http://dx.doi.org/10.21776/ub.sbn.2022.007.01.05
© 2023 Jurnal Studi Budaya Nusantara - SBN All rights reserved
MAKNA DAN NILAI FILOSOFIS DALAM ARSITEKTUR RUMAH GADANG
Novia Rahmadani 1, Yulfira Riza 2
1,2 Universitas Islam Negeri Imam Bonjol, Padang, Indonesia
1 noviarahmadhani60@gmail.com
Info Artikel Abstrak
Sejarah Artikel:
Diterima Maret 2023 Disetujui Mei 2023 Dipublikasikan Juni 2023
Rumah gadang sebagai rumah adat suku Minangkabau sudah sangat familiar bagi segenap masyarakat Indonesia. Rumah gadang juga erat kaitannya dengan rangkiang, karena rangkiang merupakan bagian dari rumah gadang. Dalam pembangunan rumah gadang, yang menarik untuk dikaji ialah arsitektur bangunannya yang dirancang sedemikian rupa. Semua konstruksi dari rumah gadang baik interior maupun eksteriornya memiliki nilai dan makna tersendiri.
Untuk menjabarkan hal tersebut digunakan metode penelitian heuristik, historiografi, deskriptif, dan studi kepustakaan.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan berbagai metode tersebut, ditemukan fakta bahwa rumah gadang bukan hanya dijadikan sebagai tempat tinggal semata oleh masyarakat Minangkabau. Rumah gadang merupakan sumber budaya dan pembelajaran bagi anak kamanakan di suatu kaum. Oleh sebab itu, setiap arsitektur rumah gadang dirancang sedemikian rupa untuk menyiratkan makna dan nilai filosofis di dalamnya, tak ubahnya dengan rangkiang yang menjadi bagian dari rumah gadang
Kata Kunci: nilai, filosofis, arsitektur, rumah gadang
Abstract
The rumah gadang as a traditional house of the Minangkabau tribe is very familiar to all Indonesian people. Rumah gadang is also closely related to rangkiang, because rangkiang is an important part of rumah gadang. In the construction of the rumah gadang, what is interesting to study is the architecture of the building wich is designed. All the construction of rumah gadang, both interior and exterior have it’s own value and meaning. To describe that, the writer uses heuristic, observation, interview, descriptive, and literatur research methods.
Based on the research that has been carried out using these various methods, it is found the fact that rumah gadang is not only used as a place to live by the Minangkabau people. Rumah gadang is a source of culture and learning for anak kamanakan in the community of Minangkabau tribe. Therefor, every architecture of rumah gadang is designed in such a way as to imply the philosophical meaning and value. As well as rangkiang what is also part of rumah gadang.
Keywords : value, philosophical, architectur, rumah gadang
50 Novia, Yulfira/ Makna dan Nilai Filosofi Dalam Arsitektur Rumah Gadang – Vol.7 No.1 (2023) 49-57
PENDAHULUAN
Sumatera Barat berbeda dengan Minangkabau, Sumatera Barat adalah wilayah administratif dengan struktur kepemerintahan, sedangkan Minangkabau lebih menekankan pada wilayah sosio kultural. Minangkabau sangat sarat dengan unsur budaya dan adat istiadatnya. Salah satu ciri khas dari Minangkabau selain kuliner dan tradisi ialah rumah adatnya, yaitu rumah gadang. Bagi masyarakat Minangkabau, rumah gadang bukanlah sekedar tempat untuk ditinggali dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Rumah gadang merupakan bukti keberadaan suatu kaum atau suku dan menjadi kebanggaan masyarakat Minangkabau sendiri, sehingga banyak masyarakat Minangkabau menyebut rumah gadang sebagai cahayo dalam nagari (Marthala, 2013). Rumah gadang merupakan identitas dan kebanggaan masyarakat Minangkabau. Oleh sebab itu, tentunya rumah gadang tidak luput dari sejarah masa lampau, mencakup awal mula pembangunannya, dan nilai serta makna arsitekturnya. Rumah gadang juga difungsikan sebagai tempat untuk penyelenggaraan upacara adat di Minangkabau. Oleh sebab itulah mengapa rumah gadang tidak hanya disebut sebagai tempat tinggal bagi masyarakat di Minangkabau, melainkan juga sebagai tempat bermusyawarah, tempat upacara adat, dan lambang perwujudan nilai-nilai serta budaya Minangkabau (Marthala, 2013).
Berlandaskan pada studi kepustakaan serta observasi yang telah dilakukan, maka fokus permasalahan yang dibahas pada artikel kali ini ialah terkait masih minimnya pemahaman khalayak umum terhadap makna dan nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam arsitektur dan konstruksi bangunan rumah gadang. Oleh karena itu, penulisan ini bertujuan untuk memperkuat dasar pemahaman dan memberikan pengetahuan terkait makna dan nilai filosofis arsitektur rumah gadang yang belum diketahui secara rinci oleh masyarakat umum.
Pada dasarnya setiap konstruksi dari pembangunan rumah gadang berguru pada alam, yang dalam pepatah Minang disebutkan “alam takambang jadi guru”. Sebagaimana pepatah tersebut apa yang yang ada di alam dijadikan pembelajaran bagi kehidupan. Begitu pula dengan konstruksi dan arsitektur rumah gadang. Tak satupun dari bagian dari rumah gadang luput dari nilai dan makna filosofis yang dimaksudkan sebagai pembelajaran anak kamanakan. Di Minangkabau ada dua jenis rumah gadang, yaitu rumah gadang kelarasan Koto Piliang dan rumah gadang kelarasan Bodi Chaniago. Keduanya memiliki ciri khas konstruksi bangunan dengan makna tersendiri. Perbedaan diantara keduanya dilihat dari segi arsitektur dan sistem kekuasaan yang diterapkan di dalamnya.
METODE
Merujuk pada latar belakang serta fokus pengkajian masalah, maka pada penelitian kali ini penulis menggunakan beberapa metode, yaitu metode heuristik, deskriptif, observasi dan wawancara, serta metode studi kepustakaan. Heuristik ialah mengumpulkan berbagai
sumber sejarah yang berkaitan dengan topik dan objek penelitian. Lalu metode deskriptif, yaitu penggambaran objek penelitian yang dibahas. Kemudian penulis juga menggunakan metode observasi dan wawancara dengan mengamati langsung objek penelitian dan memperoleh informasi dari narasumber yang ditemui di lokasi penelitian. Terakhir penulis menggunakan metode studi kepustakaan, yaitu mengumpulkan berbagai data dengan membaca dan mencari referensi serta rujukan dari berbagai buku dan artikel yang bersangkutan dengan pembahasan ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Arsitektur rumah gadang sebagai bentuk produk kebudayaan di Minangkabau merupakan salah satu media dalam melestarikan nilai luhur budaya (Novio, 2016). Sebab melalui rumah gadang yang dikonstruksi berlandaskan pada pepatah adat “alam takambang jadi guru” setidaknya mampu mempertahankan nilai-nilai luhur budaya yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Merujuk pada sejarah rumah gadang pada awalnya dibangun oleh Dt. Tantejo Gurhano sebagai arsitektur pertamanya. Dalam pembangunan rumah gadang tersebut beliau terinspirasi dari bentuk sampan dan kapal yang terbalik. Sejak dahulunya rumah gadang memang dibangun tanpa paku, melainkan hanya dipasak dengan serpihan-serpihan kayu (Mirdad, Bustami, & Rustika, 2020).
Sebagaimana yang telah penulis singgung sebelumnya, bahwa di Minangkabau terdapat dua jenis rumah gadang yaitu rumah gadang kelarasan Koto Piliang dan rumah gadang kelarasam Bodi Chaniago. Terdapat beberapa hal yang membedakan kedua bentuk rumah gadang ini, yaitu rumah gadang kelarasan Koto Piliang dari Datuak Katumangguangan memiliki anjungan kiri dan kanan dengan sistem pemerintahan yang hierarki, serta dalam memutuskan perkara kelarasan Koto Piliang mengambil keputusan dari kepemimpinan di atas yang dalam pepatah adat disebut “manitiak dari ateh”. Sedangkan rumah gadang kelarasan Bodi Chaniago konstruksinya datar dan tidak memiliki anjungan kiri dan kanan seperti rumah gadang kelarasan Koto Piliang. Sistem pemerintahan kelarasan Bodi Chaniago bersifat demokrasi atau dikenal dengan “mambasuik dari bumi” (Suaita, 2022).
Dalam pembangunan rumah gadang dikepalai oleh seorang arsitek yang disebut tukang tuo. Tukang tuo ini mempunyai andil dan peran yang sangat penting dalam pembangunan rumah gadang, mulai dari rancangan awal, menentukan lokasi pembangunan, pemilihan bahan-bahan yang tepat, dan lain-lain. Tukang tuo hendaklah merupakan seorang yang paham akan falsafah-falsafah adat Minangkabau, kemudian mampu menerjemahkan serta mengimplementasikan pemahamannya ke dalam arsitektur pembangunan rumah gadang (Fitriza, 2018).
Membahas mengenai arsitektur rumah gadang perlu dikupas atau dijabarkan mulai dari eksteriornya. Rumah gadang tergolong kepada jenis rumah panggung yang
52 Novia, Yulfira/ Makna dan Nilai Filosofi Dalam Arsitektur Rumah Gadang – Vol.7 No.1 (2023) 49-57
ketinggiannya bisa mencapai sekitar satu sampai dua meter dari permukaan tanah. Hal tersebut bukan tanpa alasan, tujuannya adalah agar menimbulkan hawa dingin dan sejuk di musim kemarau (sirkulasi udara) serta terhindar dari banjir ketika musim penghujan (Novio, 2016). Selain itu, jika kita melihat tiang-tiang penyangga rumah gadang, maka tiang-tiang tersebut tidak tertancap ke tanah melainkan diletakkan di atas batu sandi. Tiang-tiang tersebut juga dibangun dengan bentuk mengembang ke atas (tidak lurus), serta bentuk jendela rumah gadang juga miring mengikuti arah tiang dengan mengarah ke dalam. Lantas apa makna yang terkandung dalam hal tersebut? Peletakkan tiang di atas batu sandi bertujuan agar jika terjadi gempa maka rumah gadang tidak akan runtuh, sebab ketika terjadi gempa tersebut yang bergerak bukanlah bangunan rumah gadangnya, melainkan batu sandi tersebut yang mengikuti gerakan bumi. Kemudian tiang rumah gadang yang dibuat lebih miring dimaksudkan untuk antisipasi jika terjadi angin kencang, maka rumah gadang tetap pada posisinya, artinya rumah gadang memiliki konstruksi yang miring atau condong namun tidak mudah roboh, dalam pepatah adat disebut “condong nan indak mambaok rabah”. Lalu mengapa pula jendela rumah gadang tersebut diarahkan ke dalam? Tujuannya ialah jika terjadi serangan dari luar rumah gadang seperti orang asing yang melemparkan batu ke arah dalam rumah gadang, maka jendela dapat dengan cepat ditutup tanpa melukai orang di dalam rumah gadang (Suaita, 2022). Atap rumah gadang yang berbentuk curam serta dilapisi dengan ijuk dimaksudkan agar air hujan tak mudah mengendap dan menjadikan atap mudah lapuk (Rustiyanti, 2016).
Pada pelataran rumah gadang terdapat rangkiang sebagai tempat penyimpanan padi hasil panen yang berjarak sekitar empat sampai lima meter dari rumah gadang. Posisi rangkiang dijarakkan dari rumah gadang bertujuan agar jika terjadi musibah berupa kebakaran, maka penghuni rumah gadang tidak akan kelaparan sebab padi sebagai bahan makanan yang disimpan di dalam rangkiang tidak ikut terbakar. Arsitektur rangkiang berupa pondok kecil dengan empat sampai sembilan tiang yang didirikan di atas batu sandi pula.
Pintu dari rangkiang ini didesain tinggi di atas dan mengambil padi menggunakan tangga.
Tujuannya agar padi tidak dicuri oleh orang lain (Suaita, 2022).
Terdapat empat jenis rangkiang di Minangkabau sebagaimana dalam pepatah adat,
“rangkiang tigo sahajaja, kapuak gadang salo manyalo, kapuak kaciak salek manyalek, di tapi sitinjau lauik, panagua dagang kamalaman, di tangah sibayau-bayau, lumbuang makanan patang pagi, di pangka sitangka lapa, tampek nan miskin salang tenggang, panangka lapa dalam kampuang, kutiko musim gantuang tunggu” (Marthala, 2013). Masing-masing rangkiang memiliki fungsinya tersendiri, pertama rangkiang sitinjau lauik padinya digunakan untuk acara adat dan menjamu tamu. Rangkiang sitinjau lauik ini memiliki empat tiang penyangga. Kedua, rangkiang si tenggang lapa yang padinya dimanfaatkan untuk membantu fakir miskin serta persediaan makanan di musim paceklik nanti. Rangkiang ini juga hanya
memiliki empat tiang penyangga. Ketiga, rangkiang si bayau-bayau dengan enam tiang penyangga yang padinya dimanfaatkan untuk makan sehari-hari anak kamanakan penghuni rumah gadang. Rangkiang ini juga hanya memiliki empat tiang penyangga. Keempat rangkiang kaciak, fungsinya sebagai tempat penyimpan padi yang akan dijadikan benih. Lalu ada pula rangkiang harimau panghuni koto dengan sembilan tiang penyangga yang fungsi padinya untuk membantu kelancaran pembangunan dalam nagari. Adapun rangkiang yang paling utama atau yang paling didahulukan untuk diisi adalah rangkiang sitinjau lauik yang digunakan untuk acara adat dan rangkiang si bayau-bayau yang digunakan sebagai keperluan konsumsi sehari-hari anak kamanakan di rumah gadang (Suaita, 2022).
Masuk pada bagian interior, dalam rumah gadang pada umumnya terdapat sembilan kamar dan empat lanjar. Namun, jumlah kamar bisa saja lebih dari sembilan asalkan berjumlah ganjil agar tetap seimbang antara bagian kiri dan kanan rumah gadang. Kamar adalah wilayah dari kiri ke kanan yang dibatasi oleh tiang, sedangkan lanjar ialah wilayah dari depan ke belakang yang dibatasi oleh tiang. Kamar ditempati oleh satu keluarga yang biasanya terdiri atas ayah, ibu, dan balita. Sedangkan anak laki-laki biasanya tinggal di surau milik kaum, di sana ia akan belajar ilmu agama dan ilmu bela diri. Kamar paling ujung dari rumah gadang ditempati oleh pengantin baru, jika ada sesudahnya penghuni rumah gadang yang menikah lagi maka penghuni kamar paling ujung sebelumnya akan berpindah ke sebelah, begitu seterusnya hingga mereka sampai di kamar paling terakhir. Jika sudah begitu maka keluarga tersebut harus bersiap-siap keluar dari rumah gadang untuk mendirikan rumah milik pribadi. Biasanya yang diperbolehkan atau yang paling lama tinggal di rumah gadang adalah keluarga yang tidak memiliki kemampuan secara ekonomi. Kamar-kamar di rumah gadang sengaja dibuat dengan ukuran tidak terlalu besar, hal itu bertujuan agar kepala keluarga penghuni kamar tersebut dapat lebih bersemangat dalam mencari rezeki agar bisa mendirikan rumah sendiri (Suaita, 2022).
Biasanya perempuan yang berusia lanjut dan anak-anak usia sekolah menempati kamar-kamar yang ada di dekat dapur. Sementara anak gadis mendapatkan kamar yang ada pada sisi yang satunya. (Rustiyanti, 2016). Seperti yang telah disebutkan bahwa rumah gadang memiliki empat lanjar yang masing-masing memiliki fungsi tersendiri. Lanjar pertama disebut dengan lanjar kehormatan yang diperuntukkan sebagai tempat menjamu mamak, lanjar kedua digunakan untuk aktifitas adat dan upacara kematian, lanjar ketiga dan keempat digunakan sebagai tempat beraktifitas penghuni masing-masing kamar. Setiap keluarga memakai lanjar yang terdapat di depan kamar mereka masing-masing untuk kegiatan sehari- hari (Suaita, 2022).
Penerimaan tamu di rumah gadang juga memiliki tata aturan, dimana tamu duduk dan dijamu menghadap ke luar agar yang dilihat tamu ialah hal yang baik-baik dan indah saja berupa pemandangan di luar rumah gadang. Sedangkan tuan rumah duduk menghadap ke
54 Novia, Yulfira/ Makna dan Nilai Filosofi Dalam Arsitektur Rumah Gadang – Vol.7 No.1 (2023) 49-57
dalam. Hal ini mengandung tujuan dan maksud untuk menghindari gunjingan serta fitnah di luar rumah, karena jika tamu menghadap ke dalam maka ia akan melihat kekurangan- kekurangan yang terdapat dalam rumah gadang (Suaita, 2022).
Selain keunikan arsitektur rumah gadang serta makna dan tujuan tertentu yang dikandungnya, hal yang tak luput dari perhatian ialah hampir seluruh bagian rumah gadang dipenuhi oleh ukiran-ukiran yang indah dan amat sarat dengan makna. Dinding rumah gadang seluruhnya terbuat dari kayu pilihan yang dipenuhi dengan ragam hias dan corak ukirannya yang khas. Tidak hanya pada dinding, bagian jendela, pintu bahkan tiang rumah gadang pun semuanya didominasi oleh corak ukiran (Rahmawati & Muchlian, 2019). Masyarakat Minangkabau memiliki falsafah adat “alam takambang jadi guru, cancang kayu jadi ukia”
artinya masyarakat Minangkabau belajar atau berguru pada alam dalam kehidupan serta pahatan-pahatan kayu akan menjadi ukiran yang indah dan tentunya terinspirasi dari alam pula (Prasetya & M. Adi, 2018). Ragam hias ukiran di rumah gadang biasanya berupa tumbuh- tumbuhan, binatang, dan benda-benda lainnya. Setiap ukiran tersebut memiliki makna dan nilai tersendiri.
Contohnya antara lain, pada bagian jendela rumah gadang terdapat motif ukiran itiak pulang patang yang melambangkan keteraturan serta kedisiplinan dalam hidup. Lalu biasanya pada tiang-tiang rumah gadang banyak ditemukan ukiran kuciang lalok, ukiran ini mengandung nilai tentang gambaran orang malas bekerja yang kesehariannya hanya makan dan tidur, tidak mau berusaha. Ukiran ini sengaja diletakkan di bagian dalam rumah gadang sebagai bentuk sindiran kepada urang sumando di dalam rumah gadang agar lebih giat bekerja mencari nafkah untuk keluarga. Kemudian ada pula namanya ukiran si kambang manih yang melambangkan keramah-tamahan dan sikap pandai bergaul dari masyarakat Minangkabau. Selain itu, terdapat pula jenis ukiran pucuak rabuang, ukiran ini mengandung makna orang yang bermanfaat bagi masyarakat, seperti rabuang yaitu tunas bambu yang ketika kecil bisa dimanfaatkan untuk masakan dan ketika sudah besar bambunya dapat digunakan untuk berbagai peralatan dan pembangunan, artinya dari kecil hingga besar selalu memberikan banyak manfaat bagi setiap orang (Suaita, 2022). Kemudian ada pula ukiran kaluak paku yang mengandung makna ajaran anak dipangku kamanakan dibimbiang. Ukiran saluak laka yang melambangkan tali kekerabatan matrilineal di Minangkabau. Kemudian ukiran jalo melambangkan sistem pemerintahan Datuak Parpatiah Nan Sabatang, biasanya ukiran ini terdapat pada rumah gadang kelarasan Bodi Chaniago. Lalu ada pula ukiran jarek yang melambangkan sistem pemerintahan dan kekuasaan Datuak Katumangguangan yang terdapat pada rumah gadang kelarasan Koto Piliang pula (Rahmawati & Muchlian, 2019).
Terdapat pula motif ukiran bada mudiak yang mengisyaratkan kehidupan masyarakat yang disiplin, dinamis, kompak dan teratur, serta berorientasi ke depan untuk merealisasikan kesejahteraan bagi masyarakat (Wulandari, 2013).
Di Istano Basa Pagaruyuang dapat dilihat lebih banyak bentuk ornamen dan ragam hias dari ukiran-ukiran rumah gadang, semuanya merupakan representasi dari simbol-simbol alam yang memiliki makna filosofis. Misalnya, ukiran lumuik hanyuik yang mengandung makna masyarakat Minangkabau yang mempunyai kebiasaan merantau dan mudah bergaul dengan lingkungan dimana pun dia tinggal. Ukiran aka cino sagagang melambangkan sifat rajin dan gigih seseorang. Ukiran tatandu manyasok bungo mengandung makna kemakmuran dan keindahan dalam hidup masyarakat Minangkabau. Ukiran aka barayun menunjukkan keseimbangan dan keselarasan antara akal dan budi pekerti luhur. Ukiran tangguak lamah menunjukkan sifat rendah hati dan sopan santun seseorang. Kemudian ukiran sajamba makan menunjukkan bahwa adanya aturan dalam melakukan setiap pekerjaan (Shalika, Sibarani, & Setia, 2020).
Ukiran-ukiran atau ragam hias pada rumah gadang biasanya memakai tiga warna dasar yaitu warna merah, kuning, dan hitam serta warna putih sebagai penetral. Ketiga warna ini melambangkan tiga luhak di wilayah Minangkabau. Warna merah lambang dari Luhak Agam, warna kuning lambang dari Luhak Tanah Datar, dan warna hitam dari Luhak 50 Kota.
Ketiga warna tersebut juga merupakan warna bendera marawa di Minangkabau sebagai bentuk perlambangan eksistensi dari ketiga luhak. Penggunaan tiga warna dasar itu juga mengandung makna tiga elemen pemangku kepemimpinan di Minangkabau yang dikenal dengan tungku tigo sajarangan yang terdiri atas niniak mamak, alim ulama, dan cadiak pandai.
Disebut dengan tungku tigo sajarangan karena filosofinya ialah saat kita hendak memasak sesuatu menggunakan tungku maka membutuhkan tiga batu untuk mengokohkan tempat memasak tersebut. Begitu pula dengan pola kepemimpinan yang ada di daerah Minangkabau, dimana dibutuhkan tiga elemen tokoh penting tersebut dalam kehidupan masyarakat untuk memperoleh pemerintahan yang berasaskan Adat Basandi Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah (Prasetya & M. Adi, 2018).
Dapat kita pahami bahwa hampir semua arsitektur rumah gadang mempunyai makna dan nilai-nilai dalam kehidupan. Kearifan lokal dari arsitektur rumah gadang tersebut diadopsi dari alam karena masyarakat Minangkabau belajar dan berguru kepada alam. Rumah gadang bukan hanya sekedar tempat tinggal, bukan hanya tempat berteduh dari hujan dan panas.
Melainkan rumah gadang juga merupakan awal-mula tempat tumbuhnya budaya, tradisi dan adat istiadat, dan nilai-nilai di tengah-tengah masyarakat. Pada arsitektur rumah gadang banyak ditemukan pengajaran-pengajaran yang bermanfaat bagi kehidupan baik dari segi arsitektur maupun nilai-nilai yang tumbuh dalam hubungan kekeluargaan di rumah gadang.
SIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa rumah gadang bukanlah sekedar tempat tinggal bagi masyarakat Minangkabau. Rumah gadang menjadi identitas kehidupan
56 Novia, Yulfira/ Makna dan Nilai Filosofi Dalam Arsitektur Rumah Gadang – Vol.7 No.1 (2023) 49-57
bagi suatu kaum. Dari rumah gadang tumbuh dan berkembang budaya luhur masyarakat Minangkabau. Kemegahan rumah gadang bukan sekedar dilihat dari keindahan bangunannya secara fisik saja, melainkan bagaimana nilai-nilai luhur yang terkandung dibaliknya.
Masyarakat Minangkabau sangat sarat dengan falsafah adat dan filosofinya dalam kehidupan. Hal tersebut direpresentasikan dalam arsitektur rumah gadang. Rumah gadang merupakan wujud kearifan lokal masyarakat Minangkabau yang sangat kental dengan budaya dan tradisi. Dalam pembangunannya semua arsitektur rumah gadang juga sangat kaya akan makna dan nilai yang terangkup di dalamnya. Mulai dari bagaimana pemilihan bahan yang baik dan tepat untuk ketahanan rumah gadang. Kemudian model arsitektur rumah gadang yang tahan dari bencana alam, tata ruang di dalam rumah gadang, ornamen dan motif ukiran interior serta eksterior dari rumah gadang semuanya mengandung makna dan nilai-nilai dalam kehidupan.
Arsitektur rumah gadang berguru pada alam (hewan dan tumbuhan) sekitar dalam pembangunannya. Rumah gadang banyak mengadopsi simbol-simbol dari alam yang dan kemudian direpresentasikan ke dalam nilai-nilai kehidupan. Hal tersebut selaras dengan falsafah adat “alam takambang jadi guru, cancang kayu jadi ukiran”. Di antara bentuk-bentuk motif ukiran rumah gadang yang berguru pada alam seperti ukiran itiak pulang patang, kuciang lalok, pucuak rabuang, si kambang manih, kaluak paku, lumuik hanyuik, aka barayun, makan sajamba, dan masih banyak lagi. Semua itu memiliki makna dan nilai tersendiri seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama sekali tentu puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT. Berkat rahmat, nikmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan artikel ini.
Seterusnya penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Yulfira Riza, S. S., M.
Hum sebagai dosen mata kuliah Menulis ilmiah yang telah membimbing penulis dalam penyusunan artikel ini. Terakhir tak terkecuali kepada kedua orang tua, keluarga, serta teman- teman yang senantiasa memberikan semangat kepada penulis.
DAFTAR PUSTAKA Buku
Marthala, A. E. (2013). Rumah Gadang Kajian Filosofis Arsitektur Minangkabau. Bandung:
Penerbit Humaniora.
Artikel Jurnal
Fitriza, R. (2018). Model Transfer Pengetahuan Arsitektur Tradisional Rumah Gadang Minangkabau. Jurnal Teori dan Riset Matematika, 2 (2), 74-75.
Mirdad, J., Bustami, & Rustika, D. (2020). Kebudayaan dan Wisata Sejarah: Eksistensi Objek Sejarah Terhadap Perkembangan Wisata di Pariangan Kabupaten Tanah Datar.
Khazanah: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, 10, (2), 220.
Novio, R. (2016). Kearifan Arsitektur Rumah Gadang Minangkabau dalam Mitigasi Bencana.
JOM FISIP, 5 (1), 63-73.
Rahmawati, Y., & Muchlian, M. (2019). Eksplorasi Etnomatematika Rumah Gadang Minangkabau Sumatera Barat. Jurnal Analisa, 5 (2), 131-134.
Shalika, M. P., Sibarani, R., & Setia, E. (2020). Makna Ornamen Rumah Gadang Minangkabau: Kajian Semantik. Jurnal Humanika, 27 (2) 76-80.
Prosiding Seminar
Prasetya, L., & M. Adi, S. (2018). Makna dan Filosofi Ragam Hias pada Rumah Tradisional Minangkabau di Nagari Pariangan Tanah Datar. Seminar Nasional "Kearifan Lokal dalam Keberagaman untuk Pembangunan Indonesia (pp. 62-64). Medan: Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.
Rustiyanti, S. (2016). Makna yang Tersirat dan Tersurat dalam Visualisasi Bangunan Rumah Gadang di Minangkabau. Seminar Kearifan Lokal dan Lingkungan Binaan (pp. 549- 554). Medan: Program Studi Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara.
Wulandari, Y. (2013). Tinjauan Etimologi "Bada Mudiak": Motif Ukiran Rumah Gadang Minangkabau. Seminar Nasional Etimologi (pp. 113-121). Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Wawancara
Suaita. (2022, May 21). Museum Bustanil Arifin PDIKM Padang Panjang. (N. Rahmadani, Interviewer)