• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Tindak Pidana Korupsi Menurut Fockema

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Pengertian Tindak Pidana Korupsi Menurut Fockema"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana Korupsi (Pengertian, Subjek, Unsur) - Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Menurut Fockema Andreae kata korupsi berasal dari bahasa latinCorruptio atau Corrruptus (Webster Student Dictionary1960). Selanjutnya disebutkan bahwa Corruptio itu berasal dari kata asal corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua.1Corruprtio luas artinya, namun sering kata Corruptio diprsamakan artinya dengan penyuapan seperti disebut didalam ensklopedia Grote Winkler Prins (1977):

“Corruptio = omkoping, noemt men bet verschijnsel dat ambtenaren of andere personen in dienst der openbare zaak (zie echter hieronder voor zoganaamdniet ambtelijk corruptie) zicht laten omkopen”.

Disebutkan adanya niet ambtelijk corruptie (Korupsi bukan oleh pejabat), karena di negeri Belanda telah ada Undang – Undang (Wet van 23 November 1967,Stbl 565) yang mengancam pidana terhadap penyuapan yang diterima oleh pegawai negeri (artikel 328 ter Ned. W.v.S).

Kemudian arti kata korupsi yang telah diterima oleh perbendaharaan kata bahasa Indonesia itu, disimpulkan dalam kamus hukum Korupsi ialah : “suatu tindak pidana yang memperkaya diri sndiri dengan secara langsung atau tidak merugikan keuangan dan perekonomian Negara”2

1Jur. Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalu Hukum Nasional dan Internasional, PT.

Rajagrafindo Persada, Depok, 2015, Hal. 4

2 J.C.T. Simorangkir, Rudy. T. Erwin, dan J. T. Prasetyo, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013

(2)

Di Malaysia terdapat juga peraturan antikorupsi, di situ tidak dipakai kata korupsi melainkan peraturan “anti-kerakusan” sering pula disana dipakai istilah resuah yang tentulah berasal dari bahasa Arab (Riswah), menurut kamus Arab- Indonesia artintya sama dengan korupsi (Abd. Bin Nuh et.al.: tanpa tahun).

Dengan pengertian korupsi secara harafiah itu dapat ditarik suatau kesimpulan, bahwa sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu istilah sangat luas artinya.Seperti disimpulkan dalam Encyclopedia Americana, Korupsi itu adalah suatu hal yang buruk dengan bermacam ragam artinya, bervariasi menurut waktu, tempat dan bangsa.3

Subekti dan Tjitrosoedibio menyatakan Corruptive adalah perbuatan curang atau tindak pidana yang merugikan keuangan Negara. Adapun Baharudin Lopa dengan mengutip pendapat David M. Chalmen menguraikan istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi dibidang ekonomi, yang menyangkut bidang kepentingan umum, hal ini diambil dari defenisi “Financial manipulations and deliction injurious to the economy are often labeled corrupt4

Secara harafiah, menurut Sudarto, kata korupsi menunjuk pada perbuatan yang rusak busuk, tidak jujur yang dikaitkan dengan keungan. Adapun Henry Campbell Black mendefinisikan korupsi sebagai perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak – hak dari

3Andi Hamzah, op. cit. hal 8

4Pendidikan Anti Korupsi, Jakarta, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2013 Hal 12

(3)

pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak – hak dari pihak lain.

Menurut Sayed Hussein Alatas, Korupsi adalah subordinasi kepentingan umum dibawah kepentingan tujuan – tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran norma – norma, tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan dan kemasyarakat. Singkatnya korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi.

Jeremy Pope menyatakan bahwa korupsi adalah menyalahgunakan kepercayaan untuk kepentingan pribadi. Namun korupsi dapat pula dilihat sebagai perilaku yang tidak mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”, artinya dalam pengambilan keputusan dibidang ekonomi apakah ini dilakukan oleh perorangan disektor swasta atau oleh pejabat publik, hubungan pribadi atau keluarga tidak memainkan peranan. Sekali prinsip mempertahankan jarak ini dilanggar dan keputusan dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga, korupsi akan timbul.5

Menurut Agus Mulya Karsona, korupsi didefenisikan sebagai “sesuatu yang busuk, jahat dan merusak, berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan korupsi menyangkut sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan keadaan yang busuk, menyangkut jabatan instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, menyangkut factor ekonomi dan politik dan

5 Ruslan Renggong, op. cit, hal.61

(4)

penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan dibawah kekuasaan jabatan6

- Subjek Tindak Pidana Korupsi

Pemidanaan dijatukan hanya terhadap orang bersumber kepada hukum romawi yang dibawa Perancis ke Belanda kemudian tiba di Indonesia pula. Sebelum itu di Belanda ketika berlakunya hukum kuno (oudvaderlandsrecht) dikenal lembaga pertanggungjawaban kolektif sesuai dengan sifat masyarakat yang masih bersifat kolektivistis.

Pelambang bahwa hanya orang yang menjadi subjek hukum pidana dalam KUHP pada setiap pasal yang berisi perumusan delik selalu mulai dengan “Barang siapa” (Hijdie…) atau kata – kata lain yang menunjuk orang sebagai subjek seperti

“Ibu” (de moeder) dalam Pasal 341 dan 342 KUHP, “panglima tentara”

(bevelhebber) dalam Pasal 413 KUHP, “pegawai negeri” atau “orang lain yang diwajibkan untuk seterusnya atau untuk sementara waktu menjalankan jabatan umum” dalam Pasal 415, 416, dan 417 KUHP (yang semuanya ditarik menjadi delik korupsi menurut Pasal 1 ayat (1) sub c UU PTPK 1971)7

Sebagai salah satu jenis tindak pidana khusus, subjek hukum tindak pidana korupsi dapat berupa orang perseorangan ataupun korporasi.Bahkan dalam

6Agus Mulya Karsona, Pengertian Korupsi, dalam Pendidikan Anti-Korupsi untuk Perguruan Tinggi, Jakarta; Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Bagian Hukum Kepegawaian, 2011, Hal. 24

7Jur. Andi Hamzah, op.cit, Hal.70

(5)

perkembangan praktik penegakan hukum saat ini, pelaku tindak pidana korupsi dominan melibatkan direksi atau pegawai perusahaan Negara (BUMN dan BUMD) maupun perusahaan swasta yang terkait.dalam pengertian, merupakan tolak ukurnya adalah kekuasaan atau wewenang dalam pemerintah atau pelayanan umum yang sudah ditentukan dalam peraturan perundang – undangan. Dengan demikian, korupsi merupakan tindakan penyelewenangan yang hanya mungkin dapat dilakukan oleh pemegang kekuasaan dan otoritas didalam pemerintahan.

Korupsi hanya digambarkan sekedar sebagai suatu gejala politik. Pemahaman seperti ini dapat menimbulkan implikasi hukum, khususnya terhadap cara orang memandang korupsi dalam perspektif hukum pidana. Akibatnya tindak pidana korupsi akan dipersepsikan orang sebagai suatu kejahatan yang hanya mungkin dilakukan oleh pemegang kekuasaan (pejabat) pemerintah dengan kualifikasi pegawai negeri.8

Dalam Pasal 1 angka (1), (2), dan angka (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diartikan sekaligus disebutkan subjek hukum tindak pidana korupsi, yakni :

a. Korporasi, yaitu kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

b. Pegawai negeri yang meliputi :

8H.Elwi Danil, Korupsi Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, PT. Rajagrafindo Persada, Padang, 2011, Hal 102.

(6)

1. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang tentang kepegawaian;

2. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana;

3. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah;

4. Orang yang menrima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah;

5. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi lain yang menggunakan modal atau fasilitas dari Negara atau masyarakat.

Sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 1 angka (1), (2) dan angka (3) Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, menentukan komponen penyelenggara Negara sebagai berikut :

a. Pejabat Negara pada lembaga tertinggi Negara;

b. Pejabat Negara pada lembaga tinggi Negara;

c. Menteri;

d. Gubernur;

e. Hakim

f. Pejabat negara lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku, Kepala perakilan RI di

(7)

luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar luar biasa dan berkuasa penuh, wakil gubernur, dan bupati/walikota;

g. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara Negara sesuai dengan ketentuan perundang – undangan yang berlaku. Dalam penjelasan pasal demi pasal undang – undang ini, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pejabat lain tersebut meliputi :

1. Direksi, komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah;

2. Pemimpin Bank Indonesia dan Pemimpin Badan Penyehatan Perbankan Nasional;

3. Pemimpin Perguruan Tinggi Negeri;

4. Pejabat Eselon I dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer dan kepolisian Negara Republik Indonesia;

5. Jaksa;

6. Penyidik;

7. Panitera Pengadilan;

8. Pemimpin dan bendaharawan proyek.

- Unsur – Unsur Tindak Pidana Korupsi

(8)

Unsur – unsur tindak pidana korupsi yang kini menonjol adalah tiga unsur, yaitu (a) memperkaya diri, (b) menyalahgunakan jabatan atau kedudukan, dan (c) merugikan keuangan atau perekonomian Negara.9

Perumusan unsur – unsur tindak pidana korupsi dimaksud untuk memberikan gambaran bahwa pengaturan tentang tindak pidana korupsi dalam dua undang – undang tersebut, cukup jelas dan tegas dalam usaha pencegahan dan pemberantasan korupsi. Selain karena substansinya yang telah menjangkau berbagai aspek perbuatan yang telah dijadikan sebagai tindak pidana korupsi juga karena ancaman pidana yang terkandung dalam kedua undang – undang ini tergolong berat, bahkan dalam keadaan tertentu koruptor dapat dikenakan pidana mati.

Dalam membahas unsur – unsur tindak pidana korupsi, maka tidak terlepas dari unsur – unsur yang terdapat dalam pasal 2 dan pasal 3 undang – undang tindak pidana korupsi. Dalam pasal 2 dikatakan sebagai berikut “Setiap orang Melawan hukum Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara Dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Jika diperhatikan unsur – unsur delik pasal 2 undang – undang tindak pidana korupsi dapat diuraikan sebagai berikut:

9 Wirjono Prodjodikoro, Tindak – Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2013, Hal 251

(9)

1. Secara melawan hukum ;

2. Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi ;

3. Yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

Memperhatikan rumusan dalam pasal 2, UU Nomor 31 Tahun 1999 dapat dijelaskan beberapa hal. Dalam pasal – pasal tersebut unsur setiap orang hanya sebatas orang perseorangan, akan tetapi juga meliputi korporasi. Hal ini merupakan perluasan dari makna subjek hukum yang dimaksud dalam KUHP yang hanya mencakup orang perseorangan. Unsur secara melawan hukum dalam arti formil dan materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam perundang – undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma – norma kehidupan social dalam masyarakat, maka perbuatan melawan hukum formil artinya perbuatan itu harus melanggar undang – undang.

Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi pada dasarnya bermakna bahwa orang itu bertambah kekayaan, sedangkan memperkaya orang lain atau korporasi berarti akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan si pelaku, ada orang lain atau korporasi yang mendapatkan keuntungan atau bertambah harta kekayaannya. Dimaksud dengan keuangan Negara adalah seluruh kekayaan Negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan. Adapun yang dimaksud dengan perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian Negara yang

(10)

disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang berdasarkan kepada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat.

Dalam perkara korupsi, pengembalian uang atau harta benda yang merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, tidak dapat dijadikan dasar menghentikan pemeriksaan perkara. Dalam banyak kasus, pelaku selalu berdalih bahwa semestinya dia tidak lagi dapat diproses karena sudah mengembalikan seluruh kerugian Negara atau perekonomian Negara. Memang dibeberapa Negara, pengembalian kerugian Negara menjadi dasar tidak diprosesnya pelaku, karena yang menjadi tujuan utama adalah diselamatkannya keuangan Negara dari pelaku korup oknum pegawai Negara atau penyelenggara Negara.10

Untuk memperjelas penjelasan dari unsur – unsur tindak pidana korupsi, maka pasal 2 ini tidak dapat dilepas pisahakan dari pasal 3 karena saling berkaita satu dengan yang lain. Pasal 3 undang – undang tindak pidana korupsi “Setiap orang Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi Menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00

10Ruslan Rrenggong, op.cit, Hal.69

(11)

(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Jika diperhatikan, maka unsur – unsur delik dalam pasal 3 undang – undang tindak pidana korupsi dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

2. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan

3. Yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

Dalam unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi terdapat tujuan dari perbuatan menguntungkan dimana dapat bertambah kekayaan atau harta benda. Unsur yang ada pada pelaku tindak pidana korupsi menurut pasal 3 adalah tujuannya untuk menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau saran yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yakni menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi.

Unsur dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi seperti tercantum dalam pasal 3 undang – undang tindak pidana korupsi, menurut Andi Hamzah adalah sengaja sebagai maksud berbeda dengan pasal 2 undang – undang tindak pidana korupsi yaitu dengan frasa “memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi” berarti sengaja dalam 3 bentuk yaitu :

1. Kesengajaan dengan maksud atau sebagai tujuan.

(12)

Yang dimaksu dengan kesalahan sebagai tujuan adalah delik formil dan delik materiil. Delik formil dimana bila seseorang melakukan sesuatu perbuatan dengan sengaja, sedang perbuatan itu memang menjadi tujuan si pelaku. Dalam hal ini maka perbuatan itu adalah dikehendaki atau dituju. Delik materiil bila seseorang melakukan sesuatu perbuatan dengan sengaja untuk menimbulkan suatu akibat itu memang merupakan tujuan sipelaku.

2. Kesengajaan dengan kepastian atau keharusan.

Dalam jenis kesengajaan ini yang menjadi sandaran adalah akibat, yang merupakan unsur suatu delik, jadi terhadap akibat ini mempunyai tujuan sebagai akibat.

3. Kesengajaan dengan kemungkinan.

Kesengajaan dalam sadar akan kemungkinannya, disamping kesengajaan sebgai tujuan. Karena sipelaku mungkin sadar aka nada kemungkinan timbulnya akibat lain yang tidak menjadi tujuannya.

Bertambahnya kekayaan akibat perbuatan tersebut, adalah tidak semata – mata berupa benda atau uang saja, tetapi segala sesuatu yang dapat dinilai dengan uang.

Unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanaya karena kedudukan atau jabatan dimana yang disalahgunakan adalah kekuasaan atau hak tersebut yang ada pada pelaku. Hal ini berbeda dengan hal melawan hukum, seperti yang dikatakan oleh Badar Nawawi Arif bahwa sifat melawan hukum formil identic dengan undang – undang atau kepentingan hukum

(13)

sedangkan sifat melawan hukum materiil identic dengan melawan hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup yaitu asas – asas kepatutan atau nilai – nilai dan norma kehidupan sosial dalam masyarakat.

Unsur dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, kata dapat menunjukan delik formil.Jadi dalam hal tindak pidana korupsi, cukup dengan pemenuhan unsur – unsur perbuatan tersebut yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat untuk dikatakan korupsi itu terjadi.

Pengertian kekayaan Negara atau perekonomian Negara sendiri sangat fleksibel seperti yang tercantum dalam penjelasan pasal 2 undang – undang tindak pidana korupsi “perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian Negara yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun didaerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat.“

B. Pengertian Pidana dan Jenis Pidana - Pengertian Pidana

Pergaulan manusia dalam kehidupan masyarakat tidak selamanya berjalan sesuai dengan diharapkan. Manusia selalu dihadapkan pada masalah – masalah atau pertentangan dan konflik kepentingan anatar sesamanya. Dalam keadaan yang demikian ini hukum diperlukan untuk menjaga keseimbangan dan ketertiban dalam masyarakat.

(14)

Istilah hukuman berasal dari kata straf yang merupakan istilah yang sering digunakan sebagai sinonim dari istilah pidana.Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan beruabah – ubah.

Oleh karena pidana merupaka istilah lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukan ciri – ciri atau sifat – sifatnya yang khas. Untuk memberikan gambaran yang lebih luas, menurut Sudarto : “Pidana adalah nestapa yang diberikan oleh Negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Undang – Undang (hukum pidana), sengaja dirasakan sebagai nestapa.11

Pemberian nestapa atau penderitaan yang sengaja dikenakan kepada seorang pelanggar ketentuan undang – undang tidak lain dmaksudkan agar orang itu menjadi jera. Roeslan Saleh menyatakan bahwa: Pidana adalah reaksi – reaksi delik, yang berwujud suatu nestapa, yang sengaja ditampakan Negara kepada pembuat delik.12

Tetapi tidak semua sarjana menyetujui bahwa hakikt pidana adalah pemberian nestapa, hal ini antara lain diungkapkan oleh Hulsman yang dikutip oleh Muladi bahwa: “Pidana adalah menyerukan untuk tertib; pidana pada hakikatnya mempunyai dua tujuan utama yakni mempengaruhi tingkah laku dan untuk menyelesaikan konflik.

11Niniek Supriani, op.cit. hal. 11

12Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1987, Hal. 5

(15)

Pidana disatu sisi tidak hanya dimaksudkan untuk memberikan penderitaan kepada pelanggar atau membuat jera, tapi disisi lain juga membuat pelanggar dapat kembali hidup bermasyarakat sebagaimana layaknya. Dua sisi inilah yang dikenal dalam hukum pidana sebagai pedang bermata dua.13

Pengaruh dari aliran modern dalam hukum pidana telah memperkaya hukum pidana dengan sanksi yang disebut tindakan (maartregel).Sehingga banyak Negara yang Kitab Undang – Undang Hukum Pidananya mempergunakan double track system.Yaitu mempergunakan dua jenis sanksi, pidana dan tindakan.

Hukum pidana dalam usahanya mencapai tujuan – tujuannya tidak semata – mata menjatuhkan pidana, tetapi juga ada kalanya menggunakan tindakan – tindakan. Disamping pidana ada tindakan, Tindakan adalah suatu sanksi juga, tetapi tidak ada sifat pembalasan padanya. Dalam banyak hal pidana dan tindakan secara teoritis sukar ditentukan dengan pasti, oleh karena pidana sendiripun banyak hal mengandung pikiran–pikiran melindungi dan memperbaiki. Ada yang disebut dalam Pasal 10 KUHP adalah pidana, sedangkan yang lain dari pada itu adalah tindakan.

Jadi tindakan walaupun merampas dan menyinggung kemerdekaan seseorang, jika bukan disebut dalam pasal 10 KUHP bukanlah pidana.14 Akhirnya hukum pidana yang mrupakan bagian dari hukum pada umumnya akan mampu memberikan andil dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

- Jenis – jenis Pidana

13Niniek Supriani, op.cit. hal. 12

14 Roeslan Saleh, op. cit. Hal. 48

(16)

Dalam Hukum Pidana Paksaan itu disertai suatu siksaan atau penderitaan yang berupa hukuman. Hukuman itu bermacam – macam jenisnya. Menurut KUHP pasal 10 hukuman atau pidana.15 Jenis pidana menurut KUHP, seperti trdapat dalam pasal 10, dibagi dalam dua jenis :

a. Pidana Pokok, yaitu : 1) Pidana mati

2) Pidana penjara 3) Pidana kurungan 4) Pidana denda

5) Pidana tutupan (ditambah berdasarkan Undang – Undang Nomor 20 Tahun 1946)

b. Pidana Tambahan, yaitu : 1) Pencabutan hak – hak tertentu;

2) Perampasan barang – barang tertentu;

3) Pengumuman putusan Hakim.16

Hukuman – hukuman unu telah dipandang perlu agar kepentingan umum dapat lebih terjamin keselamatannya.

15 C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, Latihan Ujian Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, Hal. 5

16Muladi dan Barda Nawawi, Teori – Teori dan Kebijakan Pidana, PT. Alumni, Bandung, 1984, Hal. 44

(17)

Menurut konsep rancangan KUHP tahun 1972, ketentuan dalam Bab V, mulai pasal 43 s/d Pasal 82. Pembagian jenis pidananya sebagai berikut;

1) Pidana Mati

2) Pidana permasyarakatan, yang terdiri dari:

a) Pidana permasyarakatan istimewa (untuk yang melakukan tindak pidana karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati);

b) Pidana permasyarakatan khusus (untuk yang melakukan tindak pidana karena kebiasaan);

c) Pidana permasyarakatan biasa (untuk yang melakukan tindak pidana karena kesempatan).

3) Pidana pembimbingan, yang terdiri dari : (a) Pidana pengawasan;

(b) Pidana penentuan tempat tinggal;

(c) Pidana latihan kerja;

(d) Pidana kerja bakti;

4) Pidana peringatan, yang terdiri dari : a) Pidana denda;

b) Pidana tegoran;

5) Pidana perserikatan, yang terdiri dari : a) Pidana perserikatan;

(18)

b) Penuntutan (sic.: penutupan) usaha sebagian atau seluruhnya;

c) Penempatan usaha di bawah pengawasan pemerintah untuk jang waktu yang ditentukan oleh Hakim;

d) Pembayaran uang jaminan yang jumlahnya ditentukan oleh Hakim;

e) Penyitaan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;

f) Perbaikan akibat – akibat dari tindak pidana Pidana Tambahan

1) Pencabutan hak tertentu;

2) Perampasan barang tertentu;

3) Pengumuman keputusan Hakim;

4) Pengenaan kewajiban ganti rugi;

5) Pengenaan kewajiban agama;

6) Pengenaan kewajiban adat;17

C. Pidana Denda dan Mekanisme Penjatuhan Pidana - Pidana Denda

Pada masa sekarang ini maksud dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan adalah, bahwa dengan pidana itu dapat dilakukan pembinaan sedemikian rupa

17 Ibid, Hal. 46

(19)

sehingga setelah terpidana selesai menjalani pidananya diharapkan terpidana akan lebih baik dari sebelumnya.

Pidana denda juga bisa dipandang sebagai alternatif pidana pencabutan kemerdekaan. Sebagai sarana dalam politik criminal pidana ini tidak kalah efektifnya dari pidana pencabutan kemerdekaan. Berdasarkan pemikiran ini maka pada dasarnya sedapat mungkin denda itu harus dibayar oleh terpidana dan untuk pembayaran itu ditetapkan tenggang waktu.kalau keadaan mengizinkan, denda yang tidak dibayar itu dapat diambilkan dari kekayaan atau pendapatan terpidana sebagai gantinya.18

Salah satu alasan adanya pidana denda karena keberatan terhadap pidana badan dalam jangka waktu singkat. Beberapa keuntungan pidana denda adalah:

Pertama, pidana denda tidak menyebabkan stigmatisasi. Kedua, pelaku yang dikenakan pidana denda dapat tetap tinggal bersama keluarga dan lingkungan sosialnya. Ketiga, pidana denda tidak menyebabkan pelaku kehilangan pekerjaannya. Keempat, pidana denda dengan mudah dapat dengan mudah dapat dieksekusi. Kelima, Negara tidak menderita kerugian akibat penjatuhan pidana denda. Namun demikian terdapat sisi lemah dari pidana denda yang hanya menguntungkan bagi orang – orang yang memiliki kemampuan finansial lebih.

Dalam konteks KUHP, pidana denda paling sedikit dua puluh lima sen, jika pidana denda tidak dibayar, maka dapat diganti dengan pidana kurungan. Hal ini sesuai dengan adagium qui non potest solver in aere, luat in corpore. Artinya, siapa

18 Ninik suparni, op.cit, Hal. 36

(20)

tidak mau membayar, maka ia harus melunasinya dengan derita badan. Lamanya pidana kurungan pengganti paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan.

Apabila terdapat pemberatan pidana denda disebabkan karena perbarengan atau pengulangan, maka pidana kurungan pengganti paling lama delapan bulan, terpidana dapat menjalani kurungan pengganti tanpa menunggu batas waktu pembayarandenda. Terpidana dapat membebaskan dirinya dari pidana kurungan pengganti dengan membayar dendanya. Pembayaran sebagian dari pidana denda, baik sebelum maupun sesudah mulai menjalani pidana kurungan pengganti, membebaskan terpidana dari sebagian pidana kurungan yang seimbang dengan bagian yang dibayarnya.19Mengingat tujuan pemidanaan yang tidak berupa pembalasan, maka dalam penjatuhan pidana denda hakim harus memperhatikan kemampuan terpidana secara nyata.

J. E. Lokollo dengan mengacu pada beberapa kepustakaan mengatakan bahwa perkembangan pidana denda tidak saja mengenai banyaknya penggunaan pidana dalam penjatuhan pidana, akan tetapi juga mengenai besarnya minimum dan maksimum denda. Dikemukakannya pula lebih lanjut bahwa perkembangan pidana denda antara lain disebabkan oleh membaiknya secara tajam tingkat kesejahteraan masyarakat dibidang materiil, kemampuan finansial pada semua golongan masyarakat.20

- Mekanisme Penjatuhan Pidana

19Eddy O. S. Hiariej,Prinsip-prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2014, Hal. 469

20 Ninik Suparni, op.cit, Hal.47

(21)

Apabila pemeriksaan sidang dinyatakan selesai oleh hakim ketua sidang dan pemeriksaan dinyatakan tertutup, maka tahapan berikutnya adalah musyawarah hakim untuk mencapai mufakat dalam menyusun putusan pengadilan. Putusan pengadilan menurut pasal 1 butir 11 KUHAP adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang – undang ini. Semua putusan pengadilan hanya sah dan memiliki kekuatan hukum jika diucapkan disidang terbuka untuk umum.21Dalam pasal 183 KUHAP menjelaskan bahwa :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar – benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Sesuai dengan pasal 183 KUHAP, proses penjatuhan pidana tidak akan di putuskan hakim jika tidak mempunyai alat bukti yang kuat. Setelah pembuktian dinyatakan selesai oleh hakim, hakim dapat mengambil keputusan dari perkara tersebut. Putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan output dari proses peradilan disidang pengadilan yang meliputi proses pemeriksaan saksi, terakwa, dan barang bukti. Dalam proses peradilan, pengambilan keputusan dilakukan melalui musyawarah jika hakim terdiri atas hakim majelis.

Pelaksanaan pengambilan keputusan dicatat dalam buku himpunan putusan dan nisi buku tersebut sifatnya rahasia (Pasal 182 ayat (7) KUHAP). Dengan tegas

21 Tolib Effendi, Dasar – dasar Hukum Acara Pidana Perkembangan dan Pembaharuannya di Indonesia, Setara Press, Malang, 2014,Hal.181

(22)

dinyatakan bahwa pengambilan keputusan itu berdasarkan kepada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam sidang pengadilan (Pasal 191 KUHAP).22

Mekanisme penjatuhan pidana sesuai dengan apa yang ditulis diatas proses penjatuhan pidana diputuskan oleh hakim sesuai dengan semua procedure dan sudah melewati semua prosedur mulai dari tahap Penyelidikan sampai dengan fakta – fakta persidangan dan semua perimbangan hakim maka hakim akan memustukan.

Jika semua sudah dilewati maka hakim akan menjatuhkan putusan, putusan hakim bedasar pada surat dakwaan dari jaksa. Mekanisme atau proses penjatuhan pidana ialah proses pada saat hakim menjatuhkan putusan kepada terpidana yang melakukan pidana, pidana yang dijatuhkan bagi terpidana sesuai dengan kasus atau masalahnya entah pidana denda atau pidana kurungan atau pidana lainnya.

22Eko Prasetyo, Hukum Acara Pidana, CV Pustaka Setia, Bandung, 2015, Hal. 128

Referensi

Dokumen terkait

Tindak pidana atau delik dalam istilah yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disebut dengan strafbaarfeit Menurut Simons merumuskan bahwa tindak pidana