SPIRITUALITAS PEMUDA URBAN
(Peran Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani di Pondok Pesantren Aitam
Nurul Karomah terhadap Pembentukan Spiritualitas Pemuda
Kendangsari Surabaya)
Skripsi:
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh Gelar S1 pada Program Studi Filsafat Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Oleh :
Agung Dwi Aprilyanto
E 01211009
PRODI FILSAFAT AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SPIRITUALITAS PEMUDA URBAN
(Peran Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani di Pondok
Pesantren Aitam Nurul Karomah terhadap Pembentukan
Spiritualitas Pemuda Kendangsari Surabaya)
Skripsi: Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata satu (S-1) Ilmu Filsafat Agama
Oleh :
Agung Dwi Aprilyanto
E 01211009
PRODI FILSAFAT AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
PERNYATAAN
KEASLIAN
Yang bertanda tangan dibawah ini saya:
Nama
: Agung Dwi AprilyantoNIM : E01211009
Jurusan
: Filsafat AgamaDengan
ini
menyatakan bahwa skripsiini
secara keseluruhan adalah hasil penelitan/karya saya sendiri, kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk sumbernya.AGTING DWI APRILYANTO
E01211009
PERSETUJUAN
PE MBI&g&TftIGSkripsi oleh Agung Dwi Aprilyanto ini telah disetului u,rt,k diajukan.
Surabaya,30 Juli 2015
pembimbing,
n
tr -l
il' ^ 'i[l^^,*'t",
\"
Dis. H. Muldafi M.Ae
PENGESAHAN
SKRIPSI
skripsi olehAgung Dwi Aprilyanto telah dipertahankan di depan Tim penguji
Skripsi
Surabaya, 22 Agusfus 201 5 Mengesahkan
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Dekan,
1993031002
Tim Penguji:
^Ketua,
[.;/t
,\|l
/
Drs. H. Muktafi M.Ag
NrP. 19600813 i99403 1003
Sekretaris,
H. Syaitulloh Yazid. Lc MA
NIP. 19791 020201503 I 001
Penguji I,
DR. Suhermanto Ja'far. M.Hum NrP. 1 96708201 99s03 1001
,?,.
ABSTRAK
Masalah yang diteliti dalam skripsi yang berjudul Spirtualitas Pemuda Urban (Peran Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani di Pondok Pesantren Aitam
Nurul Karomah terhadap Pembentukan Spiritualitas Pemuda Kendangsari
Surabaya) ini adalah (1) Apa yang dimaksud dengan pemuda urban; (2) Bagaimana peran Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani terhadap pembentukan spiritualitas pemuda Kendangsari Surabaya.
Berkenaan dengan itu dalam penelitian lapangan ini digunakan metode kualitatif adalah untuk memberikan deskriptif mengenai penjelasan pembentukan spiritualitas pemuda urban (Kendangsari) dengan adanya pengajian Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani. Pengajian manaqib tersebut rutin dilaksanakan oleh pondok pesantren Aitam Nurul Karomah yang bertempat di Kendangsari Gg IV/ 85 A Surabaya.
DAFTAR ISI
ABSTRAK . . . i
PERSETUJUAN PEMBIMBING . . . ii
LEMBAR PENGESAHAN . . . iii
PERNYATAAN KEASLIAN . . . . iv
MOTTO . . . .. . . v
DEDIKASI . . . .. . . vi
KATA PENGANTAR . . . vii
DAFTAR ISI . . . ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah . . . 1
B. Rumusan Masalah . . . 9
C. Alasan Memilih Judul . . . 10
D. Tujuan Penelitian . . . 10
E. Manfaat Penelitian . . . 10
F. Penegasan Istilah . . . 10
G. Penelitian Terdahulu . . . 12
H. Metode Penelitian . . . 15
1. Metode Pengumpulan Data . . . 16
2. Sumber Data . . . 18
3. Metode Analisis . . . 18
BAB II Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani dan Spiritualitas
A. Pengertian Manaqib . . . . 21
1. Sejarah Timbulnya Manaqib di Indonesia . . . . . . . . 28
2. Manaqib dalam Islam . . . . . . . 33
B. Pengertian Spiritualitas . . . 36
C. Ciri-ciri Spiritualitas . . . 40
BAB III Pelaksanaan Studi dan Temuan Lapangan A. Pengajian Manaqib di Pondok Pesantren Aitam Nurul Karomah Surabaya . . . 42
1. Profil Singkat Pondok Pesantren Aitam Nurul Karomah . . . 45
a. Sejarah Singkat Pondok Pesantren . . . . . . 45
b. Visi, Misi, Tujuan dan Program Kegiatan . . . 52
2. Sejarah Pengajian Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani . . . 60
3. Waktu Pelaksanaan Pengajian Manaqib . . . 64
4. Teknis Pengajian Manaqib . . . 66
B. Spiritualitas Pemuda Urban . . . 68
1. Latar Belakang Munculnya Spiritual Masyarakat Urban . . . 68
2. Hakikat Spiritualitas Masyarakat Urban . . . 73
3. Spiritualitas Pemuda Urban Kendangsari Surabaya . . . 77
BAB IV Analisis A. Krisis Spiritual Pemuda Urban . . . 85
B. Pengaruh Pengajian Manaqib Terhadap Spiritualitas Pemuda Kendangsari . . . .. . . 94
A. Kesimpulan . . . 105 B. Saran . . . . 105
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Era modern ini, di mana hampir setiap orang telah menggunakan peralatan canggih dalam semua lini kehidupan. Era ini dinamakan „era digital’. Era digital
telah menghantarkan manusia pada suatu peradaban yang sangat tinggi, yaitu
peradaban “manusia digital”. Era digital dimulai sejak ditemukannya bilangan
biner, yaitu angka nol dan satu. Bilangan ini tak mengenal angka lain, kecuali nol
dan satu. Dengan sistem bilangan biner itulah teknologi digital itu diciptakan.
Selain teknologi, era modern juga menghasilkan berbagai macam produk ideologi antara lain materialisme, sosialisme dan hedonisme. Pertama materialisme, Ideologi materialisme dalam arti yang umum ialah aliran
kebendaan, aliran atau ideologi materialisme mempunyai bermacam-macam corak.1 Dalam lapangan metafisika, yang dimaksud dengan materialisme ialah
aliran yang menafsirkan wujud semesta ini dengan benda semata. Ini merupakan lawan dari spiritualisme. Dalam lapangan etika, yang dimaksud ialah pendapat
yang mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan manusia hendaknya ditujukan untuk mewujudkan kebaikan-kebaikan material, berupa kelezatan, uang, makanan, ketenaran, dan sebagainya.
Sementara dalam lapangan sejarah, yang dimaksud dengan kata-kata materilaisme ialah aliran atau ideologi yang mengatakan bahwa kebudayaan suatu
1
masyarakat serta kehidupan pikiran dan kesenian yang kesemuanya itu disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi. Kadang-kadang ideologi materialisme
disamakan dengan aliran naturalisme dalam bidang kepercayan, yaitu yang mengatakan bahwa hanya hal-hal yang terdapat pada alamlah yang menjadi objek
pengetahuan. Oleh karena aliran materialisme ini mendasarkan apa saja kepada hal yang bersifat materi, sehingga bisa dikatakan bahwa aliran ini menolak hal-hal yang bersifat immateri atau spiritualisme.
Kedua sosialisme, sosialisme jika dirunut dari perkembangan
pemahamannya berawal dari ide Karl Marx yang mencetuskan komunisme. Teori
komunisme, berawal dari empat ide: 1). Sekelumit kecil orang kaya hidup dalam kemewahan yang berlimpah, sedangkan kaum pekerja yang teramat banyak jumlahnya hidup dalam lingkaran sengsara, 2). Cara untuk merombak
ketidakadilan ini dengan cara menerapkan sistem sosialis, yaitu sebuah sistem dimana alat produksi dikuasi negara bukan oleh pribadi swasta, 3). Pada
umumnya, satu-satunya jalan paling praktis untuk melaksanakan sistem sosialis ini lewat revolusi kekerasan, 4). Untuk menjaga kelanggengan sistem sosialis harus diatur oleh kediktatoran partai komunis dalam jangka waktu tertentu yang
memadai.
Ketiga hedonisme, hedonisme berasal dari bahasa Yunani hedone yang
berarti nikmat, kegembiraan, kesenangan, kepuasan (pleasure). Hedonisme menggambarkan berbagai macam pemikiran yang menjadikan “kesenangan” sebagi pusatnya. Hedonisme secara umum dapat disimpulkan bahwa “kesenangan
doktrin yang berpegang pada anggapan bahwasanya kebiasaan manusia itu dimotivasi oleh hasrat akan kesenangan atau kenikmatan dan menghindar dari
penderitaan. Hedonisme berangkat dari pendirian bahwa menurut kodratnya manusia mengusahakan kenikmatan atau kesenangan.
Berangkat dari beberapa pengertian diatas, maka dikatakan bahwa paham materialisme menitikberatkan pada materi sebagai titik akhir orientasi kehidupan, paham sosialisme menitikberatkan pada ekonomi sebagai kapital, dan hedonisme
memfokuskan diri pada pencapaian kesenangan, yang merupakan gabungan dari perolehan materi pendukung secara keseluruhan. Dari sini telah jelas bahwa dunia
modern memang tidak menitikberatkan persoalan spiritualitas masyarakatanya, melainkan persoalan yang berkutat kepada hal kebahagiaan sesaat saja.
Dengan sistem pemikiran modern yang sedemikian rupa akan membentuk
sebuah paradigma masyarakat modern yang materialistis. Sehingga dengan paradigma yang seperti itu masyarakat modern dapat dikatakan kehilangan aspek
spiritualnya. Dengan demikian ketika manusia telah kehilangan aspek spiritualnya maka dapat dikatakan ia juga telah kehilangan jatidirinya. Hal ini karena kata “spiritual” menegaskan sifat dasar manusia, yaitu sebagai makhluk yang secara
mendasar dekat dengan Tuhannya, paling tidak selalu mencoba berjalan ke arah-Nya.2 oleh karena itu masyarakat modern merupakan masyarakat yang telah
kering akan spiritualnya hal itu tak terkecuali juga terjadi pada pemuda modern. Ini dikarenakan bahwa pemuda merupakan bagian dari anggota sebuah masyarakat.
2
Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan dunia di era modern telah sedemikian banyak membantu kemudahan-kemudahan bagi kehidupan umat
manusia. Teknologi-teknologi yang dicapainya telah membuka mata akan ketercukupan alam semesta bagi kebahagiaan yang ingin diraihnya. Namun,
modernisme telah menciptakan gaya baru bagi kehidupan manusia itu sendiri dalam mancapai kebahagiaan, dan pencapaiannya pun hanya berupa kebahagiaan yang semu.
Dalam istilah filsafat perenial, manusia hidup dipinggir lingkaran eksistensi, bukan pada pusat eksistensinya. Manusia mampu meraih kebercukupan material
yang kauntitatif mengagumkan, namun kehilangan pemenuhan akan kualitas dirinya sendiri. Pengetahuan yang dicapainya bergantung pada pengetahuan eksternal, yang tidak langsung berhubungan dengan dirinya sendiri, yang
menyebabkan hilangnya dimensi spiritual.
Kondisi masyarakat yang berada pada lingkaran eksistensi bukan pada pusat
eksitensinya, secara otomatis menimbulkan kegelisahan-kegelisahan yang berasal pada dirinya sendiri. Menurut Amin Syukur bahwa kegelisahan itu memiliki empat sebab yakni: 1). Karena takut kehilangan apa yang dimilikinya, 2).
Timbulnya rasa khawatir terhadap masa depan yang tidak disukai (trauma akibat imajinasi masa depan), 3). Rasa kecewa terhadap hasil kerja yang tidak mampu
memenuhi harapan dan kepuasaan, 4). Banyak melakukan pelanggaran dan dosa.3 Ungkapan senada juga disampaikan oleh Moh. Soleh yang dalam bukunya Agama Sebagi Terapi, mengatakan bahwa penyebab kegelisahan tersebut
3
dikarenakan beberapa faktor cara berpikir manusia modern yakni: 1). Kebutuhan hidup yang meningkat. Kebutuhan hidup manusia modern yang meningkat,
terutama kebutuhan yang berkaitan dengan materi, kekayaan, dan prestise, telah membuat manusia menghabiskan seluruh waktunya untuk mengejar kesenangan
di bidang tersebut, tanpa meluangkan waktu sedikitpun untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat spiritual. Semuanya ini menjadikan manusia seperti robot dan mesin-mesin mekanis, sehingga dirinya tergadaikan oleh kepentingan
duniwai. 2). Rasa individualitas dan egois. Meningkatnya kebutuhan hidup manyebabkan manusia terasing dan terlepas dari ikatan sosialnya. Manusia
modern lebih mementingkan dirinya sendiri dan ketergantungannya pada orang lain tidak terlepas dari untung dan rugi yang bersifat kebendaan. Akibatnya manusia modern merasa kesepian (alienasi) ditengah-tengah orang banyak. 3).
Persaingan gaya hidup. Kebutuhan yang meningkat membawa orang kepada hidup mementingkan dirinya sendiri, maka hal itu akan berakibat timbulnya
persaingan dalam hidup. 4). Keadaan yang tidak stabil. Kegelisahan dan ketidaktentraman dalam kehidupan masyarakat dapat pula mempengaruhi keadaan sosial, politik, dan ekonomi. Begitu pula keadaan sosial, politik dan ekonomi yang
tidak stabil dapat pula mempengaruhi ketentraman jiwa masyarakat.4
Akibat dari fenomena yang demikian, masyarakat modern sering
digolongkan sebagai the post industrial society, suatu masyarakat yang telah mencapai tingkat kemakmuran materi sedemikian rupa dengan perangkat teknologi yang serba mekanis dan otomatis, bukannya semakin mendekati
4
kebahagiaan hidup, melainkan kian menghadapi rasa cemas justru akibat kemewahan hidup yang diraih. Mereka telah menjadi pemuja ilmu dan teknologi,
sehingga tanpa disadari integritas kemanusiaannya tereduksi, lalu terperangkap pada jaringan sistem rasionalitas teknologi yang sangat tidak humanis.
Fenomena inilah yang terjadi pada para pemuda perkotaan. Hal ini dianggap representatif dari pemuda modern. Nuansa perkotaan yang kosmopolitan membuat masyarakatnya terlebih lagi para pemudanya akan berperilaku yang
mengarah kepada materialisme. Begitu besar pengaruh era modern terhadap tata kehidupan pemuda perkotaan. Kehidupannya dipenuhi dan disibukkan oleh
kesenangan sesat saja yang tentunya dengan berbasis materi.
Banyak fenomena yang terjadi pada para pemuda perkotaan, seperti “cangkruk”an yang di dalamnya disuguhi oleh minum-minuman keras, maraknya
free sex di antara para pelajar, tawuran antar pelajar dan masih banyak lagi. Jika
sistem berpikir para pemuda masih tetap mengarah kepada materialistik dan
hedonistik maka dapat dipastikan akan mengganggu kesuksesan masa depan mereka. Terlebih lagi kekeringan spiritual akan terjadi pada diri mereka.
Spiritualitas kembali menjadi masalah yang hangat setelah cukup lama
diabaikan. Bahkan, spiritualitas telah bangkit menjadi spirit baru bagi kehidupan masyarakat urban. Menurut Biyanto, kebangkitan spiritualitas di kota ini ditandai
meditasi, dan sejenisnya, serta banyaknya orang yang tinggal di perkotaan berbondong-bondong bergabung dengan kelompok thoriqah (perkumpulan sufi).5
Sisi spiritual pada diri manusia merupakan aspek yang sangat urgen karena disitulah letak jati diri manusia. Jika pemuda modern telah kekeringan
spiritualitasnya maka dapat dikatakan ia telah kehilangan jati dirinya. Maka tak jarang kita lihat di kota-kota besar terjadi fenomena keagamaan, mulai dari majelis dzikir, istighostah hingga adanya pengajian rutin yang diadakan oleh
lembaga pesantren. Fenomena keagamaan ini menurut peneliti sebagai upaya untuk memfasilitasi para masyarakat terlebih kepada para pemudanya untuk
kembali kepada fitrahnya sebagai manusia spiritual. Maka tak heran jika pada setiap acara yang berbau keagamaan sering terlihat antusiasme para jamaahnya.
Komaruddin Hidayat mensinyalir adanya lima kecenderungan masyarakat
kota terhadap spiritualitas (tasawuf), yaitu: 1) pencarian makna hidup (searching for meaningful life), 2) untuk perdebatan intelektual dan peningkatan wawasan
(intellectual exercise and enrichment), 3) spiritualitas sebagai katarsis atau obat dari problem sosial (psychological escape), 4) sarana mengikuti trend dan perkembangan wacana (religious justification), 5) sikap eksploitasi agama untuk
keuntungan ekonomi (economy interest).6
Memang belum diperoleh kejelasan apakah munculnya kesadaran spiritual
pada masa kini dikarenakan ada kesadaran providensi (keilahian) ataukah karena motif lain. Namun menurut Ahmad Najib Burhani dalam sebuah tesisnya
5 Biyanto, “Tren Urban Sufism di Perkotaan” dalam
Urgensi Penggunaan Ilmu Sosial Dalam Studi Keislaman, (Sidoarjo: Qisthos Digital Press, 2009), 113.
6
menyimpulkan bahwa warna yang paling mencolok dari masyarakat urban untuk menggeluti spiritualitas lebih karena spiritualitas sebagai katarsis atau obat dari
problem sosial.7 Dengan indikasi bahwa umumnya para masyarakat ataupun pemudanya mempunyai motif yakni ingin mengisi jiwa-jiwa yang gersang dengan
nilai-nilai spiritualitas. Selain itu jika seseorang telah mengikuti kegiatan-kegiatan spiritual maka akan menumbuhkan semangat etos kerja.
Di kota Surabaya misalnya, sebagai kota metropolitan marak terjadi
fenomena keagamaan. mulai dari majelis dzikir hingga pengajian rutin. Sebut saja pengajian Manaqib yang diadakan rutin oleh Pondok Pesantren Aitam Nurul
Karomah tiap bulannya ini mampu menyedot animo pemuda Kendangsari untuk mengikutinya. Pondok pesantren ini terletak di kelurahan Kendangsari Surabaya yang mana tempat tersebut berdekatan dengan kawasan industri rungkut (SIER).
Maka tentunya mayoritas masyarakat dan pemudanya adalah bermata pencaharian sebagai karyawan pabrik. Umumnya mereka adalah para masyarakat Urban.
Pengajian Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani ini hadir di tengah-tengah problematika hidup masyarakat kota Surabaya untuk memberikan solusi (problem solving) kepada jamaah pada umumnya dan pemuda Kendangsari pada
khususnya. Fenomena ini dirasa menarik untuk diteliti. Hal ini dikarenakan terdapatnya pemuda kota yang mengikuti pengajian Manaqib rutin tersebut,
dimana para pemuda itu sendiri terdiri dari berbagai lapisan yang tentunya termasuk dalam masyarakat industri.
7
Para pemuda tersebut dapat dikatakan sebagai pemuda urban. Seorang pemuda urban yang haus akan sifat spiritualitasnya sebagai fitrah kemanusiaan.
Pemuda urban yang menjadi objek penelitian ini adalah pemuda Kendangsari dimana yang dipandang oleh peneliti sebagai keunikan. Fenomena ini di pandang
unik karena umumnya para pemuda kota bersifat hedonis dan materialistis sebagaimana yang telah dijelaskan pada alenia sebelumnya. Namun di Kendangsari tak sedikit pemudanya yang mengikuti sebuah pengajian manaqib.
Terlebih lagi Pondok Pesantren Aitam Nurul Karomah ini relatif baru didirikan namun telah mampu menyedot animo para jamaahnya.
Pengajian Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani itu berkembang dengan pesat tak lepas dari sebuah sistem dan rangkaian acara yang ada di dalam pengajian itu sendiri. Oleh karena itu pondok pesantren Aitam Nurul Karomah
juga memiliki peranan dalam membentuk spiritualitas para pemuda urban Kendangsari. Menarik untuk dikaji karena hal itu terkait dengan peningkatan
spiritualitas jamaah yang mengikutinya. Sebuah sistem yang tidak baik maka tidak akan bisa mencapai kesuksesan. oleh karenanya maka bisa diduga bahwa
sistem dan rangkaian acara dalam pengajian tersebut bagus dan terstruktur.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang
akan dikaji dalam tulisan ini.
a. Apa yang dimaksud dengan pemuda urban?
b. Bagaimana peran Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani terhadap
C. Alasan Memilih Judul
Adapun dasar yang memotivasi penulis dalam mengangkat judul diatas
adalah sebagai berikut:
a. Umumnya pemuda urban hidup dengan nuansa yang hedonistik namun masih
ada beberapa pemuda yang mau untuk mengikuti kegiatan-kegiatan spiritual seperti pengajian Mana>qib Syekh Abdul Qadir al-Jilani.
b. Mana>qib Syekh Abdul Qadir al-Jilani yang rutin diadakan di pondok Aitam
Nurul Karomah ini mempunyai peranan dalam membentuk spiritualitas para
pemuda urban jamaahnya.
D. Tujuan Penelitian
a. Mendeskripsikan pengertian dari pemuda urban.
b. Mendeskripsikan pengaruh Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani terhadap spiritualitas pemuda Kendangsari.
E. Manfaat Penelitian
a. Mengetahui signifikansi perubahan spiritualitas pemuda Kendangsari yang telah mengikuti kegiatan pengajian Manaqib tersebut.
b. Menambah wawasan kepada masyarakat luas akan urgensi makna
spiritualitas.
F. Penegasan Istilah
Untuk memperjelas dan menghindari kesalahpahaman terhadap pokok bahasan proposal skripsi yang berjudul “Spiritualitas Pemuda Urban (peran
terhadap pembentukan spiritualitas pemuda Kendangsari)”, maka kiranya perlu untuk dijelaskan apa yang dimaksud dengan judul tersebut. Pengertian dari
istilah-istilah yang terdapat pada judul tersebut sebagai berikut:
Spiritualitas : Kata “spiritualitas” merupakan bentuk kata kerja dari “spiritual”
yang berarti bagian-bagian yang imaterial; perasaan dan emosi-emosi religius dan estetik; kemampuan mental, intelektual, estetik, dan religius; nilai-nilai manusia yang non-material
seperti keindahan, kebaikan, cinta, kebenaran, dan kesucian.8 Dari kata dasar ini istilah spiritualitas memiliki konotasi yang
mengarah ke sesuatu di dunia luar ini atau mengimplikasikan bentuk disiplin religius tertentu.9
Pemuda : Seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang berumur
mulai 16 tahun hingga 30 tahun.10
Pemuda Urban : Pemuda yang mempunyai gaya hidup (life style) kota yang
cenderung rasionalis, materialis dan individualis. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan nilai-nilai dari zaman modern menjadi postmodern. Postmodern sendiri adalah zaman,
di mana kondisi masyarakat diatur oleh prinsip produksi dan reproduksi informasi, sehingga sektor jasa menjadi sangat
menentukan. Selain itu, masyarakat yang bekerja tidak lagi
8
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), 1034.
9
David Ray Griffin (ed.), Visi-visi Postmodern: Spiritualitas dan Masyarakat, terj. A. Gunawan Adminarto (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 15.
10
hanya demi memenuhi kebutuhan, melainkan juga demi memenuhi hasrat gaya hidup. Sedangkan ekonominya adalah
ekonomi hasrat (libidinal ekonomi) yang berkonsentrasi pada bagaimana memenuhi hasrat dan menciptakan hasrat-hasrat
baru, bukan lagi ekonomi produksi yang memikirkan bagaimana memproduksi barang secara efisien, murah dan cepat.11
Manaqib : Manaqib secara leksikal al-Manaqib berarti kebaikan sifat dan
sesuatu yang mengandung berkah. Dalam dunia tarekat, manaqib adalah catatan riwayat hidup Syekh tarekat yang memaparkan
kisah ajaib dan hagiografis (sanjungan) dengan menyertakan ikhtisar hikayat, legenda, kekeramatan, dan nasihatnya. Semuanya ditulis oleh pengikut tarekat yang dirangkum dari cerita para
murid, orang dekat, keluarga, dan sahabatnya.12
Jadi yang istilah yang dimaksud dalam judul skripsi ini adalah semangat
kejiwaan yang suci (spirit) seorang pemuda yang tinggal diperkotaan yang berumur antara 16 hingga 30 tahun. Dimana semangat spiritualitasnya tersebut terbentuk akibat dari adanya pengajian Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani yang
rutin dilaksanakan di kelurahan Kendangsari Surabaya.
G. Penelitian Terdahulu
Dalam sebuah penelitian tentunya seorang peneliti haruslah mengkaji objek
penelitiannya tersebut dengan membandingkan dengan penelitian terdahulu.
11
Donny Gahral Adian, Percik Filsafat Kontemporer (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), 66.
12
Dengan mengkaji penelitian terdahulu maka diharapakan peneliti dapat mengetahui bahwasanya objek yang menjadi sasaran peneliti merupakan sebuah
objek yang dahulunya telah banyak mengkaji. Dengan banyaknya peneliti terdahulu dengan mengkaji objek yang sama maka haruslah peneliti mengambil
sisi-sisi lain yang mana belum terdeskripsikan oleh peneliti terdahulu. Selain itu kajian terdahulu dapat juga sebagai referensi dan pondasi awal dalam sebuah penelitian.
1. Penelitian yang dilakukan oleh Siti Maimunah dalam skripsinya yang berjudul Realisasi Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani Dalam Hubungannya Dengan Kehidupan Sosial Keagamaan di Pondok Pesantren
Al-Qadiri Jember (1994) menjelaskan tentang sejarah timbul dan berkembangnya Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani serta realisasinya
dalam kehidupan sosial di pondok pesantren Al-Qadiri di Jember. Di dalam skripsi ini juga, Siti Maimunah menjelaskan tentang adanya keterkaitan erat
antara para jamaah Manaqib dengan pondok pesantren Al-Qadiri yakni pada aspek sosialnya.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Nur Kholilah ini dengan judul, Syekh Abdul
Qadir Al-Jilani (Studi Pemikiran Historis Hagiografi dan Pemikiran
Sufistik),(2012) secara garis besar menjelaskan tentang sejarah hidup Syekh
Abdul Qadir al-Jilani serta pemikiran sufitiknya. Peneliti menjelaskan bahwa Syekh Abdul Qadir adalah seorang sufi besar yang memiliki banyak
karena nasabnya bersambung kepada Rasulullah baik dari pihak ayah maupun ibu.
3. Selanjutnya penelitian lain terkait dengan Syekh Abdul Qadir al-Jilani juga di lakukan oleh Muhammad Ainur Rokhim dengan judul Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani Dalam Prespektif al-Quran (2010). Penelitian skripsi
ini berfokus pada masalah Manaqib dalam persepktif Alquran serta pemaknaan dan kontekstualisasi al-Quran tentang kisah-kisah orang shalih
tetrdahulu dengan mengkorelasikan pada Manaqib Syekh Abdul Qadir Al-Jilani. Hal ini sejalan dengan perintah al-Quran untuk selalu meneladani
kisah-kisah orang sholeh sebagaimana meneladani kisah yang terdapat di dalam kitab Manaqib.
4. Penelitian lain juga di lakukan oleh Ary Ginanjar Agustian, namun hal ini
terkait dengan pembetukan spiritualitas. Diantaranya buku, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ (2001) yang
menjelaskan tentang rahasia sukses dalam membangun kecerdasan emosi dan spiritual yang berdasarkan atau terispirasi dari rukun iman dan rukun islam. Bahwasannya, Rukun Iman dan Rukun Islam bukan hanya sebuah
ajaran ritual belaka, tetapi mempunyai makna yang sangat penting dalam membangun kecerdasan emosi dan spiritual dengan menggunakan Asmaul
Husna.
5. Kemudian penelitian terkait tentang spiritualitas dilakukan Muhammad Yayan Zubaidus Zaman, Makna istighatsah rahmatan lil-alami>n dalam
mahasiswa al Jihad Surabaya (2012), Memaparkan makna istighatsah pengajian Rahmatan lil alamin di pondok pesantren mahasiswa al Jihad
dalam meningkatkan spiritualitas jamaahnya. Berdasarkan temuannya, pengajian ini sangat bermakna bagi mereka terutama dalam meningkatkan
spiritualitas mereka, yang awalnya mereka jarang dzikir (mengingat) Allah, bisa lebih sering mengingat Allah; yang awalnya jarang shodaqoh, lebih suka shodaqoh.
Dari beberapa penelitian terdahulu nampaknya masih belum ada yang
membahas tentang spesifik peranan Mana>qib Syekh Abdul Qadir al-Jilani terhadap pembentukan spiritualitas pemuda urban. Sehingga dari problem tersebut
menarik peneliti untuk melakukan pendalaman lebih jauh terkait peran Mana>qib
yang diadakan oleh pondok pesantren Aitam Nurul Karomah terkait dengan pembentukan spiritualitas pemuda urban Kendangsari Surabaya.
H. Metode Penelitian
Metode adalah suatu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan yang dimaksud oleh peneliti. Penulisan ini menggunakan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan dalam penelitian ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara utuh (holistic).13
Studi ini merupakan penelitian lapangan yang berasal dari informasi dari
informan yang aktif dalam pengajian Mana>qib Syekh Abdul Qadir al-Jilani di
13
pondok pesantren Aitam Nurul Karomah tersebut. Jenis penelitian ini sering pula disebut dengan natural inquiry (penelitian alamiah), adalah tradisi tertentu dalam
ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan dalam kawasannya sendiri. Oleh karena itu hasil dari penelitian tersebut berupa
data deskriptif dari obyek maupun perilaku yang dapat diamati.
Natural deskriptif merupakan ciri khas atau karakter dari penelitian kualitatif. Sifat natural pada penelitian ini menyajikan data dengan latar alamiah
atau pada konteks dari suatu keutuhan (entity). Hal ini dilakukan karena ontologi alamiah menghendaki adanya kenyataan-kenyataan sebagai keutuhan yang tidak
dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya.
Sementara penggunaan kata deskriptif dalam penelitian ini yaitu karena dalam sebuah penelitian ini tergolong penelitian non experimental. Penelitian
deskriptif yang dimaksud disini bertujuan untuk memperoleh suatu gejala dan sifat situasi pada penyelidikan dilakukan. Dalam hal ini peneliti tidak ikut campur
pada setiap kegiatan yang dilakukan di lapangan penelitian.14 a. Metode Pengumpulan Data
Menurut Poham yang dikutip Andi Prastowo, Teknik pengumpulan data
adalah cara yang dipakai untuk mengumpulkan informasi atau fakta-fakta dilapangan.15 Sesuai dengan jenis penelitian ini data diperoleh dengan
beberapa cara yakni: 1). Observasi, 2). Wawancara mendalam (indepth interview), 3). Dokumentasi.
14
Ibid., 54.
15
Observasi merupakan sebuah teknik pengumpulan data yang mengharuskan peneliti turun ke lapangan mengamati hal-hal yang berkaitan dengan ruang,
tempat, pelaku, kegiatan, benda-benda, waktu, peristiwa, tujuan dan perasaan.16 Dalam hal ini peneliti mengambil teknik observasi partisipatif
pasif. Artinya peneliti datang ke tempat kegiatan yang diamati akan tetapi tidak ikut di dalam kegiatan tersebut.17
Selanjutnya peneliti menggunakan teknik wawancara mendalam. Teknik ini
digunakan dengan alasan untuk menggali informasi yang mungkin terlewatkan bahkan tidak diketahui oleh peneliti terkait dengan obyek
penelitian. Dalam aplikasinya wawancara dilakukan secara terstruktur dan tidak terstruktur.18 Wawancara terstruktur dilakukan melalui perumusan terlebih dahulu khususnya mengenai pertanyaan-pertanyaan yang akan
diajukan terkait dengan fokus penelitian. Sedangkan wawancara tidak terstruktur merupakan percakapan demi percakapan mengalir tanpa ada
susunan khusus dan bersifat luwes.
Dan yang terakhir peneliti menggunakan teknik dokumentasi. Dokumentasi merupakan cara pengumpulan informasi dari dokumen. Dokumen itu sendiri
terdiri dari peninggalan tertulis, arsip-arsip, buku, foto atau gambar, video dll yang memiliki kaitan dengan obyek penelitian. Sugiyono mengartikan
dokumen adalah catatan peristiwa yang sudah berlalu.19 Dalam hal ini
16
M. Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2012), 165.
17
Ibid.,170.
18
Ibid., 176.
19
pengertian catatan yang penulis dimaksud adalah segala sesuatu yang terekam baik dalam media cetak maupun media elektronik lainnya.
b. Sumber Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini bersumber dari penelitian lapangan yang terdiri dari dua jenis sumber, yakni sumber primer dan sumber
sekunder. Adapun sumber primer adalah hasil wawancara dengan para
pemuda yang mengikuti manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani yang berada di
kawasan pondok pesantren Aitam Nurul Karomah Surabaya. Sedangkan sumber sekunder sebagai pelengkap antara lain:
1. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, karya Abu Bakar Aceh.
2. Sufisme Kota: Berpikir Jernih Menemukan Spiritual Positif, karya Ahmad Najib Burhani.
3. Visi-Visi Postmodern: Spiritualitas dan Masyarakat, karya David Ray Griffin.
4. Kuliah Akhlak Tasawuf, karya Mahjuddin. c. Metode Analisis
Analisis merupakan upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan
data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelolah, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan
apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.20
20
Dari rumusan tersebut dapatlah ditarik maksud dari analisis data yakni organizing pada tahap awalnya. Data yang terhimpun tidaklah sedikit yaitu
catatan lapangan, tanggapan peneliti, gambar, foto, dokumen berupa laporan, artikel, buku dsb. Pengorganisasian atau pengelolahan data tersebut bertujuan
menemukan tema dan hipotesis kerja yang akhirnya diangkat menjadi teori substantif.21 Pada dasarnya inti dari analisis terletak pada tiga proses yang berkaitan, yaitu: mendeskripsikan fenomena, mengklasifikasikannya dan
melihat bagaimana konsep-konsep lainnya yang muncul.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisa kualitatif. Hal ini
dilakukan untuk menggambarkan obyek penelitian sehingga dapat menjawab rumusan-rumusan masalah yang telah dirumuskan sebelumnya. analisa data kualitatif yang penulis gunakan untuk memberikan laporan deskriptif tentang
obyek penelitian yang meliputi gambaran umum mengenai peran manaqib di pondok pesantren Aitam Nurul Karomah Surabaya terhapat pembentukan
spiritualitas pemuda urban Kendangsari Surabaya.
Dengan mengumpulkan data, membaca, memahami kemudian membuat reduksi data dengan jalan membuat abstraksi. Selanjutnya adalah menyusun
dalam satuan-satuan bab secara holistik. Tahap akhir dari analisis ini adalah mengadakan pemeriksaan kembali keabsahan data. Setelah selesai tahap ini,
lalu dimulai tahap penafsiran (interpretasi) data dalam mengolah hasil sementara menjadi teori substantif dengan menggunakan metode tertentu.
21
I. Sistematika Pembahasan
Di dalam proposal ini peneliti membuat sistematika pembahasan
diantaranya sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan, yang berisikan tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, alasan memilih judul, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, penegasan istilah, kajian terdahulu, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
BAB II : Mana>qib Syekh Abdul Qadir al-Jilani dan Spiritualitas. di dalam
bab ini akan dijelaskan dari pengertian manaqib, sejarah hidup Syekh Abdul Qadir al-Jilani, sejarah timbulnya mana>qib di
Indonesia, mana>qib dalam Islam. Selain itu pada bab ini juga menjelaskan tentang pengertian spiritualitas serta cirri-ciri
spiritualitas.
BAB III : Di dalam bab ini menjelaskan tentang deskripsi pondok pesantren
Aitam Nurul Karomah Surabaya, kegiatan rutin Mana>qib dan
spiritualitas pemuda urban. Dalam hal ini yang menjadi fokus masalah adalah pemuda urban Kendangsari Surabaya.
BAB IV : Analisa tentang peranan Mana>qib Syekh Abdul Qadir al-Jilani di pondok pesantren Aitam Nurul Karomah terhadap pembentukan
spiritualitas pemuda Urban Kendangsari Surabaya.
BAB V : Merupakan bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan dan
BAB II
Manaqib Syekh Abdul Qadir Al-Jilani dan Spiritualitas
A. Pengartian Manaqib
Pengertian Mana>qib menurut bahasa adalah kisah kekeramatan para wali.1
Sementara menurut istilah, manaqib adalah cerita-cerita mengenai kekeramatan
para wali yang biasanya dapat didengar pada juru kunci makam, pada keluarga dan muridnya, atau dibaca dalam sejarah-sejarah hidupnya.2
Manaqib secara leksikal al-mana>qib berarti kebaikan sifat dan sesuatu
yang mengandung berkah. Dalam dunia tarekat, mana>qib adalah catatan riwayat hidup Syekh tarekat yang memaparkan kisah ajaib dan hagiografis (sanjungan)
dengan menyertakan ikhtisar hikayat, legenda, kekeramatan, dan nasihatnya. Semuanya ditulis oleh pengikut tarekat yang dirangkum dari cerita para murid,
orang dekat, keluarga, dan sahabatnya.
Yang dimaksud dengan Mana>qib secara istilah adalah membaca kisah
tentang orang-orang sholeh, seperti kisah Nabi atau auliya’ (para kekasih Allah).
Dalam tradisinya, kisah-kisah tersebut ditulis dengan menggunakan bahasa yang sangat indah dengan susunan kalimatnya yang benar-benar indah.
Untuk lebih jelasnya lagi Mana>qib adalah sesuatu yang diketahui dan dikenal pada diri seseorang berupa perilaku dan perbuatan yang terpuji disisi
Allah SWT, sifat-sifat yang manis lagi menarik, pembawaan dan etika yang baik
1
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), 533.
2
lagi indah, suci lagi luhur, kesempurnaan-kesempurnaan yang tinggi lagi agung, serta karomah-karomah yang agung di sisi Allah SWT.3
Manaqib tentang Syekh Abdul Qadir al-Jilani cukup banyak, antara lain sebagai berikut. 1) Bahjat al-Asrar, yang ditulis oleh asy-Syattanawi (w. 713 H/
1313 M), merupakan biografi tertua dan terbaik tentang Syekh Abdul Qadir al-Jilani yang penuh dengan kisah keajaiban sang wali dan menjadi rujukan penulis berikutnya. 2) Khulasah al-Mafakhir, yang ditulis oleh al-Yafi’i (w. 768 H/ 1367
M) sebagai apologinya tentang Syekh Abdul Qadir, memuat 200 kisah legenda tentang kesalehan tokohnya dan sekitar 40 kisah mistik lainnya. Naskah ini di
dalam bahasa Jawa dikenal sebagai hikayah Abdul Qadir al-Jilani yang hanya memuat 100 kisah, termasuk dalam 79 tembang. 3) Khalaid Jawahir karya al-Tadifi. Penyusunannya bersifat historis yang dimulai dari pembahasan kehidupan,
keturunan dan lingkungan wali dan kisah ilustratif. 4) Natijah at-Tahqiq oleh Abdullah Muhammad ad-Dilai (w. 1136 H/ 1724 M) memuat deskripsi kehidupan
Syekh Abdul Qadir al-Jilani dan ucapannya yang menunjukkan. Kebesaran sang wali. 5) an-Nur al-Burhani fi Tarjamah al-Lujaini ad-Dani fi Manaqib Sayyid Abdul Qadir Jilani oleh Abu Luthfi Hakim Muslih bin Abdurahman
al-Maraqi, memuat legenda dan kisah ajaib Syekh Abdul Qadir al-Jilani. 6) Lubab
al-Ma’ani fi Tarjamah lujain ad-Dani fi Manaqib Sayyidi asy Syekh Abdul Qadir
oleh Abu Muhammad Salih Mustamir al-Hajian al-Juwani memuat kisah kehidupan dan kekeramatan Syekh Abdul Qadir al-Jilani.4
3
Achmad Asrori al-Ishaqi, Apakah Manaqib itu? (Surabaya: al-Wava, 2010), 9. 4
Kitab Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani telah dikaji secara luas oleh para sarjana muslim dan Barat, seperti: az-Zahabi, Ibnu Hajar al-Asqolani,
Poerbatjaraka, Walther Braune, Snouck Hurgronje, dan Drewes. Manakib Syekh Abdul Qadir menjelaskan bahwa Syekh Abdul Qadir al-Jilani masih keturunan
Nabi Muhammad SAW melalui putrinya Fatimah. Ibunya bernama Fatimah binti Syekh Abdullah as-Sauma’i, seorang tokoh yang terkenal dan dimuliakan karena perbuatan kebajikannya. Dijelaskan pula di samping seorang tokoh sufi, wali,
pendiri tarekat, Abdul Qadir al-Jilani juga dikenal sebagai Muhyiddin (yang menghidupkan agama kembali). Syekh Abdul Qadir menguasai berbagai macam
ilmu, seperti tafsir, hadis, fikih, ushul, nahwu dan sharaf.5
Syekh Abdul Qadir al-Jilani yang nama lengkapnya Abu Muhammad Abdul Qadir Jilani bin Abi Sholih Janki Dausat bin Abdillah bin Yahya bin
Muhammad bin Daud bin Musa ats-Tsani bin Abdillah ats-Tsani bin Musa al-Jun bin Abdillah al-Mahdi bin Hasan al-Mutsanna bin Hasan bi Ali bin Abi Tholib
adalah seorang guru sufi yang sempurna dan waspada serta arif, yang telah sampai pada cita-citanya, mempunyai kedudukan tinggi lagi mulia, pendirian yang kuat dan ketetapan yang mantab, berbudi pekerti yang luhur dan kesempurnaan yang
megah, dan juga seorang wali yang dekat dengan Allah SWT.
Syekh Abdul Qadir al-Jilani adalah seorang yang mempunyai hubungan
darah atau garis keturunan langsung bersambung sampai Rasulullah. Beliau dilahirkan pada hari Senin saat terbitnya fajar pada tanggal 1 Ramdhan 470 H atau
5
1077M.6 di desa Jailan (bisa juga disebut Jilan, Kailan, Kilan, atau al-Jil).7 Nama desa itu kemudian dinisbatkan kepada nama akhir beliau yakni al-Jailani ataupun
al-Jilani. Letak desa ini berada di kota terpencil yakni Tabaristan yang kini masuk wilayah Iran. Sedangkan untuk tahun kelahiran beliau yakni tahun 470 H.8 Ini
berdasarkan ucapan beliau kepada putranya (Abdul Razaq) bahwa beliau berusia 18 tahun ketika tiba di Baghdad, bertepatan dengan wafatnya ulama terkemuka yakni al-Tamimi pada tahun 488 H.9
Keistimewaan Syekh Abdul Qadiral-Jilani Nampak sejak beliau baru lahir, tepatnya pada tanggal 1 Ramadhan. Hal ini dikarenakan sejak masih bayi ia ikut
puasa dengan tidak menetek kepada ibunya pada siang hari. Ini berdasarkan penuturan Sayyidah Fatimah (ibunda Syekh Abdul Qadir al-Jilani). Dalam kisah ini, sang ibu menuturkan: “Semenjak aku melahirkan anakku, ia tidak pernah
menetek disiang bulan Ramadhan.” Dan pernah suatu ketika, lantaran hari
berawan mendung, orang-orang bingung karena tidak bisa melihat matahari guna
menetukan telah masuknya waktu berbuka puasa. Mereka menanyakan pada Sayyidah Fatimah akan perihal ini, karena mereka tahu bahwasanya bayi dari Sayyidah Fatimah tidak pernah menetek di siang bulan Ramadhan. Dan ketika itu
pula mereka mendapatkan jawaban, bahwasannya sang bayi (Abdul Qadir kecil)
6
Zainur Rofiq al-Shadiqi, Biografi Syekh Abdul Qadir al-Jilani (Jombang: Darul Hikmah, 2011), 41.
7
Ibid,. 40.
8
Anding Mujahidin, Syekh Abdul Qadir al-Jilani (Jakarta: Zaman, 2011), 16.
9
sudah menetek. Hal ini menunjukkan telah masuk waktu berbuka puasa.10 Fenmomena tersebut dianggap sebagai karomah dari Syekh Abdul Qadir al-Jilani
yang diperolehnya sejak kecil.
Syekh Abdul Qadir al-Jilani bukanlah sosok yang mudah putus asa
ataupun selalu berpangku tangan. Namun beliau merupakan sosok yang mempunyai semangat belajar dan rasa keingintahuan yang menggebu-gebu. Akhirnya, beliau mempunyai tekad yang bulat untuk memenuhi segala
keinginannya tersebut. Hal ini terjadi ketika beliau mengetahui bahwasanya menuntut ilmu adalah wajib hukumnya. Maka beliau pun memutuskan untuk
menimba ilmu di Baghdad pada tahun 488 H. usia beliau ketika itu sekitar 18 tahun.11
Periode Syekh Abdul Qadir al-Jilani selama 37 tahun menetap di Baghdad,
tepatnya pada periode lima Khalifah dari pemerintahan dinasti Abbasiyyah. Pertama kali masuk di Baghdad kunci kekhalifahan dipegang oleh al-Mustadhir
Biamrillah, lalu Abul Abbas (w. 512H) setelah itu kursi kekhalfahan diduduki oleh al-Mustarsyid , lalu ar-Rasyid, kemudian al-Muqtafi Liamrilah dan selanjutnya kursi kekhalifahan diduduki oleh al-Mustanjid Billah. Pada periode
itulah kehidupan Syekh Abdul Qadir disibukkan denga berbagai aktivitas rohani seperti penyucian jiwa. Hingga tahun 512H, yakni pada usia yang ke 51 tahun tak
pernah memikirkan pernikahan. Bahkan menurutnya hal itu merupakan penghambat dalam upaya aktivitas penyucian rohani atau jiwa. Namun demikian
10
Zainur Rofiq al-Shadiqi, Biografi Syekh Abdul Qadir al-Jilani (Jombang: Darul Hikmah, 2011), 42-43.
11
Syekh Abdul Qadir al-Jilani tak sampai meninggalkan sunnah rasul tersebut.
Sehingga pada usia lanjutpun menikah dan memiliki empat istri. Dari keempat istrinya itulah melahirkan empat puluh sembilan anak.
Syekh Abdul Qadir al-Jilani memperoleh ilmu yang cukup banyak di Baghdad berkat ketulusan dan kesungguhannya. Beliau belajar ilmu fiqh kepada
ulama besar dizamannya, misalnya Abdul Wafa bin Agil Muhammad bin Hasan al-Baqilani, Abul Hasan Muhammad bin al-Qadhi, Abul Khattab al-Kalawazani. Belajar ilmu sastra kapada Abu Zakariyah al-Tirbrizi dan belajar ilmu thoriqoh
atau tasawuf kepada Abul Khoir Hammad bin Muslim ad-Dabbas hingga memperoleh ijabah tinggi dari al-Qadli Abu Said al-Muhkrami.
Selama belajar di Baghdad Syekh Abdul Qadir al-Jilani selalu hidup dalam keadaan prihatin dan menahan derita dengan tabah. Berkat kejujuran dan keikhlasannya, sehingga ia cepat menerima dan menguasai ilmu dari para
gurunya. Dan ia telah berhasil menyusun tiga buah kitab yang diberi judul; Futuhul Ghaib, Fathurrabbani, Qosyidiyah al-Ghausiyah.
Disamping seorang ahli hukum dan sastrawan, beliau juga dikenal sebagai tokoh yang kharismatik, yaitu tokoh spiritual muslim yang mempunyai pengaruh besar baik pada masanya hingga saat ini. Hal ini terbukti dengan tunduknya
seorang khalifah pada masanya, pujian tokoh pada masanya hingga masa sesudahnya, penamaan lembaga tarekat yang dinisbahkan kepada namanya, serta
SAW, kedalaman spiritual dan karomah yang dimilikinya, serta kepercayaan masyarakat terhadap berkah yang bisa diperolehnya.
Syekh Abdul Qadir al-Jilani juga sebagai orang yang tekun dalam berdakwah, bermujahadah dan mengajar orang-orang. Tugas-tugasnya ini beliau laksanakan hingga menjelang wafat. beliau wafat pada tanggal 10 Rabi’ul Akhir
tahun 561 H/ 1168 M. dalam usia 91 tahun. Beliau di makamkan di Bab al-Azaj, Baghdad. 12Maka cita-cita luhur Syekh Abdul Qadir al-Jilani setelah wafatnya ini
diteruskan oleh para muridnya yang senantiasa setia terhadap dakwah Islamiyyah. Mereka terdiri dari para ilmuwan dakwah dan ilmuwan-ilmuwan yang ahli dalam
bidang pengajaran. Peran mereka dalam pemeliharaan ajaran-ajaran Islam sangat besar sekali, seperti hidupnya kembali api keimanan, agitasi dalam tugas berdakwah dan berjihad. Bersaman dengan itu semua telah tumbuh pula
manusia-manusia yang berpotensi tinggi untuk menyebarkan Islam ke negeri-negeri yang belum pernah terjamah oleh para tentara Islam atau yang belum pernah bernaung
dibawah hukum Islam. Oleh karena itu maka tersebarlah Islam kebagian benua Afrika, Indonesia, Jazirah Hindia bagian dalam, Cina dan Hinduistan.
Komunitas sufi memandang Syekh Abdul Qadir al-Jilani sebagai Shulto>ni
al-Auliya>’ (Raja para wali), sedangkan di Barat dikenal sebagai Sulthan of The
Saints (Raja orang-orang suci). Nama beliau akan tetap selalu harum sepanjang
zaman karena ilmunya, amaliyahnya, dan karomah-karomahnya.13 Sehingga tidaklah mengherankan jika seantero dunia Islam, tanpa terkecuali Indonesia
12
Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Jangan Abaikan Syariat: Adab-AdabPerjalan Spiritual, terj. Tatang Wahyudin, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2007), 50.
13
beredar ajaran-ajaran beliau yang tertuang dalam manqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani yang berisi biografi, karomah-karomah dan ajaran-ajaran beliau. Dan mana>qib beliau ini sering dibaca oleh kalangan muslim, khususnya lagi oleh para
penganut jamaah tarekat Qadiriyyah.
Dari beberapa uraian diatas, dapatlah disumpulkan bahwa; Syekh Abdul
Qadir al-Jilani adalah seorang diantara sederatan orang-orang yang berpengaruh dalam dunia Islam. Beliau adalah seorang mujahid yang paling tidak menyukai dan menolak kehidupan mewah sehingga melupakan Allah dn perkara lain yang
tidak ada didalam ajaran Islam. Dan beliau benar-benar seorang ulama besar yang sudah tak asing lagi bagi dunia tasawuf khususnya dan dunia Islam pada umunya.
Jadi sudah selayaknya pribadi yang besar ini dicintai dan bahkan kebesarannya itu diceritakan baik lewat lisan maupun tulisan-tulisan yang tersusun rapi dengan maksud agar dapat dijadikan sebagai pembelajaran untuk umat Islam.
a. Sejarah Timbulnya Mana>qib di Indonesia
Sejarah timbulnya mana>qib di Indonesia erat sekali kaitannya dengan
sejarah tersebarnya ajaran tasawuf di Indonesia. Sebab ajaran-ajaran tasawuf inilah timbul berbagai macam amalan dalam Islam, seperti thoriqoh yang
kemudian berkembang menjadi amalan yang lain seperti halnya manaqib. Dalam kajian sejarah dijelaskan bahwa sejak zaman prasejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar yang sanggup
mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada rute-rute pelayarandan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai
sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang dijual disana menarik bagi para pedagang menjadi
daerah lintasan antara Cina dan India.14 Umumnya daerah yang ada di pesisir pulau Jawa dan Sumatra pada abad ke-1 dan ke-7 M menjadi
pelabuhan-pelabuhan penting yang sering disinggahi oleh para pedagang.
Pedagang-pedagang Muslim asal Arab, Persia, dan India juga ada yang sampai ke kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad ke-7 M (abad
1H), ketika Islam pertama kali berkembang di Timur tengah. Menurut J.C. van Leur, berdasarkan berbagai cerita perjalanan dapat diperkirakan sejak 674
M ada koloni-koloni Arab di barat laut Sumatra, yaitu di Barus, daerah penghasil kapur barus terkenal.
Masuknya Islam melalui India ini menurut sebagian pengamat
mengakibatkan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia ini bukan Islam yang murni dari pusatnya yakni Timur Tengah, tetapi Islam yang sudah banyak di
pengaruhi paham mistik, sehingga banyak kejanggalan dalam
pelaksanaannya. Selain itu, dikatakan bahwa Islam yang berlaku di Indonesia ini tidak sepenuhnya selaras dengan apa yang digariskan Al-Quran dan
Sunnah sebab Islam yang datang kepada masyarakat Indonesia itu bukan Islam yang langsung dari sumbernya, tetapi berdasarkan kitab-kitab fiqih dan
teologi yang telah ada semenjak abad ketiga hijriah.15
14
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Perss, 2011), 191.
15
Berbeda pendapat dengan di atas, S.M.N. al-Attas berpendapat bahwa pada tahap pertama Islam di Indonesia yang menonjol adalah aspek
hukumnya bukan aspek mistik karena ia melihat bahwa kecenderungan penafsiran Al-Quran secara mistik itu baru terjadi antara tahun 1400-1700
M.16
Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, menurut kenyataan nilai-nilai tradisional Hindu-Budha telah banyak mempengaruhi substansi pelaksanaan
hukum Islam di Indonesia. Snouck Hourgronye dalam tulisannya De Islam in Nederlandsch Indie yang kemudian dikutip oleh Syamsul Wahidin dan
Abdurahman17 mengemukakan pengamatannya bahwa agama Islam yang diterima oleh masyarakat Indonesia itu sebelumnya sudah mengalami proses penyesuaian dengan agama Hindu sehingga dengan mudah dapat
menyelaraskan dirinya dengan agama Hindu campuran yang ada di Jawa dan Sumatera. Dengan demikian, tampak bahwa Islam di Indonesia lebih banyak
menonjol aspek mistik daripada aspek hukum sebagai corak aslinya.
Ini dapat dimaklumi mengingat peranan mistik dari masa pra-Islam dan dari ajaran Hindu-Budha sangat besar pengaruhnya sebelum datangnya Islam.
Namun justru dengan warna Islam yang sudah bercampur dengan mistik inilah yang lebih sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia waktu itu
sehingga dapat cepat tersebar agama Islam. Semua ini semua merupakan sebuah strategi yang dilancarakan oleh para pendakwah Islam.
16
Ibid., 292.
17
Nama lain dari ajaran mistik yang dibawa oleh para pedagang yang juga sebagai pendakwah Islam yakni tasawuf. Di dalam Islam, tasawuf merupakan
salah satu dari dimensi ajaran Islam yakni esoteris. Ini merupakan dimensi Islam yang bergerak pada ranah ruhaniah. Para sufi (pelaku tasawuf) dalam
dakwahnya tentu akan lebih menonjolkan aspek ruhani daripada aspek lahiriyah (noramtif). Para sufi yang berdagang hingga singgah di Indonesia, kemudian juga mendakwahkan Islam tentunya muatan nilai-nilai dakwahnya
bersifat sufistik atau mistik.
Berbeda dengan masuknya Islam ke negara-negara di bagian dunia lainnya
yakni dengan kekuatan militer, masuknya Islam ke Indonesia itu dengan cara damai disertai dengan jiwa toleransi dan saling menghargai antara penyebar dan pemeluk agama baru dengan penganut-penganut agama lain
(Hindu-Budha).18
Tersebarnya ajaran tasawuf di Indonesia tercatat sejak masuknya ajaran
Islam di negeri ini. Ketika para pedagang-pedagang muslim mengislamkan orang-orang Indonesia, tidak hanya dengan menggunakan pendekatan bisnis akan tetapi juga menggunakan pendekatan tasawuf.19 Karena tasawuf
mempunyai sifat spesifik yang sudah diterima oleh masyarakat yang bukan Islam kepada lingkungannya dan memang terbukti bahwa tersebarnya ajaran
Islam di seluruh Indonesia oleh sebagian besar jasa para sufi baik yang tergabung dalam thoriqoh maupun yang lepas dari thoriqoh.
18
Roeslan Abdulgani, Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Antar Kota, 1983), 26-27.
19
Tokoh-tokoh yang menyebarkan Islam itu dalam setiap dakwahnya selalu mengikut sertakan paham-paham tasawufnya sebagaimana para sufi, seperti
Hamzah Fansuri, Abdurrauf Singkel, Nuruddin ar-Raniri, Samsuddin Sumatrani sangat berjasa dalam perkembangan Islam di Sumatera. Dan di
Jawa tersebarnya Islam dipimpin oleh para wali sembilan yang juga tergolong sebagai sufi. para wali sembilan tersebut sering diistilahkan dengan wali songo. Para wali songo sangat ahli dalam menentukan taktik dan stretegi
ketika menyebarkan dakwahnya. Pendekatan tasawuf yang dipilih oleh wali songo sebagai sarana untuk mengislamkan masyarakat Jawa. Hal itu
dilakukan karena diketahui bahwa penduduk Jawa tersebut dilatarbelakangi oleh kepercayaan agama Hindu dan Budha yang inti ajarannya adalah kehidupan mistik. Kesamaan dimensi mistik inilah yang kemudian
menjadikan perjalanan dakwa Islam oleh para wali songo ini dapat berjalan lancar. Dan memang kenyataannya demikian akhirnya para wali
memperkenalkan ajaran Islam pada masyarakat yang beragama Hindu dan Budha, maka mereka banyak yang tertarik untuk menganutnya. Meskipun ketika itu mereka mengamalkan ajaran Islam masih sering di campurbaurkan
dengan ajaran yang pernah mereka anut sebelumnya.20
Para ulama Jawa mendapatkan sebutan wali songo karena dianggap
sebagai penyebar agama Islam terpenting. Mereka giat sekali menyiarkan Islam dan mengajarkann pokok-pokok ajaran Islam. Para ulama ini mempunyai keistimewaan yang lebih tinggi dibanding mereka yang masih
20
memeluk agama lain. Keistimewaan tersebut terletak pada pada segi kekeramatan. Kekeramatan ulama merupakan hal yang istimewa bagi
masyarakat, disamping itu juga mempunyai kekuatan batin yang lebih, mempunyai ilmu yang tinggi, terlebih lagi dalam menyiarkan Islam selalu
menggabungkan dengan kehidupan kerohanian di dalam Islam.
Demikian halnya dengan timbulnya manaqib yang sudah menjadi tradisi yang terus berkembang ditengah-tengah masyarakat Islam di Indonesia,
terutama di Jawa tidak lepas dari peranan ulama atau wali yang menyebarkan Islam. Dalam permulaan awal penyebaran Islam terutama di Jawa para ulama
Islam yang dipimpin oleh wali songo telah mengajarkan kepada masyarakat Islam tentang ilmu thoroqoh, mana>qib dan amalan-amalan lain yang selaras
dengan itu. Praktek-praktek tersebut ternyata berjalan dan berkembang terus sampai sekarang bahkan oleh masyarakat Islam hal itu dijadikan sebagai
sarana dakwah Islamiyyah.21
Dari perkembangan sejarah penyebaran agama Islam ini maka wajar sekali
pada masa itu juga berkembang pesat amalan-amalan tersebut. sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa timbulnya manaqib di Indonesia ini adalah sejak para ulama Islam yang dipimpin oleh para sufi mengajarkan
Islam di Indonesia.
b. Mana>qib Dalam Islam
Sebagaimana yang telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa mana>qib adalah cerita-cerita mengenai kekeramatan para wali yang biasanya dapat
21
didengar melalui juru kunci makam, pada keluarga dan muridnya, atau dibaca dalam sejarah-sejarah hidupnya.
Sejak zaman dahulu, baik dimasa sebelum Nabi Muhammad SAW lahir maupun sesudah wafatnya, manaqib sudah ada dan diterangkan di dalam
Al-Quran. Seperti dapat dilihat bahwa dalam Al-Quran telah diceritakan dengan jelas adanya mana>qib Maryam, mana>qib Dzulqarnain, mana>qib Ashabul
Kahfi dan lain-lain. Demikian pula setelah Nabi wafat ada mana>qib Abu
Bakar, mana>qib Umar bin Khattab, mana>qib Ali bin Abi Thalib, mana>qib
Hamzah, mana>qib Abi Sa’id, mana>qib at-Tijani, mana>qib Syekh Abdul
Qadir al-Jilani dan sebagainya. Sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
Artinya: “dan Sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang Rasul sebelum
kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara
mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu.”22
Artinya: “Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah
kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini
22
telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi
orang-orang yang beriman.”23
Artinya: “Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka
berfikir.”24
Dari ayat-ayat diatas mengandung pengertian bahwa, sejarah para nabi dan
para auliya’ banyak pula yang tidak disebutkan di dalam Al-Quran. Ini secara
tidak langsung kita dianjurkan oleh Allah untuk mencari atau meneliti
sejarah-sejarah tersebut, baik dari Hadist Nabi maupun yang bersumber lain yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Tujuan daripada penyelenggaraan aktivitas mana>qib adalah untuk mencintai dan menghormati keluarga dan keturunan Nabi SAW, mencintai
para orang sholeh dan auliya’, mencari berkah dan sya>fa’at dari Syekh Abdul
Qadir al-Jilani, bertawassul dengan Syekh Abdul Qadir al-Jilani dan melaksanakan nadzar karena Allah semata bukan karena maksiat.
Tradisi membaca Mana>qib tersebut biasanya dilakukan oleh masyarakat yang berfaham teologi Ahlussunah wal Jama’ah, khususnya kaum Nahdliyin
(NU) dan biasanya dibaca ketika ada hajatan khusus, seperti majelis tahlil,
lamaran, akad nikah, walimat al-‘arusy, walimat al-hamli (7 bulan masa
kehamilan), walimat al-tazmiyah (pemberian nama dan potong rambut), haul
23
QS. Hud: 120
24
(satu tahun meninggalnya seseorang), dan juga termasuk miladiyyah (ulang tahun kelahiran) seseorang atau bahkan sebuah institusi (pondok pesantren).
Kalau berfikir secara jernih dan objektif, mau mengambil pelajaran dan berfikir panjang, niscaya kita akan mendapatkan sesuatu yang banyak, besar
dan agung yang tercakup dan terkandung di dalam Al-Quran, yakni cerita-cerita para nabi dan rasul, umat-umat yang telah lalu baik umat yang beriman, taat, sholeh, kafir, syirik, munafik, menentang atau yang melakukan
dosa-dosa besar.
B. Pengertian spiritualitas
Spiritual berasal dari kata spirit yang berasal dari bahasa latin yaitu spiritus yang berarti nafas. Dalam istilah modern mengacu pada energi batin yang
non jasmani meliputi emosi dan karakter. Dalam kamus psikologi spirit adalah
suatu zat atau makhluk immaterial, biasanya bersifat ketuhanan munurut aslinya, yang diberi sifat dari banyak ciri karakteristik manusia, kekuatan, tenaga,
semangat, vitalitas energi disposisi, moral atau motivasi.25
Spiritualitas dalam makna yang luas, merupakan hal yang berhubungan dengan spirit. Sesuatu yang spiritual memiliki kebenaran abadi yang berhubungan
dengan tujuan hidup manusia. Salah satu aspek menjadi spiritual adalah memiliki arah dan tujuan hidup, yang secara terus menerus meningkatkan kebijaksanaan
dan kekuatan kehendak dari seseorang, mencapai hubungan lebih dekat dengan Tuhan. dengan kata lain spiritualitas memberikan jawaban siapa dan apa seseorang itu.
25
Menurut Ary Ginanjar Agustian spiritualitas adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui
langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah menuju manusia yang seutuhnya (hanif) dan memiliki pola pemikiran tauhid (integralistik), serta berperinsip
“hanya karena Allah”.26
Spiritualitas adalah hubungannya dengan Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta, tergantung dengan kepercayaan yang dianut oleh individu. Spiritualitas merupakan hubungan personal seseorang terhadap sosok
transenden. Spiritualitas mencakup inner life individu, idealisme, sikap, pemikiran, peikiran dan pengharapannyaterhadap yang Mutlak. Spiritualitas juga
mencakup bagaimana individu mengekspresikan hubungannya dengan sosok transenden tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Spiritualitas dalam arti sempit berhubungan dengan jiwa, hati, ruh, yaitu
kemampuan jiwa seseorang dalam memahami sesuatu. Merujuk spiritualitas sebagai cara individu memahami keberadaan maupun pengalaman yang terjadi
pada dirinya.
Spiritualitas sering dikaitkan dengan agama, namun agama dan spiritualitas memiliki perbedaan. Agama sering dikarakteristikan sebagai institusi,
kepercayaan individu dan praktek, sementara spiritualitas sering diasosiasikan denga keterhubungan atau perasaan di dalam hati dengan Tuhan.
Spritualitas adalah kepercayaan akan adanya kekuatan non fisik yang lebih besar daripada kekuatan diri, suatu kesadarran yang menghubungkan manusia
26
langsung dengan Tuhan atau apapun yang dinamakan sebagai keberadaan manusia.
Spiritualitas adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral, dan rasa memiliki. Spiritualitas lebih merupakan sebentuk pengalaman psikis yyang
meninggalkan kesan dan makna mendalam. Sementara pada anak-anak, hakikat spiritualitas tercermin dalam kreativitas tak terbatas imajinasi luas, serta pendekatan terhadap kehidupan yang terbuka dan gembira.
Maslow mendefinisikan spiritualitas sebagai sebuah tahapan aktualisaasi diri seseorang, yang mana seseorang berlimpah dengan kreativitas, intuisi,
keceriaan, sukacita, kasih, kedamaian, toleransi, kerendahan hati serta memiliki tujuan hidup yang jelas. Menurut Maslow, pengalaman spiritual adalah puncak tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia serta merupakan peneguhan dari
keberadaannya sebagai makhluk spiritual. Pengalaman spiritual merupakan kebutuhan tertinggi manusia. Bahkan Maslow menyatakan bahwa pengalaman
spiritual telah melewati hierrarki kebutuhan manusia.
Berdasarkan berbagai definisi dari penjelasan di atas, peneliti berkesimpulan bahwa spiritualitas adalah kesadaran manusia dan akan adanya
keterhubungan antara manusia dengan Tuhan atau sesuatu yang dipersepsikan sebagai sosok transenden. Spiritualitas mencakup inner life individu, idealisme,
Dengan demikian dapat dimaknai bahwa yang dimaksud spiritualitas adalah perembangan akal budi unuk memikirkan hal-hal di luar alam materi yang
bersifat ketuhanan yang memancarkan energi batin untuk memotivasi lahirnya ibadah dan moral.
Orang yang memiliki spiritualitas tinggi adalah orang yang mampu memaknai setiap peristiwa dan masalah bahkan penderitaan hidup yang dialaminya dengan memberi makna yang positif. Kemudian disandarkan pada
kekuatan nirbatas (Tuhan ) tersebut dalam kehidupan. Pemaknaan yang demikian tersebut, akan mampu membangkitkan jiwanya da melakukan tindakan positif
yang lebih baik. Sehingga spiritualitas secara langsung atau tidak lengsung berhubungan dengan kemampuan manusia untuk mentransendensikan diri.
Transendensi merupakan kualitas tertinggi dari kehiudpan spiritual yang
membawa manusia mengatasi masa kini, mengatasi rasa suka dan duka, bahkan megatasi diri kita pada saat ini. Bahkan membawa manusia melampaui
batas-batas pengetahuan dan pengalaman manusia dlam konteks yang lebih luas dan tidak terbatas dalam diri kita maupun di luar diri manusia.27
Nilai-nilai spiritualias yang umum, antara lain kebenaran, kejujuran,
kesederhanaan, kepedulian,