• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH KARYAWAN BADAN USAHA

N/A
N/A
ramadhanum wahyuni

Academic year: 2023

Membagikan "MAKALAH TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH KARYAWAN BADAN USAHA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH KARYAWAN BADAN USAHA

Dosen Pengampu : H. Didi Sunardi, S.H, M.H

Disusun oleh:

Ramadhanum Wahyuni (3021210184)  

       

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PANCASILA

JAKARTA 2023

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG

Salah satu kejahatan yang selalu menjadi sorotan di Indonesia adalah masalah korupsi.

Korupsi bukanlah hal baru di negeri ini. Korupsi tidak hanya menggerogoti keuangan dan potensi ekonomi nasional Indonesia, tetapi juga telah menghancurkan pilar-pilar fundamental tatanan sosial budaya, moral, politik, dan keamanan nasional, yang menyebabkan Indonesia melakukan kejahatan atau bahkan kejahatan. Dalam masyarakat, praktik korupsi ini banyak ditemukan modus operasinya dan dapat dilakukan oleh siapa saja dari berbagai kelas sosial dan ekonomi. Kasus korupsi sulit dideteksi karena pelakunya menggunakan perangkat canggih dan biasanya dilakukan secara terselubung dan terorganisir oleh banyak orang. Oleh karena itu, kejahatan ini dikenal sebagai kejahatan kerah putih atau white collar crime.1

Korupsi adalah kejahatan khusus dan membutuhkan kerjasama dari pihak lain.

Penuntutan pidana dilakukan oleh pihak yang berwenang. Instansi negara yang berwenang mengusut perkara pidana adalah kepolisian, Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Pengadilan Tipikor. Polisi, kejaksaan, KPK, dan hakim adalah empat unsur penegak hukum yang masing-masing memiliki tugas, wewenang, dan kewajiban berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jaksa sebagai penyidik, dalam menjalankan tugasnya, juga sebagai penuntut dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Untuk memenuhi kewajiban tersebut, kejaksaan harus bekerja sama dengan pihak lain. Hubungan hukum dengan pihak lain dapat berupa orang perseorangan, badan hukum, dan instansi pemerintah. Hubungan hukum dengan individu, seperti saksi dan tersangka. Hubungan hukum dengan badan hukum, seperti perusahaan, di mana tersangka melakukan praktik korupsi.2 Di sisi lain, hubungan hukum dengan lembaga pemerintah lainnya dapat terjalin dengan lembaga penegak hukum lainnya, khususnya kepolisian, pengadilan, dan pengacara tersangka.

                                                                                                                         

1 Ermansjah Djaja, 2010, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Sinar Grafika, Jakarta hlm.13.

2  Chaerudin DKK. 2008. Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi. PT Refika Aditama: Bandung

 

(3)

Sejak tahun 1971 sebenarnya Indonesia telah memiliki peraturan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU) No 3 Tahun 1971. Namun diputuskan bahwa Perda tersebut sudah tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang terus berkembang, maka diundangkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, setelah itu Undang- Undang Nomor 20 diubah beberapa pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Pasal 2 Ayat 1, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 mengatur tentang tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau perusahaan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian nasional. Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 juga membahas korupsi dengan penyalahgunaan kekuasaan.3

Alasan saya membahas judul ini karena keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dan Tindak Pidana (UU PTPK) merupakan harapan negara Indonesia untuk memberantas korupsi, namun pemberantasan kasus korupsi terus menemui kesulitan, dan langkah pemberantasannya masih sering terhambat.4 Sering terjadi perbedaan pendapat di kalangan masyarakat hukum tentang penerapan ketentuan UU PTPK. Masalah lain yang sering ditemui dalam praktek di daerah ini adalah penggunaan pasal oleh jaksa, pengacara, dan hakim untuk menekan pasal dalam kasus korupsi. Ini mungkin tidak tepat. Penerapan ketentuan UU PTPK terhadap tindak pidana korupsi yang jelas-jelas memenuhi unsur- unsurnya sering disalahgunakan oleh jaksa, hakim, dan penasihat hukum. Apalagi ketika pelaku korupsi adalah pegawai BUMN, berulang kali menimbulkan opini yang berbeda dengan masyarakat hukum.

Contoh kasusnya terdapat pada korupsi yang dilakukan oleh karyawan BUMN, dalam kasus ini BUMN dalam bentuk perbankan yaitu PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.

Terdakwa bernama Asmiati Khumas ST.MM. didakwa melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dengan penuntutan yang dilakukan secara terpisah.

Dakwaan Primair dengan Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 ayat (1) huruf b UU no. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999                                                                                                                          

3 UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

4 Guse Prayudi. 2010. Tindak Pidana Korupsi Dipandang dalam Berbagai Aspek. Pustaka Pena: Yogyakarta I. hlm 75  

(4)

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Subsidair Pasal 3 Jo. Pasal 18 UU no. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UndangUndang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Intinya, aksi yang dilakukan adalah pinjaman lancar dengan Syahminal Yonidarma sebagai pengawas RO PT dan tergugat sebagai Relations Officer (RO) sebagai pimpinan.

Mengalihkan Sentra Kredit Kecil (SKC) BNI Parepare kepada Aming Gosal selaku Direktur PT. Griya Maricaya Gemilang (GMG) memiliki kejanggalan mulai dari proses pengajuan hingga tahap pembayaran, namun jaminan asli tidak dipegang oleh PT. BNI dimiliki oleh Bank Niaga, namun pembayaran pinjaman tetap dilakukan oleh para tergugat. Selanjutnya, dana pinjaman yang digunakan Aming Gosal tidak seperti yang diajukan semula dan tidak digunakan untuk membiayai renovasi dan modal kerja Gedung Mall Of Makassar, melainkan sertifikat jaminan di Bank Niaga, ternyata digunakan untuk memanfaatkan keuntungan pribadi Aming Gosal dan melayani tujuan mereka. Perbuatan terdakwa didakwa memperkaya dan menguntungkan Aming Gosal serta merugikan keuangan negara sebesar Rp.

34.690.655.139.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, maka pokok masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :

1. Bagaimanakah batasan-batasan nilai kerugian negara yang masuk dalam kategori memperkaya dan/atau menguntungkan dalam tindak pidana korupsi?

2. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh karyawan badan usaha milik negara ?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini dilakukan berdasarkan rumusan masalah, antara lain :

1. Untuk menjelaskan batasan-batasan nilai kerugian negara yang masuk dalam kategori memperkaya dan/atau menguntungkan dalam tindak pidana korupsi.

2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh karyawan badan usaha milik negara.

(5)

BAB II PEMBAHASAN

A. Batasan-Batasan Nilai Kerugian Negara Yang Masuk Dalam Kategori Memperkaya Dan/Atau Menguntungkan Dalam Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai penyempurnaan atas Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara tegas menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara dan menghambat pembangunan sosial, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945. Hakim pada saat menafsirkan makna korupsi selalu menetapkan batasan, unsur dan vonisnya dalam perkara yang bersangkutan kepada rambu-rambu peraturan perundang-undangan terkait korupsi, kondisi seperti ini lumrah dipahami, sebab dalam memeriksa perkara korupsi hakim tidak dapat berdiri sendiri5. Hakim terikat pada surat dakwaan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum yang selalu mendakwa terdakwa dengan Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (untuk selanjutnya disebut dengan UU PTPK) dengan berbagai variasinya.

Pasal 2 UU PTPK menjelaskan6:

1.   Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

2.   Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

                                                                                                                         

5 I. S. Susanto, 1995, Kejahatan Korporasi, BP Universitas Diponegoro UNDIP, Semarang, hlm 2

6 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

 

(6)

Sementara Pasal 3 UU PTPK menjelaskan:

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.

50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Untuk mengkaji mengenai pemenuhan unsur memperkaya atau unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, kami akan mengkomparasikan terlebih dahulu mengenai unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK tersebut.

Perbandingan tersebut ialah sebagai berikut:

1) Pasal 2 UU PTPK, unsur-unsur yang terdapat di dalamnya antara lain:

a) Setiap orang;

b) Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

c) Secara melawan hukum / dilakukan secara melawan hukum;

d) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

e) Secara bersama-sama sebagai orang yang melakukan, menyuruh lakukan, atau yang turut serta melakukan.

2) Pasal 3 UU PTPK, unsur-unsur yang terdapat di dalamnya antara lain:

a) Setiap orang;

b) Yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

c) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;

d) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

e) Secara bersama-sama sebagai orang yang melakukan, menyuruh lakukan, atau yang turut serta melakukan.

(7)

Berdasarkan perbandingan di atas maka dapat diketahui bahwa yang membedakan antara unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 UU PTPK dengan unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam Pasal 3 UU PTPK ialah pada unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dan unsur secara melawan hukum dalam Pasal 2 UU PTPK dibandingkan dengan unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dan unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dalam Pasal 3 UU PTPK. Sementara itu unsur setiap orang, dapat merugikan keuangan negara dan secara bersama-sama sebagai orang yang melakukan, menyuruh lakukan, atau yang turut serta melakukan, tidak terdapat perbedaan antara Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK.

Batasan perumusan unsur memperkaya dan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi secara terperinci tidak terdapat dalam pasal maupun penjelasan pasal dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU Nomor 20 Tahun 2001, namun seringkali majelis hakim dalam memutus suatu perkara tindak pidana korupsi yang didalamnya mengandung polemik antara penjatuhan putusan dengan Pasal 2 atau Pasal 3 UU PTPK7, majelis hakim berpegang pada Yurisprudensi Mahkamah Agung yang menjelaskan mengenai batasan perumusan unsur memperkaya dan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi, batasan perumusan tersebut ialah:

a) Batasan rumusan unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi perspektif si pelaku dapat dikatakan memenuhi unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi ialah apabila jelas ada pertambahan kekayaan si pelaku sebelum dan setelah melakukan perbuatan tindak pidana dalam hal ini berarti bahwa harus jelas ada uang negara yang keluar dan uang tersebut sebagai pemasukan pelaku (masuk ke rekening pelaku).

Namun yang perlu digarisbawahi ialah bukan berapa besaran nominal uang tetapi memang ada penambahan kekayaan yang berasal dari uang negara. Jadi batasan pemenuhan unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi ialah terletak pada adanya penambahan materiil yang berasal dari keuangan negara ke pelaku.

                                                                                                                         

7 Lilik Mulyadi, 2007, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoretis, Praktik, dan Masalahnya, Edisi Pertama, Cetakan Ke-I, PT. Alumni, Bandung, hlm 93

     

(8)

b) Batasan rumusan unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi sementara batasan rumusan unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi ialah tidak terletak pada materiil namun terletak pada keuntungan non materiil misalnya terdakwa dijanjikan harapan, promosi jabatan atau pun jasa-jasa lain yang tidak bersifat materiil.

B. Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Putusan Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Karyawan Badan Usaha Milik Negara.

Pada praktiknya seringkali dijumpai perkara yang terkait dengan penerapan pasal 2 atau 3 UU PTPK dalam sebuah perkara tindak pidana korupsi sebagaimana pada perkara tipikor dengan terdakwa Asmiati Khumas ST.MM dalam putusan Nomor:

No.41/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Mks di Pengadilan Negeri Makassar. Pada perkara tersebut, berdasarkan pembuktian yang telah dilakukan di persidangan, hakim menyatakan bahwa terdakwa Asmiati tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 UU PTPK sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam surat dakwaan Primair oleh karena itu terdakwa dibebaskan dari dakwaan Primair. Namun hakim menyatakan bahwa terdakwa Asmiati terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 Jo Pasal 18 UU PTPK sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam surat dakwaan Subsidair. Pada perkara tersebut yang menarik ialah pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara menitikberatkan pada unsur “memperkaya”

pada Pasal 2 UU PTPK dan “menguntungkan” pada Pasal 3 UU PTPK.

Hakim dalam memeriksa perkara tindak pidana korupsi tidak dapat berdiri sendiri, hakim terikat pada surat dakwaan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum yang selalu mendakwa terdakwa dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 dengan berbagai variasinya. Pada saat penjatuhan putusan terhadap perkara tindak pidana korupsi, seringkali hakim menemui polemik hukum dalam menerapkan pasal yang dikenakan kepada terdakwa yaitu terkait dengan penafsiran Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK perkara korupsi. Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK ini terkadang ditempatkan dalam posisi yang berlainan oleh jaksa penuntut

(9)

umum dalam surat dakwaan mereka. Terkadang kedua pasal tersebut didudukkan sebagai dasar dakwaan subsidair satu terhadap yang lain dan kadang-kadang yang satu didudukkan menjadi dasar dakwaan alternatif terhadap lainnya. Pada perkara tindak pidana korupsi dengan terdakwa Asmiati Khumas ST, MM sebagaimana telah diuraikan, Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK tersebut didudukkan sebagai dasar dakwaan subsider satu terhadap yang lain.

Berdasarkan pertimbangan hakim, maka yang dapat saya pahami adalah bahwa pertimbangan hakim dimulai dari pemenuhan unsur-unsur tindak pidana korupsi berdasarkan dakwaan yang dimulai dari dakwaan primair kemudian pada dakwaan subsidair. Dari proses persidangan yang dilakukan maka hakim menemukan bahwa perbuatan terdakwa memenuhi unsur dakwaan subsidair yaitu terdakwa menyalahgunakan kewenangannya dalam mewujudkan kredit yang memiliki banyak penyimpangan dengan tujuan menguntungkan orang lain yaitu Aming Gosal selaku pemohon yang berakibat merugikan keuangan negara.8 Karena seluruh unsur dakwaan telah tebukti, maka jelas bahwa perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa tidak semata-mata mengandung unsur keperdataan, tetapi sekaligus memenuhi rumusan delik korupsi.

Kemudian pertimbangan hakim mengenai konteks penyertaan (deelneming) Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yaitu perbuatan terdakwa yang dilakukan secara bersama-sama dalam arti orang yang turut serta melakukan perbuatan itu. Dimana pihak-pihak yang terlibat dalam terwujudnya pemberian kredit karena adanya peranan masing-masing dan kerjasama yang mereka lakukan. Karena mereka sudah tahu dan menyadari bahwa terdapat hal-hal yang seharusnya dipenuhi sebelum pecairan kredit. Hakim juga mempertimbangkan mengenai penggantian kerugian negara, kendatipun terdakwa mempunyai andil dalam terjadinya kerugian negara namun tidak ada bukti yang dapat membuktikan bahwa Terdakwa telah memperoleh keuntungan apalagi menikmatinya, maka hakim berpendapat bahwa adalah tidak adil apabila terdakwa dibebani untuk mengganti kerugian negara tersebut.

Berdasarkan pasal 183 KUHAP, hakim dalam penjatuhan pidana harus berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah kemudian dari alat bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana yang didakwakan benar-benar terjadi dan terdakwalah yang melakukannya.9 Majelis hakim dalam perkara ini menjatuhkan putusan                                                                                                                          

8 Gatot Supramono. 1997. Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perkreditan. PT. Alumni. Bandung. hlm 25

9 Amir Ilyas. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana, Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan. Mahakarya Rangkang Offset: Yogyakarta

(10)

pemidanaan dengan mempertimbangkan aspek yuridis dan aspek sosiologis. Hakim dalam memutus perkara pada putusan ini berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, alat bukti, tuntutan jaksa penuntut umum dan peraturan perundang-undangan. Selain pertimbangan yuridis, Hakim juga menggunakan pertimbangan non yuridis, yaitu dari aspek non hukum yakni sebelum menjatuhkan hukuman yang layak bagi terdakwa, perlu dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan pemidanaan10.Karena terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan karena tidak ditemukan alasan pembenar maupun pemaaf sebagai alasan penghapus pidana, maka majelis hakim berhak untuk menjatuhkan hukuman.

Maka pada akhirnya, Majelis hakim menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan pidana denda sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar Terdakwa, diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.

                                                                                                                         

10  Erdianto Effendi. 2011. Hukum Pidana Indonesia - Suatu Pengantar. PT. Refika Aditama: Bandung

(11)

BAB III PENUTUP KESIMPULAN

Berdasarkan hasil tinjauan dan pembahasan di atas, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:

1.   Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa batasan rumusan unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi ialah bukan pada berapa besaran nominal uang tetapi memang ada penambahan kekayaan yang berasal dari uang negara. Jadi batasan pemenuhan unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi ialah terletak pada adanya penambahan materiil yang berasal dari keuangan negara ke pelaku. Sedangkan, batasan rumusan unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi ialah tidak terletak pada materiil namun terletak pada keuntungan non materiil misalnya terdakwa dijanjikan harapan, promosi jabatan atau pun jasa-jasa lain yang tidak bersifat materiil.

2.   Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Terdakwa selaku karyawan badan usaha milik negara dalam putusan nomor 41/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Mks telah sesuai karena dalam pertimbangan hukum oleh hakim, perbuatan terdakwa adalah perbuatan menyalahgunakan kewenangannya untuk menguntungkan orang lain yang berakibat merugikan keuangan negara dan tidak terdapat alasan pembenar, Terdakwa juga adalah orang yang menurut hukum mampu bertanggungjawab, dan melakukan perbuatan dengan sengaja serta tidak ada alasan pemaaf. Maka hakim berkeyakinan bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama karena telah memenuhi unsur- unsur dalam pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sehingga dengan demikian putusan majelis hakim yang berisikan pemidanaan sudah tepat.

SARAN

(12)

1.   Bagi kalangan BUMN agar tak terjerat kerugian keuangan negara karena perbuatan korupsi, maka dalam menjalankan kegiatan usaha BUMN harus selalu memperhatikan peraturan perundang- undangan yang berlaku, termasuk Peraturan Internal Perusahaan. BUMN juga harus senantiasa transaparan, akuntabel, dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik dan menghindari konflik kepentingan dalam mengambil keputusan dan melakukan transaksi.

2.   Sebaiknya dilakukan peleburan atau revisi antara Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 karena dalam Pasal 2 UU PTPK disebutkan mengenai unsur melawan hukum sebagai salah satu unsur atau syarat seseorang dapat dijatuhi putusan tindak pidana korupsi, sementara itu pada Pasal 3 UU PTPK tidak terdapat unsur melawan hukum dalam muatan pasalnya sehingga dalam praktik sulit sekali untuk membuktikan tindak pidana korupsi tersebut karena adanya polemik dua pasal tersebut yaitu pada unsur melawan hukum.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Chaerudin DKK. 2008. Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi.

PT Refika Aditama: Bandung

Ermansjah Djaja, 2010, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Sinar Grafika, Jakarta.

Erdianto Effendi. 2011. Hukum Pidana Indonesia - Suatu Pengantar. PT. Refika Aditama:

Bandung

Gatot Supramono. 1997. Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perkreditan. PT. Alumni.

Bandung.

Lilik Mulyadi, 2007, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoretis, Praktik, dan Masalahnya, PT. Alumni, Bandung.

Jurnal

Amir Ilyas. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana, Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan. Mahakarya Rangkang Offset:

Yogyakarta

Guse Prayudi. 2010. Tindak Pidana Korupsi Dipandang dalam Berbagai Aspek. Pustaka Pena: Yogyakarta

I. S. Susanto, 1995, Kejahatan Korporasi, BP Universitas Diponegoro UNDIP, Semarang.

Peraturan Perundang-Undangan

UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

 

Referensi

Dokumen terkait

“Perkara Tindak Pidana Korupsi diperiksa, diadili, dan diputuskan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tingkat pertama dalam waktu paling lama 120 (sertus dua

Dan juga telah tepat dalam perkara ini diterapkan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP karena dalam perkara ini terdakwa telah melakukan tindak pidana secara

Penyidik Tindak Pidana Korupsi di Polres Kutai Kartanegara menerangkan bahwa dalam rangka memberantas tindak pidana korupsi ada tiga institusi yang berwenang dalam melakukan

Selanjutnya, mendasarkan tindak pidana korupsi sebagai kategori tindak pidana khusus kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), salah satu unsur tindak pidana korupsi

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Pengajuan Kasasi Pada Pemidanaan Terhadap Korporasi dalam perkara tindak Pidana korupsi di bidang telekomunikasi

Dalam melakukan korupsi pelaku tidak hanya berdiri sendiri, hamper bias di pastikan tindak pidana korupsi dilakukan oleh lebih dari satu orang atau yang dalam hukum pidana

Tumpang tindih kewenangan antara sub sistem dalam sistem peradilan pidana tentang siapa yang berwenang melakukan penyidikan pada perkara tindak pidana korupsi setelah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa; pertama, justifikasi partai politik sebagai korporasi dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang dapat dilihat