• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANAJEMEN ANESTESI PADA OPERASI SEKSIO SESAREA DENGAN PERDARAHAN SUBARACHNOID (PSA) OTAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "MANAJEMEN ANESTESI PADA OPERASI SEKSIO SESAREA DENGAN PERDARAHAN SUBARACHNOID (PSA) OTAK"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN KASUS

MANAJEMEN ANESTESI PADA OPERASI SEKSIO SESAREA DENGAN PERDARAHAN

SUBARACHNOID (PSA) OTAK

dr. Made Agus Kresna Sucandra, SpAn, KIC

PROGRAM STUDI ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2018

(2)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Perdarahan subaraknoid pada kehamilan disebabkan oleh pecahnya aneurisma intrakranial tetap merupakan masalah kesehatan yang serius, dimana sekitar satu setengah dari pasien tetap mengalami kerusakan otak ireversibel. Kejadian PSA bervariasi antar populasi, dimana setidaknya, seperempat pasien akan meninggal, dan kira-kira setengah dari pasien yang tersisa mengalami beberapa defisit neurologis yang persisten. Penanganan awal aneurisma, bersama-sama dengan manajemen agresif komplikasi seperti hidrosefalus dan delayed vasospasme, mengarah ke luaran fungsional yang lebih baik. (2012 Connoly). Dalam kasus yang melibatkan pecahnya aneurisma, pasien harus diterapi secara rutin. Pengobatan dini (<72 jam) direkomendasikan untuk aneurisma yang telah pecah dimana ~ 20% pasien mengalami perdarahan kembali dalam 2 minggu pertama setelah PSA (Caplan, 2009).

2.1 Perubahan Fisiologis Ibu Hamil

Pada masa kehamilan ada beberapa perubahan pada hampir semua sistem organ pada maternal. Perubahan ini diawali dengan adanya sekresi hormon dari korpus luteum dan plasenta. Efek mekanis pada pembesaran uterus dan kompresi dari struktur sekitar uterus memegang peranan penting pada trimester kedua dan ketiga. Perubahan fisiologis seperti ini memiliki implikasi yang relevan bagi dokter anestesi untuk memberikan perawatan bagi pasien hamil. Perubahan yang relevan meliputi perubahan fungsi hematologi, kardiovaskular, ventilasi, metabolik, dan gastrointestinal (Gaiser 2014).

1. Perubahan Metabolik

Sebagai akibat dari peningkatan sekresi dari berbagai macam hormon selama masa kehamilan , termasuk tiroksin, adrenokortikal dan hormon seks, maka laju metabolisme basal pada wanita hamil meningkat sekitar 15 % selama mendekati masa akhir dari kehamilan. Sebagai hasil dari peningkatan laju metabolisme basal tersebut, maka wanita hamil sering mengalami sensasi rasa panas yang berlebihan. Selain itu,karena adanya beban tambahan, maka pengeluaran energi untuk aktivitas otot lebih besar daripada normal (Hall & Guyton 2016).

2. Perubahan Kardiovaskular

Sistem kardiovaskular beradaptasi selama masa kehamilan terhadap beberapa perubahan yang terjadi. Meskipun perubahan sistem kardiovaskular terlihat pada awal

(3)

trimester pertama, perubahan pada sistem kardiovaskular berlanjut ke trimester kedua dan ketiga, ketika cardiac output meningkat kurang lebih sebanyak 40 % daripada pada wanita yang tidak hamil. Cardiac output meningkat dari minggu kelima kehamilan dan mencapai tingkat maksimum sekitar minggu ke-32 kehamilan, setelah itu hanya mengalami sedikit peningkatan sampai masa persalinan, kelahiran, dan masa post partum.

Sekitar 50% peningkatan dari cardiac output telah terjadi pada masa minggu kedelapan kehamilan. Meskipun, peningkatan dari cardiac output dikarenakan adanya peningkatan dari volume sekuncup dan denyut jantung, faktor paling penting adalah volume sekuncup, dimana meningkat sebanyak 20% sampai 50% lebih banyak daripada pada wanita tidak hamil (Hall & Guyton 2016). Perubahan denyut jantung sangat sulit untuk dihitung, tetapi diperkirakan ada peningkatan sekitar 20% yang terlihat pada minggu keempat kehamilan.

Meskipun, angka normal dalam denyut jantung tidak berubah dalam masa kehamilan, adanya terlihat penurunan komponen simpatis. Pada trimester kedua, kompresi aortocava oleh pembesaran uterus menjadi penting secara progresif, mencapai titik maksimum pada minggu ke- 36 dan 38, setelah itu dapat menurunkan perpindahan posisi kepala fetal menuju pelvis. Penelitian mengenai cardiac output, diukur ketika pasien berada pada posisi supine selama minggu terakhir kehamilan, menunjukkanbahwa ada penurunan dibandingkan pada wanita yang tidak hamil, penurunan ini tidak diobservasi ketika pasien berada dalam posisi lateral decubitus. Sindrom hipotensi supine, yang terjadi pada 10 % wanita hamil dikarenakan adanya oklusi pada vena yang mengakibatkan terjadinya takikardi maternal, hipotensi arterial, penurunan kesadaran, dan pucat. Kompresi pada aorta yang dibawah dari posisi ini mengakibatkan penurunan perfusi uteroplasental dan mengakibatkan terjadinya asfiksia pada fetus. Oleh karena itu, perpindahan posisi uterus dan perpindahan posisi pelvis ke arah lateral harus dilakukan secara rutin selama trimester kedua dan ketiga dari kehamilan (Butterworth et al. 2013). Naiknya posisi diafragma mengakibatkan perpindahan posisi jantung dalam dada, sehingga terlihat adanya pembesaran jantung pada gambaran radiologis dan deviasi aksis kiri dan perubahan gelombang T pada elektrokardiogram (EKG). Pada pemeriksaan fisik sering ditemukan adanya murmur sistrolik dan suara jantung satu yang terbagi-bagi. Suara jantung tiga juga dapat terdengar. Beberapa pasien juga terlihat mengalami efusi perikardial kecil dan asimptomatik (Butterworth et al. 2013).

3. Perubahan Hematologi.

(4)

Volume darah maternal mulai meningkat pada awal masa kehamilan sebagai akibat dari perubahan osmoregulasi dan sistem renin-angiotensin, menyebabkan terjadinya retensi sodium dan peningkatan dari total body water menjadi 8,5 L. Pada masanya, volume darah meningkat sampai 45 % dimana volume sel darah merah hanya meningkat sampai 30%. Perbedaan peningkatan ini dapat menyebabkan terjadinya ”anemia fisiologis” dalam kehamilan dengan hemoglobin rata rata 11.6 g/dl dan hematokrit 35.5%.

Bagaimanapun, transpor oksigen tidak terganggu oleh anemia relatif ini, karena tubuh sang ibu memberikan kompensasi dengan cara meningkatkan curah jantung, peningkatan PaO2, dan pergeseran ke kanan dari kurva disosiasi oxyhemoglobin. Kehamilan sering diasosiasikan dengan keadaan hiperkoagulasi yang memberikan keuntungan dalam membatasi terjadinya kehilangan darah saat proses persalinan. Konsentrasi fibrinogen dan faktor VII,VIII, IX,X,XII, hanya faktor XI yang mungkin mengalami penurunan.

Fibrinolisis secara cepat dapat diobservasi kemudian pada trimester ketiga. Sebagai efek dari anemia dilusi, leukositosis dan penurunan dari jumlah platelet sebanyak 10 % mungkin saja terjadi selama trimester ketiga. Karena kebutuhan fetus, anemia defisiensi folat dan zat besi mungkin saja terjadi jika suplementasi dari zat gizi ini tidak terpenuhi.

Imunitas sel ditandai mengalami penurunan dan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi viral (Butterworth et al. 2013; Miller et al. 2014)

4. Perubahan Sistem Respirasi

Adaptasi respirasi selama kehamilan dirancang untuk mengoptimalkan oksigenasi ibu dan janin, serta memfasilitasi perpindahan produk sisa CO2 dari janin ke ibu(Barash 2015; Miller et al. 2014; Butterworth et al. 2013). Konsumsi oksigen dan ventilasi semenit meningkat secara progresif selam masa kehamilan. Volume tidal dan dalam angka yang lebih kecil, laju pernafasan meningkat. Pada aterm konsumsi oksigen akan meningkat sekitar 20-50% dan ventilasi semenit meningkat hingga 50%. PaCO2 menurun sekitar 28-32mm Hg. Alkalosis respiratorik dihindari melalui mekanisme kompensasi yaitu penurunan konsentrasi plasma bikarbonat. Hiperventilasi juga dapat meningkatkan PaO2 secara perlahan. Peningkatan dari 2,3-difosfogliserat mengurangi efek hiperventilasi dalam afinitas hemoglobin dengan oksigen. Tekanan parsial oksigen dimana hemoglobin mencapai setengah saturasi ketika berikatan dengan oksigen meningkat dari 27 ke 30 mm Hg. hubungan antara masa akhir kehamilan dengan peningkatan curah jantung memicu perfusi jaringan. Posisi dari diafragma terdorong ke atas akibat dari pembesaran uterus dan umumnya diikuti pembesaran dari diameter

(5)

anteroposterior dan transversal dari cavum thorax. Mulai bulan ke lima, expiratory reserve volume, residuak volume,dan functional residual capacity menurun, mendekati akhir masa kehamilan menurun sebanyak 20 % dibandingkan pada wanita yang tidak hamil. Secara umum, ditemukan peningkatan dari inspiratory reserve volume sehingga kapasitas paru total tidak mengalami perubahan. Pada sebagian ibu hamil, penurunan functional residual capacity tidak menyebabkan masalah, tetapi bagi mereka yang mengalami perubahan pada closing volume lebih awal sebagai akibat dari merokok, obesitas, atau skoliosis dapat mengalami hambatan jalan nafas awal dengan kehamilan lanjut yang menyebabkan hipoksemia. Manuver tredelenburg dan posisi supin juga dapat mengurangi hubungan abnormal antara closing volume dan functional residual capacity.

Volume residual dan functional residual capacity kembali normal setelah proses persalinan (Miller et al. 2014).

5. Perubahan Sistem Renal

Vasodilatasi renal mengakibatkan peningkatan aliran darah renal pada awal masa kehamilan tetapi autoregulasi tetap terjaga. Ginjal umumnya membesar. Peningkatan dari renin dan aldosterone mengakibatkan terjadinya retensi sodium. Aliran plasma renal dan laju filtrasi glomerulus meningkat sebanyak 50% selama trimester pertama dan laju filtrasi glomerulus menurun menuju ke batas normal pada trimester ketiga. Serum kreatinin dan Blood Urea Nitrogen (BUN) mungkin menurun menjadi 0.5-0.6 mg/dL dan 8-9mg/dL. Penurunan threshold dari tubulus renal untuk glukosa dan asam amino umum dan sering mengakibatkan glukosuria ringan(1-10g/dL) atau proteinuria (<300 mg/dL).

Osmolalitas plasma menurun sekitar 8-10 mOsm/kg (Barash 2015; Miller et al. 2014) . 6. Perubahan pada Sistem Gastrointestinal

Fungsi gastrointestinal dalam masa kehamilan dan selama persalinan menjadi topik yang kontroversial. Namun, dapat dipastikan bahwa traktus gastrointestinal mengalami perubahan anatomis dan fisiologis yang meningkatkan resiko terjadinya aspirasi yang berhubungan dengan anestesi general (Barash 2015). Refluks gastroesofagus dan esofagitis adalah umum selama masa kehamilan. Disposisi dari abdomen ke arah atas dan anterior memicu ketidakmampuan dari sfingter gastroesofagus. Peningkatan kadar progestron menurunkan tonus dari sfingter gastroesofagus, dimana sekresi gastrin dari plasenta menyebabkan hipersekresi asam lambung. Faktor tersebut menempatkan wanita yang akan melahirkan pada resiko tinggi terjadinya regurgitasi dan aspirasi pulmonal.

Tekanan intragaster tetap tidak mengalami perubahan. Banyak pendapat yang

(6)

menyatakan mengenai pengosongan lambung. Beberapa penelitian melaporkan bahwa pengosongan lambung normal bertahan sampai masa persalinan. Di samping itu,hampir semua ibu hamil memiliki pH lambung di bawah 2.5 dan lebih dari 60% dari mereka memiliki volume lambung lebih dari 25mL. kedua faktor tersbut telah dihubungkan memiliki resiko terhadap terjadinya aspirasi pneumonitis berat. Opioid dan antikolinergik menurunkan tekanan sfingter esofagus bawah, dapat memfasilitasi terjadinya refluks gastroesofagus dan penundaan pengosongan lambung. Efek fisiologis ini bersamaan dengan ingesti makanan terakhir sebelum proses persalinan dan penundaan pengosongan lambung mengakibatkan nyeri persalinan dan merupakan faktor predisposisi pada ibu hamil akan terjadinya muntah dan mual (Butterworth et al. 2013).

7. Perubahan Sistem Saraf Pusat dan Perifer

Konsentrasi alveolar minimum menurun secara progresif selama masa kehamilan.

Pada masa aterm menurun sekitar 40% untuk semua anestesi general. Namun, konsentrasi alveolar minimum kembali normal pada hari ketiga pasca kelahiran. Perubahan kadar hormon maternal dan opioid endogen telah dibuktikan. Progestron yang memiliki efek sedasi ketika diberikan dalam dosis farmakologis, meningkat sekitar 20 kali lebih tinggi daripada normal pada masa aterm dan kemungkinan berefek kecil dalam observasi.

Peningkatan secara signifikan kadar endorfin juga memegang peranan penting dalam masa persalinan dan kelahiran (Butterworth et al. 2013). Wanita hamil menunjukkan peningkatan sensitivitas terhadap kedua jenis anestesi baik regional maupun general. Dari awal periode pemasukan anestesi secara neuraxial, wanita hamil membutuhkan lebih sedikit anestesi lokal daripada wanita yang tidak hamil untuk mencapai level dermatom sensorik yang diberikan (Birnbach, 2009). Minimum local analgesic concentration (MLAC) digunakan dalam anestesi obstetrik untuk membandingkan potensi relatif dari anestesi lokal dan MLAC didefinisikan sebagai median dari konsentrasi analgesic efektif dalam 20 ml volume untuk analgesi epidural dalam periode awal persalinan. Obstruksi dari vena cava inferior karena pembesaran uterus mengakibatkan distensi dari vena pleksus epidural dan meningkatkan volume darah epidural. Yang mendekati masa akhir kehamilan menghasilkan tiga efek mayor : (1) penurunan volume cairan serebrospinal, (2) penurunan volume potensial dari ruang epidural, (3) peningkatan tekanan ruang epidural.

Dua efek awal memicu penyebaran sefalad dari cairan anestesi lokal selama anestesi spinal dan epidural, dimana efek yang terakhir mungkin menjadi predisposisi dalam insidensi lebih tinggi dari punksi dural dengan anestesi epidural (Butterworth et al. 2013).

(7)

8. Perubahan Sistem Muskoloskeletal

Kenaikan kadar relaksin selama masa kehamilan membantu persiapan kelahiran dengan melemaskan serviks, menghambat kontraksi uterus, dan relaksasi dari simfisis pubis dan sendi pelvik. Relaksasi ligamen menyebabkan peningkatan risiko terjadinya cedera punggung. Kemudian dapat berkontribusi dalam insidensi nyeri punggung dalam kehamilan (Butterworth et al. 2013; Miller et al. 2014).

9. Sirkulasi Uteroplasental

Sirkulasi uteroplasental normal sangat dibutuhkan dalam perkembangan dan perawatan untuk fetus yang sehat. Insufiensi sirkulasi uteroplasental dapat menjadi penyebab utama dalam retardasi pertumbuhan fetal intrauterin dan ketika menjadi parah dapat mengakibatkan kematian fetus. Integrasi dari sirkulasi bergantung pada aliran darah uterus yang adekuat dan fungsi normal plasenta (Butterworth et al. 2013; Gaiser 2014).

Aliran darah uterin meningkat secara progresif selama kehamilan dan mencapai nilai rata rata antara 500ml sampai 700ml di masa aterm. Aliran darah melalui pembuluh darah uterus sangat tinggi dan memiliki resistensi rendah. Perubahan dalam resistensi terjadi setelah 20 minggu masa gestasi. Aliran darah uterus kurang memiliki mekanisme autoregulasi (pembuluh darah dilatasi maksimal selama masa kehamilan) dan aliran arteri uterin sangat bergantung pada tekanan darah maternal dan curah jantung. Hasilnya, faktor yang mempengaruhi perubahan aliran darah melalui uterus dapat memberikan efek berbahaya pada suplai darah fetus. Maka uterine blood flow dirumuskan sebagai berikut:

UBF= UAP-UVP UVR

UBF = uterine blood flow

UAP = uterine arterial pressure UVP = uterine venous pressure

UVR = uterine vascular resistance

Aliran darah uterin menurun selama periode hipotensi maternal, dimana hal tersebut terjadi dikarenakan hipovolemia, perdarahan, dan kompresi aortocaval, dan blokade simpatis. Hal serupa, kontraksi uterus (kondisi yang meningkatkan frekuensi atau durasi kontraksi uterus) dan perubahan tonus vaskular uterus yang dapat terlihat dalam status hipertensi mengakibatkan gangguan pada aliran darah(Butterworth et al. 2013; Miller et al. 2014; Barash 2015).

(8)

2.2 Perdarahan Subarachnoid dan Aneurisma Intrakranial

Aneurisma intrakranial adalah lesi umum di daerah otak. Studi otopsi menunjukan prevalensi pada populasi orang dewasa antara 1-5%, yang diperkirakan 10-12 juta orang di Amerika Serikat secara sadar atau tidak sadar memiliki aneurisma di otak. Sebagian besar aneurisma kecil dan diperkirakan 50-80 persen tidak terjadi pecah selama seumur hidup seseorang. (Wlody et al. 2017)

Faktor risiko terkait adanya dan rupturnya aneurisma intrakranial adalah tekanan darah tinggi, penggunaan tembakau, faktor genetik dan etnis; namun, prevalensi lesi masih dianggap sekitar 2% pada mereka yang tidak diketahui faktor risikonya (Batjer et al. 2014).

Risiko tahunan rupturnya aneurisma telah dilaporkan antara 0,1% dan 8%, tergantung pada variabel karakteristik lesi. Internasional Studi Unruptured Intracranial Aneurysm (ISUIA) melaporkan dalam dua publikasi terbaru bahwa risiko rupturnya aneurisma secara substansial lebih rendah dari yang diperkirakan sebelumnya, yaitu sekitar 2% pada aneurisma sirkulasi anterior dengan ukuran kurang dari 7 mm (Batjer et al. 2014).

Kejadian perdarahan subaraknoid pada kehamilan yang disebabkan pecahnya aneurisma intracranial di Amerika Serikat adalah 1 kasus per 10.000 orang,di China 7-9 kasus per 10.000, di Inggris 27 per 100.000 kehamilan sehingga menyebabkan sekitar 27.000 kasus baru perdarahan subaraknoid setiap tahun. Para pasien yang mengalami PSA setelah ruptur aneurisma, sekitar sepertiga kembali ke kehidupan fungsional kembali, sepertiga memiliki morbiditas, dan sepertiganya lagi tidak bertahan hidup. Risiko terbesar setelah ruptur aneurisma awal adalah ruptur berulang. Setelah obliterasi aneurisma secara operatif atau terapi endovascular, masih terdapat risiko vasospasme serebral yang menyebabkan komplikasi iskemik dan terjadinya hidrosefalus, sehingga mendasari pentingnya intervensi awal dan pemantauan ketat pada periode pasca rupturnya aneurisma (Batjer et al. 2014) Faktor Risiko

Insiden SAH meningkat dengan pertambahan usia baik pada serial otopsi dan klinis;

insiden PSA pada anak-anak sangat rendah, bahkan dengan adanya riwayat di keluarga (Batjer et al. 2014). Faktor risiko PSA pada kehamilan terutama disebabkan pecahnya aneurisma, namun faktor resiko lain seperti pada PSA tanpa kehamilan juga telah dilaporkan seperti: hipertensi, merokok, penyalahgunaan alkohol, dan penggunaan obat simpatomimetik (misalnya, kokain). Selain jenis kelamin, risiko SAH meningkat dengan adanya unruptured

(9)

aneurisma serebral (terutama yang simptomatik, ukuran yang lebih besar, dan terletak pada arteri communicating posterior atau sistem vertebrobasilar), riwayat SAH sebelumnya (dengan atau tanpa aneurisma residual yang tidak diobati), riwayat aneurisma pada keluarga (setidaknya 1 tingkat pertama anggota keluarga dengan aneurisma intrakranial, dan terutama jika ditemukan pada ≥2 kerabat tingkat pertama) dan riwayat keluarga PSA, dan sindrom genetik tertentu, seperti penyakit autosomal dominan ginjal polikistik dan Ehlers-Danlos syndrome tipe IV. Namun ada pula penelitian yang mengatakan bahwa kehamilan tidak ada hubungannya dengan PSA.

Manifestasi Klinis dan Diagnosis PSA

Gejala klinis yang khas pada PSA adalah munculnya sakit kepala berat yang tidak biasa yang terjadi mendadak. Keluhan nyeri kepala ini sering dideskripsikan nyeri “kepala paling buruk dalam hidup saya”. Keluhan nyeri kepala dapat disertai muntah dan penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran dalam waktu lebih dari 1 jam terjadi pada hampir separuh dari pasien PSA dan adanya gejala fokal yang berkembang pada saat yang sama dengan dengan munculnya keluhan sakit kepala atau beberapa saat setelah terjadinya sakit kepala.

Sakit kepala mungkin tidak dikeluhkan oleh pasien bila pasien mengalami penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran pada pasien PSA disebabkan oleh terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak sebagai akibat dari masuknya darah yang secara mendadak dalam ruang subaraknoid. Kaku kuduk merupakan tanda yang paling sering pada PSA. (Van Gijn 2008; Caplan & Lioutas 2016)

Apabila dicurigai adanya suatu PSA, sarana diagnostik lini pertama adalah MSCT scan kepala tanpa kontras. Ketepatan MSCT Scan kepala dalam mendiagnosa suatu PSA berkisar 90% dimana pada CT scan tampak adanya lesi hiperdens pada sisterna basalis.

Positif palsu dapat terjadi pada edema serebri yang luas dengan atau tanpa mati otak akibat suatu kongesti vena pada ruang subaraknoid, kondisi ini akan menyerupai PSA. Gambaran MSCT scan yang negative dapat terjadi pada 2% pasien PSA (Manno 2012). Gambaran MSCT scan dapat menunjukkan adanya darah dalam ruang subaraknoid dan dapat menunjukkan hubungan dengan perdarahan intraparenkim. Lokasi perdarahan dapat digunakan untuk memperkirakan etiologi dari PSA (Caplan & Lioutas 2016).

Lumbal pungsi merupakan sarana diagnostik yang penting terutama bila dicurigai adanya suatu PSA secara klinis tetapi hasil MSCT scan menunjukkan gambaran yang normal (Manno 2012).

(10)

Tabel 1. Gambaran hasil lumbal pungsi pada pasien SAH (Caplan & Lioutas 2016)

Computed Tomo Arteriography mungkin dipertimbangkan dalam mendiagnosis PSA.

Jika aneurisma terdeteksi dari CTA, pemeriksaan ini mungkin menolong sebagai pedoman untuk menentukan jenis perbaikan tipe aneurisma, akan tetapi, jika CTA tidak dapat menentukan, DSA tetap direkomendasikan (kecuali kemungkinan misalnya PSA klasik perimesencephalik). MRI mungkin diperlukan untuk diagnosis PSA pada pasien yang tidak terdiagnosis dengan CT scan, walaupun hasil yang negatif tidak menyingkirkan kebutuhan analisis cairan serebrospinal.

Digital Substraction Angiografy (DSA) dengan 3-dimensional rotational angiography diindikasikan untuk mendeteksi aneurisma pada pasien PSA (kecuali jika aneurisma telah didiagnosis sebelumnya dengan angiogram non invasif) dan untuk merencanakan terapi (untuk membedakan apakah aneurisma sebaiknya di terapi dengan coiling atau dengan microsurgery).

Kurang lebih 85% kejadian PSA disebabkan oleh karena ruptur dari saccular aneurisma pada basis serebri, 10% karena perdarahan aneurisma perimesensefalik, sedangkan 5% disebabkan oleh kasus yang langka. Anaeurisma serebral hampir tidak pernah terjadi pada anak-anak, tetapi berkembang selama kehidupan (Warlow et al, 2008). Perubahan dinding arteri dikarenakan peran hipertensi, merokok dan konsumsi alkohol. Ketiga hal tersebut mungkin mempengaruhi terjadinya penipisan lapisan intima pada dinding arteri.

Baku emas untuk menentukan adanya suatu aneurisma adalah dengan pemeriksaan angiografi konvensional, tetapi tindakan ini merupakan tindakan yang invasif (Van Gijn 2008).

Tabel 2. Etiologi perdarahan subarakhnoid (Van Gijn 2008)

(11)

Perdarahan subaraknoid juga dapat disebabkan oleh adanya suatu AVM, dimana PSA pada daerah konveksitas otak kemungkinan berasal dari AVM superfisial. Kurang dari 5%

ruptur dari AVM hanya terjadi di ruang subarakhnoid tanpa suatu hematoma intraserebral.

Sakular aneurisma dapat terbentuk pada feeding arteri dari 10-20% AVM, yang terjadi mungkin karena adanya peningkatan aliran dan regangan dari dinding arteri. Bila terjadi perdarahan pada kasus seperti ini, kebanyakan berasal dari aneurisma daripada AVM itu sendiri (Van Gijn 2008).

Tingkat Keparahan PSA

Tingkat keparahan PSA awal harus ditentukan sesegera mungkin dengan menggunakan skala sederhana (misalkan, skala Hunt and Hess atau skala World Federation of Neurological Surgeons) oleh karena ini merupakan indikator yang sangat penting untuk menentukan luaran setelah mengalami PSA.

Tabel 3. Klasifikasi SAH menurut Hunt and Hess (Caplan & Lioutas 2016)

Tabel 4. Klasifikasi berdasarkan WFNS (Gijn, 2001)

(12)

Tabel 5. Klasifikasi PSA menurut Fisher (Manno 2012)

Penatalaksanaan Perdarahan Subaraknoid

Penatalaksanaan pada pasien dengan PSA, merupakan salah satu masalah yang sulit dalam pengobatan klinik. Terdapat banyak komplikasi pada pasien PSA dan sering terjadi perubahan dalam penatalaksanaanya (Caplan & Lioutas 2016). Bantuan hidup dasar dianggap sebagai penanganan awal pada pasien PSA, yang meliputi jalan nafas yang adekuat, ventilasi, dan sirkulasi.

Tabel 6. Penatalaksanaan dasar pada pasien dengan PSA (Van Gijn 2008)

(13)

Komplikasi dari PSA cukup banyak dan penanganannya bukanlah suatu hal yang mudah. Penurunan derajat kesadaran dapat disebabkan oleh adanya perdarahan awal atau adanya perdarahan berulang, atau bisa juga disebabkan oleh kerusakan otak global sebagai akibat adanya peningkatan tekanan atau suatu iskhemia (Van Gijn 2008; Warlow 2008)

Pada beberapa jam pertama setelah onset suatu perdarahan, lebih dari 50% pasien mengalami episode penurunan kesadaran yang mendadak yang diperkirakan disebabkan oleh adanya perdarahan ulang. Kejadian ini sering terjadi bahkan sebelum dilakukan CT Scan atau bahkan sebelum pasien MRS. Konfirmasi diagnosis perdarahan ulang sangat sukar dan frekuensi dari terjadinya perdarahan ulang pada hari pertama sering diabaikan (Van Gijn 2008). Sekitar 20% perdarahan ulang terjadi pada 2 minggu pertama, 30% pada akhir bulan pertama, dan 40 % terjadi pada akhir 6 bulan pertama. Setelah 6 bulan, kejadian perdarahan ulang akibat rupture berulang sekitar 3% pertahun (Caplan & Lioutas 2016)

Telah menjadi persetujuan umum bahwa hipertensi akut berkaitan erat dengan terjadinya perdarahan ulang. Tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg, diperkirakan merupakan salah satu faktor terjadinya perdarahan ulang. Oleh karena itu hipertensi perlu dikontrol setelah onset PSA. Belum ada suatu ketetapan mengenai besar tekanan darah untuk mengurangi terjadinya perdarahan ulang, tetapi tekanan darah sistolik yang disarankan adalah di bawah 160mmHg (Caplan & Lioutas 2016).

Antifibrinolitik telah sejak lama digunakan sebagai terapi untuk mencegah terjadinya perdarahan ulang. Suatu sistematik review yang dilakukan oleh Roos et al pada tahun 2000, dikutip dari Gijn (2001) menyimpulkan, meskipun efektif dalam menurunkan insiden terjadinya perdarahan ulang, tetapi gagal untuk meningkatkan luaran yang secara umum lebih

(14)

baik. Penggunaan antifibrinolitik meningkatkan angka kematian akibat perkembangannya menjadi vasosapasme serebral(Van Gijn 2008). Pada suatu prospective randomized nonblinded study oleh Hilman et al tahun 2002, dikutip dari Manno (2008) yang bertujuan menilai efikasi penggunaan anti fibrinolitik jangka pendek untuk mencegah terjadinya perdarahan ulang. Pada study ini digunakan asam traneksamat dengan dosis 1 gram tiap 6jam selama 72 jam pertama. Hasil dari penelitian ini, pada kelompok terapi didapatkan penurunan angka perdarahan ulang sebesar 10,8 hingga 2,4% pada kelompok terapi dan tidak didapatkan perkembangan suatu vasospasme pada kelompok terapi (Manno 2012).

Delayed cerebral ischemia terkait vasospasme merupakan penyebab terbesar morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan PSA. Vasospasme terjadi terutama pada hari ke-3 hingga hari ke 21 dan akan menetap selama 12 hingga 16 hari. Mekanisme terjadinya vasospasme tidak diketahui dengan pasti. Banyaknya darah yang ditemukan pada MSCT- scan diduga berhubungan dengan kejadian vasospasme. Gejala dari adanya vasospasme adalah penurunan kesadaran dan gangguan defisit berbahasa fokal atau gangguan motorik fokal. Standar baku terjadinya vasospasme adalah dengan pemeriksaan angiografi, dimana akan tampak penyempitan dari pembuluh darah. Pemeriksaan Transcranial Doppler (TCD) dapat digunakan untuk memperkirakan terjadinya suatu vasospasme. Pada pemeriksaan TCD akan didapatkan peningkatan kecepatan aliran darah dari arteri yang mengalami penyempitan pada arteri serebri media atau pada sirkulasi posterior(Wlody et al. 2017).

Terapi dari vasospasme meliputi terapi hemodinamik yang dikenal dengan terapi triple H. Terapi triple H meliputi hipertensi, hipervolemia dan hemodilusi. Terapi triple H tidak mempunyai efek secara langsung terhadap pembuluh darah yang mengalami vasospasme, tetapi dapat meningkatkan CBF di daerah yang mengalami vasospasme.

Pemberian nimodipine 4 x 60mg per oral dapat memperbaiki defisit neurologi tetapi tidak memperbaiki vasospasme. Pemberian obat golongan antagonis calsium yang lain, baik secara oral maupun intravena tidak bermakna (Caplan & Lioutas 2016).

Selain perdarahan ulang dan vasospasme, komplikasi lain yang dapat menyebabkan terjadinya perburukan pada pasien PSA adalah terjadinya hidrosefalus. Hidrosefalus terjadi karena adanya perubahan dalam aliran cairan serebrospinal (CSS) yang normal. Aliran dari CSS terhambat oleh karena adanya darah di sisterna di sekitar batang otak dan adanya gangguan absorbsi dari CSS bila ada darah yang menempel di granula arachnoid. Diagnosis dari hidrosefalus ditegakkan dengan CT Scan kepala tanpa kontras. Faktor yang mungkin

(15)

meningkatkan terjadinya hidrosefalus adalah usia tua, hipertensi, jumlah darah yang terlihat dalam CT Scan, intraventrikular hemoragik, penggunaan obat antifibrinolitik, dan derajat penurunan kesadaran (Caplan & Lioutas 2016).

Pertimbangan persalinan juga harus diperhatikan, dikatakan rekomendasi dilakukan persalinan cesaria dengan epidural anestesi, tidak disarankan persalinan pervaginam karena akan dapat memicu adanya perdarahan berulang. (Gaiser 2014)

Manajemen Ruptur Aneurisma

Antara 2001 dan 2008, telah terjadi peningkatan yang stabil dalam proporsi ruptur aneurisma dirawat dengan terapi endovaskular. Pada tahun 2001, hanya 19,8% dari ruptur aneurisma diobati dengan endovaskular dibandingkan dengan 63,3% di tahun 2008. Tren ini mencapai puncaknya pada tahun 2006, dimana 63,8% aneurisma yang tidak pecah diobati dengan endovascular coiling. Kecendrungan ini diilustrasikan pada Gambar 1(Warlow 2008).

Gambar 1. Pengobatan aneurisma yang tidak pecah dari 2001-2008 (Warlow 2008) 1. Endovascular Coiling

Risiko untuk terjadinya perdarahan ulang adalah sangat tinggi, dan perdarahan ulang dihubungkan dengan outcome buruk. Seiring dengan perkembangan jaman, embolisasi endovaskular dengan menggunakan coil untuk aneurisma intrakranial menjadi salah satu alternatif yang sangat digemari mengantikan surgical clipping, terlebih setelah hasil dari ISAT (International Subarachnoid Aneurysm Trial) dipublikasikan pada tahun 2002. Saat ini, endovascular coiling telah menjadi tindakan alternatif yang sangat sering digunakan sebagai alternatif clipping. Disamping keterbatasan dari gambaran studi hasil dari ISAT telah digeneralisisasi untuk semua pasien aneurisma, sehingga menimbulkan perubahan yang bermakna dari manajemen rupture aneurisma. Pada pusat yang besar seperti di Inggris, angka

(16)

tindakan clipping turun dari 51% menjadi 31% dan angka tindakan coiling meningkat dari 35% menjadi 68%. Di Amerika bahkan cenderung lebih dramatis. Angka tindakan coiling aneurisma meningkat dari 17% pada tahun 2002 menjadi 58% pada tahun 2008. Sedangkan pada unruptured aneurisma meningkat dari 30% menjadi 63%. Endovascular coilling aneurisma intrakranial adalah teknik yang sudah selama lebih dari 10 tahun di pusat-pusat tertentu. Teknik ini telah disetujui FDA di Amerika Serikat sejak pertengahan 1990-an(Van Gijn 2008).

Pada tahun 1990, Guglielmi, seorang insinyur Amerika-Italia menciptakan suatu coil dari platinum yang dapat digunakan untuk “menyumbat” aneurisma sehingga tidak mendapat vaskularisasi, sehingga risiko ruptur berulang mendekati nol. Sejak ditemukannya coil, dan dilakukan uji coba klinis, maka tidak perlu waktu lama untuk FDA (tahun 1995) memberikan persetujuan kepada coil, sebagai salah satu jenis prosedur untuk menjinakkan aneurisma.

Sejak saat itu, dari trial dan studi klinis yang telah dilakukan, guideline terbaru yang terbit, semuanya memberikan pernyataan bahwa coil saat ini lebih superior dibandingkan clipping, dalam hal risiko kecacatan dan kematian setelah prosedur, waktu rawat, waktu pemulihan, dan komplikasi minor seperti paresis saraf kranial. Penatalaksanaan aneurisma secara intervensi, dalam beberapa tahun ke depan dipastikan akan semakin mudah, aman dan menjanjikan risiko pecah berulang yang amat rendah, dengan perkembangan penggunaan coil. (Batjer et al. 2014)

Berdasarkan panduan dan bukti berbasis medis, prosedur-prosedur yang termasuk di dalam bidang neurologi intervensi berada pada level: (Goetz 2007; Batjer et al. 2014)

1. Surgical clipping atau endovascular coiling dari aneurisma yang sudah pecah harus dilakukan segera mungkin pada sebagian besar pasien untuk mengurangi kejadian perdarahan ulang setelah PSA.

2. Obliterasi komplit dari aneurisma direkomendasikan bila memungkinkan.

3. Penentuan pengobatan aneurisma, dipertimbangkan dari pengalaman dokter bedah saraf dan spesialis endovaskular, merupakan keputusan multidisiplin berdasarkan karakteristik pasien dan aneurisma.

4. Untuk pasien dengan aneurisma pecah pertimbangan yang diterima secara teknik baik endovascular coiling dan neurosurgical cliping, endovascular coiling harus lebih dipertimbangkan.

(17)

5. Pada keadaan tidak adanya kontraindikasi, pasien yang menjalani coiling atau clipping dari aneurisma yang pecah harus mendapatkan follow up pencitraan vaskular (waktu dan modalitas harus secara individual), dan pertimbangan yang kuat harus diberikan untuk pengobatan kembali, baik pengulangan coiling atau microsurgucal clipping, jika ada sisa yang signifikan secara klinis.

6. Microsurgical clipping mungkin lebih dipertimbangkan pada pasien dengan hematoma intraparenkim yang besar (>50 ml) dan aneurisma arteri serebri media.

Endovascular coiling mungkin lebih dipertimbangkan pada usia tua (>70 tahun), PSA derajat berat (World Federation of Neurological Surgeons classification IV/V), dan aneurisma pada apex basilar.

7. Stenting pada aneurisma yang pecah dihubungkan denganpeningkatan morbiditas dan mortalitas, dan dipertimbangkan hanya ketika pilihan yang kurang berisiko telah diekslusi. (Batjer et al. 2014)

2. Endovascular Coiling Pada Perdarahan Subaraknoid

Ada bukti yang kuat untuk menunjukkan bahwa endovaskular coiling embolisasi dikaitkan dengan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan clipping bedah. Studi Internasional Subarachnoid Aneurysm Trial (ISAT), memberikan kita dengan perbandingan pembedahan clipping dibandingkan endovascular coiling pada 2143 pasien dalam 1 tahun, 190 pasien (23,7%) dari 801 pasien yang mendapat pengobatan secara endovaskular memiliki skala luaran modifikasi dari 3 - 6 dibandingkan dengan 243 dari 793 pasien diobati dengan surgical clipping (30,6%). Ini menghasilkan sebuah perbedaan absolut 6,9% dengan interval kepercayaan 2,5-11,3%. Studi ISAT ini memberikan data dengan level of evidence yang tinggi mendukung penggunaan coilling untuk pasien ruptured cerebral aneurisma yang layak untuk dilakukan terapi endovaskular(Van Gijn 2008; Caplan & Lioutas 2016).

Pada studi meta analisis yang dilakukan oleh Lanzino dkk. (2013) pada 2.723 pasien menunjukkan, outcome buruk lebih rendah pada pasien yang coiling (rasio risiko, 0,75;

interval kepercayaan 95%, 0.65- 0.87) secara signifikan dalam 1 tahun. Efek ini relatif konsisten dengan penurunan risiko absolut sebesar 7,8% (gambar 2) (Van Gijn 2008).

(18)

Gambar 2. Meta-analisis dari angka kematian dan luaran fungsional burun dalam 1 Tahun (Van Gijn 2008)

Pada penelitian yang dilakukan oleh Brinjikji dkk. (2011) di Amerika Serikat antara tahun 2001 - 2008, total 64.043 aneurisma intracranial yang belum pecah diobati dengan bedah clipping atau endovascular coiling; 34.125 kasus (53%) diobati dengan endovascular coiling dan 29,918 kasus (47%) diobati dengan surgical clipping. Rata-rata usia pasien yang dilakukan coiling adalah 56,1 ± 29,4 dan clipping 53,2 ± 25,7 (P< .0001). Pada pasien yang diobati dengan bedah clipping, persentase pasien yang dilakukan perawatan di fasilitas rawat jangka panjang adalah 14,0% (4184 / 29.918) dibandingkan dengan 4,9% (1655 / 34.125) pada pasien dengan coiling. Ada perbedaan yang signifikan secara statistik dalam tingkat fasilitas rawat jangka panjang antara pasien yang dilakukan clipping dan coiling (P<.0001).

Pasien dengan clipping juga memiliki angka mortalitas yang lebih tinggi; 345 (1,2%) pasien yang dilakukan clipping meninggal di rumah sakit dibandingkan dengan 219 (0,6%) pada pasien coiling (P<.0001). Data ini diringkas dalam Tabel 1.6

Tabel 7. Komplikasi yang berhubungan dengan clipping dan coiling dari unruptured aneurisma (Belli., et al. 2003)

(19)

Tingkat kematian lebih tinggi pada kelompok clipping (26,7%) dibandingkan dengan kelompok coiling, sementara angka kekambuhan lebih tinggi pada kelompok coiling (26,7%).

Komplikasi termasuk hidrosefalus, hemiparesis dan kegagalan prosedur terjadi pada (6,7%).

Endoscope Assisted Microsurgical Clipping (EAM) memberikan kontrol yang lebih baik selama clipping dikerjakan oleh seorang ahli bedah saraf terlatih, kompeten dan berpengalaman. Kekambuhan lebih tinggi pada coilling, dapat ditemukan pada awal observasi angiogram dan diterapi dengan aman dengan coiling kembali. Pada penelitian yang dilakukan Ahmed dkk. (2013) didapatkan angka mortalitas keseluruhan adalah 16,7% (5 kasus dari 30) yang secara signifikan didapatkan lebih tinggi pada kelompok microsurgical clipping 26,7% (4 dari 15 kasus) dibandingkan dengan 6,7% (1 dari 15 kasus) pada kelompok coiling. Glasgow Outcome Scale untuk kedua kelompok pada 6 bulan observasi diringkas dalam tabel 8. (Batjer et al. 2014)

Tabel 8. Glasgow outcome scale (GOS) dalam 6 bulan follow up kedua kelompok

Oleh karena aneurisma yang tidak pecah yang diterapi dengan coiling meningkat dari 2001-2008, persentase efek samping luaran pengobatan menurun dari 14,8% (683/4620) ke titik terendah 7,6% (899 / 11,825) pada tahun 2008 (P< .0001). Data ini diringkas dalam Tabel 9.

Tabel 9. Morbiditas dan mortalitas dihubungkan dengan pengobatan aneurisma yang tidak pecah dari 2001-2008 (Warlow 2008).

(20)

2.3.Anestesia pada Seksio Sesaria dengan Aneurisma

Wanita hamil dengan kelainan intrakranial sering dihubungkan dengan peningkatan tekanan intrakranial, bahkan meskipun dalam pemeriksaan tidak didapatan tanda klinis atau kelainan radiologis. Resiko terjadinya herniasi otak setelah pungsi ruang intratekal yang tidak disengaja sering dijadikan pertimbangan untuk prosedur anestesi neuraksial pada wanita haml dengan kelainan intrakranial. Untuk dapat memutuskan apakah tindakan anestesia spinal atau epidural dapat dilakukan atau tidak maka harus dipahami faktor-faktor yang berkontribusi pada terjadinya herniasi otak, seperti peningkatan tekanan intrakranial (TIK), edema serebral, dan hidrosefalus. Jika tidak didapatkan kontraindikasi lain untuk dilakukan anestesi neuraksial, wanita hamil dengan lesi intrakranial/space occupying lesion (SOL) tidak akan mengalami peningkatan risiko terjadinya herniasi jika tidak didapatkan efek massa, tidak adanya temuan klinis atau radiologis terjadinya peningkatan TIK dan tidak adanya hidrosefalus. Pasien dikatakan beresiko tinggi terjadi herniasi setelah pungsi dural adalah pada saat lesi intrakranial menekan jaringan otak normal dan menyebabkan pergeseran garis midline atau pergeseran ke bawah, dengan atau tanpa halangan ke aliran cerebrospinal fluid (CSF). Dibandingkan anestesi umum, anestesi neuraksial memiliki keuntungan terkait tindakan intubasi yang menyebabkan valsalva dan hipertensi, meminimalkan paparan janin dengan agen anestesi umum, dan memungkinkan partisipasi ibu dalam proses persalinan. Jika dosis epidural tambahan diberikan pada pasien dengan SOL dengan risiko rendah herniasi, metode terbaik adalah dengan pemberian volume epidural tidak lebih dari 5 mL larutan setiap 5 menit untuk membatasi peningkatan akut pada tekanan intrakranial. (Wlody et al. 2017)

Beberapa ahli anestesi juga berpendapat bahwa anestesia epidural atau anestesia Combine Spinal Epidural (CSE) (di awal diberikan anestesia intratekal dosis rendah, lalu diikuti pemberian dengan injeksi epidural secara berkala) memberikan stabilitas hemodinamik yang lebih baik, oleh karena itu anestesia epidural atau CSE lebih dipilih untuk persalinan seksio sesaria. (Gaiser 2014)

(21)

Pemilihan dilakukannya tindakan operasi seksio sesaria elektif pada wanita hamil dengan rupture aneurisma harus melalui pertimbangan multidisiplin dengan melihat besarnya resiko terjadinya perdarahan ulang dari aneurisma, durasi tindakan persalinan, dan stabilitas hemodinamik saat persalinan. Persiapan ruangan intensif neonatus dan dewasa sebelum tindakan harus dilakukan. Dari sudut pandang anestesi tidak ada pedoman yang secara ketat menentukan pemilihan teknik anestesi. Yang terpenting adalah menjaga stabilitas kardiovaskular, menghindari hipotensi, dan hipertensi. Dalam hal ini dibandingkan dua dikotomi teknik anestesi yaitu anestesi umum dan neuroaksial. Meskipun teknik anestesi umum dengan opioid, propofol, dan anestesi volatile digambarkan sebagai teknik yang aman dalam keadaan darurat, tetapi anestesi neuraksial memiliki kelebihan yang tak terbantahkan dibandingkan anestesia umum dalam hal ketidakstabilan hemodinamik yang disebabkan oleh intubasi endotrakeal dan ekstubasi, dan peningkatan TIK akibat tekanan ventilasi positif dan emesis pada anestesia umum. Membandingkan antara anestesia epidural dan spinal, pada anestesia epidural memiliki onset blokade simpatik lebih bertahap tampaknya mendukung stabilitas hemodinamik. (Santos Carvalho et al. 2013; Sim et al. 2017; Barbarite et al. 2016)

(22)

BAB III LAPORAN KASUS A. EVALUASI PRAANESTESIA

Identitas Pasien

Nama : Ny. NKA

Usia : 34 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan Nomer RM : 01541303 Pembayaran : BPJS

Alamat : Klungkung

MRS : 26/12/2017

Diagnosis : G3P2002/37 mgg/T/H/LMR/SAH EC Ruptur Microaneurisma hari ke 61

Tindakan : SC + MOW

Anamnesis

Pasien rencana operasi SC saat ini tidak ada keluhan. Pasien mengatakan mempunyai riwayat SAH yang diketahui pada 3 Oktober 2017. Sebelumnya pasien mengalami keluhan nyeri kepala berat yang tidak hilang dengan pengobatan antinyeri. Pasien lalu memeriksakan diri ke poli saraf RSUP Sanglah. Pasien hanya diberi obat lalu dipulangkan. 5 hari kemudian pasien memeriksakan dirinya kembali ke IGD karena keluhan makin memberat. Dari pemeriksaan CT Scan, MRI, dan Lumbal Pungsi disimpulkan pasien menderita SAH. Ada mual tapi tidak muntah. Tidak ada riwayat kelemahan salah satu anggota gerak. Pasien menjalani rawat inap selama 2 minggu.

Saat ini tidak ada keluhan nyeri kepala, mual dan muntah

Keluhan nyeri perut juga tidak ada. Gerak janin juga dirasa normal.

Pasien adalah karyawan Customer service RSUP Sanglah Yang masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa keluhan nyeri dada ataupun sesak nafas.

Riwayat diabetes mellitus, hipertensi, ataupun asma tidak ada Riwayat alergi tidak ada

Riwayat operasi sebelumnya

SC dengan RA BSA tahun 2012 tanpa komplikasi SC dengan RA BSA tahun 2014 tanpa komplikasi Riwayat merokok dan minum alkohol tidak ada

(23)

Terapi di ruangan saat ini : paracetamol 500 mg tiap 6 jam PO jika nyeri kepala.

Pemeriksaan Fisik

Berat 60 kg; Tinggi 155 cm; BMI 25 kg/m2; Suhu axilla 36,1 oC; NRS 0

Susunan saraf pusat : Compos mentis

Respirasi : frekuensi nafas 16 kali pemenit, Vesikular pada kedua lapang paru, Rhonki dan Wheezing tidak ada, saturasi oksigen perifer 98% room air

Kardiovaskular : Tekanan darah 110/70 mmHg; Nadi 72 kali permenit, Bunyi jantung 1 dan 2 tunggal, reguler, murmur tidak ada.

Abdomen : Bising usus positif normal, distensi tidak ada. TFU sesuai usia kehamilan, DJJ bayi I 130 x / menit, DJJ bayi II 140 x / menit

Urogenital : Buang air kecil spontan

Muskuloskeletal : fleksi defleksi leher baik, Mallampati II, gigi geligi utuh Pemeriksaan Penunjang

Darah lengkap (22/12/2017) : WBC 11,9 x103/µL (4,1-11); HGB 10,98 g/dL (13.5- 17.5); HCT 35,9 % (41-53); PLT 367,4 x103µL (150-440)

Faal Hemostasis (22/12/2017) : PT 12,6 (10,8-14,4) detik ; aPTT 32 (24-36) detik ; INR 1; BT 2; CT 7,3

Kimia Klinik (22/12/2017) : SGOT 11,7 U/L (11-33); SGPT 6 U/L (11-50); albumin 3,1 g/dL (3,4-4,8); BUN 6,6 mg/dL (8-23) ; SC 0,57 mg/dL (0,7-1,2) ; K 3,57 mmol/L (3,5- 5,1) ; BS acak 90 mg/dL (70-140)

Rontgen thorax PA (10/10/2017) : cor dan pulmo tak tampak kelainan

MSCT Angiografi Kepala (10/10/2017) : Aneurysma kecil pada arteri cerebri anterior kanan proximal ukuran 0,3 x 0,3 cm dan di segmen C3 arteri carotis interna kanan ukuran 0,3 x 0,4 cm; Susp. arachnoid cyst di occipital kanan kiri ; Sinusitis kronis maxilla kanan

MRI Kepala (10/10/2017) : Arachnoid cyst didaerah occipital ( fossa posterior ). Tidak tampak adanya aneurisma maupun occlusi dan AVM

Lumbal pungsi (4/10/2017) : Pandy – (negatif); None – (negatif); jumlah sel liquor 57 cell/uL (0-5); bentuk utuh; eritrosit banyak/Lp; poly 20%; mono 80%; mikroskopis : bekuan negative; warna merah. Makroskopis : glukosa 69 (60-80% dari glukosa darah);

TP liquor/MTP 22,86 mg/ml (< 45) Permasalahan dan Kesimpulan Permasalahan aktual :

(24)

• SAH ec mikroaneurisma hari ke 61 dengan GCS saat ini E4V5M6 tanpa tanda peningkatan Tekanan Intrakranial

• Gravida

Permasalahan potensial :

• Perdarahan ulang SAH Pembedahan :

• Lokasi : Abdomen

• Posisi : supine

• Durasi : 1-2 jam Kesimpulan : Status Fisik ASA III Persiapan Pra Anestesi:

Informed consent mengenai tindakan operasi dan anestesi, resiko anestesi dan rencana anestesi yang akan dilakukan dan menandatangani surat perjanjian persetujuan operasi dan anestesi

• Persiapan fisik berupa puasa 8 jam untuk makanan dan 2 jam untuk puasa minum air putih

• Pemasangan IV line dengan ukuran IV Catheter 18 G saat pasien mulai puasa dengan NaCl 0,9% 90-100 ml/jam

• Persiapan darah PRC 2 kolf

• Back up ICU Di ruang operasi

• Dilakukan pemasangan kanul oksigen dengan kecepatan 2 lpm, pemasangan monitor EKG 5 lead, NIBP monitor, monitor saturasi oksigen perifer

• Anestesi dimulai : 11.15

• Operasi dimulai : 11.50

• Premedikasi : Midazolam 1 mg IV, fentanyl 25 mcg IV

• Medikasi : Epidural dipasang setinggi L2-L3, kateter masuk 5 cm di dalam ruang epidural, dengan target dermatome T7-T12, target viscerotome T11-L1, dengan regimen Bupivacaine 0,25% volume 15 ml

• Medikasi lain : Ondancetron 8 mg IV, Oksitosin 30 IU IV, Methergin 0,2 mg IV

• Bayi lahir jam 12.00 laki-laki dengan Apgar Score 8-9 berat badan 3100 mg

• Operasi selesai : 13.15 Pasca Operasi

(25)

• Analgesik : epidural analgesia dengan regimen bupivakain 0,1% + morfin 1 mg volume 10 ml tiap 10-12 jam, parasetamol 500 mg tiap 6 jam PO

Perawatan : Ruangan OHDU Durante operasi :

Fluktuasi : TD 100-130 / 60-80 mmHg; HR 60-80 kali / menit, SpO2 98-99%

Cairan : Kristaloid 2000 mL

Perdarahan : ± 300 ml

Urin : 500 ml

Lama operasi : 1 jam 15 menit

(26)

DAFTAR PUSTAKA Barash, P.G., 2015. Clinical anesthesia fundamentals. Available at:

http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&scope=site&db=nlebk&db=nlabk&

AN=1473060.

Barbarite, E. et al., 2016. The Management of Intracranial Aneurysms During Pregnancy: A Systematic Review,

Batjer, H.H. et al., 2014. Arteriovenous Malformations (AVM), Surgical Treatment of BT - Encyclopedia of the Neurological Sciences (Second Edition). In Oxford: Academic Press, pp. 281–284. Available at:

https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B9780123851574007156.

Butterworth, J.F. et al., 2013. Morgan & Mikhail’s clinical anesthesiology / John F.

Butterworth IV, David C. Mackey, John D. Wasnick., New York: McGraw-Hill Medical.

Caplan, L.R. & Lioutas, V.-A., 2016. Stroke,

Gaiser, R., 2014. Chestnut’s obstetric anesthesia : principles and practice 5th ed. D. H.

Chestnut et al., eds., Philadelphia, PA: Elsevier/Saunders.

Van Gijn, J., 2008. Subarachnoid haemorrhage, London: Henry Stewart Talks.

Goetz, C.G., 2007. Textbook of clinical neurology, Philadelphia: Saunders Elsevier.

Hall, J.E. & Guyton, A.C., 2016. Guyton and Hall textbook of medical physiology 3rd ed., Philadelphia: Elsevier.

Lockhart, E.M. & Baysinger, C.L., 2014. Shnider and Levinson’s Anesthesia for Obstetrics.

5th ed. M. S. Suresh et al., eds., Philadelphia: Wolters Kluwer.

Manno, E.M., 2012. Emergency management in neurocritical care., Chichester: John Wiley.

Miller, R.D. et al., 2014. Miller’s Anesthesia.,

Santos Carvalho, C. et al., 2013. Anesthetic Approach of Pregnant Woman with Cerebral Arteriovenous Malformation and Subarachnoid Hemorrhage during Pregnancy: Case Report. Revista Brasileira de Anestesiologia, 63(2), pp.223–226. Available at:

http://dx.doi.org/10.1016/S0034-7094(13)70220-4.

Sim, J. et al., 2017. Anesthetic management during cesarean delivery in a pregnant woman with ruptured cerebral arteriovenous malformation. , pp.220–223.

Warlow, C., 2008. Stroke : practical management, Malden: Blackwell.

Wlody, D.J., D.R., G. & Grifiths, T.L., 2017. Cottrell and Patel’s neuroanesthesia 6th ed. J.

E. Cottrell & P. Patel, eds., Toronto: Elsevier. Available at:

http://ezproxy.usherbrooke.ca/login?url=https://www.clinicalkey.com/#!/browse/book/3 -s2.0-C20130051870.

Gambar

Tabel 1. Gambaran hasil lumbal pungsi pada pasien SAH (Caplan &amp; Lioutas 2016)
Tabel 3. Klasifikasi SAH menurut Hunt and Hess (Caplan &amp; Lioutas 2016)
Tabel 4. Klasifikasi berdasarkan WFNS (Gijn, 2001)
Tabel 5. Klasifikasi PSA menurut Fisher (Manno 2012)
+6

Referensi

Dokumen terkait

Analisa data dalam penelitian ini menggunakan analisa t- test untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan penurunan kadar Hb antara pasien yang baru pertama kali

Insiden hipotensi yang pertama kali diukur saat penurunan tekanan darah sistol lebih dari 20% dari baseline atau tekanan darah sistol di bawah 90 mmHg, maka berdasarkan

Penurunan RBC dapat disebabkan oleh anemia, perdarahan, kerusakan sumsum tulang (contohnya akibat radiasi, racun atau tumor), defisiensi eritropoietin (disebabkan penyakit

Hasil: Hasil penelitian menunjukkan status paritas ibu pre operasi seksio sesarea dengan spinal anestesi sebagian besar pada responden primipara sebanyak 27 (45,0%),

Pada kasus pertama, pasien kelainan jantung kongenital berupa ASD sekundum sejak lahir dan kompensasi dari tubuhnya sedemikian rupa sampai dengan terjadi hipertensi pulmonal berat

Perdarahan intrakranial sebagai komplikasi nefritis lupus dapat terjadi karena pecahnya pembuluh darah otak akibat hipertensi krisis atau karena vaskulopati/ vaskulitis..

Insiden hipotensi yang pertama kali diukur saat penurunan tekanan darah sistol lebih dari 20% dari baseline atau tekanan darah sistol di bawah 90 mmHg, maka berdasarkan

Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh benturan