MEMBANGUN PROFESIONALISME DAN IDENTITAS CALON GURU FISIKA
Prof. Dr. Endang Purwaningsih, M.Si.
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pendidikan Fisika
pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam disampaikan pada Sidang Terbuka Senat
Universitas Negeri Malang Tanggal 23 September 2021
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI MALANG (UM) SEPTEMBER 2021
MEMBANGUN PROFESIONALISME DAN IDENTITAS CALON GURU FISIKA
Bismillahirohamanirohim
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh Yth. Ketua Senat Universitas Negeri Malang, Yth. Rektor Universitas Negeri Malang,
Yth. Para Anggota Senat, Ketua dan para Anggota Komisi Guru Besar Universitas Negeri Malang
Yth. Para Pejabat Struktural Universitas Negeri Malang
Yth. Rekan sejawat dosen, tenaga kependidikan, para tamu undangan dan mahasiswa Universitas Negeri Malang
Yth. Para Guru Besar yang dikukuhkan beserta keluarga yang berbahagia.
Pertama tama mari kita panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya, sehingga pada pagi yang penuh berkah ini kita bisa berbagi kebahagiaan dan rasa syukur dalam forum akademik yang mulia ini. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya. Melalui kesempatan ini, saya ucapkan terima kasih yang sedalam- dalamnya kepada beliau-beliau yang telah memfasilitasi dan mengantarkan saya sehingga dapat berdiri di mimbar ini yaitu kepada Ketua Senat Universitas Negeri Malang, Bapak Prof. Suko Wiyono, beserta segenap anggota Senat dan komisi guru besar, Rektor Universitas Negeri Malang, Bapak Prof. H. Ahmad Rofi’uddin, serta segenap jajaran pimpinan dan staf, dekan FMIPA Prof Dr. Hadi Suwono beserta wakilnya, ketua jurusan Fisika Dr. Hari Wisodo, M.Si. Lebih
khusus, saya dan keluarga menyampaikan rasa syukur yang tiada tara kepada Allah SWT, karena hanya dengan ridhoNya semata menjelang pensiun, saya masih diberi kesempatan dan kehormatan menjadi salah satu Guru Besar dalam bidang Pendidikan Fisika di Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Malang.
Hadirin yang saya muliakan,
Pada kesempatan ini, izinkan saya menyampaikan sedikit sumbangan pemikiran saya berdasarkan pengalaman belajar, pengalaman mengajar, kegiatan penelitian dan kegiatan pengabdian yang saya lakukan selama ini. Materi ini saya sampaikan dalam tiga bagian utama yaitu: pertama, Pendidikan profesionalisme calon guru fisika. Kedua, upaya membangun PCK dan T-PACK calon guru fisika.
Terakhir, upaya membangun identitas calon guru fisika.
Bagian 1: Pendidikan Profesionalisme Calon Guru Fisika Hadirin yang saya hormati,
Sampai saat ini, peran guru masih menempati posisi sentral dan terdepan dalam menjamin proses dan hasil pendidikan. Seorang guru professional harus dapat memastikan bahwa proses pembelajaran berjalan sebagaimana mestinya dan dapat mengembangkan berbagai kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa.
Melalui guru-guru yang profesional, pendidikan akan menjadi berkualitas sehingga dapat melahirkan putra-putri bangsa yang kompeten di berbagai bidang.
Oleh karena itu, bagi lembaga pencetak guru, melahirkan calon guru professional merupakan tantangan yang serius.
Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005, ada empat kompetensi yang harus dimiliki guru profesional yaitu: kompetensi pedagogi, profesional, sosial, dan kepribadian. Keempat kompetensi ini sejatinya dapat ditumbuhkembangkan seiring dengan pengalaman belajar dan pengalaman mengajar sejak dari calon guru hingga saat menjadi guru. Oleh karena itu, tugas
lembaga pencetak guru menjadi yang terdepan dalam mempersiapkan guru yang memiliki keempat kompetensi ini secara utuh. Meskipun demikian, bagaimana cara dalam mengembangkan keempat kompetensi yang diamanatkan dalam undang-undang ini masih sangat beragam dan cenderung belum operasional.
Empat kompetensi yang diamanatkan undang-undang terkait kompetensi guru masih sangat relevan dengan teori-teori yang diyakini oleh para ilmuwan di bidang pendidikan. Salah satunya, menurut Shulman (1987), pengetahuan dasar yang perlu dimiliki oleh guru tidak hanya terbatas pada pengetahuan konten atau pengetahuan pedagogi saja tetapi harus memiliki pengetahuan yang mampu mengintegrasikan kedua pengetahuan tersebut yang dikenal dengan pedagogical content knowledge atau sering disingkat sebagai PCK.
Dalam perkembangannya, seiring dengan perkembangan teknologi pendidikan terutama teknologi digital, pengetahuan ini berkembang menjadi pengetahuan profesional yang baru. Sehingga mempunyai pengetahuan PCK saja dianggap tidak cukup untuk mendukung profesi seorang guru dewasa ini.
Pengetahuan baru ini ditawarkan pertama kali oleh Mishra dan Koehler (2006) dengan sebutan Technological Pedagogical Content Knowledge (TPCK), yang kemudian dikenal dengan sebutan T-PACK. Pengetahuan ini tidak hanya memberikan pemahaman terkait integrasi konten dan pedagogi tetapi juga integrasi teknologi dalam pembelajaran. Jika dianalisis maka terlihat bahwa pandangan dari para ilmuwan-ilmuwan ini sesuai untuk kompetensi pedagogi dan profesional yang diamanatkan undang-undang.
Selama ini, kita cenderung fokus pada kompetensi pedagogi dan profesional.
Sementara itu, dua kompetensi guru profesional yaitu kompetensi sosial dan kepribadian kadang terlupakan. Kompetensi ini seharusnya menjadi “ruh” bagi seseorang yang berprofesi sebagai guru. Selain harus memiliki pemahaman deklaratif dan prosedural (Etkina, 2010), PCK dan T-PACK, guru juga dituntut memiliki kompetensi sosial dan kepribadian yang mumpuni. Dalam penelusuran yang saya dan tim lakukan baru-baru ini, aspek sosial dan kepribadian dapat
termanifestasi dalam diri seorang guru dalam bentuk identitas. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Hazari et al. (2010) bahwa guru membentuk identitas sebagai suatu interaksi antara aspek sosial dan aspek personal.
Secara ringkas, PCK dan T-PACK dapat menjadi landasan operasional yang kuat terhadap kompetensi pedagogi dan profesional. Dilain pihak, identitas juga dapat menjadi landasan yang kuat pula dalam upaya mengembangkan kompetensi sosial dan kepribadian calon guru. PCK, T-PACK, dan identitas merupakan komponen penting yang harus dimiliki atau dipersiapkan oleh calon guru fisika agar empat kompetensi yang diamanatkan oleh undang-undang dapat dikuasai dengan baik.
Hadirin yang saya hormati,
Izinkan saya melanjutkan dengan mengelaborasi lebih dalam terkait teori PCK dan T-PACK calon guru fisika serta kaitannya dengan kompetensi pedagogi dan profesional guru dalam konteks Indonesia.
Calon guru fisika hendaknya memiliki pengetahuan konten yang baik, agar dapat melakukan berbagai hal yang inovatif dalam pembelajaran (Rollnick, 2017).
Dengan pengetahuan konten, mereka dapat menentukan konsep fisika yang esensial (Etkina, 2010) dan menentukan pilihan terkait cara yang sesuai dalam membelajarkannya. Lebih lanjut, dengan memahami konten, calon guru menjadi mampu untuk menentukan urutan pembelajaran, menentukan tema dari berbagai konsep, hingga mampu untuk menuntun siswa melakukan proses inkuiri di kelas.
Agar hal tersebut dapat tercapai maka pengetahuan calon guru fisika harus koheren. Mereka harus mampu menentukan keterkaitan antar konsep karena fisika merupakan disiplin ilmu yang konsepnya saling terkait. Kemampuan- kemampuan ini merupakan kemampuan dasar yang dibutuhkan oleh guru dalam pembelajaran.
Selain pengetahuan konten, calon guru juga hendaknya memiliki pengetahuan pedagogi yang baik. Pengetahuan ini paling tidak meliputi dua hal
yaitu memahami karakteristik siswa dan menentukan strategi pembelajaran yang sesuai. Pertama, siswa memiliki karakteristik yang berbeda-beda, memiliki permasalahan yang beragam, dan memiliki tahapan perkembangannya masing- masing. Seorang calon guru perlu memiliki pengetahuan terkait karakteristik individu baik dalam hal kemampuan kognitif, keterampilan, ataupun berbagai kesulitan yang mungkin dialami siswa dalam belajar (Magnusson et al., 2002).
Kedua, guru harus memiliki pengetahuan terkait bagaimana mengembangkan kompetensi siswa dan mengatasi kesulitan belajar siswa dalam suatu proses pembelajaran juga merupakan hal yang esensial dalam hal pengetahuan pedagogi.
Etkina (2010) menyatakan bahwa upaya-upaya ini harus didasarkan pada hasil- hasil riset yang matang.
Mahasiswa calon guru tidak cukup hanya memiliki pengetahuan konten dan pengetahuan pedagogi saja (Gess-Newsome, 2015; Koh et al., 2017; Mishra &
Koehler, 2006; Rollnick & Mavhunga, 2016; Shulman, 1987). Seorang calon guru fisika harus memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan pengetahuan konten dan pengetahuan pedagogi. Hal ini karena, seorang guru fisika bukan seorang ilmuwan fisika yang fokus pada konten fisika. Guru fisika juga bukan ahli pendidikan yang berfokus pada berbagai teori terkait siswa dan pembelajaran saja.
Guru fisika merupakan seorang profesional yang diharapkan mampu mengembangkan kompetensi-kompetensi fisika siswa yang nantinya digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, ada dua hal yang perlu disinergikan oleh guru, yaitu konten dan pedagogi.
Pada PCK summit yang dilakukan pada tahun 2012 di Colorado, PCK dipahami sebagai pengetahuan yang spesifik dan berbeda dengan pengetahuan- pengetahuan profesionalisme guru yang telah didefinisikan selama ini (Gess- Newsome, 2015). PCK sendiri menurut Shulman (1987) merupakan perpaduan antara pemahaman terkait konten dan pedagogi yang memungkinkan guru untuk mengajar secara efektif. PCK dapat dianalogikan seperti reaksi kimia dimana ada reaktan (berupa pengetahuan konten dan pengetahuan pedagogi) dan ada hasil
reaksi (berupa PCK). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa PCK sendiri merupakan pengetahuan yang integratif, bukan pengetahuan transformatif.
Sebagai pengetahuan yang integratif, PCK tidak sepenuhnya terpisah dari pengetahuan konten dan pengetahuan pedagogi. Pengetahuan PCK calon guru ditentukan oleh pengetahuan konten dan pengetahuan pedagogi yang dimiliki.
Kita tidak dapat mengatakan bahwa PCK lebih penting dari kedua pengetahuan profesional lainnya. Hal yang dipromosikan disini adalah pengetahuan konten dan pengetahuan pedagogi saja tidak cukup, penekanan dalam hal ini adalah perlu pengetahuan yang mengintegrasikan keduanya.
Hadirin yang saya hormati,
Menurut Hodson (2014) belajar sains meliputi tiga bagian penting yaitu belajar sains (content knowledge), belajar tentang sains (epistemic knowledge), dan melakukan sains (procedural knowledge). Demikian halnya dengan belajar fisika, pembelajaran tidak sekadar belajar konsep fisika tetapi perlu membangun sikap, keterampilan berpikir dan keterampilan prosedural. Belajar fisika melibatkan pemahaman konsep/teori dan praktik kinerja ilmiah. Oleh karena itu, pembelajaran fisika tidak sesederhana transfer teori fisika dari guru ke siswa tetapi lebih kompleks. Beberapa orientasi pembelajaran fisika adalah sebagai berikut.
1. Memperbaiki konsepsi fisika siswa yang keliru
2. Menumbuhkembangkan kemampuan proses sains siswa
3. Melibatkan siswa dalam pembelajaran fisika secara aktif (hands-on) untuk menyelesaikan permasalahan yang autentik
4. Menanamkan kepada siswa bahwa fisika merupakan bagian dari sains yang melibatkan proses inkuiri
5. Memberikan ruang kepada siswa untuk menemukan suatu konsep fisika 6. Menunjukkan bahwa belajar fisika dapat menjadi bagian dari proses
belajar sosial dimana setiap individu memiliki tanggung jawab
Untuk menghadirkan keenam orientasi pembelajaran fisika tersebut di kelas, maka guru harus memiliki pengetahuan yang komplit. Kerangka PCK yang banyak menjadi rujukan dalam mencapai orientasi pembelajaran sains tersebut adalah kerangka yang dikenalkan oleh Magnusson et al. (2002). Magnusson dkk menyampaikan bahwa PCK diarahkan oleh orientasi disiplin ilmu sains dan dibentuk dari empat komponen pengetahuan guru yaitu: 1) pengetahuan terkait kurikulum sains, 2) pengetahuan terkait pemahaman sains siswa, 3) pengetahuan strategi pembelajaran, dan 4) pengetahuan terkait asesmen. Izinkan saya menyampaikan penjelasan ringkas terkait empat komponen PCK kaitannya dengan pembelajaran fisika.
Pertama, seorang mahasiswa calon guru fisika harus mampu menganalisis konsep-konsep esensial dalam fisika serta tujuan spesifik setiap materi. Seorang calon guru fisika hendaknya memiliki pemahaman fisika yang koheren sehingga mereka dapat menentukan urutan materi yang sesuai untuk dipelajari siswa.
Pengalaman kami sejauh ini menunjukkan bahwa pengetahuan ini biasanya dapat didukung dengan melatihkan content representation (CoRe) (Purwaningsih, et al., 2018). Hasil studi yang pernah kami lakukan menunjukkan bahwa content representation berperan sebagai kerangka kerja dalam proses perencanaan, pengorganisasian, dan cara berpikir pada suatu materi (Purwaningsih, 2015;
Purwaningsih, et al., 2018). Akibatnya, calon guru yang memiliki representasi konten yang baik menjadi mampu menganalisis dan memformulasikan tujuan pembelajaran dengan baik pula.
Kedua, mahasiswa calon guru juga dituntut dapat menganalisis kesulitan belajar/miskonsepsi siswa. Dalam fisika, kompetensi ini sangat dibutuhkan karena banyak laporan yang menunjukkan bahwa masih banyak konsep-konsep fisika yang sulit dipahami oleh siswa. Sangat sering, siswa menjelaskan suatu fenomena namun tidak sesuai dengan konsepsi para ilmuwan fisika. Oleh karena itu, seorang mahasiswa calon guru fisika harus dipersiapkan untuk mampu mendiagnosis berbagai konsepsi alternatif yang mungkin dimiliki oleh siswa.
Kemampuan ini paling tidak menuntut dua hal yaitu penguasaan konsep mahasiswa itu sendiri dan pengetahuan terkait teori-teori perubahan konseptual seperti teori miskonsepsi, teori resource, teori kategori onotologis dan teori lain yang relevan.
Ketiga, setelah mampu mengidentifikasi miskonsepsi, pengetahuan berikutnya yang perlu dimiliki oleh mahasiswa calon guru adalah kemampuan untuk menentukan strategi pembelajaran yang sesuai. Setiap topik memiliki karakteristiknya sendiri dan setiap kelas memiliki ciri yang khas. Guru harus mampu menentukan dengan cara apa suatu materi diajarkan. Sebagai contoh, materi kinematika yang konkrit tentunya diajarkan dengan cara yang berbeda dengan materi fisika modern yang cenderung abstrak. Lebih lanjut, jika siswa diidentifikasi mengalami miskonsepsi, maka seorang guru harus memiliki kompetensi untuk mengatasinya. Menurut Posner et al. (1982), miskonsepsi siswa hendaknya dapat di selesaikan dengan menghadirkan empat hal dalam pembelajaran yaitu: 1) ketidakpuasan dengan konsepsi yang dimiliki (konsep lama yang miskonsepsi); 2) kejelasan konsep baru; 3) konsep baru yang diterima masuk akal; dan 4) konsep baru yang dipelajari dapat digunakan dalam penalaran dan membuat prediksi tentang suatu fenomena.
Keempat, menentukan asesmen yang sesuai juga menjadi kompetensi yang perlu dimiliki oleh mahasiswa calon guru. Asesmen penting dilakukan karena dapat memberikan masukan kepada siswa, guru, orang tua, ataupun para pengambil kebijakan. Siswa dapat menjadikan kegiatan penilaian sebagai sarana belajar biasa dikenal sebagai asesmen formatif. Pertama, penilaian menyajikan feedback sehingga siswa dapat meningkatkan kualitas hasil belajarnya. Kedua, penilaian juga dapat dijadikan refleksi bagi guru untuk mengetahui kualitas mengajarnya dan mengetahui bagian-bagian tertentu dalam pembelajarannya yang perlu diperbaiki. Ketiga, orang tua siswa juga perlu mendapatkan laporan perkembangan anaknya sehingga dapat bekerja sama dengan guru memantau dan membimbing anaknya dalam belajar secara lebih baik lagi. Terakhir, kondisi-
kondisi ini dapat menjadi input bagi para pemangku kepentingan dalam membuat kebijakan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Sebagai bagian dari proses pembelajaran, mahasiswa calon guru harus dibekali dengan kompetensi untuk menentukan asesmen, melakukan asesmen, dan membuat laporan hasil asesmen dengan baik.
Hadirin yang saya hormati,
PCK yang kompleks membuat prosedur pengukuran dan pengembangannya menjadi tidaklah mudah. Loughran et al. (2006) memulai pekerjaan ini dengan meyakini bahwa PCK dapat disintesis dari pemahaman dan praktik guru ahli (expert). Akhirnya, Loughran et al. (2006, 2012) mengembangkan alat konseptual yang bernama Content Representations (CoRe) dan Pedagogical and Professional–
experience Repertoires (Pap-eR). Dua alat konseptual ini diyakini mampu menjadi jembatan antara pengetahuan konten dan pengetahuan pedagogi. CoRe mulanya berisi matriks yang berisi pemahaman guru expert terkait bagaimana menemukan konsep esensial suatu topik, miskonsepsi apa saja yang dimiliki siswa, bagaimana cara mengukur pemahaman siswa secara mendalam, dan konsep apa yang sering membuat siswa bingung, dan bagaimana cara membingkai suatu konsep agar mampu mendukung pembelajaran siswa (Loughran et al., 2008). Guru atau calon guru dapat belajar dari apa yang dipahami oleh guru ahli yang tertuang dalam CoRe. Dalam perkembangannya, guru atau calon guru juga dapat mengembangkan sendiri CoRe menurut preferensi dan pemahamannya. Secara esensi, CoRe merupakan representasi PCK guru yang dibuat dalam bentuk jawaban terhadap beberapa pertanyaan terkait suatu topik yang dituangkan dalam bentuk matriks. Sementara itu, Pap-eR merupakan representasi PCK guru dalam bentuk narasi terkait proses pembelajaran berdasarkan CoRe dan hasil refleksi.
Baik matriks representasi konten (CoRe) dalam pembelajaran maupun narasi pelaksanaan pembelajaran (Pap-eR) merupakan komponen dasar dalam menunjang penyusunan rencana pembelajaran. Calon guru yang memahami dengan baik kedua hal ini dapat dengan mudah menyusun rencana dan
melaksanakan pembelajaran. Pembuatan CoRe dan Pap-eR dapat menjadi alternatif dalam pengembangan profesionalisme calon guru.
Hadirin yang saya hormati,
Seiring dengan perkembangan zaman, kemajuan teknologi turut memberikan dampak bagi pembelajaran. Di era disruptif ini, ada banyak teknologi yang mulanya tidak dibuat secara khusus untuk digunakan dalam bidang Pendidikan.
Akibatnya, teknologi tersebut hanya dapat diadaptasi kedalam pembelajaran dengan beberapa penyesuaian. Sebagai contoh, penggunaan teknologi web tentunya bukan secara khusus ditujukan untuk pendidikan saja meskipun masih tetap dapat digunakan sebagai bagian dalam pembelajaran. Bagaimana memilih teknologi yang sesuai? Bagaimana cara menggunakannya? Bagaimana menyesuaikannya dengan konten pembelajaran? Bagaimana menyesuaikannya dengan karakteristik dan lingkungan siswa? Semuanya memerlukan pengetahuan yang juga spesifik. Pengetahuan ini dikenal sebagai technological pedagogical and content knowledge.
T-PACK merupakan sesuatu yang kompleks (Thohir et al., 2020). Kerangka T-PACK sendiri tersusun atas tiga pengetahuan dasar yaitu content knoweldge (CK), pedagogical knowledge (PK), dan technological knowledge (TK). Menurut Mishra dan Koehler (2006), ketiga pengetahuan ini terintegrasi satu sama lain hingga memunculkan berbagai kombinasi pengetahuan seperti pedagogical content knowledge (PCK), technological pedagogical knowledge (TPK), technological content knowledge (TCK), dan technological pedagogical content knowledge (T-PACK).
Teknologi dalam pembelajaran diyakini mampu meningkatkan kualitas pembelajaran (Alkhayat et al., 2020; Lim, 2015). Sebagai contoh, penggunaan simulasi digital dapat membantu guru dalam menjelaskan konsep-konsep yang abstrak dalam pelajaran sains (Gregorcic & Haglund, 2018). Contoh lain misalnya dalam hal penilaian, teknologi komputer dapat menyajikan representasi yang fleksibel (Park, 2020) dan dapat menyajikan feedback dengan segera (Đorić et al., 2019). Menurut OECD (2013), penggunaan teknologi seperti ini dapat
mewujudkan atmosfer lingkungan belajar yang inovatif sehingga learning environment inovation dapat tercipta. Pengetahuan terkait bagaimana memilih dan menggunakan teknologi-teknologi dalam pembelajaran merupakan suatu hal yang krusial.
T-PACK membentuk pemahaman guru mulai dari hal sederhana seperti mencari informasi dengan teknologi informasi (Aktaş & Özmen, 2020) hingga dalam hal yang kompleks seperti mereformasi kemampuan pedagogi (Koh, 2019). Meskipun T-PACK sangat penting dalam menghadirkan pembelajaran yang efektif, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa masih ada kesulitan dalam memilih teknologi pembelajaran bagi guru maupun calon guru (Aktaş &
Özmen, 2020; Voithofer & Nelson, 2020). Faktor-faktor seperti ketertarikan pribadi, kultur mata pelajarannya, dan sekolah dapat memengaruhi perkembangan T-PACK (Szeto & Cheng, 2017). Oleh karena itu, upaya-upaya pengembangan T-PACK guru maupun calon guru masih menjadi pekerjaan rumah bersama hingga saat ini.
Hadirin yang saya hormati,
Proses yang dilakukan guru di kelas merupakan interaksi antara berbagai pengetahuan. Pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki oleh guru saling mendukung dalam mewujudkan pembelajaran yang efektif. Sebagai contoh, terkait proses memunculkan permasalahan di awal pembelajaran, guru yang memahami konten secara koheren dapat menyajikan permasalahan awal yang relevan. Keputusan untuk menghadirkan permasalahan di awal pembelajaran dilakukan karena guru memahami bahwa permasalahan di awal pembelajaran dapat memicu siswa untuk belajar. Lebih lanjut, keputusan untuk melakukan proses inkuiri pada proses pembelajaran sangat ditentukan pada bagaimana pengetahuan konten guru. Pertanyaan yang diungkapkan guru ke siswa dalam pembelajaran dapat diikuti dengan pertanyaan lanjutan yang efektif jika guru
memahami konten dan teknik bertanya. Kompetensi ini perlu dipersiapkan sedari dini.
Tahapan sebagai mahasiswa calon guru merupakan tahapan awal yang sangat penting. Perkembangan berbagai kompetensi yang dibutuhkan seorang guru profesional dimulai pada tahap ini sehingga menjadi sangat krusial. Menjamin mahasiswa calon guru mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna baik teori maupun praktik merupakan suatu keharusan. Oleh karena itu, pendidikan mahasiswa calon guru harus terus dikembangkan ke arah yang positif dengan mendukung perkembangan kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan saat menjadi guru kelak seperti pengetahuan PCK dan T-PACK.
Bagian 2: Upaya dalam Membangun PCK dan T-PACK Calon Guru Hadirin yang saya hormati,
Berdasarkan apa yang telah saya kerjakan, PCK dan T-PACK merupakan pengetahuan yang dapat membantu calon guru dalam mendesain pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, hingga mengevaluasi pembelajaran. PCK dan TPACK sejatinya tidak hanya sampai pada level pengetahuan saja tetapi harus diupayakan hingga pada level implementasi. PCK tidak sebatas pengetahuan yang dipelajari di kelas tetapi sebagai alat berpikir, merancang, melaksanakan pembelajaran dan penilaian (Blömeke & Delaney, 2012). Meskipun beberapa peneliti sepakat bahwa pengetahuan PCK bersifat terpendam/tacit (Alonzo et al., 2019; Kind, 2009). Namun Etkina (2010) mengatakan bahwa beberapa aspek PCK dapat dibekalkan dan dibentuk ketika seseorang masih menjadi calon guru.
PCK tidak akan muncul begitu saja ketika seseorang menjadi guru (Kaya, 2009;
Nilsson, & Loughran, 2012). Dalam hal ini, perlu bagi calon guru fisika untuk peka terhadap berbagai pengetahuan atau teknik mengajar yang berbasis hasil riset. Dengan kata lain, pembelajaran dilakukan dengan landasan teoretis dan empiris yang kuat. Harapannya, pengetahuan calon guru yang tadinya terpendam
dapat teraktivasi dan digunakan dengan baik dalam proses implementasi pembelajaran.
Oleh karena itu diperlukan pengembangan model pembelajaran bagi calon guru yang memfasilitasi berkembangnya dan meningkatnya PCK dan T-PACK.
Matakuliah yang cocok untuk mengimplementasikan model pembelajaran tersebut adalah matakuliah KPL (Kajian dan Praktik Lapangan). Pada matakuliah tersebut pembelajarannya tidak hanya dilaksanakan dikampus dan belajar teori saja tetapi ada praktik pembelajaran di sekolah dan di kelas riil. Temuan penelitian kami menunjukkan bahwa level pengetahuan mahasiswa terkait PCK maupun T-PACK masih tergolong rendah, terutama dalam komponen pengetahuan konten (Purwaningsih et al., 2019).
Model yang dikembangkan ini merupakan penyempurnaan dari model yang dikembangkan Juhler (2016). Hasil penelitian Juhler (2016), menunjukkan bahwa kombinasi CoRe dan LS dapat meningkatkan PCK calon guru, terbukti dari meningkatnya ke empat komponen PCK yang dijelaskan dalam Magnusson.
Namun, model CoRe-LS Juhler tidak bisa diterapkan begitu saja pada calon guru fisika yang pengetahuan kontennya masih bermasalah. Model yang dikembangkan ini merupakan kombinasi antara CoRe+Pap-eR dengan Lesson Study (LS) diawali dengan Concept Mapping (peta konsep). Concept Mapping selain berperan untuk meningkatkan penguasaan konsep materi fisika, juga berperan dalam mengorganisasi materi fisika sehingga dapat menentukan materi esensial yang harus dikuasai siswa (Budak & Köseo, 2008; Safdar, 2012). CoRe dan Pap-eR sebagai representasi PCK calon guru fisika yang akan dibekalkan dan ditingkatkan melalui LS yang diperkuat dengan model pemagangan kognitif (Collins et al., 1989). Proses pengembangan model mengacu pada teori konstruktivis sosial Vygotsky, yang meliputi 4 prinsip pembelajaran, yaitu pembelajaran sosial, the Zone of Proximal Development (ZPD), pemagangan kognitif (cognitive apprenticeship), dan scaffolding. Pemagangan kognitif merupakan proses di mana tahap demi tahap calon guru fisika akan mencapai kepakaran dalam
interaksinya dengan seorang ahli, baik seorang dewasa atau teman sebaya yang lebih tinggi pengetahuannya (Slavin, 2018). Model yang dikembangkan untuk meningkatkan Pedagogical Content Knowledge (PCK) calon guru fisika diberi nama CoMCoRe-LS (Content Representation with Lesson Study). Sintaks dalam model CoMCoRe-LS terdiri dari 5 fase, yaitu 1) Preparing (Persiapan), 2) Coaching (Pembinaan), 3) Guided Practice (Praktik Terbimbing), 4) Independent Practice (Praktik Mandiri), dan 5) Evaluating (Evaluasi). Sintaks model CoMCoRe-LS, secara skema ditunjukkan dalam Gambar 1.
Fase pertama adalah Preparing (Persiapan). Fase ini dirancang untuk menyampaikan tujuan pembelajaran, menumbuhkan motivasi, melihat kemampuan awal dan menyamakan persepsi tentang penyusunan merencanakan dan melaksanakan pembelajaran. Kegiatan dalam fase persiapan setara dengan kegiatan Plan dalam Lesson Study, produk dari tahap ini adalah produk 1, berupa RPP dan LKPD hasil kerja kelompok. Produk tersebut dipresentasikan di depan kelas untuk mendapat tanggapan dan masukan. Kegiatan ini dinamakan
“Evaluation Plan.” Setelah mendapat masukan dilakukan revisi, kemudian ditentukan materi mana yang akan diimplementasikan dalam peer teaching.
Untuk praktik proses pembelajaran setara dengan “Do” dan “See” dalam LS.
Dalam fase pertama ini, calon guru fisika diberi kesempatan untuk menggunakan strateginya sendiri membangun pengetahuan dengan terus berasimilasi dan menampung informasi baru dari dosen membimbing menuju tingkat pengetahuan yang lebih tinggi sesuai dengan prinsip-prinsip pembelajaran konstruktivisme (Slavin, 2018).
Fase kedua model CoMCoRe-LS adalah Coaching (Pembinaan). Sebagai fase pembinaan, intervensi yang dilakukan dosen pada fase ini masih cenderung lebih besar. Pada fase ini, calon guru menganalisis kurikulum, menentukan tujuan pembelajaran, membuat peta konsep dan membuat representasi konten. Setelah itu, calon guru merancang pembelajaran melakukan presentasi dan revisi kemudian melakukan peer teaching. Kegiatan-kegiatan ini dilaksanakan di kampus.
Fase ketiga adalah Guided Practice (Praktik Terbimbing), pada fase ini kegiatan calon guru fisika tidak jauh berbeda dengan fase kedua. Hanya saja, ada peningkatan tugas dan tanggung jawab pada setiap individu. Scafolding diberikan secara perlahan dan bertahap dimana hal ini dimaksudkan agar setiap individu siap untuk bekerja secara mandiri. Setelah menyusun dan melakukan revisi terhadap desain pembelajaran yang dibuat, calon guru melakukan peer teaching, melakukaan refleksi dan membuat Pap-eR.
Fase keempat adalah Independent Practice (Praktik Mandiri) dimana pada fase ini kegiatan calon guru fisika difokuskan pada penyusunan desain pembelajaran secara mandiri. Kegiatan ini dilaksanakan saat calon guru fisika sudah berada di sekolah. Hasil perangkat pembelajaran yang dibuat diterapkan di kelas riil. Setiap melakukan praktik pembelajaran, calon guru diarahkan untuk terus melakukan refleksi dan membuat Pap-eR.
Fase kelima model CoMCoRe-LS, yaitu Evaluating (Evaluasi), pada fase ini kegiatan dosen dan mahasiswa meliputi: 1) Dosen melakukan evaluasi program setelah mahasiswa calon guru fisika selesai melaksanakan tugas di sekolah latihan.
2) Mahasiswa mengisi angket sebagai respon mahasiswa; 3) Mahasiswa memberikan saran dan pendapat tentang pelaksanaan perkuliahan KPL.
Secara umum, berdasarkan hasil uji coba terbatas, uji coba luas I, dan uji coba luas II, kami menemukan bahwa model CoMCoRe-LS valid, praktis, dan efektif dalam mengembangkan PCK calon guru fisika. Kami juga menemukan bahwa calon guru fisika memberikan respon yang positif terhadap pengimplementasian model CoMCoRe-LS. Selain itu, hal yang tak kalah penting, kami menemukan adanya peningkatan keterampilan calon guru fisika dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran.
Gambar 1. Siklus pembelajaran CoMCoRe-LS Hadirin yang saya hormati,
T-PACK dapat digunakan sebagai kerangka kerja dalam menganalisis pembelajaran. Dengan kerangka T-PACK, guru dapat merancang dan menggunakan teknologi pembelajaran dengan efektif dan efisien (Gonzalez &
Gonzalez Ruiz, 2016) sehingga pembelajaran dapat dilaksanakan dengan baik (Kale et al., 2020; Lee & Kim, 2017; Maor, 2017). Dalam beberapa tahun terakhir,
bersama mahasiswa bimbingan baik S1 maupun S2, kami melakukan penelitian dengan menerapkan kerangka T-PACK dalam mendesain dan melakukan pembelajaran (Purwaningsih, 2020; Purwaningsih, et al., 2020; Yolandasari et al., 2020). Harapannya, kegiatan ini dapat membuat calon guru memahami bahwa pengetahuan T-PACK produktif untuk digunakan sebagai alat konseptual dalam menyusun pembelajaran. Besar harapan pula agar kelak pengalaman tersebut dapat disalurkan oleh calon guru tersebut kepada rekannya saat menjadi guru nantinya.
Bagian 3: Membangun Identitas Calon Guru Fisika Hadirin yang saya hormati,
Orientasi pembelajaran berbagai disiplin ilmu termasuk fisika dalam beberapa dekade terakhir telah diarahkan ke pembelajaran-pembelajaran reformatif. Pembelajaran ini berupaya menggeser tradisi pembelajaran lama yang cenderung monoton menjadi pembelajaran yang aktif dan menarik. Beberapa pembelajaran yang sering diterapkan seperti: pembelajaran inkuiri, pembelajaran discovery, pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berbasis proyek hingga pembelajaran yang interdisiplin seperti pembelajaran STEM.
Dalam beberapa tahun ini, saya mengamati bahwa keputusan akan pilihan- pilihan strategi pembelajaran yang guru maupun mahasiswa calon guru buat tidak hanya dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki. Ada sesuatu yang diyakini dan dipegang kuat sebagai panduan dalam setiap tindakan yang memengaruhi preferensi dan gaya mengajarnya. Hal ini dapat dijelaskan dengan sudut pandang identitas.
Sebagai seorang individu, kita membangun dan mengembangkan identitas di berbagai kondisi. Dalam perspektif sosiokultural, identitas ini terbentuk sebagai hasil interaksi antara aspek personal dan sosial. Sebagai contoh, di kampus, masing-masing dari kita sekalian memiliki identitas sesuai dengan peran kita. Ada yang membangun identitas sebagai dosen, mahasiswa, atau sebagai seorang
pimpinan. Demikian halnya saat kita berada di rumah, ada diantara kita yang membangun identitas sebagai seorang ibu, bapak, atau seorang anak. Di lingkungan masyarakat dan lingkungan lainnya, kita semua membangun identitas yang khas dan dengan cara kita masing-masing. Oleh karena itu, menurut Gee (2000), seseorang dapat memiliki identitas yang majemuk yang memengaruhinya dalam mengambil suatu keputusan.
Di lingkungan sekolah, guru membentuk dan mengembangkan identitas khas yang dikenal sebagai identitas guru atau teacher identity. Dalam banyak literatur juga sering diistilahkan sebagai professional identity (Avraamidou, 2016). Identitas ini merupakan cerminan seorang guru dalam menggambarkan karakteristiknya sebagai guru. Identitas guru merupakan label yang dilekatkan oleh seorang guru pada dirinya yang dapat menuntunnya dalam mengambil keputusan pedagogi yang digunakan di kelas (Delaney, 2015; Smagorinsky et al., 2004). Apakah merupakan guru yang mengajar dengan cara lama atau dengan cara baru. Apakah merupakan guru yang berbasis konten kurikulum atau berbasis kebutuhan siswa.
Karakteristik-karakteristik semacam itu merupakan gambaran identitas yang dibentuk oleh guru itu sendiri dan dipahami oleh orang-orang sekitarnya. Dengan kata lain, teacher identity merupakan identitas yang menunjukkan seperti apa seseorang memaknai dirinya sebagai seorang guru dan seperti apa seorang individu dikenal sebagai guru oleh lingkungan sosialnya.
Identitas guru merupakan hal yang fundamental dalam perkembangan profesionalisme guru (Izadinia, 2014; Zhao & Zhang, 2017). Identitas bersifat cair dan terus berkembang (Avraamidou, 2019; Wang & Du, 2014). Meskipun belum ada definisi yang pasti, Beijaard et al. (2004) mengungkapkan bahwa sebagian besar peneliti mendefinisikan identitas profesional sebagai suatu proses integrasi yang berkelanjutan dari aspek profesional dan pribadi menjadi suatu kesatuan yang utuh sebagai seorang guru. Sementara itu, khusus untuk identitas mahasiswa calon guru, Izadinia (2013) mendefinisikan bahwa identitas mahasiswa calon guru merupakan manifestasi pengetahuan kognitif mereka, kesadaran diri,
kepercayaan diri, suara, rasa agensi, hubungan dengan kolega, siswa dan orang tua, pengalaman sebelumnya dan komunitas pembelajaran yang dibingkai dalam konteks pendidikan.
Secara teori, teacher identity dominan dikaji dalam perspektif sosio-kultural yang diamati dalam situated learning atau community practice. Perspektif ini menjelaskan bahwa perkembangan pembelajaran sejalan dengan perkembangan identitas seseorang dalam suatu komunitas belajar. Dengan kata lain, hadirnya komunitas belajar yang positif dapat menumbuhkan identitas calon guru yang positif juga. Hasil studi yang dilakukan oleh Wei et al. (2019) dan Avraamidou (2014) menunjukkan bahwa pilihan untuk menggunakan pembelajaran reformatif dalam pembelajaran sains sangat ditentukan oleh pengalaman belajar selama proses perkuliahan. Lebih khusus, dalam studi kasus yang kami lakukan, kami menemukan bahwa peran guru dalam mengonstruksi pilihan strategi mengajar seorang mahasiswa calon guru pada masa magang ditentukan oleh dosen.
Mahasiswa menjadikan dosen dan guru sebagai role model dalam melakukan praktik mengajar (Purwaningsih, et al., 2020). Lebih lanjut, identitas juga berperan dalam membantu guru untuk memutuskan jenis teknologi yang sesuai untuk digunakan saat pembelajaran (Badia, 2019). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa rendahnya implementasi pembelajaran inovatif oleh guru dipengaruhi oleh rendahnya identitas yang dibangun guru tersebut.
Hadirin yang saya hormati,
Sebagai seorang calon guru fisika, seorang mahasiswa pendidikan fisika perlu mengembangkan identitas yang khas yang disebut sebagai physics teacher identity.
Identitas ini memberikan implikasi bahwa identitas yang seharusnya dibentuk adalah identitas sebagai guru fisika yang komprehensif, dan tentunya berbeda dengan identitas yang dibangun oleh guru pada mata pelajaran lain. Calon guru fisika harus menghayati bahwa dirinya nanti akan menjadi seorang guru fisika
yang profesional. Guru yang memiliki pemahaman terkait konten fisika dan cara membelajarkannya.
Kerangka identitas dalam sains dipopulerkan oleh Carlone and Johnson (2007) dan Hazari et al. (2010) yang secara khusus menggunakan istilah physics identity. Dengan menggunakan social-cognitive career model, Hazari et al. (2010) mengembangkan kerangka identitas menjadi empat komponen dari tiga komponen yang disajikan oleh (Carlone & Johnson, 2007). Mereka menambahkan komponen interest karena menganggap bahwa komponen itu penting jika studi dilakukan tidak pada praktisi sains. Studi yang mereka lakukan pada siswa SMA mengkonfirmasi model teoretik yang diajukan bahwa identitas fisika terbentuk dari empat komponen yaitu interest, competence, performace, dan recognition. Interest-keinginan pribadi untuk belajar/memahami lebih banyak tentang fisika dan kegiatan terkait fisika secara sukarela dilakukan, competence- keyakinan pada kemampuan untuk memahami konten fisika, performance- keyakinan pada kemampuan untuk melakukan tugas-tugas fisika yang diperlukan, dan recognition-diakui oleh orang lain sebagai orang fisika. Empat dimensi tersebut merupakan identitas fisika tanpa melibatkan aspek pedagogi guru fisika.
Sekarang ini, saya bersama dengan mahasiswa dan kolega mulai mengeksplorasi identitas guru fisika baik pada subjek mahasiswa calon guru fisika maupun guru fisika. Identik dengan konsep PCK yang saya jelaskan sebelumnya, identitas guru fisika dapat dipandang sebagai suatu reaksi kimia dimana reaktannya ada dua yaitu physics identity dan teacher identity sedangkan hasil reaksinya berupa physics teacher identity. Identitas yang seperti ini dapat dikategorikan sebagai affinitiy identity-identitas yang terbentuk dari interaksi individu dengan lingkungan sosialnya (Gee, 2000). Belum ada konsensus khusus terkait definisi identitas itu sendiri. Meskipun demikian, konsep physics teacher identity selalu menekankan pada dua hal yaitu bagaimana seseorang melabeli dirinya dan secara bersamaan seperti apa lingkungan sosialnya mengenalnya. Identitas bukan hanya sesuatu yang dirasakan seseorang; bukan hanya apa yang dilakukan seseorang, keduanya
merupakan komponen identitas (Carlone & Johnson, 2007). Titik terang kami temukan di studi awal yang telah dilakukan dimana ditemukan bahwa identitas sepertinya sesuatu yang cair/fluid. Dengan kata lain, identitas memiliki potensi untuk terus dikembangkan ke arah yang lebih positif. Selain itu, hasil lain yang kami temukan adalah aktivitas mahasiswa di luar perkuliahan secara signifikan dapat membentuk identitasnya sebagai seorang guru (Purwaningsih, et al., 2020).
Hasil ini memberikan implikasi bahwa pendidikan persiapan calon guru mempengaruhi identitas yang dibentuk oleh guru (Izadinia, 2016; Ro, 2019).
Studi-studi ini menunjukkan bahwa ada peluang untuk membentuk dan mengembangkan identitas mahasiswa calon guru menjadi lebih baik.
Hadirin yang saya hormati,
Fase sebagai mahasiswa calon guru merupakan tahapan yang krusial dalam perkembangan profesionalisme guru. Banyak laporan hasil penelitian yang telah menunjukkan bagaimana pengalaman guru dalam menempuh proses perkuliahan memberikan kontribusi yang signifikan dalam perkembangan profesionalisme calon guru (Andreasen et al., 2019; Izadinia, 2016). Pengaruh berbagai aspek pada masa ini turut menentukan keputusan apakah seseorang akan berprofesi sebagai guru atau tidak nantinya. Identitas dapat menjelaskan tingkat retensi seorang dalam profesinya sebagai guru dimana isu guru berhenti/keluar dari profesinya merupakan salah satu isu yang dihadapi di banyak negara saat ini (den Brok et al., 2017; Jalongo & Heider, 2006; Weldon, 2018; Wyatt & O’Neill, 2021).
Usaha yang telah kami lakukan selama ini merupakan bagian dari tahapan untuk mencapai cita-cita lahirnya guru-guru profesional di negeri ini. Ada banyak tantangan yang kami temukan dan upaya itu belum usai. Keberagaman latar belakang, kemampuan, dan pengalaman mahasiswa calon guru fisika menjadi beberapa tantangan dalam upaya pengembangan profesionalisme calon guru.
Perlu upaya yang lebih kritis, dan berkelanjutan untuk mempersiapkan mahasiswa calon guru fisika yang profesional.
Seperti yang saya sampaikan sebelumnya bahwa PCK dan T-PACK merupakan pengetahuan yang bersifat terpendam. Berdasarkan apa yang telah kami lakukan selama ini, muncul beberapa pertanyaan seperti Apakah penggunaan instrumen non-tes seperti kuesioner mampu mengungkap PCK atau T-PACK calon guru? Apakah observasi dan wawancara lebih baik dalam mengungkap PCK dan T-PACK? Metode apa yang efektif untuk digunakan?
Eksplorasi lebih lanjut mengenai pengukuran yang akurat dan efektif terhadap PCK dan T-PACK masih menjadi tantangan pada domain ini. Dalam hal praktis, PCK dan T-PACK harus dihadirkan secara eksplisit kepada calon guru baik dalam bentuk pengetahuan teoretik maupun dalam bentuk pengetahuan praktis.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, saya telah memperkenalkan model CoMCoRe-LS sebagai alternatif pengembangan kompetensi PCK maupun T- PACK guru melalui kegiatan-kegiatan pembelajaran dan praktik baik di kampus maupun di sekolah. Model CoMCoRe-LS dapat diterapkan pada mata kuliah KPL untuk mendukung pengembangan kompetensi profesional calon guru.
Studi-studi awal yang kami lakukan terkait pengembangan identitas guru fisika telah memberikan tantangan serius. Identitas yang diharapkan dibentuk oleh calon guru fisika adalah identitas sebagai pribadi dengan karakter guru fisika.
Calon guru fisika yang mempunyai ruh sebagai pendidik fisika. Oleh karena itu, repertoire terkait identitas calon guru fisika dengan berbagai karakteristik individu masih perlu diungkapkan. Akhirnya, desain instruksional, program, dan lingkungan belajar yang efektif dalam mengembangkan identitas dapat dihadirkan sebagai upaya melahirkan guru fisika dengan identitas sebagai guru fisika yang profesional. Terakhir, melalui kesempatan ini saya hendak mengajak kepada kita sebagai dosen untuk melakukan refleksi, apakah persiapan calon guru yang telah kita lakukan selama ini telah mampu membekali calon guru dengan kompetensi yang komprehensif baik aspek pedagogi, profesional, sosial dan kepribadian.
Hadiri yang saya hormati,
Mengakhiri pidato saya pada kesempatan yang mulia ini, izinkan saya menyampaikan rasa syukur yang tak terhingga ke Hadirat Allah SWT atas segala karunia, taufik dan hidayah Nya kepada saya dan keluarga sehingga saya memperoleh anugerah kepangkatan akademik tertinggi di Universitas Negeri Malang tercinta ini. Semoga saya dapat mengemban amanah sebaiknya-baiknya, diberikan perlindungan, kemudahan, keberkahan, dan kesempatan untuk terus menghadirkan karya-karya akademik demi kemajuan pendidikan di negeri tercinta ini.
Banyak pihak yang telah berkontribusi dalam karir akademik dan kehidupan saya. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya dan sedalam- dalamnya kepada semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu, mendoakan dan menemani perjalanan personal dan akademik saya hingga menghantarkan saya pada pencapaian jabatan akademik tertinggi sebagai guru besar bidang pendidikan fisika. Semoga segala bantuan dan do’a yang telah tercurah kepada saya memperoleh limpahan balasan ridho, keberkahan, dan kasih sayang dari Allah Swt.
Pada kesempatan ini pula, secara khusus saya sampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud -Ristek) yang telah memberikan kepercayaan kepada saya untuk memangku jabatan Guru Besar di Bidang Pendidikan Fisika di Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang.
2. Ketua Senat Universitas Negeri Malang, Bapak Prof. Dr. H. Sukowiyono, S.H., M.Hum beserta seluruh anggota Senat yang telah menghantarkan dan memberi kesempatan kepada saya untuk memperoleh kehormatan berdiri di mimbar ini.
3. Rektor Universitas Negeri Malang, Bapak Prof. Dr. H. Ahmad Rofi’uddin, M.Pd beserta wakil-wakil Rektor, yang telah menghantarkan dan memberi
kesempatan kepada saya untuk memperoleh kehormatan sebagai Guru Besar.
4. Ketua Komisi Guru Besar Universitas Negeri Malang Bapak Prof. Dr. H.
Ibrahim Bafadal, M.Pd. beserta stafnya yang telah menghantarkan dan memberi kesempatan kepada saya untuk memperoleh kehormatan berdiri di mimbar ini.
5. Ketua Tim Penilai Jabatan Akademik Dosen UM Bapak Prof. Dr. Arif Hidayat, M.Si beserta anggota timnya, yang selalu mengingatkan dan menyemangati saya.
6. Kepala Pusat Publikasi Akademik LP2M bapak Dr. Ahmad Taufiq, M.Si, yang banyak membantu dalam mencarikan jurnal internasional yang sesuai dengan artikel saya dan melaksanakan proof reading.
7. Dekan FMIPA Bapak Prof. Dr. Hadi Suwono, M.Si beserta wakil- wakilnya,
8. Ketua Jurusan Fisika/Koordinator Program Studi Pendidikan Fisika, Dr.
Hari Wisodo, M.Si, Sekretaris Jurusan Fisika Dr. Sunaryono, M.Si beserta rekan-rekan dosen dan tenaga kependidikan di Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang, baik yang masih aktif maupun yang sudah purna, yang selalu memberikan semangat baik akademik maupun non akademik kepada saya. Bapak-bapak dosen yang sudah purna yang saya maksud adalah Bapak Drs. Kadim Masjkur, M.Pd; Drs. Widjianto, M.Kom;
Drs. Sutarman, M.Pd; Drs. Subani; Drs. Eddy Supramono, M.Pd; Drs.
Sumarjono, M.Pd., Drs. Sirwadji, Drs. Bambang Tahan Sungkowo, M.Pd;
Dr. Wartono, M.Pd; Drs. Dwi Haryoto, M.Pd dan Dr. Muhardjito, M.Si;
Drs. Mudjihartono; Drs Sumardji. Juga, ucapan terima kasih untuk Prof.
Dr. Sutopo, M.Si; Prof. Dr. Arif hidayat, M.Si; Prof. Dr. Markus Diantoro, M.Si; Dr. Eny Latifah, M.Si; Prof Dr. Lia Yuliati, M.Si; Dr. Sentot Kusairi, M.Si; Prof Dr. Parno M.Si; Dr. Supriyono Koes Handayanto, M.A, M.Pd;
Dra. Hartatiek, M.Si; Drs. Yudianto, M.Si; Drs. Agus Suyudi, M.Pd: Sulur,
S.Pd, M.Si, MTD dan teman-teman dosen yang tidak dapat saya sebut satu per satu, sekali lagi kami mengucapkan banyak terima kasih atas dorongan dan bantuannya sehingga saya bisa meraih Guru Besar ini.
Ucapan terima kasih yang sangat special untuk ibu Nuril Munfarida S.Pd, M.Pd dan Ahmad Suryadi, S.Pd, M.Pd yang banyak membantu saya dalam menulis artikel dan mempublikasikannya. Semoga Allah membalas kebaikan dan keikhlasan serta melancarkan studi yang sedang ditempuh.
9. Bapak Prof. Dr. Wasis, M.Si dan Prof. Dr. Suyatno, M.Si atas jasanya sebagai tim promotor saya di Unesa sehingga saya dapat memperoleh gelar Doktor yang merupakan salah satu syarat perlu sebagai guru besar.
10. Bapak Dr. Binar Kurnia Prahani M.Pd dan Ibu Titin Sunarti, M.Si yang banyak membantu dalam menyelesaikan disertasi sehingga memperoleh gelar Doktor.
11. Para mahasiswa/alumni di Program Sarjana, Magister dan Doktor Pendidikan Fisika yang telah menjadi sumber inspirasi dan membantu saya dalam melaksanakan kegiatan tri dharma perguruan tinggi.
12. Semua guru-guru saya di SD Gurah 1, SMPN2 Kediri, SMAN1 Kediri, dosen-dosen di jurusan Matematika-Fisika IKIP Malang, di jurusan Fisika Pasca Sarjana (S2) UGM, di Prodi Pendidikan Sains Pasca Sarjana (S3) Unesa, yang telah membimbing saya dan menularkan ilmunya secara bertahap telah berjasa mengantarkan saya sampai memperoleh gelar Guru Besar.
Secara khusus, saya juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada orang- orang special yang saya hormati, saya cintai, dan saya banggakan; antara lain.
1. Ayah dan Ibu tercinta, Ayahanda H. Soekarno (alm) dan Ibunda Hj.
Samiasih (alm) yang telah membesarkan dan mendidik saya dengan penuh cinta dan kasih sayang. Berkat doa dan perjuangan beliau yang tiada merasakan lelah sehingga menjadikan saya seperti sekarang.
2. Bapak dan Ibu mertua tercinta, bapak Ngarap Bangun (alm) dan Ibu Ngawin Ginting (alm) yang telah membesarkan dan mendidik putranya yang sekarang menjadi suami saya. Bapak Herman Ginting (alm) dan Ibu Dina Singarimbun yang dalam budaya Karo sebagai orang tua saya.
Terima kasih atas motivasi-motivasinya dan berkenan hadir pada acara pengukuhan ini.
3. Besan saya Bapak Drs. Mas’ud Ali, MAg (alm) beserta ibu Halimah yang berkenan hadir pada acara pengukuhan ini. Bapak Agus Sulani dan ibu Echa Zulaecha (alm), yang telah berkenan menjadi mertua anak-anak saya sehingga kita menjadi keluarga besar.
4. Ucapan terima kasih yang sangat special khusus untuk suami tercinta Drs.
Djonni Bangun, M.Pd, yang mengijinkan saya untuk melanjutkan studi, tetap bekerja dan berkarya. Dengan sabar dan telaten menggantikan saya mengurus anak-anak ketika saya melanjutkan studi di Jogja. Bahkan dengan setia dan sabar disaat tidak mengajar mengantar dan menunggu saya kuliah S3 di Unesa dan selalu menghibur dan memberi semangat disaat saya sedang galau. Semoga Allah senantiasa mengkaruniai kita menjadi keluarga yang Sakinah Mawaddah Warahmah. Aamiin.
5. Anak, menantu dan cucu-cucu, yaitu: anak pertama Yenni Alemina Bangun, menantu Achsan Bashori Al Alam, 4 Cucu-cucu: Keira, Zoya, Tiska, dan Erme. Anak kedua Dona Yunika Bangun, menantu Irfan Romadona, Cucu: Aqila dan Yusuf. Kalian semua lah yang menjadi penyemangat saya.
6. Adik-adik: Endah Nugrohowati dan Warsono (alm), Titik Ambarwati dan Joko Suciptadi (alm), Bambang Eko Priyono dan Khoiriyah, Bambang Wijanarko dan Ria Septarini, semua keponakan-keponakan yang tidak dapat saya sebut satu persatu. Terima kasih atas motivasi dan pemberian semangat pada saya.
Saya tidak mungkin mampu membalas semua jasa dan budi baik, bapak dan ibu semuanya, oleh karena itu saya panjatkan doa semoga Allah SWT melimpahkan imbalan kebaikan yang berlipat ganda. Aamiin yaa Rabbal Aalamiin…
Atas segala perhatian Bapak/Ibu dan hadirin, saya haturkan terima kasih.
Mohon maaf atas segala kekurangan dan khilaf.
Billahi taufik wal hidayah.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh.
Daftar Rujukan
Aktaş, İ., & Özmen, H. (2020). Investigating the impact of TPACK
development course on pre-service science teachers’ performances. Asia Pacific Education Review, 21(4), 667–682.
https://doi.org/10.1007/s12564-020-09653-x
Alkhayat, L., Ernest, J., & LaChenaye, J. (2020). Exploring Kuwaiti Preservice Early Childhood Teachers’ Beliefs About Using Web 2.0 Technologies.
Early Childhood Education Journal, 48(6), 715–725.
https://doi.org/10.1007/s10643-020-01036-6
Alonzo, A. C., Berry, A., & Nilsson, P. (2019). Unpacking the Complexity of Science Teachers’ PCK in Action: Enacted and Personal PCK. In A.
Hume, R. Cooper, & A. Borowski (Eds.), Repositioning Pedagogical Content Knowledge in Teachers’ Knowledge for Teaching Science (pp. 273–288). Springer Singapore. https://doi.org/10.1007/978-981-13-5898-2_12
Andreasen, J. K., Bjørndal, C. R. P., & Kovač, V. B. (2019). Being a teacher and teacher educator: The antecedents of teacher educator identity among mentor teachers. Teaching and Teacher Education, 85, 281–291.
https://doi.org/10.1016/j.tate.2019.05.011
Avraamidou, L. (2014). Tracing a beginning elementary teacher’s development of identity for science teaching. Journal of Teacher Education, 65(3), 223–
240. https://doi.org/10.1177/0022487113519476
Avraamidou, L. (2016). Studying science teacher identity: Theoretical, methodological and empirical explorations. Sense Pub.
http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&scope=site&db=
nlebk&db=nlabk&AN=1215081
Avraamidou, L. (2019). Stories we live, identities we build: How are elementary teachers’ science identities shaped by their lived experiences? Cultural Studies of Science Education, 14(1), 33–59.
https://doi.org/10.1007/s11422-017-9855-8
Badia, A. (2019). The Science Teacher Identity and the Use of Technology in the Classroom. Journal of Science Education and Technology, 28(5), 532–541.
https://doi.org/10.1007/s10956-019-09784-w
Beijaard, D., Meijer, P. C., & Verloop, N. (2004). Reconsidering research on teachers’ professional identity. Teaching and Teacher Education, 20(2), 107–
128. https://doi.org/10.1016/j.tate.2003.07.001
Blömeke, S., & Delaney, S. (2012). Assessment of teacher knowledge across countries: A review of the state of research. ZDM, 44(3), 223–247.
https://doi.org/10.1007/s11858-012-0429-7
Budak, E., & Köseo, F. (2008). What Concept Maps Tell Us About Changes in Pedagogical Content Knowledge of Prospective Chemistry Teachers Participating In An Inquiry- Based Workshop? Proc. of the Third Int.
Conference on Concept Mapping Tallinn, 8.
Carlone, H. B., & Johnson, A. (2007). Understanding the science experiences of successful women of color: Science identity as an analytic lens. Journal of Research in Science Teaching, 44(8), 1187–1218.
https://doi.org/10.1002/tea.20237
Collins, A., Brown, J. S., & Newmen, S. E. (1989). Cognitive apprenticeship teaching and the crafts of reading, writing, and mathematics. In L.
B. Resnick (Ed.), Knowing, learning, and instruction. NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
Delaney, K. K. (2015). Dissonance for understanding: Exploring a new theoretical lens for understanding teacher identity formation in
borderlands of practice. Contemporary Issues in Early Childhood, 16(4), 374–
389. https://doi.org/10.1177/1463949115616326
den Brok, P., Wubbels, T., & van Tartwijk, J. (2017). Exploring beginning teachers’ attrition in the Netherlands. Teachers and Teaching, 23(8), 881–
895. https://doi.org/10.1080/13540602.2017.1360859 Đorić, B., Lambić, D., & Jovanović, Ž. (2019). The Use of Different
Simulations and Different Types of Feedback and Students’ Academic Performance in Physics. Research in Science Education.
https://doi.org/10.1007/s11165-019-9858-4
Etkina, E. (2010). Pedagogical content knowledge and preparation of high school physics teachers. Physical Review Special Topics - Physics Education Research, 6(2), 020110.
https://doi.org/10.1103/PhysRevSTPER.6.020110
Gee, J. P. (2000). Identity as an Analytic Lens for Research in Education. Review of Research in Education, 25, 91–125. https://doi.org/10.2307/1167322 Gess-Newsome, J. (2015). A model of teacher professional knowledge and skill
including PCK: Results of the thinking from the PCK Summit. In A.
Berry, P. J. Friedrichsen, & J. Loughran (Eds.), Re-examining pedagogical content knowledge in science education. Routledge.
Gonzalez, M. J., & Gonzalez Ruiz, I. (2016). Behavioural Intention and Pre- Service Mathematics Teachers’ Technological Pedagogical Content Knowledge. EURASIA Journal of Mathematics, Science and Technology Education, 13(3). https://doi.org/10.12973/eurasia.2017.00635a Gregorcic, B., & Haglund, J. (2018). Conceptual Blending as an Interpretive
Lens for Student Engagement with Technology: Exploring Celestial Motion on an Interactive Whiteboard. Research in Science Education.
https://doi.org/10.1007/s11165-018-9794-8
Hazari, Z., Sonnert, G., Sadler, P. M., & Shanahan, M.-C. (2010). Connecting high school physics experiences, outcome expectations, physics identity, and physics career choice: A gender study. Journal of Research in Science Teaching, n/a-n/a. https://doi.org/10.1002/tea.20363
Hodson, D. (2014). Learning Science, Learning about Science, Doing Science:
Different goals demand different learning methods. International Journal of Science Education, 36(15), 2534–2553.
https://doi.org/10.1080/09500693.2014.899722
Izadinia, M. (2013). A review of research on student teachers’ professional identity. British Educational Research Journal, 39(4), 694–713.
https://doi.org/10.1080/01411926.2012.679614
Izadinia, M. (2014). Teacher educators’ identity: A review of literature. European Journal of Teacher Education, 37(4), 426–441.
https://doi.org/10.1080/02619768.2014.947025
Izadinia, M. (2016). Preservice teachers’ professional identity development and the role of mentor teachers. International Journal of Mentoring and Coaching in Education, 5(2), 127–143. https://doi.org/10.1108/IJMCE-01-2016- 0004
Jalongo, M. R., & Heider, K. (2006). Editorial Teacher Attrition: An Issue of National Concern. Early Childhood Education Journal, 33(6), 379–380.
https://doi.org/10.1007/s10643-006-0122-y
Juhler, M. V. (2016). The Use of Lesson Study Combined with Content Representation in the Planning of Physics Lessons During Field Practice to Develop Pedagogical Content Knowledge. Journal of Science Teacher Education, 27(5), 533–553. https://doi.org/10.1007/s10972-016- 9473-4
Kale, U., Roy, A., & Yuan, J. (2020). To design or to integrate? Instructional design versus technology integration in developing learning
interventions. Educational Technology Research and Development, 68(5), 2473–
2504. https://doi.org/10.1007/s11423-020-09771-8
Kaya, O. N. (2009). The Nature of Relationships among the Components of Pedagogical Content Knowledge of Preservice Science Teachers:
‘Ozone layer depletion’ as an example [Article]. International Journal of Science Education, 31(7), 961–988.
https://doi.org/10.1080/09500690801911326
Kind, V. (2009). Pedagogical content knowledge in science education:
Perspectives and potential for progress. Studies in Science Education, 45(2), 169–204. https://doi.org/10.1080/03057260903142285
Koh, J. H. L. (2019). TPACK design scaffolds for supporting teacher
pedagogical change. Educational Technology Research and Development, 67(3), 577–595. https://doi.org/10.1007/s11423-018-9627-5
Koh, J. H. L., Chai, C. S., & Lim, W. Y. (2017). Teacher Professional Development for TPACK-21CL. Journal of Educational Computing Research, 55(2), 172–196.
Lee, C.-J., & Kim, C. (2017). A technological pedagogical content knowledge based instructional design model: A third version implementation study in a technology integration course. Educational Technology Research and Development, 65(6), 1627–1654. https://doi.org/10.1007/s11423-017- 9544-z
Lim, M. H. (2015). How Singapore teachers in a pioneer ‘School of the Future’
context ‘deal with’ the process of integrating information and
communication technology into the school curriculum. The Australian Educational Researcher, 42(1), 69–96. https://doi.org/10.1007/s13384- 014-0153-0
Loughran, J., Berry, A., & Mulhall, P. (2006). Understanding and developing science teachers’ pedagogical content knowledge [Electronic resource]. Sense
Publishers. http://www.myilibrary.com?id=110503
Loughran, J., Berry, A., & Mulhall, P. (Eds.). (2012). Understanding and Developing Science Teachers’ Pedagogical Content Knowledge. SensePublishers.
https://doi.org/10.1007/978-94-6091-821-6
Loughran, J., Mulhall, P., & Berry, A. (2008). Exploring Pedagogical Content Knowledge in Science Teacher Education. International Journal of Science Education, 30(1), 1301–1320.
https://doi.org/10.1080/09500690802187009
Magnusson, S., Krajcik, J., & Borko, H. (2002). Nature, Sources, and
Development of Pedagogical Content Knowledge for Science Teaching.
In J. Gess-Newsome & N. G. Lederman (Eds.), Examining Pedagogical Content Knowledge (Vol. 6, pp. 95–132). Kluwer Academic Publishers.
https://doi.org/10.1007/0-306-47217-1_4
Maor, D. (2017). Using TPACK to develop digital pedagogues: A higher education experience. Journal of Computers in Education, 4(1), 71–86.
https://doi.org/10.1007/s40692-016-0055-4
Mishra, P., & Koehler, M. J. (2006). Technological Pedagogical Content Knowledge: A Framework for Teacher Knowledge. Teachers College Record, 108(6), 1017–1054. https://doi.org/10.1111/j.1467-
9620.2006.00684.x
Nilsson, P., & Loughran, J. (2012). Exploring the Development of Pre-Service Science Elementary Teachers’ Pedagogical Content Knowledge
[Article]. Journal of Science Teacher Education, 23(7), 699–721.
https://doi.org/10.1007/s10972-011-9239-y OECD (Ed.). (2013). Innovative learning environments. OECD.
Park, M. (2020). Students’ problem-solving strategies in qualitative physics questions in a simulation-based formative assessment. Disciplinary and Interdisciplinary Science Education Research, 2(1), 1.
https://doi.org/10.1186/s43031-019-0019-4
Posner, G. J., Strike, K. A., Hewson, P. W., & Gertzog, W. A. (1982).
Accommodation of a scientific conception: Toward a theory of conceptual change. Science Education, 66(2), 211–227.
https://doi.org/10.1002/sce.3730660207
Purwaningsih, E. (2015). Potret Representasi Pedagogical Content Knowledge (PCK) Guru dalam Mengajarkan Materi Getaran dan Gelombang pada Siswa Smp. INDONESIAN JOURNAL OF APPLIED PHYSICS, 5(01), 9. https://doi.org/10.13057/ijap.v5i01.252
Purwaningsih, E. (2020). Improving the problem-solving skills through the development of teaching materials with STEM-PjBL (science, technology, engineering, and mathematics-project based learning) model integrated with TPACK (technological pedagogical content knowledge). Journal of Physics: Conference Series, 1481(1).
https://doi.org/10.1088/1742-6596/1481/1/012133
Purwaningsih, E., Nurhadi, D., & Masjkur. (2019). TPACK development of prospective physics teachers to ease the achievement of learning objectives: A case study at the State University of Malang, Indonesia.
Journal of Physics …, Query date: 2021-02-08 12:59:03.
https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1742- 6596/1185/1/012042/meta
Purwaningsih, E., Sari, S. P., Sari, A. M., & Suryadi, A. (2020). The Effect of STEM-PjBL and Discovery Learning on Improving Students’ Problem- Solving Skills of The Impulse and Momentum Topic. Indonesian Journal of Science Education, 9(4), 65–476.
https://doi.org/10.15294/jpii.v9i4.26432
Purwaningsih, E., Suryadi, A., & Munfaridah, N. (2020). “I am a Rhetoric Physics Student-Teacher”: Identity Construction of an Indonesian Physics Student-Teacher. Eurasia Journal of Mathematics, Science and Technology Education, 16(12), em1908.
https://doi.org/10.29333/ejmste/9123
Purwaningsih, E., Suyatno, Wasis, & Prahani, B. (2018). The effectiveness of Concept Mapping Content Representation Lesson Study (ComCoReLS) model to improve skills of Creating Physics Lesson Plan (CPLP) for pre
…. Journal of Physics: Conference …, Query date: 2021-02-08 12:59:03.
https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1742- 6596/997/1/012022/meta
Purwaningsih, E., Wasis, Suyatno, & Nurhadi, D. (2018). Innovative lesson study (LS) to improve the pedagogical content knowledge (PCK) of STEM teacher candidates in Indonesia. Global Journal of Engineering Education, 20(1), 39–47.
Ro, J. (2019). Seeking the meaning of the job: Korean novice secondary teachers’ professional identity. Asia Pacific Education Review, 20(1), 135–
146. https://doi.org/10.1007/s12564-018-9573-2
Rollnick, M. (2017). Learning About Semi Conductors for Teaching—The Role Played by Content Knowledge in Pedagogical Content Knowledge (PCK) Development. Research in Science Education, 47(4), 833–868.
https://doi.org/10.1007/s11165-016-9530-1
Rollnick, M., & Mavhunga, E. (2016). Can the Principles of Topic-Specific PCK Be Applied Across Science Topics? Teaching PCK in a Pre- Service Programme. In N. Papadouris, A. Hadjigeorgiou, & C. P.
Constantinou (Eds.), Insights from Research in Science Teaching and Learning (Vol. 2, pp. 59–72). Springer International Publishing.
https://doi.org/10.1007/978-3-319-20074-3_5
Safdar, M. (2012). Concept maps: An instructional tool to facilitate meaningful learning. European Journal of Educational Research, 1(1), 55–64.
https://doi.org/10.12973/eu-jer.1.1.55
Shulman, L. S. (1987). Knowledge and teaching: Foundations of the new reform. Harvard Educational Review, 57, 1–22.
Slavin, R. E. (2018). Educational Psychology: Theory and practice (Twelfth edition).
Pearson.
Smagorinsky, P., Cook, L. S., Moore, C., Jackson, A. Y., & Fry, P. G. (2004).
Tensions in Learning to Teach: Accommodation and the Development of a Teaching Identity. Journal of Teacher Education, 55(1), 8–24.
https://doi.org/10.1177/0022487103260067
Szeto, E., & Cheng, A. Y. N. (2017). Pedagogies Across Subjects: What Are Preservice Teachers’ TPACK Patterns of Integrating Technology in Practice? Journal of Educational Computing Research, 55(3), 346–373.
https://doi.org/10.1177/0735633116667370
Thohir, M. A., Jumadi, J., & Warsono, W. (2020). Technological pedagogical content knowledge (TPACK) of pre-service science teachers: A Delphi study. Journal of Research on Technology in Education, 1–16.
https://doi.org/10.1080/15391523.2020.1814908
Voithofer, R., & Nelson, M. J. (2020). Teacher Educator Technology
Integration Preparation Practices Around TPACK in the United States.
Journal of Teacher Education, 002248712094984.
https://doi.org/10.1177/0022487120949842
Wang, L., & Du, X. (2014). Chinese teachers’ professional identity and beliefs about the teacher-student relationships in an intercultural context.
Frontiers of Education in China, 9(3), 429–455.
https://doi.org/10.1007/BF03397030
Wei, B., Avraamidou, L., & Chen, N. (2019). How a beginning science teacher deals with practical work: An explorative study through the lens of identity. Research in Science Education. https://doi.org/10.1007/s11165- 019-9826-z
Weldon, P. (2018). Early career teacher attrition in Australia: Evidence,
definition, classification and measurement. Australian Journal of Education, 62(1), 61–78. https://doi.org/10.1177/0004944117752478
Wyatt, J. E., & O’Neill, M. (2021). Investigation of early career teacher attrition and the impact of induction programs in Western Australia. International Journal of Educational Research, 107, 101754.
https://doi.org/10.1016/j.ijer.2021.101754
Yolandasari, S., Purwaningsih, E., & ... (2020). Pengembangan Perangkat Discovery Learning Berbantuan Edmodo dengan Web Enhanced Course untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah. Jurnal
Riset Pendidikan …, Query date: 2021-02-08 12:59:03.
http://journal2.um.ac.id/index.php/jrpf/article/view/12968
Zhao, H., & Zhang, X. (2017). The influence of field teaching practice on pre- service teachers’ professional identity: A mixed methods study. Frontiers in Psychology, 8, 1264. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2017.01264
CURRICULUM VITAE
A. Identitas Diri 1 Nama Lengkap
(dengan gelar) Prof. Dr. Endang Purwaningsih, M.Si 2 Jenis Kelamin P
3 Jabatan Fungsional Lektor Kepala 4 NIP/NIK/Identitas
lainnya 19560619 198303 2 001
5 NIDN 0019065603
6 Scopus ID 5720765051
https://www.scopus.com/authid/
detail.uri?authorId=57207650516 7 ORCID ID https://orcid.org/0000-0002-3848-2530
8 Sinta ID 5999503
9 Google Schoolar https://scholar.google.com/citations?user
=iWP9CcYAAAAJ&hl=id&oi=ao 10 Tempat dan
Tanggal Lahir Tulungagung, 19 Juni 1956
11 Email [email protected]
12 Alamat Rumah Jl. Ikan Cucut No. 9, Tunjungsekar, Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur, Indonesia
13 Nomor
Telepon/HP 08164296487
14 Alamat Kantor Jl. Semarang No. 5 Malang 15 Nomor
Telepon/Faks (0341) 551312 psw. 295/296
11. Mata Kuliah yang Diampu
1. Gelombang dan Optik 2. Penelitian Pendidikan 3. Pengembangan Bahan Ajar 4. Kewirausahaan
5. Pengembangan Program Pembelajaran Fisika 6. Seminar Pendidikan Fisika
7. Strategi Pembelajaran Fisika
8. Kurikulum dan Desain Pembelajaran Fisika
B. Riwayat Pendidikan
S1 S2 S3
Nama Perguruan
Tinggi IKIP Malang UGM UNESA
Bidang Ilmu Fisika Ilmu Fisika Pendidikan
Science Tahun Masuk – Lulus 1975-1981 1991-1994 2011-2018
Gelar Dra M.Si Dr.
Judul
Skripsi/Tesis/Disertasi Studi Tentang Pelaksanaan Kepenasehatan Program Studi Mahasiswa di FKIE IKIP Malang
Pengukuran Kecepatan Aliran Air Dengan Effek Doppler Gelombang Optis
Model CoMCoRe-LS (Concept Mapping Content
Representations with Lesson Study) untuk meningkatkan Pedagogical Content Knowledge (PCK) Calon Guru Fisika Nama
Pembimbing/Promotor Dr.
Karyono,SU Dr. Pramudita Anggraita
Dr. Wasis, M.Si Prof. Dr.
Suyatno, M.Si
C. Riwayat Kepangkatan, Jabatan Fungsional dan Golongan/Ruang No. Pangkat/Jabatan
fungsional Golongan/
Ruang Tahun Keterangan 1 Calon Pegawai
Negeri Sipil (CPNS) TMT 1 Maret 1983
III/a 1983 SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor:
60860/C/2/83
2 Penata
Muda/Asisten Ahli Madya
TMT 1 September 1984
III/a 1984 SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
No: 3640/PT28.1/C84 3 Penata muda
Tk.1/Asisten Ahli TMT 1 Oktober 1986
III/b 1986 SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
No: 314/KEP/PT28.H2/
C/87 4 Penata/Lektor Muda
TMT 1 Oktober 1990
III/c 1990 SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor:
0383/KEP/PT28.H2/C/91 5 Penata Tk.1/Lektor
Madya
TMT 1 Oktober 1998
III/d 1998 SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
No: 0545/KEP/PT28.H2/C/98 6 Pembina/Lektor
Kepala
TMT 1 April 2004
IV/a 2004 SK Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
No.:
399737/A2.7/KP/2004 7 Pembina
Tk.1/Lektor Kepala TMT 1 Oktober 2011
IV/b 2011 SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
No.: 105342a3.5/KP/2011 8 Pembina
Tk.1/Profesor/Guru Besar
TMT 1 April 2021
IV/b 2021 SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
No.:
28618/MPK.A/KP.05.01 /2021