Pendahuluan
Dengan Nama Allah Maha Pengasih Maha Penyayang
Puja serta puji bagi Allah Pembina Semesta Alam, Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW., kepada keluarganya, para sahabat, serta para waliyullah dan semua pengikut, penerus cita-cita perjuangannya.
Kitab manakib Syekh Abdul Qadir Jaelani telah beredar dan berkembang pada sebagian masyarakat Islam Indonesia
RUANG LINGKUP MANAKIBAN DENGAN PELAKSANAANNYA I. Arti Manakib
Manakib bisa diartikan “riwayat hidup” yang berhubungan dengan sejarah kehidupan orang- orang besar, atau tokoh-tokoh penting, seperti biodata tentang kelahirannya, silsilah
keturunannya, kegiatan dan langkah perjuangannya, guru-gurunya, sifat-sifatnya, serta akhlak kepribadiannya. Dalam kamus Al-Munjid diartikan:
ةليمجلا اقلاخلاو ةديمحلا لاصخلا نم هب فرع ام
Maa urifa bihi minal khisaali hamidati wal akhlaqil jamilati
Artinya: “apa yang diketahui pada manusia, tentang budi pekerti yang terpuji dan akhlaknya yang baik”.
Membaca, mengkaji, membahas, dan memperingati yang mempunyai manakib (riwayat hidup) dalam istilah umum diartikan, dan disebut manakiban.
II. Sejarah Perkembangan Manakib/Manakiban
Manakib, manakiban sudah berkembang sejak berkembangnya Dinul Islam baik di masa sebelum Nabi Muhammad SAW. Sejarah perkembangan manakib, manakiban di Indonesia dimulai sejak perkembangan Islam di Indonesia terutama di pulau Jawa, telah digerakkan oleh para juru dakwah, para muballigh Islam yang dipimpin oleh Wali Songo. Mereka
mengajarkan kepada masyarakat Islam tentang ilmu Tasawuf dan pengalamannya Thorekat Mu’tabaroh, di antaranya manakiban dan amalan-amalan lainnya. Manakib, manakiban ternyata berjalan dan berkembang terus sampai sekarang, bahkan oleh masyarakat Islam hal tersebut dijadikan sebagai sarana dakwah Islamiyah.
III. Hukum Membaca, Mendengarkan dan Memperingati Manakiban
Membaca dan mendengarkan manakiban, mempelajari atau mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan riwayat hidup seseorang atau tokoh-tokoh sahabat Nabi Muhammad SAW., para Ulama Tabi’in, Ulama Muhtahidin, para waliyulloh dan lain- lainnya, dengan tujuan untuk dipetik dan dijadikan pelajaran dan dicontoh unsur keteladanannya yang baik, adalah sangat besar faedahnya dan termasuk yang dianjurkan agama, sebagaimana difirmankan dalam al-Qur’an:
:فسوي) بابللا ىلول ةربع مهصصق يف ناك دقل
11
)Laqad kaana fii qashashihim ‘ibratun li ulil albaab (Yusuf:11)
Artinya: “sungguh pada kisah mereka adalah mengandung suri tauladan bagi orang yang berakal” (Q.S. Yusuf: 11)
IV.