• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep ibadah Abdul Qadir Al-Jailani dalam Kitab Sir Alasrar ditinjau dari Maqashid Syariah Al-Syatibi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konsep ibadah Abdul Qadir Al-Jailani dalam Kitab Sir Alasrar ditinjau dari Maqashid Syariah Al-Syatibi"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP IBADAH ABDUL QADIR JAILANI DALAM KITAB SIR AL-ASRAR DITINJAU DARI MAQASHID SYARIAH AL-SYATIBI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memnuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

IRMANSYAH NIM. 107043102190

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

i

SKRIPSI

Diajukan untuk Memnuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Disusun oleh :

IRMANSYAH NIM. 107043102190

Dibawah bimbingan

Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag NIP.196511191998031002

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)
(4)

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (satu) di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang

berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 2014-06-26

(5)

iv ABSTRAK

IRMANSYAH, NIM 107043102190. Konsep Ibadah Abdul Qadir Al-Jailani Dalam Tinjauan

Maqashid Syari’ah Al-Syatibi. Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum (PMH),

Konsentrasi Perbandingan Madzhab Fiqh, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 / 2014 M. Dibimbing oleh Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag (196511191998031002).

Isi vii + 68 halaman + 41 literatur.

Abdul Qadir al-Jailani adalah seorang faqih sekaligus sufi, dalam buku sirr al-asrar beliau bercerita tentang konsep ibadah yang mempunyai yang mempunyai dimensi syariat, tarekat dan

hakikat. Bagaimana kerangka teori maqashid syari’ah al-Syatibi meninjau konsep ibadah Abdul Qadir al-Jailani.

Penelitian ini untuk menganalisis bagaimana konsep ibadah Abdul Qadir al-Jailani di kitab Sirr – Al-Asrar dengan kerangka teori pemikiran al-Syatibi tentang maqashid -syari’ah dan adakah kesesuaian praktik ibadah Abdul Qadir al-Jailani dengan maqashid syar’iah al-Syatibi.

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif dengan melakukan pendekatan normatif filosofis. Adapun sumber data yang didapat melalui data primer dan data sekunder dengan pengumpulan data melalui studi pustaka (Librari Reasearch), Data yang diperoleh tersebut disusun secara teratur dan sistematis, kemudian dianalisis secara deskriptif normatif filosofis.

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa konsep ibadah Abdul Qadir al-Jailani yang

ditijau dari maqashid syari’ah al-syatibi mempunyai keseuaian dan mewujudkan maqashid

syari’ah.

Kata Kunci : Ibadah Abdul Qadir al-Jailani, maqashid syari’ah, al-Syatibi. Pembimbing : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag

(6)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat ilahi Rabbi, yang telah menurunkan cahaya ilmu-Nya, shalawat dan

salam semoga selalu tercurah ke hadirat Rasul pembawa cahaya Muhammad SAW. Di balik

terselesaikannya skripsi dengan judul “konsep ibadah Abdul Qadir al-Jailani ditinjau dari

maqashid syariah al-syatibi”, maka penulis ingin mengucapkan terima kasih terutama kepada :

1. Bapak H. JM. Muslimin, MA, Ph.D, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag, sebagai Ketua Program Studi Perbandingan

Mazhab Hukum dan Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si, sebagai Sekretaris

Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag, selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan

waktunya selama penulis menyelesaikan skripsi. Terima kasih atas bimbingan, kesabaran,

(7)

vi

5. Segenap pimpinan dan staf perpustakaa utama dan perpustakaan Fakultas Syari’ah Dan Hukum yang telah memberikan fasilitasnya.

6. Kepada kedua orang tua yang penulis hormati dan cintai, penulis persembahkan skripsi ini

kepada ayahanda H.Zulkifli (alm) dan Ibunda Hj. Nurhasanah, yang telah membimbing dan

mendidik. Atas dukungan moril, materil, kesabaran, perhatian, cinta, keikhlasan serta kasih

sayang yang tiada habisnya, semoga Allah membalas dengan seluruh kebaikan, ananda sadar

bahwa semua yang kalian berikan tak akan mungkin tergantikan oleh apapun.

7. Untuk guru-guruku Ust. Cipta Bakti Gama, Lc, KH.Muhyidin, Ust.Syarif, Lc, Ust.

Muzammil al-hafidz, Ust.Zaenal muhtadi, al-hafidz, Ust. Ruslan, al-hafidz, Muhammad

Noer, Om Bagus, Ibu Ida farida, Ibu Sumarni, dan yang tak tersebutkan tanpa bimbingan

dan ilmu dari kalian, muridmu bukanlah apa-apa. Semoga Allah membalas dengan pahala

yang selalu mengalir.

8. Untuk teman-teman yang pernah hadir dalam hidupku fajar anugrah ramadhan, mahatir, cb

gama, ahmad jaelani, adnan syafi’i, akmal, andiyanto,iyus, syahiru, ujang, agus, syahirul,

irfan, maulana, irawan,khoirudin,septianto, prakoso bayu,gustar,adnan hanafi, wahyu ischan,

mulyani azam,rio sulaeman, zaenal ali muslim hidayat, subhan, arman, bimma, elvin

gunawan, aris, vera, maria, siti khoiriyah, ani rohimah,latifah nuzuli, nurhayati, jumiatun

diniah, betie febriana, teh dini retno utami, fikriyah, dan semua yang pernah kenal baik

(8)

vii

KKN 77 ceria cibitung kulon pamijahan.

10. Untuk istri tercinta yanah abdul hamid yang selalu memotivasi untuk menyelesaikan tugas

akhir ini, putriku tersayang naila khairina yang selalu membuat hatiku damai dengan melihat

senyum dan tawanya, semoga Allah selalu satukan kita sampai surga.

Demikian ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak-pihak yang telah

membantu baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga selesainya skripsi ini,

semoga segala bantuan tersebut diterima sebagai amal baik dan memperoleh balasan pahala

yang berlimpah ganda dari Allah Swt, (Aamiin) maka akhirnya penulis berharap semoga

skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umunya.

(9)
(10)

ix

SURAT PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

DAFTAR ISI ... . v

KATA PENGANTAR ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang masalah ... 1

B. Rumusan Permasalahan ... 7

C. Tujuan ... 7

1. Tujuan Penelitian ... 7

2. Manfaat Penelitian ... 7

D. Kajian Pustaka Terdahulu ... 8

E. Metode Penelitian……….. 10

F. Sistematika Penulisan………. 10

BAB II AL-SYATIBI DAN TEORINYA TENTANG MAQASHID SYARI’AH……… ... 12

A. Biografi al-Syatibi ... 12

1 kehidupan dan pendidikan al-Syatibi ... 10

2 Karya-karya ... 15

B. Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi... 16

1. Pengertian Maqashid Syariah ... 16

2. Dasar Maqashid Syariah ... 18

3. Pembagian Maqashid Syari’ah ... 17

4. Syarat Memahami Maqashid Syari’ah ... 27

(11)

x

1. Kehidupan Dan Pendidikan ... 30

2. Karya-karya ... 33

B. Pandangan Abdul Qadir al-Jailani Terhadap Realitas ... 34

C. Konsep Ibadah Abdul Qadir al-Jailani Dalam Sirr Al-Asrar .. 36

1. Thaharah ... 36

2. Shalat ... 39

BAB IV ANALISA KONSEP IBADAH ABDUL QADIR AL-JAILANI DALAM KITAB SIRR AL-ASRAR DITINJAU DARI MAQASHID SYARIAH AL-SYATIBI……. ... 44

A. Konsep Ibadah Abdul Qadir al-Jailani ditinjau dari teori maqashid syariah al-syatibi. ... 44

1. Thaharah ... 47

2. Shalat ... 54

B. Kesesuaian Praktik Ibadah Abdul Qadir al-Jailani Dengan Maqashid Syariah Al-Syatibi… ... 58

1. Analisa Umum ... .. 59

Bab V PENUTUP……… ... 65

5.1 Kesimpulan……. ... 65

5.2 Saran ... 66

(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam sebagai agama yang menekankan ketundukan secara total

pada Tuhan baik lahir maupun batin. Formalisasi sistem ketundukan

total ini kemudian dikemas dengan seperangkat panduan praktek

lahiriah yaitu syari’ah.1

Syari’ah adalah cara formal untuk melaksanakan peribadatan kepada Allah,2 yang dirujuk oleh al-Qur’an sebagai tujuan utama penciptaan manusia sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an surah az -zariyat ayat 56.

Syari’ah adalah dimensi perundang-undangan dalam islam. Ia adalh ketentuan yang ditetapkan oleh Syari’(Allah), melalui Rasul-Nya Muhammad SAW. Baik yang berupa perintah atau larangan3

Dengan demikian tujuan Allah menciptakan jin dan manusia

adalah untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah ini harus dilakukan

dengan penuh ketaatan dan ketundukan kepada Allah swt. Sehingga

apapun yang dilakukan manusia harus diniatkan untuk beribadah

kepada Allah swt semata.

1

M. Sa'i & Shohimun Faisol, Kontribusi Tarekat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah dalam Dakwah Islamiyah di Lombok, Jurnal Penelitian Keislaman, vol. 1 No.2, juni 2005, h. 4.

2

Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta, Erlangga, 2006), Cet.I, h.27

3

(13)

2

Di sisi lain, dipahami bahwa ibadah adalah perbuatan manusia

yang menunjukan ketaatan kepada aturan atau perintah dan pengakuan

kerendahan dirinya di hadapan yang memberi perintah. Adapun yang

memberi perintah untuk beribadah, adalah tiada lain kecuali Allah

swt. sendiri, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat al -Baqarah (2) : 21.

Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa sasaran ibadah

hanyalah kepada Allah swt. Dengan kata lain, bahwa manusia

beribadah adalah untuk mengabdikan dirinya keada Allah sebagai

Tuhan yang telah menciptakan mereka.4

Ibadah yang diklasifikasikan kepada wadah syariah

mempunyai tujuan – tujuan yang dikenal dengan istilah maqashid syariah. Maqashid al-Syari’ah terdiri dari dua kata yaitu maqashid dan asy-syari’ah. Sebelum menjelaskan pengertian maqashid asy-syari’ah secara istilah terlebih dahulu dijelaskan pengertiannya secara bahasa (lughawi).

Secara bahasa, maqashidmerupakan jama’ dari

kata maqshid yang berarti kesulitan dari apa yang ditujukan atau dimaksud. Secara akar bahasa, maqashid berasal dari kata qashada, yaqshidu, qashdan, qashidun, yang berarti keinginan yang kuat,

4

(14)

3

berpegang teguh, dan sengaja. Namun, dapat juga diartikan dengan

menyengaja atau bermaksud kepada (qashada ilaihi).

Sedangkan kata asy-syari’ah berasal dari kata syara’a as -syai yang berarti menjelaskan sesuatu, atau diambil dari

asy-syar’ah dan asy-syari’ah dengan arti tempat sumber air yang tidak

pernah terputus dan orang datang ke sana tidak memerlukan

alat. Terkadang bisa juga diartikan sumber air, di mana orang ramai

mengambil air. Selain itu asy-syari’ah berasal dari akar katasyara’a,

yasri’u, syar’an yang berarti memulai pelaksanaan suatu

pekerjaan, dengan demikian asy-syari’ah mempunyai pengertian pekerjaan yang baru mulai dilaksanakan. Syara’a juga berarti

menjelaskan, menerangkan dan menunjukkan jalan. Syar’a lahum

syar’an berarti mereka telah menunjukkan jalan kepada meraka atau

bermakna sanna yang berarti menunjukkan jalan atau peraturan.

Jadi, secara bahasa syari’ah menunjukkan kepada tiga pengertian,

yaitu sumber tempat air minum, jalan yang lurus dan terang dan juga

awal dari pada pelaksanaan suatu pekerjaan.5

Jika Syari’ah adalah jalan maka pasti ada tujuan mengapa harus melalui jalan ini dan maqashid syari’ah adalah tujuan hukum islam

yang harus dicapai. Tujuan tersebut dapat ditelusuri dalam ayat-ayat

5

(15)

4

al-Qur’an dan hadits – hadist Nabi sebagai sumber hukum utama sehingga dapat dirumuskan hukum – hukum fiqh yang berorientasi pada kemaslahatan.6

Syari’ah adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah bagi hamba-Nya tentang urusan agama, atau hukum yang ditetapkan dan

diperintahkan oleh Allah baik berupa ibadah (shaum, shalat, haji,

zakat, dan seluruh amal kebaikan) atau muamalah yang menggerakkan

kehidupan manusia (jual, beli, nikah, dan lain-lain). Sebagaimana

firman Allah SWT (QS. al- Jatsiyah :18).

Dengan mengetahui pengertian maqashid dan asy-syari’ah secara bahasa, maka dapat membantu kita menjelaskan pengertian yang

terkandung dalam istilah, yaitu tujuan-tujuan dan rahasia-rahasia yang

diletakkan Allah dan terkandung dalam setiap hukum untuk keperluan

pemenuhan manfaat umat. Atau tujuan dari Allah menurunkan

syari’at, dimana menurut al-Syatibi tujuan dari pada maqashid

syari’ah adalah untuk mewujudkan kemashlahatan manusia di dunia

dan akhirat.7

Teori maqashid syari’ah sering diatribusikan kepada Umar Bin Khattab. Al-Ghazali, melalui bimbingan al-Juwaini, mengembangkan

teori ini. Ditangan al-Syatibi, teori ini menjadi terkenal di seluruh

6

Ramin Abd. Wahid, Maqashid al-Syari'ah dan Penerapan Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Islam, Volume 15 Nomor 1, Juni 2012, h.126

7 Rahmat Sadchalis, Maqashid asy-Syari’ah,

(16)

5

dunia islam. Di zaman modern, Muhammad Abduh dan Rasyid Rida

di Mesir, juga al-Maududi di India (kemudian Pakistan), mendorong

mengulas konsep maqashid secara agak mendalam.8

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan

maqashid al Syari’ah adalah tujuan Allah sebagai Syari’ (Pembuat Hukum) dalam menetapkan hukum terhadap hambaNya. Adapun inti

dari maqashid al Syari’ah adalah untuk mewujudkan kebaikan

sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan

menolak mudharat, atau dengan kata lain adalah untuk mencapai

kemaslahatan, karena tujuan penetapan hukum dalam Islam adalah

untuk menciptakan kemaslahatan dalam rangka memelihara

tujuan-tujuan syara’9

.

Terkait ibadah, Abdul Qadir Al-Jailani yang juga di juluki

“Sulthanul-Auliya” ini mengupas tentang aspek lahir dan batin dari

ibadah seperti shalat, puasa, ibadah haji, zakat dan lain sebagainya.

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani telah menggambarkan secara lengkap

tentang tasawuf yang memadukan antara ilmu Syari’ah yang

didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah melalui penerapan praktis

8

Yudian Wahyudi, Maqashid Syari’ah dalam Pergumulan Politik, (yogyakarta,nawesea,2007), cet. II, h.28

9

(17)

6

dengan keharusan untuk menghayati hakikat serta tujuan dari

diterapkannya syariat.10

Mengingat ketertarikan penulis mengenai uraian di atas, dan

melihat belum adanya yang membahas tetang konsep ibadah Abdul

Qadir Al-Jailani dalam tinjauan Maqashid Syari’ah maka penulis mencoba untuk mengangkat sebuah judul skripsi tentang “ KONSEP IBADAH ABDUL QADIR AL-JAILANI DALAM TINJAUAN MAQASHID SYARIAH AL-SYATIBI ”.

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah

1. Perumusan Masalah

Perumusan masalah adalah salah satu upaya untuk mempermudah

pembatasan dalam penelitian. Berdasarkan latar belakang masalah

tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai

berikut:

a) Bagaimana konsep ibadah Abdul Qadir al-Jailani ditinjau

dari teori maqahid syari’ah al-Syatibi.?

b) Adakah kesesuain praktik ibadah Abdul Qadir al-Jailani

dengan maqashid syar’iah al-Syatibi.? 2. Pembatasan Masalah

(18)

7

Sehubungan dengan banyaknya permasalahan yang timbul dalam

penelitian ini, maka penulis perlu membatasi masalahnya. Hal ini

dimaksudkan agar pembahasannya mengenai sasaran dan tidak

mengambang. Dalam penelitian ini penulis membatasi masalah

bersuci dan shalat pada buku Sirrul-Asrar karya Abdul Qadir al-Jailani

dalam Bab Ibadah.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui kerangka teori al-Syatibi tentang

maqashid syari’ah dalam konsep ibadah Abdul Qadir al-Jailani di

kitab Sirr – Al-Asrar.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :

a. Memperluas dan memperdalam wawasan ilmu pengetahuan

khususnya dibidang Syari’ah.

b. Memberikan kontribusi positif dengan tersedianya data

tentang pandangan Al-Syatibi tentang maqashid al-syari’ah dalam konsep ibadah Abdul Qadir Al-Jailani di kitab Sirr – Al-Asrar.

c. Sebagai sumbangan pemikiran dan bahan rujukan bagi

pengembangan khazanah keilmuan ke depan.

(19)

8

untuk menghindari penelitian dengan objek yang sama maka

diperlukan tinjauan kajian pustaka terdahulu. Berdasarkan

pengamatan dan pengkajian yang telah dilakukan terhadap beberapa

sumber kepustakaan terkait dengan permasalahan yang di bahas dalam

penulisan skripsi ini, Penelitian seputar kitab sirr al-asrar abdul qadir

al-jailani bukanlah yang pertama dan sering ditemukan, hingga

penelitian ini disusun penulis menemukan skripsi yang terkait dengan

kitab sirr al-asrar yaitu :

pada tahun 2009, ditulis skripsi atas nama mukhamad ma’ruf (04511779) konsentrasi aqidah dan filsafat UIN sunan kali jaga

yogyakarta dengan judul “Konsep Zikir Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

(Telaah Kitab Sirr Al-Asrar)” yang membahas tentang zikir menurut abdul qadir al-jailani dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia.

Pada skripsi di atas membahas tentang zikir dan dalam skripsi

diatas tidak menerangkan tentang konsep shalat ataupun bersuci

menurut abdul qadir al-jailani, sedangkan skripsi ini membahas

bersuci dan shalat menurut abdul qadir al-jailani.

Sedangkan penelitian mengenai konsep maqashid syariah

al-syatibi sudah sangat banyak dan sering ditemukan, penulis juga

menemukan skripsi tentang maqashid syariah yatiu :

Pada tahun 2009, ditulis skripsi atas nama asnawi (04350018)

konsentrasi ahwal syakhsiyah UIN sunan kali jaga yogyakarta dengan

(20)

9

Agama” yang membahas kasus perkawinan beda agama dan

bagaimana tinjauan maqashid syariah.

Pada skripsi diatas objek bahasannya adalah nikah beda agama,

sedangkan skripsi ini membahas konsep bersuci dan shalat menurut

abdul qadir al-jailani, jadi disnilah letak perbedaan dengan skripsi

sebelumnya.

E. Metode Penelitian

Pembahasan skripsi ini dilakukan dengan cara deskriptif dengan

melakukan pendekatan deskriptif normatif filosofis. Penulis

menggunakan dokumentasi naskah dengan menelusuri buku-buku,

artikel, dan karya ilmiah lainnya yang berkenaan dengan tema bahasan

ini.

Data yang diperoleh tersebut disusun secara teratur dan

sistematis, kemudian dianalisis secara deskriptif normatif filosofis,

dengan demikian penelitian dalam karya ilmiah ini adalah penelitian

deskriptif normatif filosofis. Adapun teknik penulisan, penulis

menggunakan buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini dan untuk

mempermudah dalam memahami penulisan ini, penulis menyusun

(21)

10

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan Bab pembukaan skripsi yang meliputi latar

belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika

penulisan.

BAB II : AL-SYATIBI DAN TEORINYA

TENTANG MAQASHID SYARI’AH

Bab ini menguraikan sosok Al-Syatibi meliputi biografi

intelektual serta karya-karyanya dan Maqashid Syari’ah menurut Al -Syatibi.

BAB III : ABDUL QADIR AL-JAILANI DAN KONSEP IBADAH DALAM SIRR AL-ASRAR

Bab ini membahas tentang sosok Abdul Qadir Al-Jailani yang

meliputi meliputi biografi intelektual serta karya-karyanya dan konsep

ibadah Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Sirr Al-Asrar.

BAB IV : ANALISIS TERHADAP KONSEP

IBADAH ABDUL QADIR AL-JAILANI DALAM KITAB SIRR ASRAR DITINJAU DARI MAQASHID SYARIAH AL-SYATIBI

Bab ini membahas analisa prinsip umum syariat-tarekat-hakikat

ibadah dilihat dari pandangan maqashid syariah al-syatibi dan analisa

aplikasi prinsip umum ibadah (bersuci, shalat, zakat, puasa, dan haji)

(22)

11

BAB V : PENUTUP

(23)

12

BAB II

AL-SYATIBI DAN TEORINYA TENTANG MAQASHID

SYARI’AH

A. Biografi al-Syatibi

1. Kehidupan dan Pendidikan al-Syatibi

Beliau adalah Ibrahim bin Musa, bin Muhammad al-Lakhmi al

Ghamathi Abu Ishak, yang lebih dikenal dengan sebutan al-Syathibi,

yang dijuluki dengan al Imam al Allaamah (yang sangat dalam ilmu pengetahuannya), al Muhaqqiq (yang memiliki kemampuan untuk meneliti sesuatu guna menemukan kesalahan dan kemudian memberi

solusi), al Qudwah (yang pantas diikuti), al Hafizh (yang telah menghafal dan menjaga ribuan hadits), dan Mujtahid (yang mampu mendayagunakan kemampuan untuk menghasilkan hukum).1

al-Syatibi oleh banyak penulis sejarah diduga berada di Granada

pada masa pemerintahan Ismail ibn Farraj yang berkuasa tahun 713

H, Muhammad ibn Ismail yang berkuasa tahun 725 H, Abu Hajjaj

ibn Yusuf ibn Ismail berkuasa pada tahun 734 H dan Muhammad

al-Ghani bi Allah ibn Abi Hujjaj Yusuf tahun 755 H.2

1 Imam Asy-Syathibi, Al-I’tisham (buku induk pembahasan bid’ah dan sunnah),

(Jakarta, Pustaka Azzam, 2006), Cet. I, h. 15

2 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi, (jakarta,

(24)

13

Di masa al-Syatibi, Granada menjadi pusat kegiatan ilmiah

dengan berdirinya Universitas Granada, sehingga Granada pada

masa itu hampir dapat disamakan dengan Cordova di masa filosof

dan faqih ternama Ibn Rusyd (w.594 H/1198 M). Istana Hamra

yang didirikan oleh Muhammad ibn Ahmar sebagai bukti

kesamaannya dengan Cordova yang merupakan puncak kemegahan

arsitektur Islam di Spanyol.3

al-Syatibi Beliau menimba ilmu pengetahuan Arab dan

sebagainya dari beberapa Imam besar, diantaranya:

a. Ibnu al Fakhar al Albiri. al Imam yang sudah terkenal

mendapat kelapangan dari Allah dalam keilmuannya. Kalau

pun tidak mengambil guru lain yang memiliki spesialisasi lain,

niscaya ia telah cukup.

b. Abu al Qasim as-Sabthi. al Imam yang mulia, bapak ilmu lisan

(bahasa), yang juga menjadi pensyarah kitab Makshurah Hazim.

c. asy-Syarif Abu Abdullah at Talmasani. al Imam al Muhaqqiq

yang terpandai pada masanya.

d. Abu Abdullah al Muqri. al Imam yang memiliki keluasan ilmu

pada masanya (menurut kesepakatan umum).

3Sidik Tono, “

(25)

14

e. Quthb Ad-Dairah —Syaikh al Jalah—. Seorang pemimpin yang dikenal dengan sebutan Abu Said bin Lub. Imam yang

mulia, penjelajah ilmu, dan mahir dalam berdiploma.

f. Ibnu Marzuq Al Jad. Ulama besar, AIMuhaqqiq, dan guru ilmu

ushul.

g. Abu Abdullah al Balansi. Ulama besar, ahli tafsir, dan

pengarang.

h. Abu Ja'far Asy-Syaquri al Haj yang memiliki keluasan ilmu,

penjelajah ilmu, mahir dalam berdiploma, dan orang-orang

yang selalu bersamanya dapat mengambil banyak manfaat

darinya.

i. Abu al Abbas al Qabab. Penghafal hadits dan ahli dalam ilmu

fikih.

j. Abu Abdullah al Hafar. Seorang mufti dan seorang ahli hadits.

Untuk ilmu yang akan ditimba, beliau selalu menyertai

gurunya hingga hari wafatnya.4

Disamping itu, al-Syatibi mendalami pula ilmu falak, mantiq,

debat dan sastra. Pengetahuan sastra ia terima dari Abu Bakar

al-Qarsyi al-Hasymi, salah seorang sastrawan Spanyol. Sebagai

seorang ulama, al-Syatibi telah menjadi rujukan masyarakat dan

pemerintah pada waktu itu dalam memecahkan

permasalahan-permasalahan keagamaan atau permasalahan-permasalahan kenegaraan yang

4 Imam Asy-Syathibi, Al-I’tisham (buku induk pembahasan bid’ah dan sunnah),

(26)

15

memerlukan tilikan keagamaan, ketokohan al-Syatibi sebagai

ilmuwan, disamping terlihat dari kegiatan belajar mengajar yang

diemban dan keterlibatannya dalam memberi respon terhadap

permasalahan keagamaan yang muncul sesuai dengan disiplin

keilmuan yang didalaminya, juga terlihat dari warisan karya-karya

ilmiah yg ditinggalkannya. al-Syatibi meninggal pada tahun 790 H.5

2. Karya-Karya

al-Syatibi banyak membuat karya-karya berharga diantaranya:

1. Syarah terhadap kitab Al-Khulashah fi An-Nahwi,

2. Kitab Al Muwafaqat yang hanya membahas tentang ilmu ushul fikih, yang beliau beri nama Unwan At-Ta'rif bi Ushul At-Taklif. Kitab berharga yang belum ada tandingannya, yang sekaligus menunjukkan dan memantapkan posisinya sebagai

seorang imam.

3. Kitab Al-Ifadat wa Al-Irsyadat dicetak dalam dua buku.

4. Kitab Unwan Al It-Tifaq fi Ilmi AI Isytiqaq.

5. Kitab dasar mengenai ilmu nahwu. Hal ini telah beliau

sebutkan secara bersamaan dalam kitab Syarh Alffyah.6

5 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi, h. 23-25. 6 Imam Asy-Syathibi, Al-I’tisham (buku induk pembahasan bid’ah dan sunnah),

(27)

16

Beberapa pandangan yang dikemukakan oleh ulama semasa

al-Syatibi, para pemikir-pemikir pembaharuan dalam Islam dan

cendikiawan-cendikiawan muslim akhir-akhir ini memberikan

gambaran awal bahwa al-Syatibi merupakan salah seorang ulama

yang telah meletakan dasar pengembangan pemikiran hukum Islam,

Ushul fiqh.7

B. Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi 1. Pengertian Maqashid Syari’ah

Maqashid al-Syari’ah secara lughawi (bahasa), terdiri dari dua kata yakni maqashid dan syari’ah. Maqashid merupakan bentuk

jama’ dari kata maqshid yang berarti tujuan.8 Secara akar

bahasa, maqashid berasal dari kata ( دصق ) qashada,( دصْقي )

yaqshidu,( اًدْصق ) qashdan, yang berarti Tujuan, Maksud, dan Sengaja.9

Sedangkan syari’ah adalah peraturan-peraturan yang di ciptakan Allah atau diciptakan pokok-pokoknya, agar manusia berpegang

7 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi, h. 31.

8

Lihat Hans Wehr, a dictionary of modern written arabic,J. Milton Cowan (ed) (new york, spoken english service, 1976), h. 767

9

[image:27.595.112.518.218.588.2]
(28)

17

padanya dalam melakukan hubungan dengan Tuhan, saudara sesama

muslim, saudara sesama manusia, alam semesta dan kehidupan.10

Pada mulanya, istilah syariat mempunyai arti yang luas, tidak

hanya berarti fikih dan hukum, tetapi mencakup pula akidah dan

segala yang diperintahkan Allah, menaati-Nya, beriman kepada

rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari pembalasan dan segala sesuatu

yang membuat seseorang menjadi muslim sejati.11

Maqashid Syari’ah secara istilah adalah tujuan-tujuan syariat Islam yang terkandung dalam setiap aturannya. Imam al-Syatibi

mengungkapkan tentang syari’ah dan fungsinya bagi manusia seperti

ungkapannya dalam kitab al-Muwafaqat :

ه ه

نيدلا يف م حلاصم مايق يف ع اشلا دصاقم قيقحتل تعض .... ةعي شلا

اعم ايندلا

“Sesungguhnya syariat itu ditetapkan bertujuan untuk tegaknya

(mewujudkan) kemashlahatan manusia di dunia dan Akhirat”.12

Menurut al-Syatibi, Allah menurunkan Syariat (aturan hukum)

untuk mengambil kemaslahatan dan menghindari kemadharatan

(jalbul mashalih wa dar’u al-mafasid). Dengan bahasa lebih mudah,

10

Mahmud Syaltut, Islam Akidah dan Syariah, (jakarta, pustaka amani, 1966), Cet.III, h. 5.

11

Hamka haq, Al-Syatibi Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab al-Muawafaqat, (t.t, Erlangga, 2007), Cet.I, h.14.

12

(29)

18

aturan-aturan hukum yang Allah tentukan hanya untuk kemaslahatan

manusia itu sendiri.13

al-Syatibi membagi maslahat ini pada tiga bagian penting yaitu

dharuriyyat (primer), hajiyyat (sekunder) dan tahsiniyyat

(pelengkap).14

Pertama daruriyyat yaitu sesuatu yang harus ada demi kelangsungan hidup manusia, jika tidak ada makakehidupan manusia

akan hancur. kedua hajiyyat sesuatu yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup manusia jika tidak ada manusia tak akan hancur

tapi mengalami kesulitan, ketiga tahsiniat sesuatu yang

memperindah atau melngkapi.15

Penulis melihat maqashid syari’ah dimaknai tujuan Allah dan

Rasul-Nya dalam membuat hukum Islam. Tujuan ini bisa diketahui

dalam Al-Qur’an dan Sunnah sebagai alasan kuat bagi rumusan satu hukum yang mempunyai visi pada kemaslahatan manusia.

2. Dasar Maqashid Syari’ah

Penekanan maqashid syari’ah yang dilakukan oleh al-Syatibi secara umum bertitik tolak dari kandungan ayat-ayat al-Qur’an yang

13

Asmuni Mth, Studi Pemikiran Al-Maqashid, Al-Mawarid Edisi XIV thn 2005.h. 167.

14

Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam,(Darul ibn Affan, Abu Ubaidah Mashur ibn Hasan Al-Salamah, t.t) Jilid I, h. 18.

15 Yudian Wahyudi, Maqashid Syari’ah dalam Pergumula Politik, (yogya,

(30)

19

menunjukkan bahwa hukum-hukum Allah SWT mengandung

kemaslahatan.16

Ayat-ayat itu antara lain adalah berkaitan dengan pengutusan

Rasul dalam al-Qur’an surah an-Nisa’ ayat 165 Allah SWT berfirman:

















































(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Ayat ini megisyaratakan bahwa Rasul-rasul yang diutus Allah

bukan hanya sekedar membawa peringatan tapi menyampaikan

maksud-maksud Tuhan.

Dalam surah al-Anbiya ayat 107 Allah SWTmenegaskan:























Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

16

(31)

20

Dalam ayat ini jelas sekali Tuhan mengutus Nabi Muhammad

Saw untuk memberi kemaslahatan bagi manusia dan seluruh alam.

Berkaitan dengan asal penciptaan, Allah SWT berfirman dalam

surah Hud ayat 7













































Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.17

Ketiga ayat diatas menunjukan pada kita bahwa semua yang

Tuhan ciptakan dan Tuhan turunkan berupa syariat adalah rahmat

sekaligus maslahat bagi manusia dan alam.

3. Pembagian Maqashid Syari’ah

Allah SWT mensyari’atkan hukum bertujuan memelihara

kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadat, baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui

taklif, yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama, Al-Qur’an dan Hadist. Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, berdasarkan

17

(32)

21

penelitian para ahli ushul fiqih, ada lima unsur yang harus dipelihara

dan diwujudkan.18

Kelima pokok tersebut adalah agama, jiwa, akal, keturunan,

dan harta. Seorang mukallaf akan memperoleh kemaslahatan, manakala ia dapat memelihara kelima unsur dengan baik.19

Dalam usaha memperoleh gambaran utuh tentang teori

maqashid syari’ah, berikut ini akan dijelaskan kelima pokok kemaslahatan dengan peringkatnya masing-masing yaitu20:

1) Hifdz ad-Din (memelihara agama)

Memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat

dibedakan menjadi tiga peringkat:

a. Memelihara agama peringkat daruriyyat, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk

peringkat primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu.

Kalau shalat ini diabaikan, maka akan terancamlah

eksistensi agama.

b. Memelihara agama peringkat hajiyyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama, bermaksud menghindari kesulitan, seperti

shalat jamak dan shalat qashar bagi orang yang sedang

bepergian. jika tidak dilaksanakan maka tidak mengancam

18

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. 1, h.125.

19

Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam,( Darul ibn Affan, Abu Ubaidah Mashur ibn Hasan Al-Salamah, t.t) Jilid I, hlm. 12.

20

(33)

22

eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi

orang yang melakukannya.

c. Memelihara agama peringkat tahsiniyyat, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia,

sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap

Tuhan, misalnya menutup aurat, baik di dalam maupun di

luar shalat, membersihkan badan, pakaian, dan tempat.21 2) Hifdz an-Nafs (memelihara jiwa)

Hak pertama dan utama yang diperhatikan islam adalah hak

hidup, maka tidak diherankan bila jiwa manusia dalam syariat

Allah sangat dimuliakan, harus dipelihara, dijaga,

dipertahankan.22 berdasarkan tingkat kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:

a. Memelihara jiwa dalam peringkat daruriyyat, seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk

mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok ini

diabaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa

manusia.

b. Memelihara jiwa dalam peringkat hajiyyat, seperti diperbolehkan berburu binatang untuk menikmati makanan

yang lezat dan halal. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka

21 Mahfuk Muis, “Maqashid Al-Syari’ah Peran dan Relevansinya Dalam

Pengembangan Hukum Islam Kontemporer” Ahkam XI, No.2 (juli 2011): h.171.

22

(34)

23

tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya

mempersulit hidupnya.

c. Memelihara jiwa dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ditetapkannya tata cara makan dan minum. Kegiatan ini

hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika, sama

sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, atau

pun mempersulit kehidupan seseorang.23 3) Hifdz al-Aql (memelihara akal)

Akal mendapat penghargaan tinggi karena berkemampuan

untuk mengetahui maslahah sebagai tujuan syariat, Allah

menciptakan menciptakan manusia dalam keadaan tidak tahu

apa-apa. Kemudian Allah memberinya ilmu dan petunjuk untuk

kemaslahatannya di dunia dan akhirat.24

Memelihara akal, dilihat dari segi kepentingannya, dapat

dibedakan menjadi tiga peringkat:

a. Memelihara akal dalam peringkat daruriyyat, seperti diharamkan meminum minuman keras. Jika ketentuan ini

tidak diindahkan, maka akan berakibat terancamnya

eksistensi akal.

b. Memelihara akal dalam peringkat hajiyyat, seperti dianjurkannya menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya hal itu

dilakukan, maka tidak akan merusak akal,tetapi akan

23Mahfuk Muis, “Maqashid Al-Syari’ah..” Ahkam XI, h

.172

24

(35)

24

mempersulit diri seseorang, dalam kaitannya dengan

pengembangan ilmu pengetahuan.

c. Memelihara akal dalam peringkat tahsiniyyat, seperti menghindarkan diri dari mengkhayal mendengarkan sesuatu

yang tidak berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan etiket,

tidak akan mengancam eksistensi akal secara langsung.25

4) Hifdz an-Nasl / an-Nasb (memelihara keturunan)

Pernikahan dalam islam merupakan hal yang sangat penting

karena sangat erat kaitannya dengan keberlangsungan kehidupan

manusia di atas bumi, sehingga Allah SWT dan Rasul-Nya Saw,

menetapkannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah, berkaitan pernikahan. 26

Islam ingin menjaga eksistensi keturunan atau kehormatan

dengan melarang zina, memerintahkan nikah dan melarang

menuduh zina tanpa bukti.

Islam juga mengharuskan orang tua memenuhi hak-hak

anak, misalnya hak mendapat perawatan yang layak dan pilihan

untuk menentukan fasilitas perawatan diserahkan kepada rasa

estetika dan kemampuan lokal.27

25Mahfuk Muis, “Maqashid Al-Syari’ah..” Ahkam XI, h.172. 26 Anita Masduki, “

Pemikiran beda agama menurut persfektif femiis liberal” Islamia III, No.5 (2010): h.99.

27

(36)

25

Memelihara keturunan, ditinjau dari segi tingkat

kebutuhannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:

a. Memelihara keturunan dalam peringkat daruriyyat, sepert disyariatkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini

diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam.

b. Memelihara keturunan dalam peringkat hajiyyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami

pada waktu akad nikah dan diberikan hak talaq padanya.

c. Memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, seperti

disyari’atkan khitbah dan walimah dalam perkawinan.28 5) Hifdz al-Mal (memelihara harta benda)

Harta merupakan salah satu kebutuhan inti dalam

kehidupan dimana manusia tidak akan bisa terlepas darinya,

manusia termotivasi mencari harta untuk menjaga eksistensinya,

namun semua motivasi dibatasi tiga syarat, yaitu harta di cari

dengan halal, digunakan untuk hal-hal yang halal, dan harta

harus dikeluarkan hak Allah dan masyarakat tempat dia hidup. 29 Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat

dibedakan menjadi tiga peringkat:

a. Memelihara harta dalam peringkat daruriyyat, seperti

syari’at tentang tata cara kepemilikan harta dan larangan

28Mahfuk Muis, “Maqashid Al-Syari’ah..” Ahkam XI, h.172

.

29

(37)

26

mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah.

Apabila aturan itu dilanggar, maka berakibat terancamnya

aksistensi harta.

b. Memelihara harta dalam peringkat hajiyyat, sepert syari’at tentang jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan mengancam eksistensi harta,

melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan

modal.

c. Memelihara harta dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ketentuan tentang menghindarkan diri dari tindak

penipuan dan pengecohan.30

maqashid al-daruriyat dimaksudkan untuk memelihara lima unsur pokok dalam kehidupan manusia diatas. maqashid al-hajiyyat dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih

baik lagi, Sedangkan maqashid al-tahsiniyat dimaksudkan untuk penyempurnaan lima unsur pokok.31Pembagian-pembagian tersebut di atas, sebagaimana yang telah dijelaskan secara rinci,

menjadi titik tolak dalam memahami hukum-hukum yang

disyari’atkan oleh Allah SWT.

30Mahfuk Muis, “Maqashid Al-Syari’ah..” Ahkam XI, h.172.

(38)

27

mas฀lah฀ah bersifat universal, berlaku umum dan abadi bagi

seluruh manusia dan dalam segala keadaan. Mas฀lah฀ah yang diwujudkan manusia adalah untuk kebaikan manusia sendiri, bukan

untuk kepentingan Allah. Namun demikian, manusia tidak boleh

menurutkan nafsunya, tetapi harus berdasarkan syariat Allah.32

4. Syarat-syarat dalam memahami Maqashid Syari’ah Bagi al-Syatibi

Sumber utama ajaran Islam adalah al-Qur’an. maqashid

syari’ah terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an. Oleh karena itu,

pemahaman dan penggaliannya memerlukan beberapa syarat.

Menurut al-Syatibi sekurang-kurangnya ada tiga syarat yang

dibutuhkan dalam rangka memahami maqashid syari’ah diantaranya yaitu:

a. Memiliki pengetahuan bahasa arab

b.Memiliki pengetahuan tentang sunnah

c. Mengetahui sebab-sebab turunnya ayat33

Ketiga hal diatas harus dimiliki sebagai alat membedah

maqashid jika tidak tentu akan kesulitan untuk memahami maksud dan tujuan Tuhan dalam al-Qur’an.

32

Hamka Haq, Syathibi : Aspek Teologis Konsep Maslahah Dalam Kitab Al-Muwafaqat, Cet.I, h. 109.

(39)

28

C. Maslahah adalah Maqashid Syari’ah

mas฀lah฀ah secara bahasa atau etimologi (bahasa arab) adalah

berarti kemanfaatan, kebaikan, kepentingan. Dalam bahasa Indonesia

sering ditulis dan disebut dengan kata maslahat (lawan kata dari

mafsadat) yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan

(keselamatan), faedah, guna. Sedangakan kemaslahatan berarti

kegunaan, kebaikan, manfaat, kepentingan.34

Syari’ah Islam itu adalah syari’ah mashlahah. Norma hukum yang dikandung teks-teks syari’ah pasti dapat mewujudkan

mas฀lah฀ah, sehingga tidak ada maslahah diluar petunjuk teks

syari’ah dan karena itu tidak ada pertentangan antara mashlahah dan teks syari’ah.35

Adapun pengertian mas฀lah฀ah secara terminologi adalah memelihara dan mewujudkan tujuan syara’ yaitu meliputi pemeliharaan

agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta kekayaan. Setiap sesuatu yang

dapat menjamin dan melindungi eksistensi kelima hal tersebut

dikualifikasi sebagai mas฀lah฀ah.36

Sementara itu pembagian mas฀lah฀ah pada umumnya ulama lebih dulu meninjaunya dari segi ada atau tidaknya kesaksian syara’ terhadapnya.

34

Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam, (Malang, UIN malang Press, 2007) Cet. 1, h.113.

35Asmawi, “

Maslahah, Hukum Islam, dan Hukum Negara” Ahkam XI, No.2 (juli 2011): h.142.

36

(40)

29

Berdasarkan segi ada tidaknyan ketegasan justifikasi syara’

maslahah dibagi tiga yaitu :

1) al-mas฀lah฀ahal-mu’tabarah atau mu’atsirah yaitu mas฀lah฀ah

yang mendapat ketegasan justifikasi syara’ terhadap penerimaannya atau mas฀lah฀ah yang secara khusus diakui oleh syara’.37

2) al- mas฀lah฀ah al-mursalah yaitu mas฀lah฀ah yang tidak

terdapat dalil syara’ yang secara khusus mengakui ataupun

menolaknya.

3) al- mas฀lah฀ah al-mulgha adalah mas฀lah฀ah yang terdapat

kesaksian syara’ yang membatalkannya (menolaknya),

mas฀lah฀ah mulgha ini batil artinya tidak dapat dijadikan hujjah

atau sumber hukum karena ia bertentangan dengan nash. 38

Sesungguhnya penilaian sesuatu itu mas฀lah฀ah atau tidak adalah murni akal tetapi ulama membuat tiga katagori ini agar jelas

mana maslahat yang bisa di ambil dan yang tidak. Sehingga jelas

konsep mas฀lah฀ah ini tidak menabrak koridor-koridor yang disepakati.

37Asmawi, “

Maslahah, Hukum Islam, dan Hukum Negara” Ahkam XI, No.2 (juli 2011): h.143.

38

(41)

30

BAB III

ABDUL QADIR AL-JAILANI DAN KONSEP IBADAH DALAM SIRR AL-ASRAR

A. Biografi Abdul Qadir Al-Jailani

1. Kehidupan dan Pendidikan Abdul Qadir al-Jailani

Abdul Qadir al-Jailani lahir pada tanggal 1 Ramadhan tahun

470 Hijriah atau 1077 Masehi di Jailan, Persia. Ibunya seorang yang

saleh bernama Fatimah binti Abdullah al-Shama’i al-Husayni ketika

melahirkan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani ibunya berusia 60 tahun,

suatu kelahiran yang tidak lazim terjadi bagi wanita seumurnya.1 Nama ayah Abdul Qadir al-Jailani adalah Abu Shaleh Musa

bin Abdullah bin Musa al-jun bin Abdullah al-Mahdh bin Abu

Muhammad Hasan al-Mutsanna bin Hasan bin Ali bin Abu Thalib

(suami dari Sayyidah Fathimah, putri Rasulullah saw).2

Ayahnya Abu Shaleh Musa adalah seorang yang sangat zuhud

dan rajin beribadah hingga beliau mendapat gelar dalam bahasa

persia dengan sebutan Jangki Dausat atau muhibb al-jadid yakni

orang yang mencintai jihad melawan hawa nafsu.3

1

Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia,( Jakarta, Prenada Media, 2005), Cet.2, h. 26 .

2

Syukron Maksum, Wirid-Wirid Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, (yogyakarta, mutiara media, 2014), Cet. I, H. 201.

3

(42)

31

Abdul Qadir al-Jailani tiba di Baghdad pada tahun 488 H, pada

saat beliau berusia 18 tahun. Tahun itu juga betepatan dengan

keputusan Imam Abu Hamid al-Ghazali untuk meninggalkan

tugasnya mengajar di Universitas Nizhamiah, Baghdad. Sang imam

ternyata lebih memilih melakukan uzlah.4

Beliau (Abdul Qadir al-Jailani) kemudian sibuk dalam

mempelajari Al-Qur’an sampai menguasainya. Lalu belajar fikih

serta memantapkan keilmuan beliau dalam bidang ushul fikih,

furu’ul-fikh, dan ilmu khilaf.5

Beliau juga mempelajari hadist dan sibuk dengan mau‟idhah

sampai beliau mahir memberikan mau‟idhah. Beliau belajar ilmu

dari para ulama yang tersohor pada masanya. Di antara guru-guru

beliau adalah sebagai berikut.6

Ali bin Aqil Abul Wafa’ bin Aqil (w. 513 H), Mahfudz bin

Ahmad bin Hasan Abul Khattab al-Kalwadzaniy (w. 510 H), Yahya

bin Ali bin Muhammad Abu Zakariya At-Tibriziy (w.502 H),

Muhammad bin Muhammad bin Husain Abul-Husain bin Abu ya’la

al-Farra’ (w.526 H), Habitullah bin Mubarak bin Musa Abul-Barakat

As-Saqhathy (w 509. H), Hammad bin Muslim Abu Abdillah

Ad-Dabbas Ar-Rahbiy (w.525 H), dan guru-gurnya yang lain.7

4

Shaih Ahmad al-Syami, terjemah Mawaa‟izh al-Syekh „Abd al-Qadir al-Jaylani, (Jakarta, Zaman, 2012), Cet. IV, h. 16.

5

Abdul Qadir Al-Jailani, Kitab Para Pencari Tuhan, (Yogyakarta, Citra Media Pustaka, 2013), Cet. I, h. XV

6

Ibid., h.XV

7

(43)

32

Selain itu pada umur 18 tahun beliau belajar di madrasah

Abu Said al-Makhzumi setelah 33 tahun belajar gurunya Abu Said

al-Makhzumi wafat dan menyerahkan madrasahnya kepada Abdul

Qadir al-Jailani, mulai saat itu, beliau memberikan kuliah di

madrasahnya. Beliau memberikan materi 3 kali dalam seminggu.

Beliau menguasai berbagai cabang ilmu dalam islam, mulai dari

ilmu Tafsir, Hadis, Fikih, Bahasa, Qira’at, dan lain sebagainya.

Dalam hal fikih, beliau memberi fatwa menurut mazhab imam

Asy-Syafii dan Imam Ahmad ibn Hanbal.8

Ada dua jenis materi pembelajaran yang di sajikan Abdul Qadir

al-Jailani. Pertama materi pembelajaran tersetuktur yang mencakup

banyak ilmu pengetahuanb yang berhubungan dengan pendidikan

rohani dan ini sudah ada sejak sekolah didirikan, kedua materi

pembelajaran terkait tausiah dan dakwah umat yang rutin diadakan

dalm 3 sesi, (1). Jumat pagi (2) selasa sore (3) ahad pagi. Pada jumat

dan selasa di sekolah sedang ahad dilakukan di asrama.9

Murid – murid Abdul Qadir al-Jailani tak terhitung banyaknya

tapi ada beberapa muridnya yang menjadi bintang-bintang di dunia

keilmuan dan menjadi pelita ditengah-tengah umat. Diantarnya Al-

8

Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h. xxvi

9

(44)

33

Qadhi Abu Mahasin Umar bin Ali Hadhar Al-Qurasyi, Taqiyudin

Abu Muhammad Abdul Ghani bin Abdul Wahid bin Ali bin Surur

Al-Maqdisi, dan Muwaffiquddin Abu Muhammad Abdullah bin

Ahmad bin Muhammad bin Qadamah Al-Maqdusi.10

Di antara perkataan beliau yang masyhur adalah, “Aku telah

meneliti semua amal shaleh, dan tidak ada yang melebihi keutamaan

amal memberi makan.” Dan dikalangan kaum Sufi Abdul Qadir

al-Jailani diakui sosok yang menempati hierarki mistik yang tertinggi

(al-Ghawts al-A’zham).11 Selain itu juga beliau dijuluki sebagai

Sulthan al-Auliya (pemimpin para wali) karena klaim beliau dan pengakuan ulama-ulama sufi yang sezaman dengan beliau.

Abdul Qadir al-Jailani meninggal pada malam sabtu tanggal

delapan Rabi’ul Akhir tahun 561 H setelah magrib jenazahnya

dikubur di sekolahannya setelah disaksikan oleh manusia yang tidak

terhitung jumlahnya. 12

Diceritakan dalam pengantar tafsir al-jailani bahwa Pada saat

itu, semua tanah lapang, jalan, pasar, penuh oleh lautan manusia,

sehingga tak mungkin pemakaman Syekh dapat dilakukan disiang

hari.

Kemudian ibnu an-Najjar berkata, “Syekh Abdul Qadir al

-Jailani wafat pada masa pemerintahan Al-Mustanjid Billah Abul

10

Said bin Musfir Al-Qathani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, (Jakarta, Darul Falah, 2003), Cet. I, h. 16

11

Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h. xxv

12

(45)

34

Muzhaffar Yusuf bin Al-Muqtafa li-Amrillah bin Al-Mustazhhar

Billah al-Abbasi rahimahumullah.13

2. Karya – karya

1) Karya-Umum

Berikut adalah beberapa karya Abdul Qadir al-Jailani14 : a. Al-Ghunyah li Thalibi Thariqil Haq,

b. Futuhul Ghaib, c. Al-Fath ar-Rabbani, d. Jalâ‟ Al-Khâthir, e. Sirr Al- Asrâr, f. Ar-Rasâil,

g. Mukhtasar „Ulûm Ad-dîn, h. Ushûl Ad-dîn

i. Ushûl-As-Saba‟

j. Ash-Shalawât wa al-Aurâd

k. Al-Amr al-Muhkam

l. Tafsîr Al-Jailâni. m. Asrâr-Al-Asrâr

n. Yawâqît al-Hikam dan masih banyak karya yang lainya.15

13

Abdul Qadir al-Jailani, Tafsir Al-Jailani, (pentahkik Dr. Muhammad Fadhil Jailani Al-Hasani), (Ciputat, Salima Publika, 2013), Cet I, h. X.

15

(46)

35

Dalam disertasi Said al-Qathani yang berjudul buku putih

Abdul Qadir al-Jailani dinyatakan bahwa Abdul Qadir al-Jailani

tidak mempunyai karya berupa buku karena beliau terlalu sibuk

mengajar dan memberi nasehat.

al-Qathani hanya menerima tiga buku yang ditulis oleh

murid-murid Abdul Qadir al-Jailani yaitu Al-Ghunyah li Thalibi Thariqil Haq, Futuhul Ghaib, dan Al-Fath ar-Rabbani.16 Dan tidak menerima isi dalam ketiga kitab diatas jika berkaitan

dengan masalah aqidah dan suluk (tasawuf).

Sebenarnya buku-buku yang dinisbatkan Abdul Qadir

al-Jailani banyak ditulis oleh murid-murid beliau dan memang

banyak yang isinya adalah ceramah saat mengajar, tapi

buku-buku ini banyak diwariskan kepada generasi selanjutnya.

pada saat ini telah berdiri markaz al-Jailani yang mengumpulkan manuskrip dari seluruh dunia serta melakukan

riset terhadap buku-buku Abdul Qadir al-Jailani dan empat belas

buku yang disebutkan diatas diakui oleh pimpinan markaz

al-jailnai yaitu Dr. Muhammad Fadhil jailani al-Hasani yang

dijadikan pengantar di buku Tafsir al-Jailani, yang berhasil beliau tahkik.17

2) Kitab Sirr Al- Asrâr

16

Said bin Musfir Al-Qathani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, h.30-35.

17

(47)

36

Dalam membaca buku ini secara singkat dapat dikatakan bahwa

buku ini menjelaskan hal-hal mendasar dari ajaran islam, seperti

shalat, puasa, zakat, dan haji berdasarkan sudut pandang sufistik

(tasawuf).

Kitab yang ditulis Abdul Qadir al-Jailani di anggap sebagai

jembatan yang mengantarkan pada tiga karyanya yang terkenal yaitu

Ghunyah li Thalibi Thariq Haqq, Fath Ar-Rabbani wa Al-Faydh Ar-Rahmani dan Futuh Al-Ghaib.18

Adapun metode pengajaran dan penyampaian yang

digunakan dalam kitab sirrul asrar adalah metode bayani

(penjelasan), yakni dengan kata-kata yang tepat, ungkapan yang

mudah, seimbang dan jauh dari keruwetan. Sesuai dengan namanya

yaitu Sirrul Asrar, setidaknya 24 macam rahasia yang diungkapkan

Abdul Qadir al-Jailani dalam kitab ini.19

B. Pandangan Abdul Qadir al-Jailani Terhadap Realitas

Penulis melihat Abdul Qadir al-Jailani mempunyai cakrawala

berfikir yang unik dalam menjelaskan ajaran islam. Abdul Qadir

al-Jailani memandang realitas dunia ini tidak hanya secara fisik yang bisa

terindera saja tapi juga ada tingkatan alam-alam.

Dalam kitab Sirr Al- Asrâr dijelaskan manusia yang terdiri dari jasad serta ruh dan sesungguhnya ruh-ruh itu berasal dari Nur

18

Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h. xxi

19

(48)

37

Muhammad di alam lahut selanjutnya ruh-ruh diturunkan ke alam

terendah ke dalam jasad-jasad manusia.20

Proses turunnya ruh setelah diciptakan di alam lahut, kemudian diturunkan ke alam jabarut. Lalu disana ia dibalut dengan cahaya

jabarut sebagai pakaian antara dua haram (dua tempat antara dimensi ketuhanan dan dimensi makhluk, di alam kabir). Ruh dilapisan kedua

ini disebut Ruh Sulthani. Lalu diturunkan lagi ke alam Malakut dan dibalut cahaya Malakut kemudian disebut Ruh Ruwani. Kemudian diturunkan ke alam Mulki dan dibalut cahaya Mulki. Ruh dilapisan keempat inilah yang disebut Ruh Jismani. Selanjutnya Allah menciptakan jasad-jasad sebagaimana firman Allah (QS. Thâha [20] :

55), setelah tercipta jasad-jasad Allah SWT memerintahkan Ruh (di

alam Mulki tadi) agar masuk ke dalam jasad-jasad itu dan Ruh pun

masuk kedalamnya.21

Abdul Qadir al-Jailani melihat bahwa kehidupan ini sesungguhnya

ada hirarki transendental dari alam Mulki, alam Malakut, alam Jabarut,

dan alam Lahut (negeri asal), dan sesungguhnya cakrawala pengetahuan

tentang hirarki ini bisa di capai dengan menjalankan syariat, tariqat dan

hakikat.

C. Konsep Ibadah Abdul Qadir al-Jailani dalam Kitab Sirr Al-Asrar

20

(49)

38

Dalam penelitian ini penulis mencoba menelaah kitab sirrul asrar

khususnya pada bab tentang ibadah yaitu konsep thaharah dan shalat.

Pada kitab Sirr Al-Asrar Abdul Qadir al-Jailani menjelaskan tentang

thaharah (bersuci) dan shalat menurut syari’at dan tarekat.

1. Thaharah

Bersuci ada dua macam yakni bersuci secara lahir; dan bersuci

secara batin. Bersuci secara lahir dilakukan dengan menggunakan

air. Adapun bersuci secara batin dilakukan dengan tobat, talqin,

membersihkan kalbu dan menjalankan tarekat. Bila wudhu syari’at

batal karena keluarnya najis, maka seseorang wajib memperbaharui

wudhunya.22

Setiap memperbaharui whudu akan menghapuskan

dosa-dosanya, Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,

Artnya : “Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah

SAW bersabda: “Apabila seorang hamba muslim atau mukmin berwudhu, lalu membasuh wajahnya maka keluarlah dari wajahnya segala dosa-dosa karena penglihatan matanya bersama dengan air atau bersama tetes air yang terakhir. Apabila membasuh kedua tangannya maka keluarlah dari kedua tangannya segala dosa-dosa karena perbuatan kedua tangannya bersama dengan air atau bersama tetes air yang terakhir. Apabila membasuh kedua kakinya maka keluarlah dari kedua kakinya segala dosa-dosa yang ditempuh oleh kedua kakinya bersama dengan air atau bersama tetes air yang

22

(50)

39

terakhir sehingga ia keluar dalam keadaan bersih dari dosa-dosa” (HR.Muslim)23

Bila wudhu batin batal karena melakukan amalan yang tercela

dan akhlak yang hina, seperti (dosa kalbu yakni) sombong, „ujub

(berbangga diri), hasad (dengki), hiqd (dendam), mengumpat, mengadu-adu, dan bohong atau dosa badan, seperti dosa mata,

telinga, tangan, dan kaki. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,

Artinya : “Kedua mata dapat berzina, kedua tangan dapat berzina, & kemaluan membenarkannya atau menolaknya.”(HR.Ahmad).24

Maka cara memperbarui wudhunya adalah dengan tobat yang

ikhlas dari semua dosa kalbu dan badan di atas dan dengan

memperbarui inabah (kembali kepada Allah) yakni dengan

menyesali semua dosa-dosa dan memohon ampunan serta

menghancurkan dosa-dosa tersebut langsung dari batinnya.

Bagi Abdul Qadir al-Jailani Seorang ahli makrifat harus selalu

menjaga tobatnya dari dosa-dosa yang merusak tadi, agar shalatnya

menjadi sempurna. Sebagaimana firman Allah SWT ,







  



23 Abū al

-Ḥusayn Muslim ibn al-Ḥajjāj ibn Muslim al-Qushayrī an-Naysābūrī, Shahih Muslim, (Beirut, Darul al-afak al-jadidah, t.t), juz I, hlm.148.

24

(51)

40

Artinya :“Inilah yang dijanjikan kepadamu, yaitu kepada setiap hamba yang selalu kembali kepada Allah dengan bertobat dan memelihara semua peraturan-peraturannya. ” (QS. Qaf (50): 32).

Jika wudhu lahir dan shalat lahir mempunyai waktu tertentu

setiap satu hari satu malam, maka wudhu batin dan shalat batin

waktunya seumur hidup, dari hari ke hari tanpa putus.25

Penulis melihat dari hasil perpaduan wudhu lahir dan batin

akan meghasilkan buah yaitu akhlak seperti lebih rendah hati, lebih

beradab, sehingga ada peningkatan dari hari ke hari. Itulah buahnya

sehingga kita bisa lebih dekat kepada Allah. Sebab, justru di

hadapan Allah kita semakin menundukan kepala, karena semua ini

adalah pemberian-Nya, kalau bukan karena pemberian-Nya

bagaimana bisa mengerti segala yang kita miliki ini.

2. Shalat

Shalat menurut Syariat adalah ibadah yang sudah sangat

dikenal yaitu ucapan dan perbuatan yang diawali dengan ucapan

takbir dan diakhiri dengan ucapan salam.26

Shalat memeiliki beberapa persyaratan yang harus dilakukan

sebelumnya, yaitu: bersuci dengan air yang suci, dengan pakaian

25

Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h.169.

26

(52)

41

yang suci, bertempat di tempat yang suci, menghadap kiblat, niat, dan

telah masuk pada waktunya.27

Maksud shalat syari’at, yang disebutkan dalam Al-Qur’an ini,





 









“Hendaklah kamu menjaga shalat-shalatmu dan shalat wustha

(yang di tengah).” (QS. Al-Baqarah (2): 238)

Ialah shalat yang rukun-rukunnya berkaitan dengan gerakan

anggota badan yang lahir, seperti berdiri, membaca ayat atau surah,

rukuk, sujud, dan mengeluarkan suara dan bacaan-bacaan. Makanya

Allah SWT menggabungkan dengan lafadz jamak “shalawat”

(beberapa shalat) sebagai isyarat akan shalat syari’at yang lima

waktu.

Adapun shalat tarekat adalah shalatnya kalbu dan itu dilakukan

tanpa batas waktu atau selama-lamanya. Sebagaimana diisyaratkan

pada ayat di atas dalam kalimat, “Shalat Wustha.” Maksud dari

shalat al-wustha yaitu shalat kalbu karena hati berada di tengah

(al-wasth) badan; antara kanan dan kiri; antara atas dan bawah; juga

yang menjelaskan rasa antara bahagia dan menderita.

Sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasulullah SAW,

27

(53)

42

Artinya :“Sesungguhnya kalbu manusia ada di antara dua jari-jari Allah, Allah membolak-baliknya sesuai dengan kehendak-Nya.” (HR. Muslim)28

Maksud dari dua jari Allah SWT ialah dua sifat Allah, yaitu

sifat Maha Memaksa (Al-Qahhar) dan sifat Maha Lembut ( Al-Lathif). Dari ayat dan hadits di atas diketahui bahwa shalat yang pokok adalah shalat kalbu. Bila shalat kalbu dilupakan, maka

rusaklah shalat kalbu dan shalat jawarih-nya. 29

Hal itu karena, orang yang shalat sedang bermunajat

(berdialog) dengan Tuhannya. Sedangkan, alat untuk munajat adalah

kalbu. Bila kalbu lupa maka “batallah” shalat kalbu sekaligus shalat

badannya karena kalbu merupakan inti, dan anggota badan yang lain

mengikutinya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,

Artinya :

Sesungguhnya di dalam jasad manusia ada segumpal daging. Bila ia baik, kekujur badan akan ikut baik dan bila ia buruk,

sekujur badan pun menjadi buruk. Itulah hati. ” (HR.Al-Bukhari)30

Shalat syari’at sebagaimana diketahui secara fiqh mempunyai

waktu tertentu, dalam satu hari satu malam wajib dikerjakan lima

kali. Dan, shalat syari’at ini sunahnya dilakukan di masjid secara

28 Abū al

-Ḥusayn Muslim ibn al-Ḥajjāj ibn Muslim al-Qushayrī an-Naysābūrī, Shahih Muslim, (Beirut, Darul al-afak al-jadidah, t.t), juz 8, hlm.51.

29

Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h.174.

30

(54)

43

berjamaah, menghadap ka’bah dan mengikuti gerakan imam, tanpa

riya’ dan sum’ah.

Sedangkan shalat tarekat dilakukan seumur hidup tanpa batas

waktu. Masjidnya adalah kalbu. Cara berjamaahnya ialah dengan

memadu kesucian batin untuk menyibukkan diri dengan asma-asma

tauhid melalui lisan batin. Imamnya adalah rasa rindu di dalam kalbu

untuk sampai kepada Allah SWT. Kiblatnya ialah Hadhrah

Al-Ahadiyah (fase tertinggi dari maqam ruh) yakni hadirat Allah yang

Maha Tunggal dan Keindahan Allah SWT. Itulah kiblat yang hakiki.

Selamanya, kalbu dan ruh tidak boleh lepas dari shalat ini.31

Dalam menjalankan shalat tarekat ini, kalbu tidak boleh tidur

dan tidak boleh mati. Ia selalu punya kegiatan, saat tidur maupun

terjaga. Shalat tarekat dilakukan dengan hidupnya kalbu tanpa suara,

tanpa berdiri dan tanpa duduk. Orang yang menjalankan shalat

tarekat, akan selalu berhadapan dengan Allah SWT dan senantiasa

siaga dengan ucapan, “Kepada-Mu kami beribadah dan kepada-Mu

kami memohon pertolongan,” dan mengikuti Nabi Muhammad

SAW karena begitulah keadaan Nabi.32

Al-Qadhi di dalam menafsirkan ayat di atas berkata, “Ayat ini

merupakan isyarat tentang kalbu seorang ahli makrifat kepada Allah,

yang telah berpindah dari keadaan gaib kepada Al-Hadrah Ahadiyah

31

Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h.175.

32

(55)

44

(fase tertinggi dari maqam ruh). Ini, sesuai dengan sabda Rasulullah

SAW,”

Artinya : “Para Nabi dan para wali selalu shalat di alam kuburnya,

seperti halnya mereka shalat di rumahnya.” (HR. Al-Bazzar)33

Abdul Qadir al-Jailani mengartikan, mereka selalu sibuk

bermunajat pada Allah SWT karena hatinya yang hidup.

Bagi Abdul Qadir al-Jailani Bila dua shalat syari’at dan shalat

tarekat ini telah berpadu secara lahir dan batin, maka sempurnalah

Gambar

gambaran awal bahwa al-Syatibi merupakan salah seorang ulama

Referensi

Dokumen terkait

Judul : Konsep Kesesatan Menurut Syaikh Abdul Qadir al-Jilani Dengan ini, kami menilai Tesis tersebut dapat disetujui untuk diajukan dalam sidang ujian Tesis pada Program

Majlis Dzikir tersebut dalam bentuk penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Isi Pesan Dakwah Dalam Kegiatan Dzikir Syaikh Abdul Qadir Jailani Di Majlis Dzikir Pondok

bangkai/daging saudaranya yang sudah mati).. Syeikh Abdul Qadir al-Jailani sebagai orang-orang yang suka ghibah dan mereka merupakan musuh-musuh amal. Bersifat dengan

Tafsir al-Jaila>ni Tahqiq Fad}il Jailani al-H}asani al-Taila>ni..

Sepulang dari Madinah, Fadhil Jailani memulai mencari kitab-kitab Syaikh Abdul Qadir al-Jailani r.a pada tahun 1977 di Madinah dan daerah yang lain sampai tahun

Relevansi antara konsep pendidikan spiritual Syaikh Abdul Qadir Al Jaiani terhadap konsep pendidikan Islam di Indonesia dapat ditemukan bahwa konsep tauhid pada

Kitab Al- Muwafaqad menjadi buku pegangan wajib bagi mereka yang mengambil Syu’bah Islamic Studies.Dalam Kitab Al-Muwafaqat bukan hanya menjelaskan dasar-asar ilmu Usul Fiqh dengan

Sebagai seorang sufi, pemimpin, dan waliyullah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani adalah orang yang mampu menarik jutaan Umat Islam khususnya di Indonesia agar selalu jujur kepada siapapun