1
KEPENGARANGAN :
Judul Buku : The Rain That Holds the Name of Ana Maryana ( Answering Broken Wings by Kahlil Gibran ) : Hujan Yang menyimpan
Nama Ana Maryana ( Menjawab Sayap Sayap Patah karya Kahlil Gibran )
Penulis / Editor : Ferizal
QRCBN : 62-6418-0306-723 https://www.qrcbn.com/check/62-6418-0306-723 Pembuat Sampul : Ferizal
Jumlah Halaman : 194
Jenis Penerbitan : PT. TV FANA SPM KESEHATAN PUSKESMAS
Edisi : 13-6-2025
https://indonesianhealthpromotionliterature.blogspot.com/
Puskesmas Muara Satu, Desa Padang Sakti, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh 24353
2
PRAKATA PENULIS
Ferizal is the Father of Indonesian Health Promotion Literature : Ferizal Bapak Sastra Promosi Kesehatan Indonesia …. The Excellence of Indonesian Health Promotion Literature by Ferizal : Keunggulan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia Karya Ferizal..
Fondasi Digital AI Indonesia menuju Indonesia Emas 2045….
Ferizal “Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia”, dikenal karena upayanya dalam mengintegrasikan sastra dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital. Keunggulan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia ada pada integrasi dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital atas nama Ferizal.
Ada 7 Inovasi Promosi Kesehatan Digital yang telah terintegrasi dengan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia :
1. Inovasi TV Saka Bakti Husada : TV Puskesmas Indonesia 2. Inovasi TV Promkes Bergerak Keliling
3. Inovasi Kampung Cyber PHBS Sandogi 4. Inovasi TV Fana SPM Kesehatan Puskesmas
5. Inovasi Layanan Kader Kelas Digital Untuk SPM Kesehatan Puskesmas
6. Inovasi Kampung Gerimis ( Gerakan Intervensi Imunisasi Melalui Inisiasi Serentak )
7. Inovasi Ana Maryana ( Ajak Anak Merawat Diri Yang Paripurna )
3
Ferizal has integrated seven digital health promotion innovations with Indonesian Health Promotion Literature. Ferizal is
recognized as "Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia"
( The Pioneer of Indonesian Health Promotion Literature ). He is known for integrating literature with digital health promotion innovations.
Ferizal has created innovations in digital health promotion, including : Ada 7 Inovasi Promosi Kesehatan Digital yang telah terintegrasi dengan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia :
1. Inovasi TV Saka Bakti Husada: TV Puskesmas Indonesia 2. Inovasi TV Promkes Bergerak Keliling
3. Kampung Cyber PHBS Sandogi
4. Inovasi TV Fana SPM Kesehatan Puskesmas
5. Inovasi Layanan Kader Kelas Digital Untuk SPM Kesehatan Puskesmas
6. Inovasi Kampung Gerimis ( Gerakan Intervensi Imunisasi Melalui Inisiasi Serentak )
7. Inovasi Ana Maryana ( Ajak Anak Merawat Diri Yang Paripurna )
Ferizal has integrated seven digital health promotion innovations with Indonesian Health Promotion Literature. Ferizal
“Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia”, dikenal karena upayanya dalam mengintegrasikan Sastra dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital atas nama Ferizal.
4
Keunggulan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia ada pada integrasi dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital atas nama Ferizal.
Saat Manusia Harus Bersaing Dengan AI, Robot dan Softaware : Ferizal The Pioneer of Indonesian Health Promotion Literature .
Ferizal “Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia”, dikenal karena upayanya dalam mengintegrasikan Sastra dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital atas nama FERIZAL . Keunggulan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia ada pada integrasi dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital atas nama Ferizal. .
Ada 7 Inovasi Promosi Kesehatan Digital yang telah terintegrasi dengan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia : Ferizal has integrated seven digital health promotion innovations with Indonesian Health Promotion Literature…
Ferizal is recognized as "Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia" ( The Pioneer of Indonesian Health Promotion Literature ). He is known for integrating literature with digital health promotion innovations.
Ferizal has created innovations in digital health promotion, including : Ada 7 Inovasi Promosi Kesehatan Digital yang telah terintegrasi dengan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia :
1. Inovasi TV Saka Bakti Husada: TV Puskesmas Indonesia 2. Inovasi TV Promkes Bergerak Keliling
5
3. Kampung Cyber PHBS Sandogi
4. Inovasi TV Fana SPM Kesehatan Puskesmas
5. Inovasi Layanan Kader Kelas Digital Untuk SPM Kesehatan Puskesmas
6. Inovasi Kampung Gerimis ( Gerakan Intervensi Imunisasi Melalui Inisiasi Serentak )
7. Inovasi Ana Maryana ( Ajak Anak Merawat Diri Yang Paripurna ) Ferizal has integrated seven digital health promotion innovations with Indonesian Health Promotion Literature. Ferizal
“Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia”, dikenal karena upayanya dalam mengintegrasikan Sastra dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital atas nama FERIZAL . Keunggulan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia ada pada integrasi dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital atas nama Ferizal.
Ferizal “Sang Pelopor Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia”
juga merangkap sebagai “Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia”.
6
Ferizal penganut aliran sastra romantisme aktif. Romantisme aktif merupakan aliran dalam karya sastra yang mengutamakan ungkapan perasaan, mementingkan penggunaan bahasa yang indah, ada kata-kata yang memabukkan perasaan sebagai perwujudan, menimbulkan semangat untuk berjuang dan mendorong keinginan untuk maju menyongsong Indonesia Emas tahun 2045.
Ferizal “Sang Pelopor Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia”
adalah sastrawan dan PNS Lhokseumawe : penulis 18 buku sastra terkait profesi Dokter Gigi.
Ferizal mengucapkan "Sumpah Amukti Palapa Jilid II" di Bumi Bertuah Malaysia, sumpah untuk menyatukan Nusantara di bawah naungan "Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia" ... Menuju Indonesia Emas tahun 2045
Dengan inspirasi Amukti Palapa, dengan penuh semangat juang.. Tanggal 25 Juni 2013 Ferizal mengumumkan sumpah di bumi bertuah Malaysia, Sebuah sumpah yang kemudian dinamakan Sumpah Amukti Palapa Jilid Dua:
“Saya bersumpah demi Tuhan, demi harga diri bangsa saya, bahwa saya tidak akan menyerah, tidak akan beristirahat, sampai saya mampu menyatukan Nusantara dibawah naungan Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia.”
Ferizal merupakan ‘Sang Pelopor Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia’. Beliau telah menerbitkan 14 Novel tentang Dokter Gigi :
7
1. Novel Pertarungan Maut Di Malaysia.
2. Novel Ninja Malaysia Bidadari Indonesia
3. Novel Superhero Malaysia Indonesia ( Kisah Profesi Dokter Gigi Merangkum Seni, Estetika dan Kesehatan ).
4. Novel Garuda Cinta Harimau Malaya
5. Novel Ayat Ayat Asmara ( Kisah Cinta Ferizal Romeo dan Drg.Diana Juliet ).
6. Novel Dari PDGI Menuju Ka’bah ( Kisah Pakar Laboratorium HIV Di Musim Liberalisasi ).
Novel ini kemudian di daur ulang menjadi Novel “Inovasi Difa atau Dokter Vivi dan Ferizal Legenda Puskesmas” ( ISBN: 978-602-474- 892-0 Penerbit CV. Jejak )
7. Novel Laskar PDGI Bali Pelangi Mentawai ( Kisah Drg.Ferizal Pejuang Kesgilut).
8. Novel Drg.Ferizal Kesatria PDGI ( Kisah Tokoh Fiktif Abdullah Bin Saba’, dan Membantah Novel The Satanic Verses karya Salman Rushdie )
9. Novel “Dokter Gigi PDGI Nomor Satu ( Kisah Keabadian Cinta Segitiga Drg.Ferizal SpBM, Drg Diana dan Dokter Silvi )”...
8
Buku ini di daur ulang menjadi Novel berjudul : "Warisan Budaya Akreditasi Puskesmas Indonesia : Sastra Novel Dokter Gigi" ( ISBN ::
978-602-5627-37-8 Penerbit :: Yayasan Jatidiri Bandung )
10. Novel Demi Kehormatan Profesi Dokter Gigi ( Kisah FDI World Dental Federation Seribu Tahun Tak Terganti )
11. Novel Dokter Gigi Bukan Dokter Kelas Dua ( Kisah Superioritas Dokter Gigi Pejuang Kesgilut )
12. Novel “Sastra Novel Dokter Gigi Warisan Budaya Indonesia Modern” ( Kisah “Sastra Novel Dokter Gigi” Membuktikan Profesi Dokter Gigi Tidak Sebatas Gigi Dan Mulut Saja ) … ( ISBN :: 978-602- 562-731-6 Penerbit :: Yayasan Jatidiri Bandung )
13. Novel “Sastra Novel Dokter Gigi Warisan Budaya Akreditasi Puskesmas Nusantara” ( Kisah Drg.Diana dan Ferizal Lambang Cinta PDGI )... ISBN: 978-602-474-495-3 Penerbit CV. Jejak
14. Novel "Indonesia 2030 Menjawab Novel Ghost Fleet"
Fakta hukum bahwa Ferizal merupakan ‘Sang Pelopor Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia’ tidak terbantahkan, misalnya dapat dilihat melalui 6 buku berikut ini :
9
a. Buku berjudul : “Ferizal Sang Pelopor Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia”, Penerbit Yayasan Jatidiri, dengan ISBN : 978-602-5627- 08-8.
b. Buku berjudul : “Ferizal Sang Pelopor Sastra Novel Dokter Gigi NKRI”, Penerbit CV. Jejak, ISBN : 978-602-5675-02-7
c. Buku berjudul : “Ferizal Sang Pelopor Sastra Novel Kedokteran Gigi Indonesia”, Penerbit CV. Jejak, ISBN : 978-602-5675-24-9
d. Buku berjudul : "Ferizal Sang Pelopor Sastra Novel Dokter Gigi Republik Indonesia" ( ISBN: 978-602-5769-65-8), Penerbit : CV. Jejak.
e. Buku berjudul : “SEJARAH KEDOKTERAN GIGI, VAKSINASI COVID- 19, PERPUSTAKAAN NASIONAL DAN FERIZAL”
f. Buku berjudul : “FERIZAL PENGGAGAS INOVASI KAMPUNG CYBER PHBS SANDOGI ( Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia )”
Ferizal merupakan ‘Sang Pelopor Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia’, karya-karya Beliau beraliran Romantisme Aktif, juga beraliran Filsafat Intuisionisme. Beliau telah menerbitkan 14 novel mempesona tentang Dokter Gigi. Total ada 18 buku sastra dan 2 buku ilmiah yang pernah diterbitkan oleh ASN Pemerintah Kota Lhokseumawe ini.
10
DAFTAR ISI
PRAKATA PENULIS……….……….……… 3
DAFTAR ISI………..11
BAB 1 The Rain That Holds the Name of Ana Maryana ………. 12
BAB 2 Antologi Puisi Ana Maryana : Merawat Diri Merawat Cinta ……….………95
BAB 3 The Excellence of Indonesian Health Promotion Literature ………..……109
BAB 4 History of Indonesian Health Promotion Literature : Sejarah Sastra Promosi Kesehatan Indonesia…….………...137
BAB 5 Sejarah Inovasi Promosi Kesehatan Digital di Indonesia……….….147
BAB 6 Inovasi Promosi Kesehatan Digital Indonesia : Salah Satu Tokoh Utamanya Adalah Ferizal………..……153
BAB 7 Tujuh Inovasi Promosi Kesehatan Digital.………..…..168
DAFTAR PUSTAKA………..186
RIWAYAT PENULIS…………..………..…187
11
Bab 1
The Rain That Holds the Name of Ana Maryana ( Answering Broken
Wings by Kahlil Gibran ) : Hujan Yang menyimpan Nama Ana Maryana ( Menjawab Sayap Sayap Patah karya Kahlil Gibran )
Kisah ini bercerita tentang kota yang basah oleh hujan, hidup seorang perempuan bernama Ana Maryana yang terperangkap dalam jerat takdir dan restu orang tua yang tak kunjung tiba. Dalam cinta yang tak sempat mekar, ia menemukan dirinya terhimpit antara ketaatan dan suara hatinya.
Ferizal, seorang pemuda sederhana dengan cita-cita mulia di bidang kesehatan masyarakat, jatuh cinta pada Ana Maryana. Namun cinta mereka patah sebelum sempat terbang. Tidak seperti Gibran yang meratap pada kehilangan, Ferizal menjawabnya melalui hujan yang terus menyimpan nama Ana Maryana, sebagai upaya penyembuhan jiwa yang luka.
**********
Langit sore itu berwarna kelabu, seolah menyimpan rahasia yang enggan diungkapkan. Di sebuah sudut taman kota, Ferizal duduk di bangku tua, memandangi dedaunan yang gugur perlahan—seperti hatinya yang remuk perlahan.
Ia tak menyangka, cinta bisa berubah menjadi luka yang ditorehkan oleh tangan yang tak pernah ia duga. 12
Namanya Damar, pacar Ana Maryana—pria yang seharusnya menjadi pelindung, bukan penyiksa. Pria yang seharusnya menjadi tumpuan, bukan perusak.
Hari itu, ketika Ferizal berniat mengantar buku yang Ana pinjam, Damar menunggunya di gang sempit, bersama kemarahan yang tak bisa ia bendung.
“Aku tahu kau mencintainya,” ucap Damar dengan suara bergetar, bukan oleh takut, tapi oleh api cemburu yang membakar nalar.
Ferizal tak menampik, tapi juga tak mengiyakan. Ia percaya, cinta bukan perihal memiliki, melainkan soal menjaga dari jauh, diam-diam.
Namun, Damar tak butuh jawaban. Ia butuh pelampiasan.
Tinju pertama mendarat di pipi Ferizal, dingin seperti batu.
Tinju kedua menghantam perutnya, membengkokkan tubuhnya seperti ranting patah. Tendangan-tendangan berikutnya seperti badai yang tak memberi jeda.
Ferizal jatuh, tapi tak memaki. Ia tersungkur, tapi tak membalas.
Karena di hatinya, Ana adalah bunga yang tak boleh disirami kebencian.
"Kalau kau mencintainya, tinggalkan dia, engkau harus rela pergi!" teriak Damar di akhir amarahnya.
13
Dan Ferizal, dalam derita yang membiru di tubuhnya, ingin menjawab dengan suara pelan nyaris seperti bisikan angin, tetapi tubuhnya memar dan hatinya koyak.
Ana Maryana kecewa dengan luka yang dibuat Damar. Ferizal menyimpannya dalam sunyi, membiarkannya menjadi puisi-puisi yang ia tulis dengan air mata yang tersembunyi.
Ferizal mengalami koma selama satu bulan di Rumah Sakit
Sebuah lorong waktu yang dipenuhi cahaya lembut, dua sosok berjalan berdampingan. Kahlil Gibran dengan jubah putih dan wajah tenang, Ferizal dengan buku di tangan. Di sisi kanan, bunga-bunga tanpa nama bermekaran, di sisi kiri kabut tipis menyelimuti lembah perang. Judul ditulis dengan font elegan, warna emas lembut di tengah nuansa biru dan abu-abu.
Di sebuah dimensi waktu yang tak terikat, dua jiwa besar bertemu: Kahlil Gibran, sang penyair cinta dan kebijaksanaan, dan Ferizal, pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia. Mereka berjalan bersama menyusuri lorong-lorong jiwa, membahas cinta, kematian, perjuangan, dan makna kehidupan.
Pertemuan mereka takdirkan untuk saling mengilhami, dalam pencarian kebenaran yang lebih luhur. Percakapan mereka menjadi jembatan antara Timur dan Barat, antara masa lalu dan masa depan, antara cinta yang puitis dan cinta yang membebaskan.
14
Di sebuah ruang tanpa batas, antara terang dan bayang, seorang pria berselendang putih duduk di bawah pohon. Matanya menatap jauh, seperti menunggu seseorang.
"Engkaukah yang menulis tentang cinta dan kesedihan itu?"
tanya Ferizal, yang baru saja tiba di lorong waktu yang misterius.
Pria itu tersenyum. "Aku hanyalah pena yang menuliskan suara jiwa. Aku Kahlil."
Ferizal mendekat, hatinya bergetar. "Aku Ferizal. Aku menulis untuk kesehatan, tentang luka yang ingin kusembuhkan."
Kahlil Gibran menatap Ferizal dalam. "Luka adalah pintu menuju kedewasaan. Cinta adalah obat yang kadang pahit, kadang manis.
Maukah kau berjalan bersamaku dalam perbincangan yang mungkin tak selesai, bahkan oleh waktu?"
Ferizal mengangguk. "Aku mencari makna. Jika engkau bersedia menjadi temanku, aku ingin belajar tentang kehidupan dari sudut matamu."
Maka dimulailah perjalanan itu — dua jiwa menelusuri pertanyaan abadi tentang cinta, kematian, dan harapan. Mereka tak sedang mencari jawaban, mereka sedang menciptakan makna.
Di sebuah lorong waktu yang tidak dikenali oleh kalender manusia, di antara cahaya dan bayang yang menari dalam keabadian,
15
Ferizal melangkah dengan pelan. Ia tidak tahu dari mana ia datang, dan ke mana ia hendak pergi. Yang ia tahu, hatinya dipenuhi pertanyaan yang selama ini tak kunjung menemukan istana cinta.
Ia mendengar desiran angin yang membawa bisikan, seperti doa yang dilupakan, seperti rindu yang tak pernah sampai.
Di ujung lorong itu, ada seorang lelaki berselendang putih.
Rambutnya panjang, matanya teduh, dan senyumnya seperti air sungai yang mengalir perlahan.
“Engkaukah yang menulis tentang cinta yang hening dan luka yang tak terucap?” tanya Ferizal dengan suara gemetar.
Pria itu memandangnya lembut. “Aku adalah ia yang menulis bukan dari pena, tapi dari deru napas jiwa. Aku Kahlil.”
Ferizal menunduk, seakan bertemu sahabat lama yang selama ini ia cari dalam sunyi. “Aku Ferizal. Aku menulis tentang kesehatan, tentang luka yang ingin kusembuhkan. Tapi entah mengapa, aku lebih sering jatuh cinta pada luka itu sendiri.”
Kahlil tersenyum, matanya mengisyaratkan bahwa luka dan cinta adalah dua saudara yang lahir dari rahim yang sama.
“Ferizal,” ujar Kahlil perlahan, “Cinta yang besar tak selalu menyembuhkan. Kadang ia justru mengoyak, membuka ruang yang selama ini kau tutup rapat. Dan dari situ, kau mengenal siapa dirimu sebenarnya.”
16
Ferizal menatap Kahlil dalam-dalam. “Aku takut pada kehilangan.
Aku takut pada perpisahan. Aku takut bahwa kata-kataku hanyalah riak yang menghilang di lautan sejarah.”
Kahlil menggeleng pelan. “Ketakutan adalah guru yang lembut, jika engkau mau mendengarnya. Kata-katamu tidak pernah hilang, Ferizal. Ia akan tinggal di jiwa orang-orang yang membacanya, bahkan setelah tubuhmu menjadi debu.”
Mereka berjalan bersama, menyusuri lorong waktu yang tidak mengenal batas. Di sepanjang jalan, pohon-pohon tumbuh dari puisi yang terlupakan. Bunga-bunga bermekaran dari doa yang tak pernah dikabulkan.
Di sana, waktu menjadi teman. Bukan musuh.
Ferizal menoleh pada Kahlil. “Apa yang membuatmu menulis begitu dalam tentang cinta, padahal dunia begitu keras?”
Kahlil memandang ke langit yang biru abadi. “Karena cinta adalah satu-satunya hal yang sanggup melembutkan kerasnya dunia. Tanpa cinta, bahkan kesehatan pun menjadi hampa.
Bukankah engkau menulis untuk menyembuhkan, bukan sekadar memperbaiki tubuh, tapi juga mengobati jiwa?”
Ferizal tersenyum. “Mungkin aku terlalu sibuk mengejar penyembuhan fisik, hingga lupa bahwa luka jiwa jauh lebih membutuhkan pelukan.”
17
Kahlil menepuk bahu Ferizal pelan. “Mari kita berjalan bersama, bertukar kata, bertukar makna. Kau ajarkan aku tentang kesehatan yang melampaui tubuh, dan aku akan mengajakmu menari bersama cinta yang melampaui waktu.”
Dan sejak saat itu, perjalanan mereka dimulai. Bukan untuk mencari jawaban, tetapi untuk menemukan kedalaman baru dalam pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah selesai.
Di sebuah taman yang mekar abadi, Kahlil Gibran dan Ferizal duduk di bawah pohon kenangan. Angin lembut berhembus, membawa wangi bunga yang tak dikenal, seolah bunga itu tumbuh dari kata-kata yang pernah ditulis, namun tak pernah dikirimkan.
“Ferizal, adakah engkau pernah menulis surat yang tak pernah sampai pada orang yang kau cintai?” tanya Kahlil, memecah keheningan.
Ferizal tersenyum tipis, tatapannya menerawang. “Ada. Bahkan, mungkin sebagian besar suratku tak pernah kukirim. Aku menulis untuk Ana Maryana, perempuan yang selalu hadir dalam doaku, namun aku takut cintaku hanya akan menjadi beban baginya.”
Kahlil menatap Ferizal dengan dalam. “Mengapa engkau takut mengirimkan surat-suratmu?”
“Karena cinta yang terucap seringkali menuntut balasan. Aku ingin mencintainya tanpa syarat. Aku ingin cukup dengan menulis, tanpa perlu memilikinya.”
18
Kahlil tersenyum, matanya seperti memeluk Ferizal. “Engkau adalah jiwa yang lembut, Ferizal. Tetapi, cinta bukan tentang memiliki atau tidak memiliki. Cinta adalah tentang menjadi. Menjadi lebih lapang. Menjadi lebih manusia.”
Ferizal menunduk. “Aku menulis surat-surat itu agar aku tetap waras, agar aku tetap sehat. Kadang, menulis adalah caraku merawat luka tanpa harus menyembunyikannya.”
Kahlil tersenyum. “Engkau telah menemukan rahasia yang banyak orang lupakan. Bahwa menulis adalah pengobatan yang paling sunyi. Kata-kata yang jujur adalah obat yang tak dijual di apotik.”
Lalu, dari balik jubahnya, Kahlil mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil. Ia membukanya perlahan. Di dalamnya, ada puluhan surat, usang namun harum.
“Ini adalah surat-suratku. Surat yang tak pernah kukirim pada perempuan yang mengisi relung jiwaku. Aku menulisnya untuknya, tetapi kutinggalkan untuk semesta.”
Ferizal menatap surat-surat itu dengan takjub. “Apakah engkau menyesal tak pernah mengirimkannya?”
Kahlil menatap langit, lalu tersenyum. “Tidak, karena aku tahu, cinta sejati tidak selalu harus sampai. Kadang ia cukup menjadi angin yang membelai, atau embun yang singgah sebentar di pagi hari. Cinta yang tidak sampai, justru menjadi abadi.”
19
Ferizal merasakan dadanya sesak, bukan oleh kesedihan, tapi oleh keindahan yang tak mampu dijelaskan oleh kata.
Ia lalu mengeluarkan sebuah surat dari sakunya. Surat yang ditulisnya bertahun-tahun lalu, untuk Ana Maryana, yang hingga hari ini tak pernah ia kirimkan.
Dengan tangan gemetar, ia menyerahkannya pada Kahlil.
“Bacalah. Ini suratku yang tak pernah menemukan jalannya.”
Kahlil membuka surat itu, membacanya perlahan. Isinya sederhana, tetapi setiap katanya memancarkan ketulusan yang dalam.
Ana Maryana, jika suatu hari kau membaca ini, ketahuilah bahwa aku menulis bukan untuk membuatmu datang, tetapi agar aku tetap hidup dalam rinduku.
Karena mencintaimu adalah caraku memeluk hidup, meski aku tak pernah menyentuhmu.
Setelah membaca, Kahlil melipat surat itu dengan hati-hati.
“Suratmu telah sampai, Ferizal. Bukan pada dia, tetapi pada langit, pada pohon-pohon, pada semesta yang menjadi saksi.”
Ferizal menatap Kahlil. “Apakah aku harus mengirimkan surat itu padanya?”
Kahlil tersenyum. “Engkau tak perlu terburu-buru. Cinta yang dewasa tahu kapan harus dikirim, dan kapan cukup disimpan.”
20
Mereka berdua terdiam, membiarkan angin menjadi pembawa pesan.
Di lorong waktu itu, mereka belajar, bahwa tidak semua cinta harus sampai.
Ada cinta yang cukup menjadi rahasia yang indah, tersimpan di dalam surat-surat yang tak pernah dikirim.
Setelah meninggalkan taman surat-surat tak terkirim, Ferizal dan Kahlil berjalan melewati jalan setapak yang dihiasi bunga-bunga yang belum memiliki nama. Setiap kelopak yang mekar, seolah-olah adalah kata yang baru lahir dari rahim keheningan.
Di sisi jalan, mereka duduk di sebuah batu besar yang seolah telah menunggu mereka sejak lama.
Kahlil membuka percakapan, “Ferizal, mengapa engkau memilih untuk menulis tentang kesehatan? Tentang luka-luka yang tampak dan tak tampak?”
Ferizal menghela napas panjang. “Karena aku pernah menjadi luka itu. Aku tahu rasanya menjadi seseorang yang memendam rasa sakit, berpura-pura kuat di depan dunia, sementara di dalam, perlahan- lahan aku retak.”
Kahlil menatapnya lembut. “Luka bukan hanya bagian dari tubuh, Ferizal. Kadang luka tinggal diam di jiwa, merayap pelan di relung terdalam, dan jika dibiarkan, ia membusuk dalam keheningan.”
21
Ferizal mengangguk. “Dulu, aku kira yang penting adalah menyembuhkan badan. Tapi ternyata, jiwa yang luka lebih sering membunuh manusia dalam diam.”
Kahlil tersenyum. “Itulah mengapa engkau menulis. Kata-kata adalah obat yang paling lembut. Bahkan ketika dunia tak mau mendengar, selembar kertas selalu bersedia menampung jeritan.”
Ferizal menatap awan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
“Aku menulis untuk mereka yang tak berani bercerita. Aku menulis untuk mereka yang pura-pura baik-baik saja, padahal hatinya penuh lubang yang tak terlihat.”
Kahlil lalu berkata, “Luka tidak harus selalu disembuhkan, Ferizal. Ada luka yang harus diterima, dipeluk, dan dijadikan bagian dari perjalanan. Engkau tahu, bahkan mawar pun tumbuh dari tanah yang penuh luka.”
Ferizal terdiam. Kata-kata Kahlil menembus ruang hatinya yang paling rapuh.
“Aku pernah ingin menjadi penyembuh semua luka,” ujar Ferizal pelan. “Tapi semakin aku menulis, aku sadar, aku hanya manusia. Aku hanya bisa menemani mereka memahami lukanya, bukan menghapusnya.”
Kahlil tersenyum, “Menjadi pendamping adalah pekerjaan paling mulia. Karena orang yang terluka tidak selalu butuh obat, mereka hanya butuh didengar, dipahami, dan diterima tanpa syarat.”
22
Lalu Ferizal bertanya, “Bagaimana jika kata-kata kita tidak pernah sampai pada mereka yang terluka?”
Kahlil memandangnya penuh keyakinan. “Tenanglah, Ferizal.
Kata-kata yang lahir dari ketulusan tidak pernah benar-benar hilang. Ia akan menemukan jalannya, seperti air yang mencari celah, seperti doa yang mengetuk langit.”
Ferizal tersenyum, matanya berkaca-kaca. “Mungkin itu sebabnya aku bertemu denganmu di lorong waktu ini. Aku perlu mendengar darimu, bahwa menulis adalah perjalanan yang panjang, bahkan mungkin tidak akan selesai sampai napasku yang terakhir.”
Kahlil meletakkan tangan di bahu Ferizal. “Menulis adalah caramu mencintai tanpa mengikat, menyembuhkan tanpa memaksa.
Teruslah menulis, Ferizal. Karena di antara luka-luka itu, selalu ada satu kata yang mampu menjadi pelita.”
Di kejauhan, angin membawa bisikan. Kata-kata yang pernah terlupakan, kini hidup kembali.
Di lorong waktu itu, Ferizal menemukan dirinya. Bahwa menulis bukan hanya tentang mengubah dunia, tetapi juga tentang menyembuhkan dirinya sendiri.
Di sebuah lembah yang sunyi, Ferizal dan Kahlil berhenti sejenak.
Di sekitar mereka, tanah retak seperti bekas luka yang belum sembuh.
Pohon-pohon meranggas, dan udara mengandung aroma abu yang pernah menjadi nyala.
23
“Ini adalah lembah yang pernah menjadi medan perang,” bisik Kahlil lirih, seakan takut mengganggu arwah yang masih berkelana.
Ferizal memandang sekeliling dengan mata yang berat. “Mengapa manusia begitu sering memilih perang, padahal mereka tahu akhir dari semuanya adalah kematian?”
Kahlil menatap Ferizal dengan dalam. “Karena manusia sering menyangka bahwa membunuh yang lain adalah cara untuk menyelamatkan diri. Mereka lupa, setiap nyawa yang hilang adalah sepotong dari kemanusiaan yang juga mati bersama mereka.”
Ferizal duduk di atas batu, jemarinya meremas tanah yang menghitam. “Di masa depanku, perang masih ada. Bahkan di tahun 2045, bangsa kami masih harus berjuang melawan teror. Kami mengangkat senjata demi perdamaian. Apakah itu salah?”
Kahlil menghela napas panjang, matanya menerawang ke masa yang bahkan belum ia kenal. “Perang kadang lahir dari cinta yang keliru.
Dari cinta pada tanah air yang berubah menjadi ketakutan kehilangan.
Dari cinta pada bangsa yang berubah menjadi kebencian pada bangsa lain.”
Ferizal menunduk, suara hatinya berbisik, mungkinkah cinta bisa melahirkan kebencian?
Kahlil melanjutkan, “Tapi jangan salah, Ferizal. Ada perang yang suci. Perang melawan ketidakadilan, perang melawan kebodohan, perang melawan rasa takut dalam diri sendiri.”
24
“Lalu bagaimana cara kita mencintai, Kahlil, di tengah dunia yang penuh kebencian ini?”
Kahlil menatap Ferizal dengan mata yang jernih. “Dengan terus menulis. Dengan terus menanam kata-kata yang lembut di tanah yang keras. Karena peluru hanya melubangi tubuh, tapi kata-kata bisa menembus generasi.”
Ferizal menatap langit yang kelabu. “Aku ingin perang itu berakhir. Aku ingin menulis dunia yang damai. Tapi kenapa damai terasa seperti bunga yang terlalu rapuh, mudah patah oleh angin?”
Kahlil meletakkan tangan di dada Ferizal. “Karena damai bukan sesuatu yang ditemukan di luar. Damai adalah bunga yang tumbuh di dalam. Jika cukup banyak orang yang merawat bunga itu dalam dirinya, perang akan kehilangan maknanya.”
Ferizal terdiam, lama. Ia menatap medan perang yang sunyi itu, lalu memejamkan mata, mengirimkan doa : Semoga tulisan-tulisanku, adalah peluru yang menghidupkan, bukan yang mematikan.
Kahlil tersenyum kecil, seakan mendengar doa itu.
Dan di lorong waktu itu, di antara sisa-sisa perang yang membeku, mereka berjanji dalam diam : Mereka akan melawan dengan kata. Mereka akan berperang dengan cinta. Perjalanan mereka belum berakhir. Setelah melintasi lembah, Ferizal dan Kahlil tiba di sebuah bukit yang diselimuti kabut.
25
Kabut itu bukan sekadar awan yang rendah, melainkan tabir yang memisahkan dunia yang tampak dan yang tersembunyi.
“Di balik kabut itu,” ujar Kahlil, “ada cahaya yang tak mampu disentuh oleh tangan, hanya bisa dirasakan oleh jiwa yang telah lelah mencari.”
Ferizal melangkah pelan, hatinya mulai dipenuhi keheningan.
“Apakah semua jiwa akan sampai pada cahaya itu?”
Kahlil tersenyum samar. “Bukan soal sampai atau tidak, Ferizal.
Tetapi soal berani atau tidak untuk berjalan ke arahnya. Cahaya itu selalu ada, namun tidak semua orang mau mencarinya.”
Ferizal memandang langkah-langkahnya sendiri, seolah menakar keberanian yang ia miliki.
“Aku menulis sepanjang hidupku,” ujar Ferizal, “tetapi aku masih merasa kosong. Seperti ada ruang yang tak pernah terisi, seolah ada cahaya yang belum kugenggam.”
Kahlil menatapnya lembut. “Karena menulis bukanlah tujuan, Ferizal. Menulis hanyalah jalan. Perjalananmu sesungguhnya adalah kembali pada dirimu sendiri.”
Mereka terus berjalan, menembus kabut yang perlahan menipis.
Di setiap langkah, Ferizal mulai memahami: bahwa perjuangan di dunia, cinta yang tak sampai, perang yang ia saksikan, semua hanyalah serpihan dari perjalanan menuju rumah yang sebenarnya—rumah
jiwa. 26
“Apakah aku akan bertemu Ana Maryana di ujung perjalanan ini?”
tanya Ferizal, suaranya gemetar.
Kahlil menjawab pelan, “Mungkin. Tapi bukan Ana yang kau kenal, melainkan cermin dari jiwamu sendiri. Kadang kita mencari seseorang, padahal yang kita cari adalah bagian diri yang hilang.”
Ferizal mengusap matanya yang mulai basah. “Mungkin aku selama ini menulis bukan untuk Ana, tapi untuk menemui diriku yang selama ini tersembunyi di balik luka.”
Kahlil tersenyum. “Engkau mulai mengerti, Ferizal. Cinta adalah perjalanan kembali pada diri sendiri. Dan ketika engkau telah bertemu dengan jiwamu, barulah engkau bisa mencintai tanpa takut kehilangan.”
Di puncak bukit, kabut menghilang, digantikan cahaya yang hangat dan damai.
Ferizal berdiri mematung. Di hadapannya terbentang taman yang indah, bunga-bunga mekar tanpa nama, dan di tengahnya—Ana Maryana, tersenyum tanpa berkata apa-apa.
Ferizal menitikkan air mata. “Ana…”
Kahlil menepuk bahunya. “Pergilah, temui dia. Tapi ingat, barangkali yang kau temui bukanlah dirinya, melainkan dirimu sendiri dalam wujud yang paling jernih.”
Ferizal melangkah perlahan, hatinya penuh rasa yang tak bisa ia
jelaskan. 27
Di lorong waktu yang abadi, di puncak cahaya yang sunyi, Ferizal akhirnya memahami:
Bahwa cinta sejati bukan tentang memiliki, bukan tentang tiba, melainkan tentang berani berjalan, meski mungkin tidak sampai.
Dan dalam cahaya itu, ia menemukan rumahnya—dalam dirinya sendiri.
Waktu berhenti.
Lorong itu perlahan memudar.
Namun suara mereka tetap bergema, tak lekang oleh zaman.
Ferizal berdiri di antara batas mimpi dan kenyataan. Ia menatap Ana Maryana, yang tersenyum tanpa kata. Dalam senyumnya, Ferizal tak lagi mencari jawaban. Ia telah sampai pada dirinya sendiri.
Cinta yang ia tulis, luka yang ia rawat, perang yang ia hadapi, semua hanyalah pintu-pintu menuju satu hal: kedewasaan jiwa.
Di sisi lain, Kahlil Gibran memandang Ferizal dengan mata penuh rasa damai. Ia tahu, percakapan mereka tak akan pernah benar-benar usai.
Karena dialog sejati tak terikat oleh ruang dan waktu.
Karena kata-kata yang lahir dari jiwa, akan hidup selama jiwa- jiwa lain masih mencari.
28
Karena cinta yang murni, tak membutuhkan pertemuan untuk menjadi abadi.
Kahlil Gibran berkata pelan:
“Ferizal, suatu hari mungkin tubuhmu akan dilupakan, namamu mungkin tak lagi disebut. Tapi kata-kata yang lahir dari cintamu, akan tetap tinggal di hati mereka yang membacanya.”
Ferizal tersenyum, matanya menerawang jauh. “Aku tak lagi takut pada waktu, pada kehilangan, pada perpisahan. Karena aku tahu, menulis adalah caraku hidup lebih lama dari nafasku.”
Kahlil mengangguk, lalu perlahan berjalan menjauh, menyatu dengan kabut yang mulai turun.
Suara Kahlil masih terdengar samar, seperti doa yang berhembus:
"Cintailah, Ferizal... tulislah... dan biarkan waktu yang memelihara semuanya..."
Ferizal menutup matanya. Ia tahu, dialog ini tidak pernah benar- benar berakhir.
Karena di setiap orang yang membaca tulisannya, Kahlil dan Ferizal akan kembali berdialog. Karena cinta, luka, dan harapan adalah bahasa yang melampaui kehidupan.
29
Dan di lorong waktu yang abadi, mereka tetap berbicara.
Dalam diam. Dalam cahaya. Dalam kata.
Kahlil Gibran dan Ferizal: Percakapan Melintasi Waktu Di lorong waktu yang tak tersentuh oleh usia, dua jiwa bertemu:
Kahlil Gibran, sang filsuf cinta dan kehidupan, dan Ferizal, pelopor sastra promosi kesehatan dari Indonesia. Dalam perjalanan melintasi taman-taman kata, lembah perang, dan puncak cahaya, mereka berdialog tentang cinta, luka, perang, dan perjalanan jiwa.
Ferizal yang mencari makna di balik tulisannya bertemu dengan Kahlil yang membimbingnya memahami bahwa menulis bukan hanya tentang mengubah dunia, tapi tentang menyembuhkan diri sendiri.
Mereka berbincang tentang luka-luka manusia, tentang cinta yang tak selalu berujung memiliki, dan tentang perang yang kadang lahir dari cinta yang keliru.
Dalam perjalanan jiwa saat koma di Rumah Sakit, Ferizal tak hanya menemukan dirinya sendiri yang selama ini rapuh tersembunyi
********************
Jejak Luka di Hati Damar
Di antara detak jam dan bisikan infus, tubuh Ferizal terbaring dalam keheningan koma. Dunia tak lagi menggapainya, kecuali satu:
dendam yang masih bernyala dalam dada Damar. Disebabkan Ana Maryana memilih memutuskan cinta Damar.
30
Damar berjalan menyusuri lorong rumah sakit, setiap langkahnya memanggul bayangan masa lalu.
Ia bukan lagi sahabat. Ia bukan lagi saudara.
Ia adalah lelaki yang disesatkan oleh luka.
"Ferizal telah merebut segalanya. Kini ia hanya butuh satu lagi—
nyawaku yang tersisa."
Tapi Damar takkan membiarkan Ferizal menang dalam segalanya.
Bahkan saat tubuh Ferizal tak lagi melawan, Damar masih ingin mengakhirinya.
Malam menyelimuti ruang ICU dengan dingin yang menyesakkan.
Damar berdiri di sisi ranjang, menggenggam pisau mungil di balik jaket lusuhnya.
"Kau tidur terlalu lama, Ferizal. Mungkin sudah waktunya kau tidur selamanya."
Tangannya gemetar. Tapi bukan karena takut.
Melainkan karena kenangan masa kecil yang berhamburan di matanya. Apakah sebuah pisau bisa membunuh teman lama?
Atau justru menorehkan luka yang lebih dalam pada dirinya sendiri?
Dalam kesunyian yang hanya diselingi suara mesin, Damar berbicara pada tubuh tak berdaya itu.
31
"Kenapa kau hancurkan hidupku, Ferizal? Kenapa Ana Maryana lebih memilihmu? Kenapa dunia memihakmu, bahkan dalam koma?"
Ferizal diam. Tapi diamnya seakan menjawab: "Mungkin karena aku mencintainya tanpa syarat, sementara kau mencintai untuk memiliki."
Air mata Damar jatuh, dan pisau itu perlahan bergetar di genggamannya.
Pisau itu hampir menyentuh kulit Ferizal. Namun tiba-tiba, kenangan mereka bermain bola di sore hari melintas seperti kilat.
Tawa mereka, pelukan mereka, janji mereka sebagai sahabat—
semua menyeruak.
"Aku tak membunuhmu karena aku membencimu. Aku membunuhmu karena aku membenci diriku sendiri."
Pisau itu jatuh. Damar terisak.
Dan malam menjadi saksi: dendam terkadang hanya topeng bagi jiwa yang terluka.
Damar melangkah meninggalkan ruang itu, memikul beban yang lebih berat daripada kejahatan : Kesempatan yang dilepaskan.
Persahabatan yang takkan kembali. Dan cinta yang tetap memilih orang lain.
Di belakangnya, Ferizal tetap terbaring, tapi mungkin, dalam
diam, ia mengerti : 32
Bahwa Damar telah memilih jalan yang tak berdarah, meski hatinya tetap berdarah.
Dalam setiap langkah Damar di lorong rumah sakit itu, Ada puing dendam yang ia tinggalkan.
Ada luka yang tetap menempel.
Tapi mungkin, itu adalah satu-satunya kemenangan yang dimilikinya : Ia tidak menjadi pembunuh. Ia tetap manusia.
Kematian jarang memberi aba-aba.
Ia datang seperti bayangan yang menebas dari belakang.
Dan malam itu, Damar tewas.
Bukan karena peluru.
Bukan karena pisau.
Tapi karena sepi yang ia ciptakan sendiri.
Damar adalah lelaki yang hidup dalam perang melawan ketakutannya sendiri. Ia memelihara amarah seperti memelihara binatang buas, memberi makan dengan cemburu, menyiramnya dengan dendam.
Cintanya pada Ana Maryana bukan cinta yang lembut, tapi kepemilikan yang keras. Ia percaya, cinta harus dikekang.
Ia lupa, bunga yang dikurung justru akan layu.
Setelah menganiaya Ferizal, Damar merasa menang.
Tapi sesungguhnya, ia kalah.
33
Setiap malam, ia dihantui bayangan Ana yang pergi.
Ia berteriak pada dinding kamar, memaki angin, menampar bayangannya sendiri.
Ia ingin memanggil Ana pulang, tapi suaranya selalu tertahan oleh ego yang terlalu tinggi.
Sementara Ferizal, yang ia anggap pecundang, perlahan tumbuh dalam puisi dan cinta. Damar terjebak dalam kehampaan yang ia gali sendiri.
Malam itu, Damar melaju dengan sepeda motor, menerjang lampu merah seolah mengejar sesuatu yang sudah pergi.
Dalam hatinya, ia berteriak : "Ana, pulanglah! Aku masih menunggumu! Aku masih punya luka yang ingin kuberikan padamu!"
Tapi Ana dimatanya sudah jauh. Dan jalan itu terlalu gelap.
Sebuah truk melintas.
Damar terlempar. Tubuhnya terguling, terbanting, lalu diam.
Jalanan menjadi saksi. Bahwa kesombongan tak selalu diberi kesempatan kedua.
Damar tewas tanpa pelukan. Tanpa genggaman tangan.
Tanpa ada yang menangis di sampingnya. Ia pergi seperti daun kering yang jatuh tanpa suara.
34
Ana tidak hadir di pemakaman Damar karena Ferizal tersadar dari siuman, tersadar dari koma selama satu bulan di Rumah Sakit.
Ferizal hanya menunduk, membaca doa tanpa dendam.
Karena dendam hanya memperpanjang luka.
Dan kematian adalah akhir yang tak butuh balasan.
Beberapa hari setelah kematian Damar, Ana menemukan sebuah surat di laci meja lama mereka.
"Ana, aku tak pernah tahu bagaimana mencintaimu dengan benar.
Aku takut kehilanganmu, hingga aku lupa menjagamu.
Kalau aku pergi sebelum sempat memintamu kembali, maafkan aku." DAMAR
Air mata Ana jatuh, bukan karena kehilangan, tapi karena memahami: Kadang orang yang melukai, hanya manusia yang juga terluka.
Waktu mengubur kemarahan.
Ferizal dan Ana terus berjalan, menulis cerita baru,
membuka halaman yang lebih cerah.
Damar menjadi masa lalu.
Menjadi nama yang perlahan larut dalam jarak.
35
Dan hidup mengajarkan: Tidak semua yang mati harus dikenang dalam kesedihan, tapi boleh dikenang sebagai pelajaran.
Bahwa cinta, jika dibungkus dengan kekerasan, akan menemukan ajalnya sendiri.
Dalam kesunyian sebuah kota yang sibuk, di antara deru kendaraan dan dinding-dinding beton, ada dua jiwa yang berkelana.
Mereka tidak mencari cinta, tetapi cinta yang menemukan mereka.
Mereka adalah Ana Maryana dan Ferizal.
Mereka adalah puisi yang dituliskan semesta.
Mereka adalah surat-surat dari jiwa yang terdampar di tubuh manusia.
1 – Ketika Langit Menitipkan Rindu
Aku pertama bertemu dengannya bukan dalam pesta, bukan dalam riuh tepuk tangan. Aku bertemu dengannya dalam hening seminar kecil, di mana orang-orang berbicara tentang kesehatan dan sastra, namun suaranya menembus ruang batin yang paling dalam.
"Siapa namamu?" tanyaku, lirih, seolah takut merusak keindahan momen itu.
"Ferizal. Aku hanya seseorang yang percaya bahwa kata-kata
bisa menyembuhkan." 36
Namanya mengalir seperti aliran sungai yang menenangkan, bukan seperti daun yang pasrah mengikuti arusnya.
Kami berbicara seperti dua sahabat lama yang lupa pernah berpisah. Tentang buku, tentang tubuh yang rapuh, tentang cinta yang tidak egois.
"Apakah cinta itu perlu memiliki?" tanyaku.
Ferizal tersenyum, seolah sudah lama menunggu pertanyaan itu.
"Cinta hanya perlu hadir, Ana. Memiliki adalah keinginan, mencintai adalah kebutuhan jiwa."
Dalam perjalanan waktu, dua jiwa berjalan, terpisah oleh nasib, dipertemukan oleh takdir. Mereka adalah Ana Maryana dan Ferizal.
Cinta mereka bukan sekadar pertemuan tubuh, melainkan pertemuan dua kesadaran yang saling mencari makna hidup di antara luka dan harapan.
2 – Ana Maryana dan Ferizal: Surat-Surat dari Jiwa
Kadang, cinta yang paling murni adalah yang paling diam.
Adalah cinta yang tahu kapan harus melepaskan, meski seluruh jiwa ingin tetap tinggal.
Dan waktu, perlahan, menyulam luka itu menjadi hikmah.
Bahwa menjadi pecinta sejati bukan tentang menang, tapi tentang mengalah untuk kebahagiaan orang yang dicinta. 37
"Cinta bukan tentang memiliki, melainkan tentang merawat jiwa yang saling menemukan dalam keabadian waktu."
Ferizal menatap langit yang kelabu, seakan mencari jejak Ana Maryana di antara awan yang berarak pelan. Angin membawa harum kenangan, dan di setiap desirnya, ia terpesona mendengar suara Ana.
Di kota kecil itu, Ferizal menjalani hari-hari dalam keheningan. Ia menulis, bukan untuk dikenal, melainkan untuk memanggil kembali bayangan Ana yang perlahan memudar dari ingatannya, namun justru semakin dalam menancap di jiwanya.
“Cinta itu bukan sekedar kebersamaan,” tulis Ferizal dalam salah satu lembarannya, “Cinta adalah kesanggupan untuk tetap mendoakan, meski ia telah jauh melangkah dari hidup kita.”
Ana Maryana pun, di tempat yang berbeda, kerap duduk di bawah pohon kamboja bersama. Ia memeluk angin, seakan Ferizal adalah bayangan yang disematkan Tuhan dalam setiap helaan napasnya.
"Aku adalah bayangan cintamu, Ferizal," bisik Ana pada senja. "Dan bayangan tidak pernah memiliki tubuh, tetapi ia selalu setia mengikuti dari kejauhan."
Mereka terhubung bukan oleh kehadiran, melainkan oleh getaran yang tak terjelaskan. Kata-kata mereka terikat dalam ruang-ruang sunyi. Hati mereka berbicara dalam bahasa yang hanya mereka berdua mengerti
— bahasa yang lahir dari luka, namun juga menumbuhkan harapan.
38
Hujan sore itu turun tanpa aba-aba, seperti hatiku yang tak pernah siap untuk bertemu denganmu, Ana Maryana. Di antara derasnya rintik dan aroma tanah basah, aku melihatmu berdiri di sudut taman kota, wajahmu memandang langit yang kelabu.
Kau bagai lukisan yang tak pernah selesai digoreskan takdir. Matamu teduh, tapi menyimpan luka yang tak semua orang mampu membaca.
Aku menghampirimu tanpa suara.
Dan di bawah payung pinjaman, percakapan kita mengalir seperti sungai kecil yang malu-malu.
Kau berkata, "Aku tidak takut pada hujan, aku hanya takut pada hidup yang memaksaku berjalan tanpa pilihan."
Aku terdiam. Dalam dirimu aku melihat pantulan diriku sendiri—
terperangkap dalam harapan yang dikebiri oleh restu yang tak kunjung tiba. Kita berdua bagai burung dengan sayap-sayap yang sudah patah sebelum sempat mengepak.
Tapi aku tidak ingin kisah ini menjadi ratapan seperti yang Kahlil Gibran tuliskan. Aku ingin menjadi hujan itu sendiri—yang menyimpan namamu, yang menyentuh tanah dengan keberanian.
Dialog Jiwa:
Ferizal:
"Ana, jika aku adalah air, engkau adalah wadahku. Aku mengalir, engkau membentukku."
39
Ana:
"Jika aku adalah wadah, Ferizal, engkau adalah aliran yang mengajarkanku menjadi sabar menampung, meski kelak mungkin harus kubiarkan menguap."
Dalam cinta mereka, tidak ada permintaan, tidak ada pemaksaan.
Hanya ada penerimaan, bahwa setiap jiwa punya jalan, dan setiap cinta punya musim.
Ferizal sering menulis surat untuk Ana Maryana, tetapi ia tidak pernah mengirimkannya. Surat-surat itu disimpan rapi di dalam kotak kayu, di bawah bantal tidurnya, seolah-olah waktu akan menemukan jalannya sendiri untuk menyampaikan setiap kata yang tak pernah terucap.
Baginya, menulis surat adalah cara merawat kehadiran Ana yang kian jauh. Sebab dalam setiap goresan tinta, ada rindu yang menjelma menjadi doa.
Di malam yang senyap, Ferizal membuka salah satu surat itu, membacanya pelan seakan berbicara kepada bayangan Ana yang bersemayam di dalam jiwanya.
Aku menulis surat untukmu setiap malam. Tapi surat-surat itu tak pernah sampai. Mereka kubiarkan basah oleh hujan yang jatuh dari mataku sendiri.
Ana, Bagaimana mungkin aku bisa melawan restu orang tuamu yang sudah mengikatkan benang merah pada orang lain?
40
Bagaimana mungkin aku bisa melawan garis nasib yang telah mereka lukis untukmu?
Tapi bukankah mencintaimu adalah hakku ? Bukankah memperjuangkanmu adalah bagian dari kesehatanku—jiwa yang sedang berusaha disembuhkan?
Setiap kata dalam suratku adalah obat. Setiap kalimat adalah vaksin yang kugunakan untuk melawan luka. Dan setiap rintik hujan adalah caraku menyebut namamu dalam diam.
Di setiap doa, aku menyebut namamu. Di setiap sujud, aku menitipkan harapan agar jalan kita dipertemukan. Tapi hujan selalu lebih cepat turun daripada kabar darimu.
Aku mulai mengerti, mungkin Tuhan tak menginginkan kita bersama di dunia. Tapi biarlah aku menjadi hujan yang terus menyentuh tanah yang kau pijak. Biarlah aku menjadi udara yang kau hirup, meski kau tak pernah memanggil namaku.
Karena bagiku, mencintaimu adalah cukup. Meski aku tak pernah bisa memilikimu.
Surat Pertama Ana,
Ada banyak hal yang ingin kusampaikan, tetapi mungkin kata-kata ini terlalu kecil untuk menampung isi hatiku.
41
Aku mencintaimu dengan cara yang mungkin tidak pernah kau mengerti
— mencintai tanpa harus memilikimu, mencintai tanpa harus mengikatmu.
Setiap malam, aku berbicara padamu, meski hanya kepada udara. Aku tahu, angin adalah utusan rahasia yang tak pernah mengecewakan. Ia akan membisikkan namaku di telingamu, suatu hari nanti.
Surat Kedua Ana,
Aku sering bertanya kepada langit: mengapa cinta yang tulus justru seringkali tidak bertemu di persimpangan? Aku mulai mengerti, mungkin Tuhan menanamkan cinta dalam hatiku bukan untuk kau balas, tetapi agar aku belajar: mencintai itu membebaskan.
Jika kau bahagia tanpa aku, maka bahagiaku adalah merelakanmu di sana.
Surat Ketiga Ana,
Di dalam dirimu aku menemukan cermin, tetapi bukan cermin yang memantulkan wajahku, melainkan cermin yang menunjukkan bayanganku. Bayangan yang lemah, yang takut kehilangan, yang tak sanggup berdiri jika kau pergi. Tetapi kini aku mulai kuat. Aku mulai berdamai dengan ketidakhadiranmu.
42
Kau tidak hilang, Ana. Kau hanya menjadi bagian dari udara yang kuhirup setiap hari.
Surat Keempat
Ana, Aku tidak tahu kapan aku mulai mencintaimu. Mungkin sejak tatapanmu menelanjangi hatiku yang selama ini aku lindungi dengan dinding-dinding kata.
Aku takut mencintaimu. Karena cinta membuatku lemah, tapi juga membuatku ingin hidup lebih lama.
Aku ingin berjalan bersamamu, tapi aku juga takut jika langkahku justru membawamu menuju bahaya.
Ana, jika suatu hari aku tiada, ingatlah, cintaku bukan untuk diriku. Cintaku adalah agar engkau menjadi pohon yang tetap berdiri meski aku adalah daun yang gugur. Ferizal.
Ana Maryana, di tempat yang berbeda, ternyata juga menulis surat- surat yang tidak pernah ia kirimkan kepada Ferizal. Ia menulis dengan tangan yang bergetar, menahan rindu yang kian hari kian menggerogoti hatinya.
Namun seperti Ferizal, ia pun takut. Takut jika surat-surat itu sampai, takut jika kata-kata yang tertulis justru menjadi penjara bagi jiwa mereka.
43
Dalam sunyi yang panjang, Ferizal menulis surat-surat yang tak pernah ia kirimkan kepada Ana Maryana, perempuan yang ia cintai dengan cara yang diam. Ana pun menulis yang tak pernah ia ucapkan, memeluk rindu yang ia sembunyikan dalam lembar-lembar hari.
Mereka terpisah oleh waktu, oleh jarak, oleh keberanian yang tak pernah cukup untuk saling menggenggam. Namun cinta mereka justru tumbuh dan mekar dalam keheningan yang suci.
Hingga pada suatu pertemuan yang tak direncanakan, semesta mempertemukan mereka kembali. Bukan untuk melanjutkan, tetapi untuk memahami: bahwa cinta sejati tidak selalu harus dimiliki, cukup menjadi cahaya yang menuntun jiwa, meski tubuh berjalan sendiri- sendiri.
Ana Maryana dan Ferizal adalah kisah tentang cinta yang tidak meminta balasan, cinta yang hidup dalam doa, dan cinta yang menemukan maknanya dalam melepaskan.
Surat dari keinginan untuk menceritakan cinta dalam bentuknya yang paling sunyi, paling tulus, dan paling dalam. Cinta yang tidak memaksa, cinta yang membebaskan, cinta yang justru menjadi abadi dalam ketidaksampaian.
Surat dari Ana (Yang Tak Pernah Terkirim) Ferizal,
Aku mencintaimu dengan cara yang diam.
44
Aku mencintaimu dengan cara yang mungkin menyakitimu. Tetapi aku percaya, cinta sejati tidak perlu selalu bersama, bukan?
Setiap kali aku menulis namamu, aku merasa sedang memanggil kembali diriku sendiri yang pernah bahagia.
Ferizal, kau bukan hanya kisah dalam hidupku. Kau adalah hidup yang pernah kuimpikan.
Ada kepergian yang memutuskan jarak, tetapi tidak pernah benar- benar menghapus kehadiran. Seperti Ana Maryana dan Ferizal, mereka berpisah tanpa kata, berjalan ke arah yang berbeda, namun tetap terhubung oleh benang halus yang tidak terlihat oleh mata dunia.
Waktu bergulir seperti arus sungai yang tak pernah berhenti. Di kota yang perlahan asing bagi Ferizal, ia belajar hidup tanpa Ana. Ia berjalan, ia bekerja, ia tertawa di hadapan orang-orang. Tetapi di setiap senyumnya, selalu ada rongga kecil yang tak terisi. Rongga itu bernama Ana Maryana.
"Manusia selalu mengira kepergian itu berarti hilang," bisik Ferizal pada dirinya sendiri. "Padahal, yang pergi seringkali justru semakin dekat, menempel dalam setiap pori-pori kesadaran."
(Surat yang ia simpan seumur hidup) ; Aku mencintaimu dengan cara yang mungkin tak bisa kau pahami.
Aku mencintaimu seperti mentari yang selalu terbit meski ia tahu langit akan hujan.
45
Aku mencintaimu seperti akar yang menguatkan pohon, meski ia tersembunyi dan tak pernah dipuji.
Jika kau harus pergi, pergilah. Tapi jangan pernah berhenti mencintaiku. Karena cintamu adalah nafas yang menuntunku untuk hidup lebih baik.
Ana Maryana pun menjalani harinya dengan langkah yang pilu. Namun sesekali, ia menghentikan langkahnya, menatap langit, dan merasa seolah ada suara Ferizal yang memanggil dari kejauhan.
Ia tahu, cinta seperti ini bukan tentang memiliki atau kehilangan.
Ini adalah tentang kehadiran yang mengakar, meski wujudnya telah lenyap dari pandangan.
Ferizal kembali menulis dalam lembaran yang tak akan pernah ia kirimkan: "Ana, kau adalah kepergian yang tidak pernah meninggalkan.
Dan aku adalah penantian yang tidak pernah menunggu."
3 – Ana Maryana Pergi Demi Menghindari Jodoh Pilihan Orang Tua
Di balik gerbang megah rumah itu, taman bunga mekar tanpa senyum. Angin berhembus, seolah ingin menyampaikan pesan yang tak pernah tersampaikan. Di dalam dindingnya, cinta menjadi barang mewah, dan kata-kata menjadi senjata yang melukai.
46
Ana Maryana lahir bukan di antara pelukan hangat, melainkan di antara perintah dan ambisi. Orang tuanya, yang di mata dunia tampak terhormat, menyimpan wajah lain—wajah yang hanya dikenakan di balik pintu yang terkunci rapat.
Ana Maryana tumbuh di rumah yang luas, tapi selalu terasa sempit. Ibunya, wanita yang gemar mematut diri di cermin, lebih mencintai bayangannya sendiri ketimbang anak yang dilahirkannya.
Kata-kata ibunya bagai pisau berkilau, membedah harga diri Ana tanpa darah, namun meninggalkan luka yang menganga.
"Ana, kau harus sempurna. Karena dengan kesempurnaanmu, harga diriku terjaga."
Setiap hari, Ana belajar menjadi boneka porselen. Duduk tegak, berbicara dengan manis, tersenyum saat hatinya remuk. Ayahnya pun tak kalah kejam. Bukan dengan pukulan, tapi dengan dinginnya pengabaian. Ia mencintai kekuasaan lebih dari anak perempuannya.
"Kau adalah bagian dari rencana besarku, Ana. Perjodohan itu bukan tentang bahagiamu, tapi tentang masa depan keluarga kita."
Ana terdiam. Ia menyimpan setiap luka dalam buku hariannya, menulis dengan tinta air mata, menata patahan hatinya dengan bait- bait puisi rahasia.
Di taman belakang rumah, Ana sering duduk sendirian. Di sana, bunga mawar tumbuh liar, tak seindah taman depan yang selalu dipamerkan tamu. Mawar-mawar itu berduri, seperti ibunya, seperti ayahnya. Tapi di sanalah Ana menemukan kebebasan. 47
Ia menulis:
"Ibuku, sang permaisuri bayangan, Ayahku, raja di singgasana kosong.
Aku, putri tanpa kerajaan, Terpenjara di istana luka."
Taman itu tahu segalanya. Hanya di situ Ana berani menangis.
Hanya pada angin ia berani mengadu.
Ketika hari perjodohan tiba, Ana berdiri teguh. Dengan suara bergetar, ia membaca puisinya di hadapan keluarganya:
"Kalian bangun dinding-dinding tinggi, Tapi aku membangun jembatan menuju langit.
Kalian titipkan aku pada lelaki yang tak kupilih, Tapi aku titipkan hatiku pada Tuhanku sendiri.
Maafkan aku, Ayah, Ibu, Hari ini aku memilih bebas."
Ibunya meraung, Ayahnya menggebrak meja.
Tapi Ana berjalan menjauh, meninggalkan rumah yang hanya mengenal aturan, bukan kasih sayang
Ana menulis di buku barunya, di sebuah tempat yang jauh:
"Luka masa lalu bukan untuk dibenci, Melainkan untuk dimengerti.
Dari luka itulah aku belajar,
48
Bahwa cinta sejati bukan paksaan,
Cinta sejati adalah pilihan."
Dan Ana Maryana pun memulai hidup barunya, dengan keyakinan, bahwa puisi mampu menyembuhkan luka terdalam.
Cinta adalah doa yang terucap dalam diam.
Namun, tak semua doa menemukan jalan pulangnya.
Ferizal mencintai Ana Maryana dengan segenap jiwanya.
Tapi orang tua Ana telah menambatkan masa depan putrinya pada pria lain—Herlambang.
Dan kisah pun dimulai, ketika hati tak lagi bebas memilih.
Ferizal melangkah menuju rumah Ana Maryana dengan segenggam keberanian dan sebuket bunga putih.
Hari itu ia membawa sebuah lamaran, Hari itu ia membawa harapan.
Namun yang menyambutnya adalah dinding dingin dan tatapan yang mengiris.
Ayah Ana Maryana berbicara pelan namun tajam,
"Ferizal, kau adalah pemuda baik, tapi kami telah memilih Herlambang.
Dialah masa depan Ana."
Bunga di tangan Ferizal perlahan layu, sebelum sempat diserahkan.
49
Herlambang, lelaki yang sempurna di mata orang tua.
Berkedudukan tinggi, keturunan terhormat, tapi hatinya tak pernah disinggahi cinta Ana Maryana.
Herlambang datang membawa restu keluarga. Ia datang membawa janji yang disusun bukan oleh hati, melainkan oleh tradisi.
Ana Maryana menatap wajah Herlambang, ia melihat masa depan yang terang, namun kosong.
Ferizal menulis surat yang tak pernah ia kirimkan.
Ia berbicara dengan senja, dengan bintang, dengan angin yang lalu.
"Ana, jika aku bukan takdirmu,
biarkan aku tetap mencintaimu dari kejauhan, seperti rembulan yang setia,
meski tahu ia takkan pernah dipeluk mentari."
Tapi luka itu, terus menganga.
di setiap hujan,
di setiap dedaunan gugur, di setiap lagu yang tak selesai, Ada bayangan Ferizal yang kembali.
Sebuah Kepergian yang Tertulis dalam Angin
Di antara desir angin yang membawa wangi hujan, ada satu nama yang terus digumamkan waktu: Ana Maryana.
50
Ia bukan perempuan yang lari karena takut. Ia pergi karena ingin merdeka atas dirinya sendiri.
Dalam tradisi yang menambatkan kaki pada kata ‘harus’, Ana memilih berjalan pada jalan yang tak berjejak.
Ia tahu, mungkin ia akan disalahkan.
Tapi bagaimana mungkin ia menikahi seseorang yang dipilihkan, jika hatinya sudah jatuh pada kebebasan?
Malam itu, Ana mengemasi mimpi-mimpinya ke dalam sebuah koper tua. Di dalamnya, ia selipkan sepucuk surat : Surat untuk ibu dan ayah, yang selalu menyebut bahagia dengan kata
"patuh".
Ia melangkah keluar dari rumah, meninggalkan gaun pengantin yang tergantung bisu di balik pintu.
Gaun itu tak pernah ia pilih.
Jodoh itu bukan dia yang ia pinta.
Di hari hari perjodohan yang sepi, langkahnya menggigil.
Bukan karena dingin, tapi karena berat.
Kepergian, ternyata selalu membawa luka—bahkan ketika kau tahu kau sedang menyelamatkan dirimu sendiri.
Ana menulis surat untuk orang tuanya.
"Ayah, Ibu... Aku mencintai kalian, tapi aku juga mencintai diriku sendiri. Biarkan aku memilih bahagia dengan caraku."
51
Puisi: Aku Bukan Milik Perjanjian Aku adalah aku, bukan bayang yang kau atur, Bukan boneka yang dipasrahkan pada takdir semu.
Cinta bagiku bukan titah, bukan titipan,
Ia lahir dari kebebasan, dari getar yang kutemukan sendiri.
Ayah, Ibu, dengarlah bisikan hatiku,
Perjodohan ini bukan jalanku, bukan dermaga rinduku.
Kupilih luka yang kupahami, daripada bahagia yang dipaksakan, Kupilih sepi yang jujur, daripada ramai yang membelenggu.
Apakah aku durhaka bila menolak?
Ataukah aku setia pada kebenaran hatiku?
Kupasrahkan diriku pada perjalanan yang kutulis sendiri, Tak ingin hidup sebagai kisah orang lain dalam tubuhku.
Biarlah waktu yang menuntunku, Biarlah cinta datang tanpa paksaan.
Sebab hati bukan ladang warisan,
Ia adalah taman yang ingin kutanami dengan benih pilihanku.
Ayah, Ibu, izinkan aku menjadi aku.
Bukan perempuan yang kalian serahkan, Tapi perempuan yang memilih jalannya sendiri.
Aku bukan lembaran kertas yang bisa kalian tandatangani.
Aku bukan mahar
yang bisa kalian tukarkan dalam sunyi. 52
Aku adalah Ana Maryana,
perempuan yang punya kata, perempuan yang punya rasa,
bukan bayang-bayang dalam peta keluarga.
Cinta bagiku bukan titah, bukan jalan yang kalian tetapkan.
Ia mekar dalam kebebasan, tumbuh dalam ruang pilihanku.
Bukan aku tak hormat, bukan aku tak taat,
tapi hatiku bukan palu sidang
yang bisa mengetuk tanpa aku menginginkannya.
Ayah, Ibu,
biarlah aku menunggu musimku sendiri, biarlah aku menyusun langkahku sendiri.
Jika harus menolak,
biarlah penolakanku menjadi doa agar kita semua tetap bahagia, dengan cara yang kita pahami.
Aku bukan milik perjanjian.
Aku adalah milik diriku.
Dan kelak,
aku hanya ingin jadi milik cinta yang kupilih.
Ayah, Ibu,
dengan segala hormat, 53
aku melangkah bukan untuk melawan, aku berbicara bukan untuk memberontak.
Tetapi izinkan aku mendengarkan hatiku, sebab di dalamnya ada bisikan yang jujur, tentang cinta yang ingin kupilih,
tentang jalan yang ingin kutempuh sendiri.
Aku bukan barang yang bisa dipertukarkan, bukan nama yang bisa dipasangkan begitu saja, aku adalah jiwa yang bebas,
berhak mencintai dengan caraku.
Perjodohan ini bukan jawabanku, bukan pintu yang ingin kubuka.
Cinta tidak tumbuh dari paksaan, ia mekar dari kerelaan.
Ayah, Ibu, biarlah aku menunggu, biarlah aku memilih, meski jalanku penuh duri, setidaknya itu jalanku sendiri.
Aku ingin bahagia, bukan hanya menurut kalian, tapi juga menurut hatiku.
54
Bukan aku menolak restu,
aku hanya ingin restu itu mengiringi
pilihan yang benar-benar keluar dari jiwaku.
Ayah, Ibu,
izinkan aku menjadi Ana Maryana, yang memilih cintanya sendiri, yang menulis takdirnya sendiri.
Ayah, Ibu, dengarlah lirih hatiku, bukan untuk melawan,
bukan untuk menggores luka di dada kalian.
Aku hanyalah seorang anak
yang ingin berjalan dengan kakinya sendiri, yang ingin mencintai dengan hatinya sendiri, yang ingin bahagia tanpa paksaan.
Perjodohan ini bukan takdirku,
bukan cerita yang ingin kutulis di lembar hidupku.
Cinta bagiku bukan janji yang diatur orang lain, melainkan pertemuan jiwa yang tumbuh alami.
Maafkan aku, Ayah, Ibu, aku menolak bukan karena benci,
aku menolak karena ingin jujur pada diri ini.
55
Aku ingin mencintai tanpa beban, tanpa restu yang dipaksakan,
tanpa kebahagiaan semu yang tak kuinginkan.
Izinkan aku menunggu cinta yang kupilih, meski mungkin jalanku lebih panjang,
meski mungkin aku harus berjalan sendiri lebih lama.
Tapi di sanalah,
aku akan menemukan makna, aku akan menemukan bahagia yang sungguh-sungguh dari hatiku.
Ayah, Ibu, restuilah aku,
bukan untuk perjodohan yang kalian pilih, tapi untuk perjalanan yang kutentukan sendiri.
Ayah, Ibu,
dengarlah bisikan hatiku,
aku berjalan bukan untuk melawan, aku berbicara bukan untuk melukai.
Perjodohan yang kalian tawarkan, bukan jalan yang ingin kutempuh.
Aku bukan burung yang diserahkan pada sangkar, aku adalah angin yang memilih arahnya sendiri.
Cinta bagiku bukan aturan,
bukan kesepakatan di atas meja keluarga. 56
Cinta adalah getar yang kupahami,
adalah pelabuhan yang kutuju dengan kesadaran hati.
Jangan paksa aku memeluk yang tak kupilih, jangan minta aku tersenyum di atas luka.
Aku ingin mencinta dengan sepenuh jiwa, bukan karena kewajiban,
bukan karena takut mengecewakan.
Ayah, Ibu,
izinkan aku menjadi Ana Maryana yang setia pada hatinya,
yang jujur pada langkahnya, yang memilih bukan karena siapa, tapi karena cinta itu benar untukku.
Perjodohan ini, bukan jalanku.
Biarlah aku menunggu musim yang tepat, biarlah aku menemukan Ferizal
yang namanya ditulis oleh hatiku sendiri.
Ayah, Ibu,
dengarlah suara hatiku yang pelan, tapi pasti.
Aku bukan titipan yang bisa kalian serahkan, aku bukan nama yang bisa kalian pasangkan.
Perjodohan ini,
bukan takdir yang ingin kutempuh. 57
Cinta bagiku adalah hak memilih, bukan kewajiban yang harus kuterima.
Biarkan aku menjadi perempuan yang bebas, yang berjalan dengan langkahnya sendiri,
yang mencintai dengan hatinya sendiri, bukan karena paksaan,
bukan karena tradisi yang membelenggu.
Aku tahu,
kalian ingin aku bahagia.
Tapi kebahagiaanku, bukan di sana,
bukan pada orang yang tidak aku pilih.
Ayah, Ibu,
jangan paksa aku mengucap janji dengan bibir yang gemetar, dengan hati yang memberontak.
Biarkan aku menunggu, biarkan aku mencari,
biarkan aku menemukan cinta yang kupilih dengan sadar, yang kuterima dengan bahagia.
Aku bukan milik perjodohan, aku milik hatiku sendiri.
58
Ayah, Ibu,
dengarlah suaraku yang mungkin pelan, tapi teguh dan tak tergoyahkan.
Aku bukan daun yang bisa kalian tiup ke mana saja, bukan boneka yang bisa kalian pasangkan pada siapa saja.
Aku adalah Ana Maryana,
perempuan yang ingin memilih jalannya,
perempuan yang ingin mencintai dengan hatinya sendiri.
Perjodohan ini bukan takdirku, bukan rumah yang ingin kutinggali, bukan nama yang ingin kusandingkan.
Cinta bagiku bukan warisan, bukan janji di atas kesepakatan tua.
Cinta adalah pertemuan jiwa, yang tumbuh tanpa paksaan, yang mekar dalam kebebasan.
Ayah, Ibu,
bukan aku tak menghormati kalian, bukan aku tak mencintai keluarga ini, tapi izinkan aku jujur pada diriku sendiri.
Jangan suruh aku berjalan ke altar dengan hati yang dingin, jangan minta aku tersenyum di atas luka yang tersembunyi.
59
Aku menolak,
dengan segala kasihku pada kalian, dengan segala hormatku pada tradisi.
Aku menolak, karena aku ingin bahagia bukan karena disuruh, tapi karena aku memilih.
Ayah, Ibu,
biarlah aku menemukan jalanku,
biarlah aku mencintai dengan segenap jiwaku, biarlah aku menjadi Ana Maryana
yang memilih cintanya sendiri.
Cinta bukan perintah,
bukan janji yang kalian susun tanpa aku.
Cinta adalah perjalanan
yang harus kulalui dengan keikhlasan.
Ayah, Ibu,
izinkan aku menolak dengan penuh hormat, bukan karena aku tak percaya pada pilihan kalian, tapi karena aku ingin mempercayai pilihanku sendiri.
Aku ingin mencinta dengan hatiku, bukan dengan ketakutan.
Aku ingin bahagia dengan jalanku,
bukan dengan jalan yang orang lain tentukan.
60
Biarkan aku menunggu,
biarkan aku mencari, biarkan aku menemukan
dia yang hatinya memanggil namaku.
Perjodohan ini, Ayah, Ibu, bukan jalanku.
Aku ingin memilih,
aku ingin menjadi perempuan yang menentukan takdirnya.
Ayah, Ibu,
aku menolak perjodohan ini, dengan cinta,
dengan hormat,
dengan air mata yang tak ingin jatuh,
karena aku ingin bahagia atas pilihanku sendiri.
Ayah, Ibu,
aku tahu niat kalian mulia, kalian ingin aku bahagia,
kalian ingin aku tenang dalam rumah tangga.
Tapi izinkan aku berkata, perjodohan ini bukan jalanku.
Aku bukan gadis yang ingin diserahkan,
bukan nama yang ingin dipasangkan tanpa rasa.
Cinta bagiku bukan titipan,
bukan keputusan yang dibuat di luar hatiku.
61