara resmi disahkan pada 25 Maret 1947 di Jakarta. Meskipun tercapai kesepakatan, situasi politik di Indonesia menjadi semakin tegang karena berbagai alasan, termasuk
ketidakpuasan di kalangan politisi dan rakyat. Perjanjian Linggarjati membuka jalan bagi pengakuan internasional terhadap Indonesia. Meskipun diikuti oleh Agresi Militer Belanda II dan perselisihan lainnya, kesepakatan ini menjadi salah satu tonggak awal dalam perjalanan diplomatis menuju pengakuan penuh terhadap kemerdekaan Indonesia.
3. Agresi Militer I
Pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan tindakan militer yang dikenal sebagai Agresi Militer I, merupakan bagian dari strategi mereka untuk mengembalikan kontrol atas wilayah jajahannya di Indonesia, terutama yang kaya akan sumber daya alam seperti minyak. Serangan ini difokuskan pada pelabuhan di Jawa dengan tujuan mengendalikan sektor ekonomi kunci, khususnya pasokan minyak. Deklarasi garis genjatan senjata pada 29 Agustus 1947 oleh pihak Belanda menyebabkan penyusutan wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh Indonesia, memunculkan ketegangan yang semakin meningkat.
Sebagai respons terhadap eskalasi konflik, Komisi Tiga Negara dibentuk pada 18 September 1947, bertugas menangani sengketa yang timbul akibat agresi tersebut.
4. Agresi Militer II
Dimulai pada tahun 1948, Agresi Militer II adalah kelanjutan dari upaya Belanda untuk menguasai kembali Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Agresi ini dipicu oleh ketidaksetujuan Belanda untuk melepaskan kendali atas wilayah jajahannya di Nusantara. Meskipun Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya, Belanda berusaha merebutnya melalui kombinasi perundingan dan tindakan militer. Penyelesaian konflik tercapai melalui penandatanganan Perjanjian Renville pada tahun 1948, yang menetapkan batas wilayah antara Indonesia dan Belanda serta menunda penyelesaian status Irian Barat. Meskipun perjanjian ini berhasil mengakhiri konflik, perundingan dan ketegangan antara kedua pihak terus berlanjut hingga
Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949. Hasilnya, pengakuan internasional terhadap kedaulatan Indonesia semakin kokoh, mencerminkan perjalanan panjang Indonesia dalam melawan imperialisme kolonial Belanda demi mempertahankan kemerdekaan nasionalnya.
5. Perjanjian Roem Royen
Perjanjian Roem-Royen, yang dikenal sebagai perjanjian diplomatik antara Indonesia dan Belanda, memainkan peran penting dalam dinamika hubungan kedua negara setelah Perang Dunia II. Berakar dari ketidaksetujuan terhadap hasil perundingan Linggarjati pada tahun 1947, Roem-Royen, sebagai perwakilan Indonesia, dan Willem Schermerhorn, mewakili Belanda, bertemu sebagai tanggapan terhadap ketidakpuasan politisi Indonesia terhadap perjanjian sebelumnya. Proses perundingan Roem-Royen berlangsung pada Maret 1948 di Den Haag, Belanda, dengan fokus pada masalah wilayah yang masih berada di bawah kendali Belanda dan nasib penduduk Indonesia di wilayah tersebut.
Penyelesaian persetujuan ini dihadapi tantangan awal, karena sejumlah politisi Indonesia menolak hasil perundingan Roem-Royen, melihatnya sebagai tanda penerimaan kekalahan. Namun, seiring berjalannya waktu, pemerintah dan rakyat Indonesia akhirnya menerima kesepakatan ini. Kontennya menghasilkan sejumlah kesepakatan penting, di mana Indonesia berkomitmen untuk menghentikan perang gerilya dan bergabung dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Di sisi lain, Belanda setuju untuk mengembalikan penduduk Indonesia ke Jogja dan berjanji untuk menghentikan kegiatan politik serta operasi militer di wilayah tersebut. Persetujuan Roem-Royen, melalui proses dan substansi kesepakatannya, menjadi elemen krusial dalam cerita diplomasi antara Indonesia dan Belanda, mencerminkan upaya keseimbangan antara kepentingan dan tuntutan masing-masing pihak dalam mengarahkan arah hubungan bilateral.
6. Konferensi Meja Bundar
Konferensi Meja Bundar (KMB), yang berlangsung dari 23 Agustus hingga 2 November 1949, memegang peran sentral dalam dinamika diplomasi antara Indonesia dan Belanda. Sebagai kelanjutan dari perjanjian Roem-Royen dan Linggarjati, KMB menjadi dasar bagi relasi bilateral kedua negara pasca-Perang Dunia II. Saat memulai perundingan, Indonesia mengejar pengakuan internasional untuk kedaulatannya, sementara Belanda berusaha membentuk kerja sama yang memperhitungkan kepentingannya. Pada 23 Agustus 1949, di Den Haag, Belanda, perundingan dimulai dengan Mohammad Roem memimpin delegasi Indonesia dan Van Maarseveen memimpin delegasi Belanda. Agenda utama mencakup pengakuan resmi terhadap kemerdekaan Indonesia, penyelesaian status Irian Barat, dan penyusunan kerangka kerja hubungan ekonomi serta keuangan antar kedua negara.
Hasil kesepakatan KMB mencakup pengakuan resmi Belanda terhadap kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS). Penundaan penyelesaian status Irian Barat dijadwalkan melalui plebiscite setahun kemudian. Pemerintahan RIS diatur melalui konstitusi yang dirumuskan oleh delegasi KMB, sementara terbentuknya Uni Indonesia-Belanda sebagai wadah kerjasama longgar di bidang ekonomi, keuangan, dan pertahanan. RIS diwajibkan membayar utang Hindia Belanda, dan hak milik serta izin perusahaan Belanda dikembalikan.
Konferensi Meja Bundar membawa dampak signifikan, memberikan validitas internasional pada kedaulatan Indonesia. Terpilihnya Soekarno sebagai Presiden RIS pada 16 Desember 1949 menandai akhir era RIS, digantikan oleh berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 17 Agustus 1950.
Walaupun mencapai kesepakatan berarti, sejumlah isu, terutama yang berkaitan dengan Irian Barat, tetap menjadi sumber ketegangan di masa yang akan datang.
B. Kelebihan dan Kekurangan Pemerintahan Tahun 1945 – 1949
Sistem pemerintahan Indonesia pada periode 1945-1949 mengalami beberapa kali perubahan, dimulai dengan sistem presidensial berdasarkan UUD 1945, kemudian sistem semi-presidensial setelah Perjanjian Linggarjati, dan kembali ke sistem presidensial setelah Perjanjian Renville. Berikut adalah kelebihan dan kekurangan dari sistem pemerintahan pada periode tersebut:
1. Kelebihan
Sistem Presidensial (1945):
- Stabilitas: Presiden memiliki kewenangan yang kuat dan tidak bergantung pada parlemen, sehingga stabilitas pemerintahan tetap terjaga.
- Efisiensi: Pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan cepat dan efisien karena tidak memerlukan persetujuan dari banyak pihak.
- Kepemimpinan yang kuat: Presiden memiliki kewenangan untuk memimpin negara dengan visi dan misi yang jelas.
Sistem Semi Presidensial (1947-1948):
- Keterwakilan: Sistem ini mengakomodasi kepentingan berbagai partai politik dalam pemerintahan.
- Keseimbangan: Kekuasaan terbagi antara presiden dan parlemen, sehingga meminimalisir potensi perlindungan kekuasaan.
- Akuntabilitas: Pemerintah lebih bertanggung jawab kepada rakyat karena harus mendapatkan persetujuan parlemen dalam menjalankan kebijakan.
2. Kekurangan
Sistem Presidensial (1945):
- Konsentrasi kekuasaan: Kekuasaan yang berpusat pada presiden berpotensi memicu otoritarianisme.
- Kurangnya akuntabilitas: Presiden tidak memiliki kewajiban untuk mempertanggungjawabkan kebijakannya kepada parlemen.
- Kurangnya representasi: Sistem ini tidak mengakomodasi kepentingan berbagai partai politik dalam pemerintahan.
Sistem Semi Presidensial (1947-1948):
- Ketidakstabilan: Sistem ini dapat menyebabkan ketidakstabilan politik karena mudah terjadi mosi tidak percaya terhadap kabinet.
- Kelambatan: Pengambilan keputusan dapat terhambat karena memerlukan persetujuan dari berbagai pihak.
- Konflik kepentingan: Potensi konflik kepentingan antara presiden dan parlemen dapat terjadi.
2.5 TINDAKAN POLITIK LUAR NEGERI PADA TAHUN 1945 – 1949
Periode 1945-1949 merupakan masa revolusi fisik Indonesia melawan Belanda.
Pada masa ini, fokus utama politik luar negeri Indonesia adalah:
1. Memperoleh pengakuan internasional atas kemerdekaan Indonesia.
Mengirim misi diplomatik ke berbagai negara.
Mengadakan konferensi internasional seperti Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955.
Mempublikasikan berita proklamasi kemerdekaan Indonesia ke dunia internasional.
Mendapatkan dukungan dari negara-negara Asia dan Afrika, seperti India, Mesir, dan Burma.
Membentuk hubungan dengan negara-negara sosialis seperti Uni Soviet dan Tiongkok.
2. Mempertahankan kemerdekaan melawan Belanda.
Melakukan perundingan dengan Belanda, seperti Perundingan Linggarjati dan Perundingan Renville.
Membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) untuk membantu pemerintah dalam menjalankan pemerintahan dan perjuangan diplomasi.
Melakukan perlawanan bersenjata terhadap Belanda di berbagai daerah.
Membentuk Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mempertahankan kemerdekaan.
3. Mempersatukan wilayah Indonesia
Menggabungkan berbagai wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh Belanda:
Mengadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menghasilkan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda.
Membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai bentuk negara federal.
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan
Dalam rentang waktu 1945 hingga 1949, Indonesia menghadapi fase awal kemerdekaannya yang kompleks dan penuh tantangan. Pada masa ini, penetapan Undang- Undang Dasar 1945 menjadi pilar konstitusional yang mencerminkan esensi pembentukan negara yang baru terlahir. Momennya yang sangat kritis adalah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, di mana Soekarno dan Mohammad Hatta memimpin sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Langkah selanjutnya melibatkan pembentukan pemerintahan sementara, melibatkan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Tantangan besar muncul dalam bentuk konflik politik dan militer, termasuk dua Agresi Militer Belanda yang berusaha merebut kembali kendali atas wilayah Indonesia. Periode ini menjadi panggung pengujian ketahanan nasional, dengan perang kemerdekaan yang menghadirkan perjuangan sengit melawan pasukan Belanda.
Puncak dari pertarungan ini dicapai pada tahun 1949 dengan dilaksanakannya Konferensi Meja Bundar (KMB). Pada KMB, tercapai kesepakatan yang menegaskan pengakuan internasional terhadap kedaulatan Indonesia, mengakhiri konflik yang panjang dan mengukuhkan eksistensi negara merdeka ini. Keseluruhan rentang waktu ini tidak hanya mencerminkan pembentukan fondasi negara yang kokoh, tetapi juga mencerminkan semangat dan keteguhan dalam perjuangan untuk mencapai kemerdekaan.
DAFTAR PUSTAKA