KONSEP IBADAH ABDUL QADIR JAILANI DALAM KITAB SIR AL-ASRAR DITINJAU DARI MAQASHID SYARIAH AL-SYATIBI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memnuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
IRMANSYAH NIM. 107043102190
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
i
SKRIPSI
Diajukan untuk Memnuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Disusun oleh :
IRMANSYAH NIM. 107043102190
Dibawah bimbingan
Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag NIP.196511191998031002
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (satu) di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 2014-06-26
iv ABSTRAK
IRMANSYAH, NIM 107043102190. Konsep Ibadah Abdul Qadir Al-Jailani Dalam Tinjauan
Maqashid Syari’ah Al-Syatibi. Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum (PMH),
Konsentrasi Perbandingan Madzhab Fiqh, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 / 2014 M. Dibimbing oleh Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag (196511191998031002).
Isi vii + 68 halaman + 41 literatur.
Abdul Qadir al-Jailani adalah seorang faqih sekaligus sufi, dalam buku sirr al-asrar beliau bercerita tentang konsep ibadah yang mempunyai yang mempunyai dimensi syariat, tarekat dan
hakikat. Bagaimana kerangka teori maqashid syari’ah al-Syatibi meninjau konsep ibadah Abdul Qadir al-Jailani.
Penelitian ini untuk menganalisis bagaimana konsep ibadah Abdul Qadir al-Jailani di kitab Sirr – Al-Asrar dengan kerangka teori pemikiran al-Syatibi tentang maqashid -syari’ah dan adakah kesesuaian praktik ibadah Abdul Qadir al-Jailani dengan maqashid syar’iah al-Syatibi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif dengan melakukan pendekatan normatif filosofis. Adapun sumber data yang didapat melalui data primer dan data sekunder dengan pengumpulan data melalui studi pustaka (Librari Reasearch), Data yang diperoleh tersebut disusun secara teratur dan sistematis, kemudian dianalisis secara deskriptif normatif filosofis.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa konsep ibadah Abdul Qadir al-Jailani yang
ditijau dari maqashid syari’ah al-syatibi mempunyai keseuaian dan mewujudkan maqashid
syari’ah.
Kata Kunci : Ibadah Abdul Qadir al-Jailani, maqashid syari’ah, al-Syatibi. Pembimbing : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat ilahi Rabbi, yang telah menurunkan cahaya ilmu-Nya, shalawat dan
salam semoga selalu tercurah ke hadirat Rasul pembawa cahaya Muhammad SAW. Di balik
terselesaikannya skripsi dengan judul “konsep ibadah Abdul Qadir al-Jailani ditinjau dari
maqashid syariah al-syatibi”, maka penulis ingin mengucapkan terima kasih terutama kepada :
1. Bapak H. JM. Muslimin, MA, Ph.D, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag, sebagai Ketua Program Studi Perbandingan
Mazhab Hukum dan Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si, sebagai Sekretaris
Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag, selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktunya selama penulis menyelesaikan skripsi. Terima kasih atas bimbingan, kesabaran,
vi
5. Segenap pimpinan dan staf perpustakaa utama dan perpustakaan Fakultas Syari’ah Dan Hukum yang telah memberikan fasilitasnya.
6. Kepada kedua orang tua yang penulis hormati dan cintai, penulis persembahkan skripsi ini
kepada ayahanda H.Zulkifli (alm) dan Ibunda Hj. Nurhasanah, yang telah membimbing dan
mendidik. Atas dukungan moril, materil, kesabaran, perhatian, cinta, keikhlasan serta kasih
sayang yang tiada habisnya, semoga Allah membalas dengan seluruh kebaikan, ananda sadar
bahwa semua yang kalian berikan tak akan mungkin tergantikan oleh apapun.
7. Untuk guru-guruku Ust. Cipta Bakti Gama, Lc, KH.Muhyidin, Ust.Syarif, Lc, Ust.
Muzammil al-hafidz, Ust.Zaenal muhtadi, al-hafidz, Ust. Ruslan, al-hafidz, Muhammad
Noer, Om Bagus, Ibu Ida farida, Ibu Sumarni, dan yang tak tersebutkan tanpa bimbingan
dan ilmu dari kalian, muridmu bukanlah apa-apa. Semoga Allah membalas dengan pahala
yang selalu mengalir.
8. Untuk teman-teman yang pernah hadir dalam hidupku fajar anugrah ramadhan, mahatir, cb
gama, ahmad jaelani, adnan syafi’i, akmal, andiyanto,iyus, syahiru, ujang, agus, syahirul,
irfan, maulana, irawan,khoirudin,septianto, prakoso bayu,gustar,adnan hanafi, wahyu ischan,
mulyani azam,rio sulaeman, zaenal ali muslim hidayat, subhan, arman, bimma, elvin
gunawan, aris, vera, maria, siti khoiriyah, ani rohimah,latifah nuzuli, nurhayati, jumiatun
diniah, betie febriana, teh dini retno utami, fikriyah, dan semua yang pernah kenal baik
vii
KKN 77 ceria cibitung kulon pamijahan.
10. Untuk istri tercinta yanah abdul hamid yang selalu memotivasi untuk menyelesaikan tugas
akhir ini, putriku tersayang naila khairina yang selalu membuat hatiku damai dengan melihat
senyum dan tawanya, semoga Allah selalu satukan kita sampai surga.
Demikian ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak-pihak yang telah
membantu baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga selesainya skripsi ini,
semoga segala bantuan tersebut diterima sebagai amal baik dan memperoleh balasan pahala
yang berlimpah ganda dari Allah Swt, (Aamiin) maka akhirnya penulis berharap semoga
skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umunya.
ix
SURAT PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i
LEMBAR PERNYATAAN ... ii
ABSTRAK ... iii
DAFTAR ISI ... . v
KATA PENGANTAR ... iv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang masalah ... 1
B. Rumusan Permasalahan ... 7
C. Tujuan ... 7
1. Tujuan Penelitian ... 7
2. Manfaat Penelitian ... 7
D. Kajian Pustaka Terdahulu ... 8
E. Metode Penelitian……….. 10
F. Sistematika Penulisan………. 10
BAB II AL-SYATIBI DAN TEORINYA TENTANG MAQASHID SYARI’AH……… ... 12
A. Biografi al-Syatibi ... 12
1 kehidupan dan pendidikan al-Syatibi ... 10
2 Karya-karya ... 15
B. Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi... 16
1. Pengertian Maqashid Syariah ... 16
2. Dasar Maqashid Syariah ... 18
3. Pembagian Maqashid Syari’ah ... 17
4. Syarat Memahami Maqashid Syari’ah ... 27
x
1. Kehidupan Dan Pendidikan ... 30
2. Karya-karya ... 33
B. Pandangan Abdul Qadir al-Jailani Terhadap Realitas ... 34
C. Konsep Ibadah Abdul Qadir al-Jailani Dalam Sirr Al-Asrar .. 36
1. Thaharah ... 36
2. Shalat ... 39
BAB IV ANALISA KONSEP IBADAH ABDUL QADIR AL-JAILANI DALAM KITAB SIRR AL-ASRAR DITINJAU DARI MAQASHID SYARIAH AL-SYATIBI……. ... 44
A. Konsep Ibadah Abdul Qadir al-Jailani ditinjau dari teori maqashid syariah al-syatibi. ... 44
1. Thaharah ... 47
2. Shalat ... 54
B. Kesesuaian Praktik Ibadah Abdul Qadir al-Jailani Dengan Maqashid Syariah Al-Syatibi… ... 58
1. Analisa Umum ... .. 59
Bab V PENUTUP……… ... 65
5.1 Kesimpulan……. ... 65
5.2 Saran ... 66
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam sebagai agama yang menekankan ketundukan secara total
pada Tuhan baik lahir maupun batin. Formalisasi sistem ketundukan
total ini kemudian dikemas dengan seperangkat panduan praktek
lahiriah yaitu syari’ah.1
Syari’ah adalah cara formal untuk melaksanakan peribadatan kepada Allah,2 yang dirujuk oleh al-Qur’an sebagai tujuan utama penciptaan manusia sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an surah az -zariyat ayat 56.
Syari’ah adalah dimensi perundang-undangan dalam islam. Ia adalh ketentuan yang ditetapkan oleh Syari’(Allah), melalui Rasul-Nya Muhammad SAW. Baik yang berupa perintah atau larangan3
Dengan demikian tujuan Allah menciptakan jin dan manusia
adalah untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah ini harus dilakukan
dengan penuh ketaatan dan ketundukan kepada Allah swt. Sehingga
apapun yang dilakukan manusia harus diniatkan untuk beribadah
kepada Allah swt semata.
1
M. Sa'i & Shohimun Faisol, Kontribusi Tarekat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah dalam Dakwah Islamiyah di Lombok, Jurnal Penelitian Keislaman, vol. 1 No.2, juni 2005, h. 4.
2
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta, Erlangga, 2006), Cet.I, h.27
3
2
Di sisi lain, dipahami bahwa ibadah adalah perbuatan manusia
yang menunjukan ketaatan kepada aturan atau perintah dan pengakuan
kerendahan dirinya di hadapan yang memberi perintah. Adapun yang
memberi perintah untuk beribadah, adalah tiada lain kecuali Allah
swt. sendiri, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat al -Baqarah (2) : 21.
Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa sasaran ibadah
hanyalah kepada Allah swt. Dengan kata lain, bahwa manusia
beribadah adalah untuk mengabdikan dirinya keada Allah sebagai
Tuhan yang telah menciptakan mereka.4
Ibadah yang diklasifikasikan kepada wadah syariah
mempunyai tujuan – tujuan yang dikenal dengan istilah maqashid syariah. Maqashid al-Syari’ah terdiri dari dua kata yaitu maqashid dan asy-syari’ah. Sebelum menjelaskan pengertian maqashid asy-syari’ah secara istilah terlebih dahulu dijelaskan pengertiannya secara bahasa (lughawi).
Secara bahasa, maqashidmerupakan jama’ dari
kata maqshid yang berarti kesulitan dari apa yang ditujukan atau dimaksud. Secara akar bahasa, maqashid berasal dari kata qashada, yaqshidu, qashdan, qashidun, yang berarti keinginan yang kuat,
4
3
berpegang teguh, dan sengaja. Namun, dapat juga diartikan dengan
menyengaja atau bermaksud kepada (qashada ilaihi).
Sedangkan kata asy-syari’ah berasal dari kata syara’a as -syai yang berarti menjelaskan sesuatu, atau diambil dari
asy-syar’ah dan asy-syari’ah dengan arti tempat sumber air yang tidak
pernah terputus dan orang datang ke sana tidak memerlukan
alat. Terkadang bisa juga diartikan sumber air, di mana orang ramai
mengambil air. Selain itu asy-syari’ah berasal dari akar katasyara’a,
yasri’u, syar’an yang berarti memulai pelaksanaan suatu
pekerjaan, dengan demikian asy-syari’ah mempunyai pengertian pekerjaan yang baru mulai dilaksanakan. Syara’a juga berarti
menjelaskan, menerangkan dan menunjukkan jalan. Syar’a lahum
syar’an berarti mereka telah menunjukkan jalan kepada meraka atau
bermakna sanna yang berarti menunjukkan jalan atau peraturan.
Jadi, secara bahasa syari’ah menunjukkan kepada tiga pengertian,
yaitu sumber tempat air minum, jalan yang lurus dan terang dan juga
awal dari pada pelaksanaan suatu pekerjaan.5
Jika Syari’ah adalah jalan maka pasti ada tujuan mengapa harus melalui jalan ini dan maqashid syari’ah adalah tujuan hukum islam
yang harus dicapai. Tujuan tersebut dapat ditelusuri dalam ayat-ayat
5
4
al-Qur’an dan hadits – hadist Nabi sebagai sumber hukum utama sehingga dapat dirumuskan hukum – hukum fiqh yang berorientasi pada kemaslahatan.6
Syari’ah adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah bagi hamba-Nya tentang urusan agama, atau hukum yang ditetapkan dan
diperintahkan oleh Allah baik berupa ibadah (shaum, shalat, haji,
zakat, dan seluruh amal kebaikan) atau muamalah yang menggerakkan
kehidupan manusia (jual, beli, nikah, dan lain-lain). Sebagaimana
firman Allah SWT (QS. al- Jatsiyah :18).
Dengan mengetahui pengertian maqashid dan asy-syari’ah secara bahasa, maka dapat membantu kita menjelaskan pengertian yang
terkandung dalam istilah, yaitu tujuan-tujuan dan rahasia-rahasia yang
diletakkan Allah dan terkandung dalam setiap hukum untuk keperluan
pemenuhan manfaat umat. Atau tujuan dari Allah menurunkan
syari’at, dimana menurut al-Syatibi tujuan dari pada maqashid
syari’ah adalah untuk mewujudkan kemashlahatan manusia di dunia
dan akhirat.7
Teori maqashid syari’ah sering diatribusikan kepada Umar Bin Khattab. Al-Ghazali, melalui bimbingan al-Juwaini, mengembangkan
teori ini. Ditangan al-Syatibi, teori ini menjadi terkenal di seluruh
6
Ramin Abd. Wahid, Maqashid al-Syari'ah dan Penerapan Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Islam, Volume 15 Nomor 1, Juni 2012, h.126
7 Rahmat Sadchalis, Maqashid asy-Syari’ah,
5
dunia islam. Di zaman modern, Muhammad Abduh dan Rasyid Rida
di Mesir, juga al-Maududi di India (kemudian Pakistan), mendorong
mengulas konsep maqashid secara agak mendalam.8
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan
maqashid al Syari’ah adalah tujuan Allah sebagai Syari’ (Pembuat Hukum) dalam menetapkan hukum terhadap hambaNya. Adapun inti
dari maqashid al Syari’ah adalah untuk mewujudkan kebaikan
sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan
menolak mudharat, atau dengan kata lain adalah untuk mencapai
kemaslahatan, karena tujuan penetapan hukum dalam Islam adalah
untuk menciptakan kemaslahatan dalam rangka memelihara
tujuan-tujuan syara’9
.
Terkait ibadah, Abdul Qadir Al-Jailani yang juga di juluki
“Sulthanul-Auliya” ini mengupas tentang aspek lahir dan batin dari
ibadah seperti shalat, puasa, ibadah haji, zakat dan lain sebagainya.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani telah menggambarkan secara lengkap
tentang tasawuf yang memadukan antara ilmu Syari’ah yang
didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah melalui penerapan praktis
8
Yudian Wahyudi, Maqashid Syari’ah dalam Pergumulan Politik, (yogyakarta,nawesea,2007), cet. II, h.28
9
6
dengan keharusan untuk menghayati hakikat serta tujuan dari
diterapkannya syariat.10
Mengingat ketertarikan penulis mengenai uraian di atas, dan
melihat belum adanya yang membahas tetang konsep ibadah Abdul
Qadir Al-Jailani dalam tinjauan Maqashid Syari’ah maka penulis mencoba untuk mengangkat sebuah judul skripsi tentang “ KONSEP IBADAH ABDUL QADIR AL-JAILANI DALAM TINJAUAN MAQASHID SYARIAH AL-SYATIBI ”.
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
1. Perumusan Masalah
Perumusan masalah adalah salah satu upaya untuk mempermudah
pembatasan dalam penelitian. Berdasarkan latar belakang masalah
tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
a) Bagaimana konsep ibadah Abdul Qadir al-Jailani ditinjau
dari teori maqahid syari’ah al-Syatibi.?
b) Adakah kesesuain praktik ibadah Abdul Qadir al-Jailani
dengan maqashid syar’iah al-Syatibi.? 2. Pembatasan Masalah
7
Sehubungan dengan banyaknya permasalahan yang timbul dalam
penelitian ini, maka penulis perlu membatasi masalahnya. Hal ini
dimaksudkan agar pembahasannya mengenai sasaran dan tidak
mengambang. Dalam penelitian ini penulis membatasi masalah
bersuci dan shalat pada buku Sirrul-Asrar karya Abdul Qadir al-Jailani
dalam Bab Ibadah.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui kerangka teori al-Syatibi tentang
maqashid syari’ah dalam konsep ibadah Abdul Qadir al-Jailani di
kitab Sirr – Al-Asrar.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :
a. Memperluas dan memperdalam wawasan ilmu pengetahuan
khususnya dibidang Syari’ah.
b. Memberikan kontribusi positif dengan tersedianya data
tentang pandangan Al-Syatibi tentang maqashid al-syari’ah dalam konsep ibadah Abdul Qadir Al-Jailani di kitab Sirr – Al-Asrar.
c. Sebagai sumbangan pemikiran dan bahan rujukan bagi
pengembangan khazanah keilmuan ke depan.
8
untuk menghindari penelitian dengan objek yang sama maka
diperlukan tinjauan kajian pustaka terdahulu. Berdasarkan
pengamatan dan pengkajian yang telah dilakukan terhadap beberapa
sumber kepustakaan terkait dengan permasalahan yang di bahas dalam
penulisan skripsi ini, Penelitian seputar kitab sirr al-asrar abdul qadir
al-jailani bukanlah yang pertama dan sering ditemukan, hingga
penelitian ini disusun penulis menemukan skripsi yang terkait dengan
kitab sirr al-asrar yaitu :
pada tahun 2009, ditulis skripsi atas nama mukhamad ma’ruf (04511779) konsentrasi aqidah dan filsafat UIN sunan kali jaga
yogyakarta dengan judul “Konsep Zikir Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
(Telaah Kitab Sirr Al-Asrar)” yang membahas tentang zikir menurut abdul qadir al-jailani dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia.
Pada skripsi di atas membahas tentang zikir dan dalam skripsi
diatas tidak menerangkan tentang konsep shalat ataupun bersuci
menurut abdul qadir al-jailani, sedangkan skripsi ini membahas
bersuci dan shalat menurut abdul qadir al-jailani.
Sedangkan penelitian mengenai konsep maqashid syariah
al-syatibi sudah sangat banyak dan sering ditemukan, penulis juga
menemukan skripsi tentang maqashid syariah yatiu :
Pada tahun 2009, ditulis skripsi atas nama asnawi (04350018)
konsentrasi ahwal syakhsiyah UIN sunan kali jaga yogyakarta dengan
9
Agama” yang membahas kasus perkawinan beda agama dan
bagaimana tinjauan maqashid syariah.
Pada skripsi diatas objek bahasannya adalah nikah beda agama,
sedangkan skripsi ini membahas konsep bersuci dan shalat menurut
abdul qadir al-jailani, jadi disnilah letak perbedaan dengan skripsi
sebelumnya.
E. Metode Penelitian
Pembahasan skripsi ini dilakukan dengan cara deskriptif dengan
melakukan pendekatan deskriptif normatif filosofis. Penulis
menggunakan dokumentasi naskah dengan menelusuri buku-buku,
artikel, dan karya ilmiah lainnya yang berkenaan dengan tema bahasan
ini.
Data yang diperoleh tersebut disusun secara teratur dan
sistematis, kemudian dianalisis secara deskriptif normatif filosofis,
dengan demikian penelitian dalam karya ilmiah ini adalah penelitian
deskriptif normatif filosofis. Adapun teknik penulisan, penulis
menggunakan buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan skripsi ini dan untuk
mempermudah dalam memahami penulisan ini, penulis menyusun
10
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini merupakan Bab pembukaan skripsi yang meliputi latar
belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II : AL-SYATIBI DAN TEORINYA
TENTANG MAQASHID SYARI’AH
Bab ini menguraikan sosok Al-Syatibi meliputi biografi
intelektual serta karya-karyanya dan Maqashid Syari’ah menurut Al -Syatibi.
BAB III : ABDUL QADIR AL-JAILANI DAN KONSEP IBADAH DALAM SIRR AL-ASRAR
Bab ini membahas tentang sosok Abdul Qadir Al-Jailani yang
meliputi meliputi biografi intelektual serta karya-karyanya dan konsep
ibadah Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Sirr Al-Asrar.
BAB IV : ANALISIS TERHADAP KONSEP
IBADAH ABDUL QADIR AL-JAILANI DALAM KITAB SIRR ASRAR DITINJAU DARI MAQASHID SYARIAH AL-SYATIBI
Bab ini membahas analisa prinsip umum syariat-tarekat-hakikat
ibadah dilihat dari pandangan maqashid syariah al-syatibi dan analisa
aplikasi prinsip umum ibadah (bersuci, shalat, zakat, puasa, dan haji)
11
BAB V : PENUTUP
12
BAB II
AL-SYATIBI DAN TEORINYA TENTANG MAQASHID
SYARI’AH
A. Biografi al-Syatibi
1. Kehidupan dan Pendidikan al-Syatibi
Beliau adalah Ibrahim bin Musa, bin Muhammad al-Lakhmi al
Ghamathi Abu Ishak, yang lebih dikenal dengan sebutan al-Syathibi,
yang dijuluki dengan al Imam al Allaamah (yang sangat dalam ilmu pengetahuannya), al Muhaqqiq (yang memiliki kemampuan untuk meneliti sesuatu guna menemukan kesalahan dan kemudian memberi
solusi), al Qudwah (yang pantas diikuti), al Hafizh (yang telah menghafal dan menjaga ribuan hadits), dan Mujtahid (yang mampu mendayagunakan kemampuan untuk menghasilkan hukum).1
al-Syatibi oleh banyak penulis sejarah diduga berada di Granada
pada masa pemerintahan Ismail ibn Farraj yang berkuasa tahun 713
H, Muhammad ibn Ismail yang berkuasa tahun 725 H, Abu Hajjaj
ibn Yusuf ibn Ismail berkuasa pada tahun 734 H dan Muhammad
al-Ghani bi Allah ibn Abi Hujjaj Yusuf tahun 755 H.2
1 Imam Asy-Syathibi, Al-I’tisham (buku induk pembahasan bid’ah dan sunnah),
(Jakarta, Pustaka Azzam, 2006), Cet. I, h. 15
2 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi, (jakarta,
13
Di masa al-Syatibi, Granada menjadi pusat kegiatan ilmiah
dengan berdirinya Universitas Granada, sehingga Granada pada
masa itu hampir dapat disamakan dengan Cordova di masa filosof
dan faqih ternama Ibn Rusyd (w.594 H/1198 M). Istana Hamra
yang didirikan oleh Muhammad ibn Ahmar sebagai bukti
kesamaannya dengan Cordova yang merupakan puncak kemegahan
arsitektur Islam di Spanyol.3
al-Syatibi Beliau menimba ilmu pengetahuan Arab dan
sebagainya dari beberapa Imam besar, diantaranya:
a. Ibnu al Fakhar al Albiri. al Imam yang sudah terkenal
mendapat kelapangan dari Allah dalam keilmuannya. Kalau
pun tidak mengambil guru lain yang memiliki spesialisasi lain,
niscaya ia telah cukup.
b. Abu al Qasim as-Sabthi. al Imam yang mulia, bapak ilmu lisan
(bahasa), yang juga menjadi pensyarah kitab Makshurah Hazim.
c. asy-Syarif Abu Abdullah at Talmasani. al Imam al Muhaqqiq
yang terpandai pada masanya.
d. Abu Abdullah al Muqri. al Imam yang memiliki keluasan ilmu
pada masanya (menurut kesepakatan umum).
3Sidik Tono, “
14
e. Quthb Ad-Dairah —Syaikh al Jalah—. Seorang pemimpin yang dikenal dengan sebutan Abu Said bin Lub. Imam yang
mulia, penjelajah ilmu, dan mahir dalam berdiploma.
f. Ibnu Marzuq Al Jad. Ulama besar, AIMuhaqqiq, dan guru ilmu
ushul.
g. Abu Abdullah al Balansi. Ulama besar, ahli tafsir, dan
pengarang.
h. Abu Ja'far Asy-Syaquri al Haj yang memiliki keluasan ilmu,
penjelajah ilmu, mahir dalam berdiploma, dan orang-orang
yang selalu bersamanya dapat mengambil banyak manfaat
darinya.
i. Abu al Abbas al Qabab. Penghafal hadits dan ahli dalam ilmu
fikih.
j. Abu Abdullah al Hafar. Seorang mufti dan seorang ahli hadits.
Untuk ilmu yang akan ditimba, beliau selalu menyertai
gurunya hingga hari wafatnya.4
Disamping itu, al-Syatibi mendalami pula ilmu falak, mantiq,
debat dan sastra. Pengetahuan sastra ia terima dari Abu Bakar
al-Qarsyi al-Hasymi, salah seorang sastrawan Spanyol. Sebagai
seorang ulama, al-Syatibi telah menjadi rujukan masyarakat dan
pemerintah pada waktu itu dalam memecahkan
permasalahan-permasalahan keagamaan atau permasalahan-permasalahan kenegaraan yang
4 Imam Asy-Syathibi, Al-I’tisham (buku induk pembahasan bid’ah dan sunnah),
15
memerlukan tilikan keagamaan, ketokohan al-Syatibi sebagai
ilmuwan, disamping terlihat dari kegiatan belajar mengajar yang
diemban dan keterlibatannya dalam memberi respon terhadap
permasalahan keagamaan yang muncul sesuai dengan disiplin
keilmuan yang didalaminya, juga terlihat dari warisan karya-karya
ilmiah yg ditinggalkannya. al-Syatibi meninggal pada tahun 790 H.5
2. Karya-Karya
al-Syatibi banyak membuat karya-karya berharga diantaranya:
1. Syarah terhadap kitab Al-Khulashah fi An-Nahwi,
2. Kitab Al Muwafaqat yang hanya membahas tentang ilmu ushul fikih, yang beliau beri nama Unwan At-Ta'rif bi Ushul At-Taklif. Kitab berharga yang belum ada tandingannya, yang sekaligus menunjukkan dan memantapkan posisinya sebagai
seorang imam.
3. Kitab Al-Ifadat wa Al-Irsyadat dicetak dalam dua buku.
4. Kitab Unwan Al It-Tifaq fi Ilmi AI Isytiqaq.
5. Kitab dasar mengenai ilmu nahwu. Hal ini telah beliau
sebutkan secara bersamaan dalam kitab Syarh Alffyah.6
5 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi, h. 23-25. 6 Imam Asy-Syathibi, Al-I’tisham (buku induk pembahasan bid’ah dan sunnah),
16
Beberapa pandangan yang dikemukakan oleh ulama semasa
al-Syatibi, para pemikir-pemikir pembaharuan dalam Islam dan
cendikiawan-cendikiawan muslim akhir-akhir ini memberikan
gambaran awal bahwa al-Syatibi merupakan salah seorang ulama
yang telah meletakan dasar pengembangan pemikiran hukum Islam,
Ushul fiqh.7
B. Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi 1. Pengertian Maqashid Syari’ah
Maqashid al-Syari’ah secara lughawi (bahasa), terdiri dari dua kata yakni maqashid dan syari’ah. Maqashid merupakan bentuk
jama’ dari kata maqshid yang berarti tujuan.8 Secara akar
bahasa, maqashid berasal dari kata ( دصق ) qashada,( دصْقي )
yaqshidu,( اًدْصق ) qashdan, yang berarti Tujuan, Maksud, dan Sengaja.9
Sedangkan syari’ah adalah peraturan-peraturan yang di ciptakan Allah atau diciptakan pokok-pokoknya, agar manusia berpegang
7 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi, h. 31.
8
Lihat Hans Wehr, a dictionary of modern written arabic,J. Milton Cowan (ed) (new york, spoken english service, 1976), h. 767
9
[image:27.595.112.518.218.588.2]17
padanya dalam melakukan hubungan dengan Tuhan, saudara sesama
muslim, saudara sesama manusia, alam semesta dan kehidupan.10
Pada mulanya, istilah syariat mempunyai arti yang luas, tidak
hanya berarti fikih dan hukum, tetapi mencakup pula akidah dan
segala yang diperintahkan Allah, menaati-Nya, beriman kepada
rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari pembalasan dan segala sesuatu
yang membuat seseorang menjadi muslim sejati.11
Maqashid Syari’ah secara istilah adalah tujuan-tujuan syariat Islam yang terkandung dalam setiap aturannya. Imam al-Syatibi
mengungkapkan tentang syari’ah dan fungsinya bagi manusia seperti
ungkapannya dalam kitab al-Muwafaqat :
ه ه
نيدلا يف م حلاصم مايق يف ع اشلا دصاقم قيقحتل تعض .... ةعي شلا
اعم ايندلا
“Sesungguhnya syariat itu ditetapkan bertujuan untuk tegaknya
(mewujudkan) kemashlahatan manusia di dunia dan Akhirat”.12
Menurut al-Syatibi, Allah menurunkan Syariat (aturan hukum)
untuk mengambil kemaslahatan dan menghindari kemadharatan
(jalbul mashalih wa dar’u al-mafasid). Dengan bahasa lebih mudah,
10
Mahmud Syaltut, Islam Akidah dan Syariah, (jakarta, pustaka amani, 1966), Cet.III, h. 5.
11
Hamka haq, Al-Syatibi Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab al-Muawafaqat, (t.t, Erlangga, 2007), Cet.I, h.14.
12
18
aturan-aturan hukum yang Allah tentukan hanya untuk kemaslahatan
manusia itu sendiri.13
al-Syatibi membagi maslahat ini pada tiga bagian penting yaitu
dharuriyyat (primer), hajiyyat (sekunder) dan tahsiniyyat
(pelengkap).14
Pertama daruriyyat yaitu sesuatu yang harus ada demi kelangsungan hidup manusia, jika tidak ada makakehidupan manusia
akan hancur. kedua hajiyyat sesuatu yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup manusia jika tidak ada manusia tak akan hancur
tapi mengalami kesulitan, ketiga tahsiniat sesuatu yang
memperindah atau melngkapi.15
Penulis melihat maqashid syari’ah dimaknai tujuan Allah dan
Rasul-Nya dalam membuat hukum Islam. Tujuan ini bisa diketahui
dalam Al-Qur’an dan Sunnah sebagai alasan kuat bagi rumusan satu hukum yang mempunyai visi pada kemaslahatan manusia.
2. Dasar Maqashid Syari’ah
Penekanan maqashid syari’ah yang dilakukan oleh al-Syatibi secara umum bertitik tolak dari kandungan ayat-ayat al-Qur’an yang
13
Asmuni Mth, Studi Pemikiran Al-Maqashid, Al-Mawarid Edisi XIV thn 2005.h. 167.
14
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam,(Darul ibn Affan, Abu Ubaidah Mashur ibn Hasan Al-Salamah, t.t) Jilid I, h. 18.
15 Yudian Wahyudi, Maqashid Syari’ah dalam Pergumula Politik, (yogya,
19
menunjukkan bahwa hukum-hukum Allah SWT mengandung
kemaslahatan.16
Ayat-ayat itu antara lain adalah berkaitan dengan pengutusan
Rasul dalam al-Qur’an surah an-Nisa’ ayat 165 Allah SWT berfirman:
(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Ayat ini megisyaratakan bahwa Rasul-rasul yang diutus Allah
bukan hanya sekedar membawa peringatan tapi menyampaikan
maksud-maksud Tuhan.
Dalam surah al-Anbiya ayat 107 Allah SWTmenegaskan:
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
16
20
Dalam ayat ini jelas sekali Tuhan mengutus Nabi Muhammad
Saw untuk memberi kemaslahatan bagi manusia dan seluruh alam.
Berkaitan dengan asal penciptaan, Allah SWT berfirman dalam
surah Hud ayat 7
Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.17
Ketiga ayat diatas menunjukan pada kita bahwa semua yang
Tuhan ciptakan dan Tuhan turunkan berupa syariat adalah rahmat
sekaligus maslahat bagi manusia dan alam.
3. Pembagian Maqashid Syari’ah
Allah SWT mensyari’atkan hukum bertujuan memelihara
kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadat, baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui
taklif, yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama, Al-Qur’an dan Hadist. Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, berdasarkan
17
21
penelitian para ahli ushul fiqih, ada lima unsur yang harus dipelihara
dan diwujudkan.18
Kelima pokok tersebut adalah agama, jiwa, akal, keturunan,
dan harta. Seorang mukallaf akan memperoleh kemaslahatan, manakala ia dapat memelihara kelima unsur dengan baik.19
Dalam usaha memperoleh gambaran utuh tentang teori
maqashid syari’ah, berikut ini akan dijelaskan kelima pokok kemaslahatan dengan peringkatnya masing-masing yaitu20:
1) Hifdz ad-Din (memelihara agama)
Memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara agama peringkat daruriyyat, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk
peringkat primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu.
Kalau shalat ini diabaikan, maka akan terancamlah
eksistensi agama.
b. Memelihara agama peringkat hajiyyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama, bermaksud menghindari kesulitan, seperti
shalat jamak dan shalat qashar bagi orang yang sedang
bepergian. jika tidak dilaksanakan maka tidak mengancam
18
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. 1, h.125.
19
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam,( Darul ibn Affan, Abu Ubaidah Mashur ibn Hasan Al-Salamah, t.t) Jilid I, hlm. 12.
20
22
eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi
orang yang melakukannya.
c. Memelihara agama peringkat tahsiniyyat, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia,
sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap
Tuhan, misalnya menutup aurat, baik di dalam maupun di
luar shalat, membersihkan badan, pakaian, dan tempat.21 2) Hifdz an-Nafs (memelihara jiwa)
Hak pertama dan utama yang diperhatikan islam adalah hak
hidup, maka tidak diherankan bila jiwa manusia dalam syariat
Allah sangat dimuliakan, harus dipelihara, dijaga,
dipertahankan.22 berdasarkan tingkat kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara jiwa dalam peringkat daruriyyat, seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk
mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok ini
diabaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa
manusia.
b. Memelihara jiwa dalam peringkat hajiyyat, seperti diperbolehkan berburu binatang untuk menikmati makanan
yang lezat dan halal. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka
21 Mahfuk Muis, “Maqashid Al-Syari’ah Peran dan Relevansinya Dalam
Pengembangan Hukum Islam Kontemporer” Ahkam XI, No.2 (juli 2011): h.171.
22
23
tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya
mempersulit hidupnya.
c. Memelihara jiwa dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ditetapkannya tata cara makan dan minum. Kegiatan ini
hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika, sama
sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, atau
pun mempersulit kehidupan seseorang.23 3) Hifdz al-Aql (memelihara akal)
Akal mendapat penghargaan tinggi karena berkemampuan
untuk mengetahui maslahah sebagai tujuan syariat, Allah
menciptakan menciptakan manusia dalam keadaan tidak tahu
apa-apa. Kemudian Allah memberinya ilmu dan petunjuk untuk
kemaslahatannya di dunia dan akhirat.24
Memelihara akal, dilihat dari segi kepentingannya, dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara akal dalam peringkat daruriyyat, seperti diharamkan meminum minuman keras. Jika ketentuan ini
tidak diindahkan, maka akan berakibat terancamnya
eksistensi akal.
b. Memelihara akal dalam peringkat hajiyyat, seperti dianjurkannya menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya hal itu
dilakukan, maka tidak akan merusak akal,tetapi akan
23Mahfuk Muis, “Maqashid Al-Syari’ah..” Ahkam XI, h
.172
24
24
mempersulit diri seseorang, dalam kaitannya dengan
pengembangan ilmu pengetahuan.
c. Memelihara akal dalam peringkat tahsiniyyat, seperti menghindarkan diri dari mengkhayal mendengarkan sesuatu
yang tidak berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan etiket,
tidak akan mengancam eksistensi akal secara langsung.25
4) Hifdz an-Nasl / an-Nasb (memelihara keturunan)
Pernikahan dalam islam merupakan hal yang sangat penting
karena sangat erat kaitannya dengan keberlangsungan kehidupan
manusia di atas bumi, sehingga Allah SWT dan Rasul-Nya Saw,
menetapkannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah, berkaitan pernikahan. 26
Islam ingin menjaga eksistensi keturunan atau kehormatan
dengan melarang zina, memerintahkan nikah dan melarang
menuduh zina tanpa bukti.
Islam juga mengharuskan orang tua memenuhi hak-hak
anak, misalnya hak mendapat perawatan yang layak dan pilihan
untuk menentukan fasilitas perawatan diserahkan kepada rasa
estetika dan kemampuan lokal.27
25Mahfuk Muis, “Maqashid Al-Syari’ah..” Ahkam XI, h.172. 26 Anita Masduki, “
Pemikiran beda agama menurut persfektif femiis liberal” Islamia III, No.5 (2010): h.99.
27
25
Memelihara keturunan, ditinjau dari segi tingkat
kebutuhannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara keturunan dalam peringkat daruriyyat, sepert disyariatkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini
diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam.
b. Memelihara keturunan dalam peringkat hajiyyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami
pada waktu akad nikah dan diberikan hak talaq padanya.
c. Memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, seperti
disyari’atkan khitbah dan walimah dalam perkawinan.28 5) Hifdz al-Mal (memelihara harta benda)
Harta merupakan salah satu kebutuhan inti dalam
kehidupan dimana manusia tidak akan bisa terlepas darinya,
manusia termotivasi mencari harta untuk menjaga eksistensinya,
namun semua motivasi dibatasi tiga syarat, yaitu harta di cari
dengan halal, digunakan untuk hal-hal yang halal, dan harta
harus dikeluarkan hak Allah dan masyarakat tempat dia hidup. 29 Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara harta dalam peringkat daruriyyat, seperti
syari’at tentang tata cara kepemilikan harta dan larangan
28Mahfuk Muis, “Maqashid Al-Syari’ah..” Ahkam XI, h.172
.
29
26
mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah.
Apabila aturan itu dilanggar, maka berakibat terancamnya
aksistensi harta.
b. Memelihara harta dalam peringkat hajiyyat, sepert syari’at tentang jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan mengancam eksistensi harta,
melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan
modal.
c. Memelihara harta dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ketentuan tentang menghindarkan diri dari tindak
penipuan dan pengecohan.30
maqashid al-daruriyat dimaksudkan untuk memelihara lima unsur pokok dalam kehidupan manusia diatas. maqashid al-hajiyyat dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih
baik lagi, Sedangkan maqashid al-tahsiniyat dimaksudkan untuk penyempurnaan lima unsur pokok.31Pembagian-pembagian tersebut di atas, sebagaimana yang telah dijelaskan secara rinci,
menjadi titik tolak dalam memahami hukum-hukum yang
disyari’atkan oleh Allah SWT.
30Mahfuk Muis, “Maqashid Al-Syari’ah..” Ahkam XI, h.172.
27
maslahah bersifat universal, berlaku umum dan abadi bagi
seluruh manusia dan dalam segala keadaan. Maslahah yang diwujudkan manusia adalah untuk kebaikan manusia sendiri, bukan
untuk kepentingan Allah. Namun demikian, manusia tidak boleh
menurutkan nafsunya, tetapi harus berdasarkan syariat Allah.32
4. Syarat-syarat dalam memahami Maqashid Syari’ah Bagi al-Syatibi
Sumber utama ajaran Islam adalah al-Qur’an. maqashid
syari’ah terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an. Oleh karena itu,
pemahaman dan penggaliannya memerlukan beberapa syarat.
Menurut al-Syatibi sekurang-kurangnya ada tiga syarat yang
dibutuhkan dalam rangka memahami maqashid syari’ah diantaranya yaitu:
a. Memiliki pengetahuan bahasa arab
b.Memiliki pengetahuan tentang sunnah
c. Mengetahui sebab-sebab turunnya ayat33
Ketiga hal diatas harus dimiliki sebagai alat membedah
maqashid jika tidak tentu akan kesulitan untuk memahami maksud dan tujuan Tuhan dalam al-Qur’an.
32
Hamka Haq, Syathibi : Aspek Teologis Konsep Maslahah Dalam Kitab Al-Muwafaqat, Cet.I, h. 109.
28
C. Maslahah adalah Maqashid Syari’ah
maslahah secara bahasa atau etimologi (bahasa arab) adalah
berarti kemanfaatan, kebaikan, kepentingan. Dalam bahasa Indonesia
sering ditulis dan disebut dengan kata maslahat (lawan kata dari
mafsadat) yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan
(keselamatan), faedah, guna. Sedangakan kemaslahatan berarti
kegunaan, kebaikan, manfaat, kepentingan.34
Syari’ah Islam itu adalah syari’ah mashlahah. Norma hukum yang dikandung teks-teks syari’ah pasti dapat mewujudkan
maslahah, sehingga tidak ada maslahah diluar petunjuk teks
syari’ah dan karena itu tidak ada pertentangan antara mashlahah dan teks syari’ah.35
Adapun pengertian maslahah secara terminologi adalah memelihara dan mewujudkan tujuan syara’ yaitu meliputi pemeliharaan
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta kekayaan. Setiap sesuatu yang
dapat menjamin dan melindungi eksistensi kelima hal tersebut
dikualifikasi sebagai maslahah.36
Sementara itu pembagian maslahah pada umumnya ulama lebih dulu meninjaunya dari segi ada atau tidaknya kesaksian syara’ terhadapnya.
34
Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam, (Malang, UIN malang Press, 2007) Cet. 1, h.113.
35Asmawi, “
Maslahah, Hukum Islam, dan Hukum Negara” Ahkam XI, No.2 (juli 2011): h.142.
36
29
Berdasarkan segi ada tidaknyan ketegasan justifikasi syara’
maslahah dibagi tiga yaitu :
1) al-maslahahal-mu’tabarah atau mu’atsirah yaitu maslahah
yang mendapat ketegasan justifikasi syara’ terhadap penerimaannya atau maslahah yang secara khusus diakui oleh syara’.37
2) al- maslahah al-mursalah yaitu maslahah yang tidak
terdapat dalil syara’ yang secara khusus mengakui ataupun
menolaknya.
3) al- maslahah al-mulgha adalah maslahah yang terdapat
kesaksian syara’ yang membatalkannya (menolaknya),
maslahah mulgha ini batil artinya tidak dapat dijadikan hujjah
atau sumber hukum karena ia bertentangan dengan nash. 38
Sesungguhnya penilaian sesuatu itu maslahah atau tidak adalah murni akal tetapi ulama membuat tiga katagori ini agar jelas
mana maslahat yang bisa di ambil dan yang tidak. Sehingga jelas
konsep maslahah ini tidak menabrak koridor-koridor yang disepakati.
37Asmawi, “
Maslahah, Hukum Islam, dan Hukum Negara” Ahkam XI, No.2 (juli 2011): h.143.
38
30
BAB III
ABDUL QADIR AL-JAILANI DAN KONSEP IBADAH DALAM SIRR AL-ASRAR
A. Biografi Abdul Qadir Al-Jailani
1. Kehidupan dan Pendidikan Abdul Qadir al-Jailani
Abdul Qadir al-Jailani lahir pada tanggal 1 Ramadhan tahun
470 Hijriah atau 1077 Masehi di Jailan, Persia. Ibunya seorang yang
saleh bernama Fatimah binti Abdullah al-Shama’i al-Husayni ketika
melahirkan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani ibunya berusia 60 tahun,
suatu kelahiran yang tidak lazim terjadi bagi wanita seumurnya.1 Nama ayah Abdul Qadir al-Jailani adalah Abu Shaleh Musa
bin Abdullah bin Musa al-jun bin Abdullah al-Mahdh bin Abu
Muhammad Hasan al-Mutsanna bin Hasan bin Ali bin Abu Thalib
(suami dari Sayyidah Fathimah, putri Rasulullah saw).2
Ayahnya Abu Shaleh Musa adalah seorang yang sangat zuhud
dan rajin beribadah hingga beliau mendapat gelar dalam bahasa
persia dengan sebutan Jangki Dausat atau muhibb al-jadid yakni
orang yang mencintai jihad melawan hawa nafsu.3
1
Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia,( Jakarta, Prenada Media, 2005), Cet.2, h. 26 .
2
Syukron Maksum, Wirid-Wirid Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, (yogyakarta, mutiara media, 2014), Cet. I, H. 201.
3
31
Abdul Qadir al-Jailani tiba di Baghdad pada tahun 488 H, pada
saat beliau berusia 18 tahun. Tahun itu juga betepatan dengan
keputusan Imam Abu Hamid al-Ghazali untuk meninggalkan
tugasnya mengajar di Universitas Nizhamiah, Baghdad. Sang imam
ternyata lebih memilih melakukan uzlah.4
Beliau (Abdul Qadir al-Jailani) kemudian sibuk dalam
mempelajari Al-Qur’an sampai menguasainya. Lalu belajar fikih
serta memantapkan keilmuan beliau dalam bidang ushul fikih,
furu’ul-fikh, dan ilmu khilaf.5
Beliau juga mempelajari hadist dan sibuk dengan mau‟idhah
sampai beliau mahir memberikan mau‟idhah. Beliau belajar ilmu
dari para ulama yang tersohor pada masanya. Di antara guru-guru
beliau adalah sebagai berikut.6
Ali bin Aqil Abul Wafa’ bin Aqil (w. 513 H), Mahfudz bin
Ahmad bin Hasan Abul Khattab al-Kalwadzaniy (w. 510 H), Yahya
bin Ali bin Muhammad Abu Zakariya At-Tibriziy (w.502 H),
Muhammad bin Muhammad bin Husain Abul-Husain bin Abu ya’la
al-Farra’ (w.526 H), Habitullah bin Mubarak bin Musa Abul-Barakat
As-Saqhathy (w 509. H), Hammad bin Muslim Abu Abdillah
Ad-Dabbas Ar-Rahbiy (w.525 H), dan guru-gurnya yang lain.7
4
Shaih Ahmad al-Syami, terjemah Mawaa‟izh al-Syekh „Abd al-Qadir al-Jaylani, (Jakarta, Zaman, 2012), Cet. IV, h. 16.
5
Abdul Qadir Al-Jailani, Kitab Para Pencari Tuhan, (Yogyakarta, Citra Media Pustaka, 2013), Cet. I, h. XV
6
Ibid., h.XV
7
32
Selain itu pada umur 18 tahun beliau belajar di madrasah
Abu Said al-Makhzumi setelah 33 tahun belajar gurunya Abu Said
al-Makhzumi wafat dan menyerahkan madrasahnya kepada Abdul
Qadir al-Jailani, mulai saat itu, beliau memberikan kuliah di
madrasahnya. Beliau memberikan materi 3 kali dalam seminggu.
Beliau menguasai berbagai cabang ilmu dalam islam, mulai dari
ilmu Tafsir, Hadis, Fikih, Bahasa, Qira’at, dan lain sebagainya.
Dalam hal fikih, beliau memberi fatwa menurut mazhab imam
Asy-Syafii dan Imam Ahmad ibn Hanbal.8
Ada dua jenis materi pembelajaran yang di sajikan Abdul Qadir
al-Jailani. Pertama materi pembelajaran tersetuktur yang mencakup
banyak ilmu pengetahuanb yang berhubungan dengan pendidikan
rohani dan ini sudah ada sejak sekolah didirikan, kedua materi
pembelajaran terkait tausiah dan dakwah umat yang rutin diadakan
dalm 3 sesi, (1). Jumat pagi (2) selasa sore (3) ahad pagi. Pada jumat
dan selasa di sekolah sedang ahad dilakukan di asrama.9
Murid – murid Abdul Qadir al-Jailani tak terhitung banyaknya
tapi ada beberapa muridnya yang menjadi bintang-bintang di dunia
keilmuan dan menjadi pelita ditengah-tengah umat. Diantarnya Al-
8
Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h. xxvi
9
33
Qadhi Abu Mahasin Umar bin Ali Hadhar Al-Qurasyi, Taqiyudin
Abu Muhammad Abdul Ghani bin Abdul Wahid bin Ali bin Surur
Al-Maqdisi, dan Muwaffiquddin Abu Muhammad Abdullah bin
Ahmad bin Muhammad bin Qadamah Al-Maqdusi.10
Di antara perkataan beliau yang masyhur adalah, “Aku telah
meneliti semua amal shaleh, dan tidak ada yang melebihi keutamaan
amal memberi makan.” Dan dikalangan kaum Sufi Abdul Qadir
al-Jailani diakui sosok yang menempati hierarki mistik yang tertinggi
(al-Ghawts al-A’zham).11 Selain itu juga beliau dijuluki sebagai
Sulthan al-Auliya (pemimpin para wali) karena klaim beliau dan pengakuan ulama-ulama sufi yang sezaman dengan beliau.
Abdul Qadir al-Jailani meninggal pada malam sabtu tanggal
delapan Rabi’ul Akhir tahun 561 H setelah magrib jenazahnya
dikubur di sekolahannya setelah disaksikan oleh manusia yang tidak
terhitung jumlahnya. 12
Diceritakan dalam pengantar tafsir al-jailani bahwa Pada saat
itu, semua tanah lapang, jalan, pasar, penuh oleh lautan manusia,
sehingga tak mungkin pemakaman Syekh dapat dilakukan disiang
hari.
Kemudian ibnu an-Najjar berkata, “Syekh Abdul Qadir al
-Jailani wafat pada masa pemerintahan Al-Mustanjid Billah Abul
10
Said bin Musfir Al-Qathani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, (Jakarta, Darul Falah, 2003), Cet. I, h. 16
11
Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h. xxv
12
34
Muzhaffar Yusuf bin Al-Muqtafa li-Amrillah bin Al-Mustazhhar
Billah al-Abbasi rahimahumullah.13
2. Karya – karya
1) Karya-Umum
Berikut adalah beberapa karya Abdul Qadir al-Jailani14 : a. Al-Ghunyah li Thalibi Thariqil Haq,
b. Futuhul Ghaib, c. Al-Fath ar-Rabbani, d. Jalâ‟ Al-Khâthir, e. Sirr Al- Asrâr, f. Ar-Rasâil,
g. Mukhtasar „Ulûm Ad-dîn, h. Ushûl Ad-dîn
i. Ushûl-As-Saba‟
j. Ash-Shalawât wa al-Aurâd
k. Al-Amr al-Muhkam
l. Tafsîr Al-Jailâni. m. Asrâr-Al-Asrâr
n. Yawâqît al-Hikam dan masih banyak karya yang lainya.15
13
Abdul Qadir al-Jailani, Tafsir Al-Jailani, (pentahkik Dr. Muhammad Fadhil Jailani Al-Hasani), (Ciputat, Salima Publika, 2013), Cet I, h. X.
15
35
Dalam disertasi Said al-Qathani yang berjudul buku putih
Abdul Qadir al-Jailani dinyatakan bahwa Abdul Qadir al-Jailani
tidak mempunyai karya berupa buku karena beliau terlalu sibuk
mengajar dan memberi nasehat.
al-Qathani hanya menerima tiga buku yang ditulis oleh
murid-murid Abdul Qadir al-Jailani yaitu Al-Ghunyah li Thalibi Thariqil Haq, Futuhul Ghaib, dan Al-Fath ar-Rabbani.16 Dan tidak menerima isi dalam ketiga kitab diatas jika berkaitan
dengan masalah aqidah dan suluk (tasawuf).
Sebenarnya buku-buku yang dinisbatkan Abdul Qadir
al-Jailani banyak ditulis oleh murid-murid beliau dan memang
banyak yang isinya adalah ceramah saat mengajar, tapi
buku-buku ini banyak diwariskan kepada generasi selanjutnya.
pada saat ini telah berdiri markaz al-Jailani yang mengumpulkan manuskrip dari seluruh dunia serta melakukan
riset terhadap buku-buku Abdul Qadir al-Jailani dan empat belas
buku yang disebutkan diatas diakui oleh pimpinan markaz
al-jailnai yaitu Dr. Muhammad Fadhil jailani al-Hasani yang
dijadikan pengantar di buku Tafsir al-Jailani, yang berhasil beliau tahkik.17
2) Kitab Sirr Al- Asrâr
16
Said bin Musfir Al-Qathani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, h.30-35.
17
36
Dalam membaca buku ini secara singkat dapat dikatakan bahwa
buku ini menjelaskan hal-hal mendasar dari ajaran islam, seperti
shalat, puasa, zakat, dan haji berdasarkan sudut pandang sufistik
(tasawuf).
Kitab yang ditulis Abdul Qadir al-Jailani di anggap sebagai
jembatan yang mengantarkan pada tiga karyanya yang terkenal yaitu
Ghunyah li Thalibi Thariq Haqq, Fath Ar-Rabbani wa Al-Faydh Ar-Rahmani dan Futuh Al-Ghaib.18
Adapun metode pengajaran dan penyampaian yang
digunakan dalam kitab sirrul asrar adalah metode bayani
(penjelasan), yakni dengan kata-kata yang tepat, ungkapan yang
mudah, seimbang dan jauh dari keruwetan. Sesuai dengan namanya
yaitu Sirrul Asrar, setidaknya 24 macam rahasia yang diungkapkan
Abdul Qadir al-Jailani dalam kitab ini.19
B. Pandangan Abdul Qadir al-Jailani Terhadap Realitas
Penulis melihat Abdul Qadir al-Jailani mempunyai cakrawala
berfikir yang unik dalam menjelaskan ajaran islam. Abdul Qadir
al-Jailani memandang realitas dunia ini tidak hanya secara fisik yang bisa
terindera saja tapi juga ada tingkatan alam-alam.
Dalam kitab Sirr Al- Asrâr dijelaskan manusia yang terdiri dari jasad serta ruh dan sesungguhnya ruh-ruh itu berasal dari Nur
18
Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h. xxi
19
37
Muhammad di alam lahut selanjutnya ruh-ruh diturunkan ke alam
terendah ke dalam jasad-jasad manusia.20
Proses turunnya ruh setelah diciptakan di alam lahut, kemudian diturunkan ke alam jabarut. Lalu disana ia dibalut dengan cahaya
jabarut sebagai pakaian antara dua haram (dua tempat antara dimensi ketuhanan dan dimensi makhluk, di alam kabir). Ruh dilapisan kedua
ini disebut Ruh Sulthani. Lalu diturunkan lagi ke alam Malakut dan dibalut cahaya Malakut kemudian disebut Ruh Ruwani. Kemudian diturunkan ke alam Mulki dan dibalut cahaya Mulki. Ruh dilapisan keempat inilah yang disebut Ruh Jismani. Selanjutnya Allah menciptakan jasad-jasad sebagaimana firman Allah (QS. Thâha [20] :
55), setelah tercipta jasad-jasad Allah SWT memerintahkan Ruh (di
alam Mulki tadi) agar masuk ke dalam jasad-jasad itu dan Ruh pun
masuk kedalamnya.21
Abdul Qadir al-Jailani melihat bahwa kehidupan ini sesungguhnya
ada hirarki transendental dari alam Mulki, alam Malakut, alam Jabarut,
dan alam Lahut (negeri asal), dan sesungguhnya cakrawala pengetahuan
tentang hirarki ini bisa di capai dengan menjalankan syariat, tariqat dan
hakikat.
C. Konsep Ibadah Abdul Qadir al-Jailani dalam Kitab Sirr Al-Asrar
20
38
Dalam penelitian ini penulis mencoba menelaah kitab sirrul asrar
khususnya pada bab tentang ibadah yaitu konsep thaharah dan shalat.
Pada kitab Sirr Al-Asrar Abdul Qadir al-Jailani menjelaskan tentang
thaharah (bersuci) dan shalat menurut syari’at dan tarekat.
1. Thaharah
Bersuci ada dua macam yakni bersuci secara lahir; dan bersuci
secara batin. Bersuci secara lahir dilakukan dengan menggunakan
air. Adapun bersuci secara batin dilakukan dengan tobat, talqin,
membersihkan kalbu dan menjalankan tarekat. Bila wudhu syari’at
batal karena keluarnya najis, maka seseorang wajib memperbaharui
wudhunya.22
Setiap memperbaharui whudu akan menghapuskan
dosa-dosanya, Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
Artnya : “Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah
SAW bersabda: “Apabila seorang hamba muslim atau mukmin berwudhu, lalu membasuh wajahnya maka keluarlah dari wajahnya segala dosa-dosa karena penglihatan matanya bersama dengan air atau bersama tetes air yang terakhir. Apabila membasuh kedua tangannya maka keluarlah dari kedua tangannya segala dosa-dosa karena perbuatan kedua tangannya bersama dengan air atau bersama tetes air yang terakhir. Apabila membasuh kedua kakinya maka keluarlah dari kedua kakinya segala dosa-dosa yang ditempuh oleh kedua kakinya bersama dengan air atau bersama tetes air yang
22
39
terakhir sehingga ia keluar dalam keadaan bersih dari dosa-dosa” (HR.Muslim)23
Bila wudhu batin batal karena melakukan amalan yang tercela
dan akhlak yang hina, seperti (dosa kalbu yakni) sombong, „ujub
(berbangga diri), hasad (dengki), hiqd (dendam), mengumpat, mengadu-adu, dan bohong atau dosa badan, seperti dosa mata,
telinga, tangan, dan kaki. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
Artinya : “Kedua mata dapat berzina, kedua tangan dapat berzina, & kemaluan membenarkannya atau menolaknya.”(HR.Ahmad).24
Maka cara memperbarui wudhunya adalah dengan tobat yang
ikhlas dari semua dosa kalbu dan badan di atas dan dengan
memperbarui inabah (kembali kepada Allah) yakni dengan
menyesali semua dosa-dosa dan memohon ampunan serta
menghancurkan dosa-dosa tersebut langsung dari batinnya.
Bagi Abdul Qadir al-Jailani Seorang ahli makrifat harus selalu
menjaga tobatnya dari dosa-dosa yang merusak tadi, agar shalatnya
menjadi sempurna. Sebagaimana firman Allah SWT ,
23 Abū al
-Ḥusayn Muslim ibn al-Ḥajjāj ibn Muslim al-Qushayrī an-Naysābūrī, Shahih Muslim, (Beirut, Darul al-afak al-jadidah, t.t), juz I, hlm.148.
24
40
Artinya :“Inilah yang dijanjikan kepadamu, yaitu kepada setiap hamba yang selalu kembali kepada Allah dengan bertobat dan memelihara semua peraturan-peraturannya. ” (QS. Qaf (50): 32).
Jika wudhu lahir dan shalat lahir mempunyai waktu tertentu
setiap satu hari satu malam, maka wudhu batin dan shalat batin
waktunya seumur hidup, dari hari ke hari tanpa putus.25
Penulis melihat dari hasil perpaduan wudhu lahir dan batin
akan meghasilkan buah yaitu akhlak seperti lebih rendah hati, lebih
beradab, sehingga ada peningkatan dari hari ke hari. Itulah buahnya
sehingga kita bisa lebih dekat kepada Allah. Sebab, justru di
hadapan Allah kita semakin menundukan kepala, karena semua ini
adalah pemberian-Nya, kalau bukan karena pemberian-Nya
bagaimana bisa mengerti segala yang kita miliki ini.
2. Shalat
Shalat menurut Syariat adalah ibadah yang sudah sangat
dikenal yaitu ucapan dan perbuatan yang diawali dengan ucapan
takbir dan diakhiri dengan ucapan salam.26
Shalat memeiliki beberapa persyaratan yang harus dilakukan
sebelumnya, yaitu: bersuci dengan air yang suci, dengan pakaian
25
Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h.169.
26
41
yang suci, bertempat di tempat yang suci, menghadap kiblat, niat, dan
telah masuk pada waktunya.27
Maksud shalat syari’at, yang disebutkan dalam Al-Qur’an ini,
“Hendaklah kamu menjaga shalat-shalatmu dan shalat wustha
(yang di tengah).” (QS. Al-Baqarah (2): 238)
Ialah shalat yang rukun-rukunnya berkaitan dengan gerakan
anggota badan yang lahir, seperti berdiri, membaca ayat atau surah,
rukuk, sujud, dan mengeluarkan suara dan bacaan-bacaan. Makanya
Allah SWT menggabungkan dengan lafadz jamak “shalawat”
(beberapa shalat) sebagai isyarat akan shalat syari’at yang lima
waktu.
Adapun shalat tarekat adalah shalatnya kalbu dan itu dilakukan
tanpa batas waktu atau selama-lamanya. Sebagaimana diisyaratkan
pada ayat di atas dalam kalimat, “Shalat Wustha.” Maksud dari
shalat al-wustha yaitu shalat kalbu karena hati berada di tengah
(al-wasth) badan; antara kanan dan kiri; antara atas dan bawah; juga
yang menjelaskan rasa antara bahagia dan menderita.
Sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasulullah SAW,
27
42
Artinya :“Sesungguhnya kalbu manusia ada di antara dua jari-jari Allah, Allah membolak-baliknya sesuai dengan kehendak-Nya.” (HR. Muslim)28
Maksud dari dua jari Allah SWT ialah dua sifat Allah, yaitu
sifat Maha Memaksa (Al-Qahhar) dan sifat Maha Lembut ( Al-Lathif). Dari ayat dan hadits di atas diketahui bahwa shalat yang pokok adalah shalat kalbu. Bila shalat kalbu dilupakan, maka
rusaklah shalat kalbu dan shalat jawarih-nya. 29
Hal itu karena, orang yang shalat sedang bermunajat
(berdialog) dengan Tuhannya. Sedangkan, alat untuk munajat adalah
kalbu. Bila kalbu lupa maka “batallah” shalat kalbu sekaligus shalat
badannya karena kalbu merupakan inti, dan anggota badan yang lain
mengikutinya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
Artinya :
“
Sesungguhnya di dalam jasad manusia ada segumpal daging. Bila ia baik, kekujur badan akan ikut baik dan bila ia buruk,sekujur badan pun menjadi buruk. Itulah hati. ” (HR.Al-Bukhari)30
Shalat syari’at sebagaimana diketahui secara fiqh mempunyai
waktu tertentu, dalam satu hari satu malam wajib dikerjakan lima
kali. Dan, shalat syari’at ini sunahnya dilakukan di masjid secara
28 Abū al
-Ḥusayn Muslim ibn al-Ḥajjāj ibn Muslim al-Qushayrī an-Naysābūrī, Shahih Muslim, (Beirut, Darul al-afak al-jadidah, t.t), juz 8, hlm.51.
29
Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h.174.
30
43
berjamaah, menghadap ka’bah dan mengikuti gerakan imam, tanpa
riya’ dan sum’ah.
Sedangkan shalat tarekat dilakukan seumur hidup tanpa batas
waktu. Masjidnya adalah kalbu. Cara berjamaahnya ialah dengan
memadu kesucian batin untuk menyibukkan diri dengan asma-asma
tauhid melalui lisan batin. Imamnya adalah rasa rindu di dalam kalbu
untuk sampai kepada Allah SWT. Kiblatnya ialah Hadhrah
Al-Ahadiyah (fase tertinggi dari maqam ruh) yakni hadirat Allah yang
Maha Tunggal dan Keindahan Allah SWT. Itulah kiblat yang hakiki.
Selamanya, kalbu dan ruh tidak boleh lepas dari shalat ini.31
Dalam menjalankan shalat tarekat ini, kalbu tidak boleh tidur
dan tidak boleh mati. Ia selalu punya kegiatan, saat tidur maupun
terjaga. Shalat tarekat dilakukan dengan hidupnya kalbu tanpa suara,
tanpa berdiri dan tanpa duduk. Orang yang menjalankan shalat
tarekat, akan selalu berhadapan dengan Allah SWT dan senantiasa
siaga dengan ucapan, “Kepada-Mu kami beribadah dan kepada-Mu
kami memohon pertolongan,” dan mengikuti Nabi Muhammad
SAW karena begitulah keadaan Nabi.32
Al-Qadhi di dalam menafsirkan ayat di atas berkata, “Ayat ini
merupakan isyarat tentang kalbu seorang ahli makrifat kepada Allah,
yang telah berpindah dari keadaan gaib kepada Al-Hadrah Ahadiyah
31
Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h.175.
32
44
(fase tertinggi dari maqam ruh). Ini, sesuai dengan sabda Rasulullah
SAW,”
Artinya : “Para Nabi dan para wali selalu shalat di alam kuburnya,
seperti halnya mereka shalat di rumahnya.” (HR. Al-Bazzar)33
Abdul Qadir al-Jailani mengartikan, mereka selalu sibuk
bermunajat pada Allah SWT karena hatinya yang hidup.
Bagi Abdul Qadir al-Jailani Bila dua shalat syari’at dan shalat
tarekat ini telah berpadu secara lahir dan batin, maka sempurnalah