Ujian Tengah Semester
HUKUM PERDATA KELUARGA
DOSEN: DR. LIS JULIANTI, S.H., M.H.
DISUSUN OLEH:
DENY SUKMANA NPM. 2404741010001
PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR 2025
HUKUM PERKAWINAN
Hukum perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Hukum ini mengatur tentang syarat, prosedur, dan akibat hukum dari suatu perkawinan. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sistem hukum perkawinan di Indonesia bersifat pluralistik, yaitu terdiri dari hukum agama, hukum adat, dan hukum negara. Setiap warga negara wajib melangsungkan perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya (Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan).
Aturan turunannya seperti Kompilasi Hukum Islam (KHI) untuk umat Islam, KUHPerdata (untuk non-Muslim) dan ketentuan agama masing-masing.
1. Pengertian Perkawinan
Menurut Pasal 1 UU Perkawinan:
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Ini berarti bahwa perkawinan bukan hanya hubungan hukum, tetapi juga memiliki aspek spiritual dan moral, sesuai nilai agama masing-masing.
2. Syarat dan Rukun Perkawinan
a. Rukun Perkawinan (bagi umat Islam – menurut KHI):
1. Calon suami 2. Calon istri
3. Wali nikah (bagi mempelai wanita) 4. Dua orang saksi
5. Ijab dan qabul (akad nikah)
b. Syarat Perkawinan (UU Perkawinan Pasal 6-9):
1. Persetujuan kedua calon mempelai
2. Izin orang tua jika calon mempelai belum berusia 21 tahun
3. Umur minimal 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan (setelah perubahan UU 16/2019) 4. Tidak berada dalam hubungan yang terlarang karena:
• Pertalian darah/keluarga sedarah
• Pertalian semenda (misalnya mertua dengan menantu)
• Pertalian sesusuan
5. Tidak dalam status masih terikat perkawinan dengan pihak lain (untuk monogami)
3. Pencatatan Perkawinan
Perkawinan sah menurut hukum negara wajib dicatatkan.
• Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan:
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
• Bagi umat Islam: dicatat di KUA (Kantor Urusan Agama)
• Bagi non-Muslim: dicatat di Disdukcapil (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil) Tanpa pencatatan, status hukum perkawinan menjadi tidak diakui secara administratif, walaupun secara agama mungkin dianggap sah.
4. Asas-asas Hukum Perkawinan
• Asas monogami (satu suami satu istri) – Pasal 3
Poligami dimungkinkan secara terbatas untuk umat Islam, dengan izin pengadilan dan syarat tertentu (misalnya istri tidak dapat menjalankan kewajiban atau tidak dapat memiliki keturunan).
• Asas persetujuan kedua belah pihak
• Asas kesetaraan dan keadilan gender
• Asas tanggung jawab bersama suami istri
5. Hak dan Kewajiban Suami Istri
Menurut Pasal 30–34 UU Perkawinan dan KHI, Suami istri wajib:
• Saling mengasihi dan menghormati
• Membantu dan setia satu sama lain
• Menjalankan peran sesuai kemampuan dan kesepakatan
• Memberikan nafkah lahir dan batin
Kedudukan suami-istri adalah setara dalam kehidupan rumah tangga dan dalam masyarakat.
6. Pemutusan Perkawinan
Pemutusan perkawinan hanya dapat terjadi karena:
a. Kematian b. Perceraian
c. Putusan pengadilan
Perceraian menurut UU Perkawinan (Pasal 38 dan seterusnya):
a. Harus dilakukan di depan sidang pengadilan
b. Hanya dapat dilakukan dengan alasan yang sah, antara lain:
• Salah satu pihak berzina, pemabuk, penjudi, atau melakukan kekerasan
• Meninggalkan pasangan selama 2 tahun berturut-turut
• Dihukum pidana 5 tahun atau lebih
• Salah satu pihak menderita cacat fisik atau mental berat
• Perselisihan terus-menerus dan tidak dapat didamaikan
7. Harta Kekayaan dalam Perkawinan a. Harta Bersama (gono-gini):
• Harta yang diperoleh selama perkawinan, menjadi milik bersama.
• Akan dibagi jika terjadi perceraian, kecuali ada perjanjian kawin.
b. Harta bawaan:
• Harta yang diperoleh sebelum menikah, tetap menjadi milik pribadi masing-masing.
8. Perjanjian Perkawinan
• Bisa dibuat sebelum atau selama berlangsungnya perkawinan (UU 16/2019)
• Harus disahkan oleh notaris dan dicatatkan
• Dapat mengatur:
✓ Pemisahan harta
✓ Tanggung jawab masing-masing
✓ Syarat-syarat lain yang sah menurut hukum
9. Perkawinan Campuran
• Diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 57–62
• Melibatkan WNI dengan WNA
• Harus memenuhi:
✓ Persyaratan hukum kedua negara
✓ Dicatat di negara tempat dilangsungkan
UU Perkawinan tidak mengenal pernikahan beda agama secara eksplisit. Dalam praktik, banyak kasus yang memerlukan putusan pengadilan atau penyesuaian agama salah satu pihak.
10. Perkawinan Anak
• Dilarang menikahkan anak di bawah umur 19 tahun.
• Bisa ada dispensasi kawin dari pengadilan dengan alasan mendesak dan mendengarkan pendapat anak.
Tabel Perbandingan Hukum Perkawinan di Indonesia
Aspek Umat Islam (UU Perkawinan + KHI) Non-Muslim (UU Perkawinan + KUHPerdata + Agama masing-masing) Definisi
Perkawinan
Ikatan lahir batin antara pria dan wanita untuk membentuk rumah tangga, sesuai hukum Islam
Sama, tetapi menurut hukum masing-masing agama
Dasar Hukum UU No. 1/1974 + UU No. 16/2019 + Kompilasi Hukum Islam (KHI)
UU No. 1/1974 + UU No. 16/2019 + KUHPerdata + aturan agama masing-masing Pencatatan
Perkawinan KUA (Kantor Urusan Agama) Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil)
Usia Minimal 19 tahun (laki-laki & perempuan) setelah UU
16/2019 Sama
Perjanjian Perkawinan
Boleh dibuat sebelum/sesudah nikah; dicatatkan
di KUA Sama, dicatatkan di Catatan Sipil
Poligami Diperbolehkan dengan syarat ketat & izin pengadilan
Tidak diperbolehkan (umumnya agama Kristen, Katolik, Hindu, Buddha menganut monogami) Perceraian Dilakukan melalui Pengadilan Agama Dilakukan melalui Pengadilan Negeri Wali Nikah Wajib ada wali (nasab atau hakim) Tidak mensyaratkan wali secara hukum negara,
tergantung agama Perkawinan Beda
Agama Tidak diakui secara hukum Islam Tidak diakui secara administratif kecuali menikah di luar negeri lalu dicatat
Harta Bersama (Gono-gini)
Tunduk pada ketentuan KHI & UU Perkawinan;
bisa diatur dengan perjanjian Sama Anak Sah Anak dalam perkawinan yang sah menurut Islam
& tercatat di KUA Anak dalam perkawinan tercatat di Catatan Sipil Anak Luar Nikah Hanya punya hubungan hukum dengan ibu,
kecuali diakui/diputus pengadilan Sama; bisa diakui dengan akta pengakuan anak Adopsi Anak Diatur dalam hukum Islam (hibah/wasiyat
wajibah) & PP 54/2007
PP No. 54 Tahun 2007, harus melalui pengadilan
Perkawinan Siri Sah menurut agama, tapi tidak diakui hukum negara jika tidak dicatat
Sama; tidak memiliki kekuatan hukum administrasi
Tabel Perbandingan Proses Perceraian
Aspek Umat Islam (Pengadilan Agama) Non-Muslim (Pengadilan Negeri) Lembaga yang
menangani Pengadilan Agama Pengadilan Negeri
Siapa yang bisa
menggugat Suami (cerai talak) atau istri (cerai gugat) Salah satu pihak mengajukan gugatan cerai Prosedur awal -Pengajuan permohonan cerai/talak
-Mediasi wajib
-Gugatan cerai diajukan ke PN -Mediasi wajib
Dasar perceraian Sesuai Pasal 116 KHI dan Pasal 39 UU Perkawinan:
perselisihan, zina, KDRT, penelantaran, dll
Sesuai KUHPerdata & UU Perkawinan:
perselisihan, zina, pemabuk, kekerasan, dll
Aspek Umat Islam (Pengadilan Agama) Non-Muslim (Pengadilan Negeri) Keharusan
mediasi Ya, wajib sebelum sidang lanjut Ya, wajib Akibat hukum Perceraian sah jika diucapkan dan diputuskan oleh
hakim
Sama; keputusan pengadilan menjadi dasar hukum
Pembagian harta Berdasarkan harta bersama (gono-gini) &
perjanjian jika ada Sama
Waktu proses 1–6 bulan, tergantung kompleksitas Sama
Tabel Perbandingan Hak Asuh Anak Pasca Perceraian
Aspek Umat Islam (KHI) Non-Muslim (KUHPerdata & praktik peradilan)
Usia anak Anak <12 tahun diasuh ibu (Pasal 105 KHI) Hak asuh bisa ke ibu atau ayah tergantung kepentingan anak
Faktor pertimbangan
Kelayakan moral, ekonomi, psikologis, agama, pendidikan
Sama; pertimbangan "kepentingan terbaik bagi anak"
Anak usia >12
tahun Bisa memilih ikut ayah atau ibu Sama Nafkah anak Tetap tanggung jawab ayah, kecuali tidak
mampu Sama, biasanya ayah diwajibkan menafkahi
Pengalihan hak asuh
Bisa jika pemegang hak asuh terbukti lalai atau
tidak layak Sama, berdasarkan keputusan pengadilan
Bisa dirundingkan? Ya, bisa melalui kesepakatan bersama di depan
hakim Ya, dengan syarat tidak merugikan anak
Tabel Perbandingan Warisan dalam Perkawinan
Aspek Umat Islam (Hukum Waris Islam/Kompilasi
Hukum Islam) Non-Muslim (KUHPerdata)
Dasar hukum Kompilasi Hukum Islam (KHI) KUHPerdata & aturan agama masing- masing
Sistem waris Sistem faraid (bagian tetap: 1/2, 1/4, 1/8, dsb) Sistem waris perdata (anak dan pasangan bagi rata)
Ahli waris utama Anak, istri/suami, orang tua, saudara kandung Anak, istri/suami, orang tua Perempuan dan laki-
laki Laki-laki dapat 2x lebih banyak dari perempuan Umumnya dibagi sama rata Ahli waris luar nikah Anak luar nikah hanya dapat warisan dari ibu,
kecuali diakui oleh ayah Sama, harus ada pengakuan atau penetapan Harta bersama
(gono-gini) Dipisahkan dulu dari warisan Sama, harta bersama dipisah sebelum warisan dibagikan
Bisa melalui wasiat? Ya, tapi maksimal 1/3 dari harta jika ahli waris tidak setuju
Ya, bisa mewariskan sesuai kehendak (bebas)
Pengangkatan anak
angkat Bisa dapat wasiat wajibah Anak angkat tidak otomatis dapat warisan, perlu wasiat atau hibah
1. Sistematika Hukum Perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Sistematika Hukum Perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Indonesia mengikuti struktur dari Burgerlijk Wetboek (BW) Belanda. KUHPerdata terbagi ke dalam empat buku, masing-masing dengan bagian dan bab yang memuat ketentuan hukum perdata yang mengatur hubungan antar subjek hukum dalam kehidupan sehari-hari.
BUKU I – Tentang Orang (Personenrecht)
Mengatur tentang subjek hukum, yaitu manusia dan badan hukum, serta kedudukan hukumnya.
Pokok-pokok isi:
1. Perkawinan (Termasuk syarat, akibat, pembatalan, dan perpisahan).
2. Hak dan kewajiban suami-istri.
3. Anak dan keturunannya (termasuk pengakuan anak, adopsi).
4. Perwalian (Curatele, pengampuan).
5. Kewenangan hukum individu (handelingsbekwaamheid).
6. Domisili dan pencatatan sipil.
BUKU II – Tentang Benda (Goederenrecht)
Mengatur tentang hukum benda, yaitu hak-hak yang dapat dimiliki atas suatu benda.
Pokok-pokok isi:
1. Pengertian benda (berwujud/tidak berwujud, bergerak/tidak bergerak).
2. Hak milik dan cara memperolehnya.
3. Pemilikan bersama (mede-eigendom).
4. Hak-hak kebendaan lain seperti:
• Hak guna usaha
• Hak guna bangunan
• Hak tanggungan (hipotik dan gadai)
5. Pewarisan menurut undang-undang dan testamenter.
BUKU III – Tentang Perikatan (Verbintenissenrecht)
Mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, di mana satu pihak berhak atas prestasi dan pihak lain wajib memberikan prestasi.
Pokok-pokok isi:
1. Sumber perikatan:
• Perjanjian
• Undang-undang (karena perbuatan melawan hukum atau pengurusan kepentingan orang lain)
2. Syarat sahnya perjanjian.
3. Macam-macam perjanjian khusus, seperti:
• Jual beli
• Sewa menyewa
• Tukar-menukar
• Pinjam-meminjam
• Persekutuan
• Perwakilan
• Hibah
4. Wanprestasi dan akibatnya.
5. Pembatalan dan pemutusan perikatan.
BUKU IV – Tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa (Bewijs en Verjaring)
Mengatur mengenai cara pembuktian dalam hukum perdata dan masa berlaku (kedaluwarsa) hak-hak hukum.
Pokok-pokok isi:
1. Alat bukti dalam hukum perdata:
• Tulisan (akta otentik dan bawah tangan)
• Saksi
• Persangkaan (presumptions)
• Pengakuan
• Sumpah
2. Kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti.
3. Kedaluwarsa (verjaring):
• Pengertian dan akibatnya
• Tenggat waktu hak menuntut
KUHPerdata tidak sepenuhnya mencerminkan sistem hukum adat atau agama yang hidup di Indonesia. Oleh karena itu, dalam praktiknya, hukum perdata sering kali dikombinasikan atau
diadaptasi dengan ketentuan hukum lain (misalnya: UU Perkawinan, UU Perlindungan Anak, dll). Terdapat asas-asas umum dalam hukum perdata, seperti kebebasan berkontrak, itikad baik, dan kepastian hukum.
2. Pluralisme dalam Hukum Perdata Indonesia
Hukum perdata di Indonesia masih bersifat pluralistik hingga saat ini karena akar sejarah, budaya, dan politik yang membentuk sistem hukum Indonesia bersifat majemuk sejak awal.
a. Warisan Kolonial Belanda
Selama masa penjajahan Belanda, pemerintah kolonial menerapkan sistem hukum yang berbeda-beda untuk masing-masing golongan penduduk:
• Hukum Eropa untuk orang Belanda dan golongan Timur Asing tertentu.
• Hukum Adat untuk penduduk pribumi.
• Hukum agama untuk urusan tertentu seperti perkawinan atau warisan.
Hukum perdata yang berlaku untuk golongan Eropa dirumuskan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang diberlakukan sejak 1848 dan masih digunakan hingga sekarang.
b. Keanekaragaman Budaya dan Hukum Adat
Indonesia adalah negara yang terdiri dari beragam suku, adat, dan budaya, yang masing- masing memiliki sistem hukum adat tersendiri. Hukum adat ini masih dihormati dan dipraktikkan, terutama dalam:
• Warisan
• Perkawinan
• Tanah adat
• Penyelesaian sengketa lokal
Karena negara mengakui keberadaan hukum adat (selama tidak bertentangan dengan hukum nasional dan HAM), pluralisme tetap dipertahankan.
c. Pengakuan terhadap Hukum Islam
Dalam beberapa aspek hukum perdata, khususnya perkawinan, warisan, dan wakaf, hukum Islam juga diakui dan diterapkan, khususnya untuk umat Muslim. Ini ditunjukkan melalui:
• Kompilasi Hukum Islam (KHI)
• Pengadilan Agama
d. Belum Tersusunnya Hukum Perdata Nasional yang Menyeluruh
Upaya untuk membuat kodifikasi hukum perdata nasional yang seragam dan menggantikan KUHPerdata serta mengintegrasikan hukum adat dan hukum Islam masih berjalan lambat. Penyusunan hukum nasional menghadapi tantangan besar karena:
• Kompleksitas masyarakat Indonesia
• Resistensi terhadap perubahan hukum lama
• Perbedaan pandangan antara kelompok agama, adat, dan modern e. Pendekatan Pragmatis oleh Negara
Pemerintah mengambil pendekatan pragmatis dengan mengakui dan menyesuaikan keberagaman hukum yang ada, daripada memaksakan unifikasi hukum yang bisa menimbulkan konflik sosial.
Kesimpulan
Pluralisme hukum perdata di Indonesia adalah konsekuensi dari sejarah, keanekaragaman masyarakat, dan kebijakan hukum nasional. Meskipun ada keinginan untuk kodifikasi hukum nasional, sistem pluralistik tetap bertahan karena lebih realistis dalam konteks sosial- politik Indonesia.
3. Jenis-Jenis Anak dalam KUHPerdata
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Indonesia, anak dibedakan menjadi beberapa jenis berdasarkan status hukum kelahirannya, yang berdampak pada hak waris, hubungan keperdataan, dan hak perwalian. Berikut adalah jenis-jenis anak menurut KUH Perdata:
a. Anak Sah
Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah antara seorang pria dan wanita.
Dasar Hukum:
Pasal 250 KUH Perdata: “Anak-anak yang dilahirkan atau diperoleh selama perkawinan memperoleh status anak sah.”
Ciri-ciri:
• Diakui sebagai anak dari suami-istri yang sah.
• Mempunyai hak waris penuh terhadap kedua orang tuanya.
• Berhak memakai nama keluarga ayahnya.
b. Anak Luar Kawin
Anak yang dilahirkan di luar ikatan perkawinan yang sah menurut hukum.
Dasar Hukum:
Pasal 280 KUH Perdata menyatakan bahwa anak luar kawin dapat menjadi anak yang diakui jika orang tuanya memberikan pengakuan secara sah.
Jenis anak luar kawin:
• Anak yang diakui:
✓ Anak luar kawin yang diakui oleh ayah atau ibunya melalui akta atau surat pengakuan.
✓ Mempunyai hak terhadap orang tua yang mengakui, termasuk dalam hal warisan (terbatas).
• Anak yang tidak diakui:
✓ Tidak memiliki hubungan hukum dengan ayah atau ibu, kecuali ibunya secara biologis.
✓ Tidak memiliki hak waris kecuali dalam kasus tertentu melalui penetapan pengadilan.
c. Anak yang Diangkat (Adopsi)
Anak angkat adalah anak yang secara hukum diangkat sebagai anak oleh orang tua angkat.
Dasar Hukum:
Tidak secara eksplisit diatur dalam KUH Perdata, tetapi sering merujuk pada hukum adat dan peraturan khusus seperti Peraturan Pemerintah dan UU Perlindungan Anak.
Ciri-ciri:
• Tidak memiliki hak waris secara otomatis terhadap orang tua angkat menurut KUH Perdata, kecuali dibuatkan wasiat.
• Hubungan hukum dengan orang tua kandung bisa terputus atau tidak, tergantung sistem hukum yang berlaku (adat/sipil).
Resume
Jenis Anak Dasar Hukum Hak Waris Hubungan Hukum Anak Sah Pasal 250 KUH Perdata Penuh Ayah & Ibu
Jenis Anak Dasar Hukum Hak Waris Hubungan Hukum Anak Luar Kawin Pasal 280 KUH Perdata Terbatas (jika diakui) Hanya yang mengakui Anak Angkat Hukum Adat/UU Adopsi Tidak otomatis Orang tua angkat
4. Perbedaan antara Kekuasaan Orang Tua, Perwalian, dan Pengampuan
Meskipun sama-sama menyangkut perlindungan hukum terhadap individu yang belum atau tidak cakap hukum, tapi konteks dan penerapannya berbeda.
a. Kekuasaan Orang Tua (Patria Potestas)
Adalah hak dan kewajiban orang tua terhadap anak yang belum dewasa, baik dalam hal pemeliharaan, pendidikan, maupun pengelolaan harta anak.
Dasar hukum:
Pasal 299–332 KUH Perdata dan juga UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (jo. UU No. 16 Tahun 2019)
Berlaku untuk:
• Anak sah (di bawah umur 18 tahun dan belum menikah)
• Dalam hal orang tua masih hidup dan tidak dicabut haknya Ruang Lingkup:
• Mengurus pribadi anak (kesehatan, pendidikan, moral)
• Mengurus harta anak (dengan batasan tertentu) Catatan:
• Jika salah satu orang tua meninggal, kekuasaan beralih ke orang tua yang masih hidup.
• Bisa dicabut oleh pengadilan jika orang tua dianggap tidak layak (misal: kekerasan, penelantaran, dll.)
b. Perwalian (Voogdij)
Adalah pengangkatan wali oleh pengadilan atau hukum, untuk mewakili dan melindungi anak yang belum dewasa jika orang tuanya sudah meninggal dunia atau tidak mampu menjalankan kewajiban.
Dasar hukum:
Pasal 330–398 KUH Perdata
Berlaku untuk:
Anak di bawah umur yang kehilangan kekuasaan orang tua (karena orang tuanya meninggal, tidak diketahui keberadaannya, atau dicabut haknya oleh pengadilan)
Siapa yang bisa jadi wali?
• Keluarga dekat
• Seseorang yang ditunjuk dalam surat wasiat
• Ditentukan oleh pengadilan Ruang Lingkup:
• Mengurus pribadi dan harta anak
• Tapi lebih diawasi ketat oleh Pengawas Perwalian
c. Pengampuan (Curatele)
Adalah penetapan pengadilan untuk mengawasi dan mewakili orang dewasa yang dianggap tidak cakap hukum karena kondisi tertentu seperti:
• Gila/permanen tidak waras
• Pemboros
• Cacat mental
• Lemah akal Dasar hukum:
Pasal 433–462 KUH Perdata Berlaku untuk:
Orang dewasa yang dianggap tidak mampu bertindak hukum secara mandiri Tujuan:
• Melindungi kepentingan hukum orang tersebut
• Mencegah kerugian terhadap dirinya sendiri maupun orang lain Siapa yang jadi pengampu?
• Bisa diajukan oleh keluarga atau instansi
• Ditunjuk pengadilan
Resume
Aspek Kekuasaan Orang
Tua Perwalian Pengampuan
Subjek Anak di bawah
umur Anak di bawah umur Orang dewasa Syarat
Berlaku
Orang tua masih hidup
Orang tua
meninggal/berhalangan Dewasa tapi tidak cakap hukum
Tujuan Perlindungan &
pengasuhan
Perlindungan anak
yatim Perlindungan orang dewasa
Penetapan Otomatis dari
hukum Ditetapkan pengadilan Ditetapkan pengadilan Bisa
dicabut?
Ya
(oleh pengadilan) Ya Ya
Contoh Ibu mengurus anaknya
Paman jadi wali keponakan
Kakak jadi pengampu adiknya yg cacat mental
Contoh:
• Kekuasaan orang tua: Ibu mengantar anak sekolah dan mengelola uang tabungannya.
• Perwalian: Paman mengurus anak yatim karena kedua orang tuanya meninggal.
• Pengampuan: Seseorang yang boros ditetapkan berada di bawah pengampuan agar tidak menghambur-hamburkan warisan keluarga.
5. Kasus Stuart London dan Bunga: Pembatalan Perkawinan
Dalam konteks hukum perkawinan di Indonesia, yang diatur dalam:
• Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan),
• Kompilasi Hukum Islam (KHI) – karena pihak perempuan (Bunga) adalah seorang WNI beragama Islam,
• KUHPerdata atau hukum negara asal untuk WNA jika relevan,
• Peraturan Administrasi Kependudukan (terkait dokumen)
5 (lima) alasan hukum yang berpotensi menyebabkan perkawinan Stuart dan Bunga batal atau tidak sah:
1. Stuart Masih Terikat Perkawinan Sah dengan Istri yang Sedang Hamil Dasar hukum:
• Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974: "Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami."
• Pasal 4 UU No. 1 Tahun 1974: Seorang suami yang hendak beristri lebih dari seorang harus mendapatkan izin dari Pengadilan.
• Pasal 9 UU No. 1 Tahun 1974: Pegawai Pencatat Perkawinan tidak boleh melangsungkan perkawinan apabila tidak memenuhi syarat.
Argumentasi hukum:
Stuart masih terikat dalam perkawinan sah dengan istri yang bahkan sedang hamil. Jika dia tidak memperoleh izin poligami dari pengadilan Indonesia (dan mengingat dia Kristen, maka poligami jelas bertentangan dengan agamanya), maka perkawinannya dengan Bunga tidak memenuhi syarat sah dan tidak dapat dilangsungkan secara hukum di Indonesia.
2. Bunga Belum Melewati Masa Iddah Dasar hukum:
• Pasal 153 KHI: "Seorang wanita yang putus ikatan perkawinannya dilarang melangsungkan perkawinan lagi sebelum habis masa iddah."
• Masa iddah perceraian: 3 kali suci, atau setara dengan kurang lebih 90 hari (Pasal 153 ayat (2) KHI).
Argumentasi hukum:
Karena Bunga baru bercerai 30 hari yang lalu, maka ia belum menyelesaikan masa iddah, yang merupakan syarat mutlak sebelum menikah kembali menurut hukum Islam di Indonesia. Jika perkawinan dilangsungkan sebelum iddah selesai, maka perkawinan tersebut dianggap batal demi hukum menurut KHI.
3. Perbedaan Agama antara Stuart dan Bunga Dasar hukum:
• Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu."
• Putusan Mahkamah Agung No. 1400K/Pdt/1986: Perkawinan beda agama tidak sah menurut hukum Indonesia, karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1).
Argumentasi hukum:
Stuart beragama Kristen dan Bunga beragama Islam. Dalam hukum Indonesia, perkawinan lintas agama tidak dapat dilakukan kecuali salah satu pasangan berpindah agama. Jika tidak ada konversi agama secara sah, maka perkawinan tidak bisa dicatat dan dianggap tidak sah menurut hukum positif Indonesia.
4. Tidak Memenuhi Syarat Perkawinan Campuran Dasar hukum:
• Pasal 57 s.d. 62 UU No. 1 Tahun 1974: Mengatur tentang perkawinan campuran (antara WNI dan WNA)
• PP No. 9 Tahun 1975: Tentang pelaksanaan UU Perkawinan
Argumentasi hukum:
Perkawinan antara Stuart (WNA) dan Bunga (WNI) adalah perkawinan campuran. Maka harus memenuhi syarat-syarat administratif seperti:
• Surat keterangan dari kedutaan besar Stuart bahwa ia tidak sedang menikah (certificate of no impediment to marriage)
• Legalitas status pernikahannya di negara asal
• Dokumen diterjemahkan dan dilegalisir
Jika Stuart tidak membuktikan bahwa ia bebas menikah (karena masih punya istri), maka perkawinan tidak dapat dicatatkan di Indonesia dan dianggap tidak sah.
5. Adanya Syarat yang Tidak Dipenuhi Secara Jujur (Cacat Administratif atau Penipuan)
Dasar hukum:
• Pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974: "Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan."
• Pasal 23: Mengatur siapa saja yang dapat mengajukan pembatalan
• Pasal 27 dan 28: Tentang akibat hukum dari pembatalan
Argumentasi hukum:
Jika terbukti bahwa Stuart menyembunyikan status pernikahannya atau memberikan informasi palsu saat pendaftaran nikah, maka ada alasan hukum untuk membatalkan perkawinan karena cacat kehendak atau penipuan. Ini termasuk pernyataan palsu tentang status lajang atau duda.
Kesimpulan
Perkawinan antara Stuart dan Bunga berpotensi batal karena beberapa alasan hukum yang kuat:
1. Stuart masih memiliki istri yang sah dan tidak ada izin poligami.
2. Bunga belum selesai masa iddah.
3. Perbedaan agama tanpa konversi.
4. Tidak memenuhi ketentuan perkawinan campuran.
5. Potensi pemalsuan data atau penipuan terkait status perkawinan Stuart.
Jika perkawinan tetap dipaksakan, maka berisiko dianggap tidak sah dan dapat dibatalkan oleh pengadilan, serta tidak memiliki kekuatan hukum di Indonesia.