• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sudah seharusnya kita mengkaji dan menggali informasi–informasi yang berkenaan dengan madzhab syafi’i tersebebut.

N/A
N/A
Arie Adriyan Haqi

Academic year: 2023

Membagikan "Sudah seharusnya kita mengkaji dan menggali informasi–informasi yang berkenaan dengan madzhab syafi’i tersebebut."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Salah seorag dari ulama yang tampil berdakwah dan berjihad membela al-haq adalah Imam Muhammad Bin Idris As-syafi’i.Ia adalah salah satu tokoh islam yang dengannya Allah Memperbaharui Agama-Nya dan memelihara syari’atNya.Allah SWT telah menganugerahunya kekuatan dalam ilmu dan pemahaman sehingga beliau mampu meletakan dasar-dasar ajaran Islam dan membuat Kaidah kaidah Fiqih yang sangat bermanfaat bagi orang Awam. Yang selanjutnya berkembang menjadi madzhab syafi’I sebagai salah satu madzhab yang dianut oleh sebagian besar umat islam Indonesia sudah seharusnya kita mengkaji dan menggali informasi–informasi yang berkenaan dengan madzhab syafi’i tersebebut.atas dasar itulah saya menyusun makalah ini.

B. Rumusan Masalah (Materi pembahasan)

Yang menjadi pembahsan dalam Makalah ini adalah berkaitan dengan masalah masalah :

a). Siapakah Imam syafi’i itu?

b).Apa sajakah metode metode istimbat yang di gunakan oleh Imam Asy- syafi’I ?

c) Apakah yang dimaksud Qaul Qadim dan Qaul Jadid dan seperti apakah Contohnya?

d). Apa Sajakah Karya-karya Karangan Imam Syafii?

e). Siapa Sajakah Murid murid dari Imam Asy-Syafii serta Penyebarluasan Madzhaib Imam As-syafi’i?

(2)

BAB II PEMBAHASAN

II.I BIOGRAFI SINGKAT IMAM ASY-SYAFI’I

Imam Asy-Syafi’I adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Ustman bin Syafi’ bin as-saib bin ‘Ubaid bin Abdul Yazid bin Hasyim bin Al-Muthalibi bin Abdi Manaf bin Qushay binKilab bin Murah bin Kaab bin Luay bin Ghalib, abu Abdilah al qurasyi As-Syafi’ al Makki, keluarga dekat Rosulallah SAW. Dan Putra Pamannya.

Al Muthalib adalah saudra Hasyim ayah dari Abdul Muthalib kakek Rasulallah dan kakek Imam Asy-Syafi’i bertemu nasabnya pada Abdu Manaf bin Qushay kakek Rasulallah yang ketiga.

Imam Asy-Syafi’I lahir pada tahun 150 H di sebuah tempat bernama Ghazzah di Asqalan.ketika usia dua tahun bunya membawa ke negri Hijaz yakni kota Makkah.

Mulailah Imam Syafi’i menghafal Al-qur’an. Imam Syafi’I begitu tekun belajar sehingga ia dapat menghafal Al-Quran pada usia 7 tahun.

Setelah menghafal Al-Quran imam Syafi’I pergi ke suku Hudzail di sekitar makkah untuk mempelajari bahasa mereka dan meghafal syair-syairnya setelah itu ia mengubah orientasinya untuk mendalami fiqih dan berguru kepada seorang mufti Makkah yaitu, Syaikh Muslim bin Khalid Al-zanji setelah imam Syafi’I banyak menimba ilmu darinya barulah ia mengadakan pengembaraan pertama ke Madinah.sebelum pergi ke madinah untuk menemui Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i terlebih dahulu mempersiapkan diri dengan meghafal kitab Al Muwaththa.

Sejumlah riwayat dan keterangan menyebutkan bahwa imam Asy-Syafi’i pergi ke Madinah dalam usia 13 Tahun yakni sekitar tahun 163 H. kemudian ia pulang pergi antara madinah makkah dan perkampungan Hudzail. Meskipun kebanyakan ia menetap di Madinah mendampingi imam Malik bin Anas hingga beliau wafat tahun 179 H. kemudian Imam Syafi’i kembali ke Makkah, setelah berada di Makkah karena kahausannya kepada ilmu lalu Imam Syafi’i melanjutkan

(3)

pengembaraannya ke Yaman guna menuntut ilmu di sana. Selama tinggal di Yaman Imam Syafi’I pernah di tangkap dan di asingkan karena di tuduh sebagai kelompok yang menentang pemerintahan, pada masa khalifah Harun Ar-Rasyid hingga akhirnya di bebaskan dengan dukungan dari Imam Muhammad bin Al Hasan. Yang kemudian Imam Syafi’i berguru kepadanya untuk belajar secara intensif mengenai Ilmu Fiqih dan Hadits yang di riwayatkan oleh ulama Irak.

Setelah Imam Syafi’I mendapatkan banyak ilmu dari ulama Irak dan sebelumnya ia telah mendapat ilmu dari ulama Hijaz, ia meras telah tiba saatnya untuk menyebarkan ilmu yang dimilikinya. Oleh Karena itu ia bertekad untuk pulang ke mekkah setelah namanya dikenal. Mulailah ia mengajar di masjidil Haram tempat dahulu ia belajar menuntut ilmu dari para ulama yang mengajar disana.

Disinilah imam Ahmad bin Handal melihat Imam Syafi’i ketika imam ahmad bin hanbal datang untuk berhaji. Hingga hampir Sembilan Tahun Imam Asy-Syafi’I mengajar di Majlis pengajian di Mekkah Hingga beliau pergi ke Irak.

Untuk kedua Kalinya beuliau pergi ke Irak pada tahun 195 H. untuk kali kedua ini namanya di Baghdad telah lebih dahulu di kenal disanalah Imam ahmad bin Hambal berjumpa lagi dengan imam Asy-Syafi’i yang sebelunya pernah bertemu di Madinah. Orang orang di Irak saat itu banyak yang pindah belajar kepada beliau dan meninggalkan Belajar ke ulama lain.hingga kemudian di Irak terjadi beberapa peristiwa di ibu kota ke Khalifahan dan hal itu menjadikanya berencana meninggalkan Irak selamanya. Peristiwa yang paling besar yang menimpa adalah dikuasainya khalifah Al Ma’mun oleh para ulama ilmu kalam sahinnga merebaklah bid’ah dan matilah Ajaran –ajaran sunah.

Imam Syafi’i memilih Mesir sekalipun sebenarnya hati kecilnya menolak, sesampainya di Mesir ia pergi ke mesjid Amr bin Al-Ash kemudian untuk pertama kalinya ia berbicara di sana dan serta merta ia dicintai dan di gandrungi orang-orang.

Diakhir hayatnya imam Syafi’i sibuk berdakwahmenyebarkan ilmu dan mengarang di mesir sampai hal itu memberikan Mudharat bagi tubuhnya akibatnya ia

(4)

terkena penyakit wasir yang menyebabkan keluarnya darah. Tetapi karena kecintaannya kepada ilmu Imam Syafi’i tetpa melakukan pekerjaannya itu dengna tidak memperduliakn Sakitnya sampai akhirnya beliau wafat pada akhir bulan Rajab tahun 204 H.

II.II METODE ISTIMBATH HUKUM IMAM AS-SYAFI’I

Dalam mengistinbathkan (mengambil dan menetapkan) suatu hukum, Imām al- Syāfi’i dalam bukunya al-Risalah menjelaskan. Bahwa ia memakai lima dasar: al- Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas dan Istidlal. Kelima dasar ini yang kemudian dikenal sebagai dasar-dasar mazhab Syafi’i. Dasar pertama dan utama dalam menetapkan hukum adalah al-Qur’an, kalau suatu masalah tidak menghendaki makna lafzi barulah ia mengambil makna majazi (kiasan), kalau dalam al-Qur’an tidak ditemukan hukumnya, ia beralih pada Sunnah Nabi s.a.w. Sunnah yang dipakai adalah Sunnah yang nilai kuantitasnya mutawatir (perawinya banyak) maupun ahad (perawinya satu orang), Sunnah yang nilai kualitasnya sahih maupun hasan, bahkan sunnah da`if.

Adapun syarat-syarat untuk semua sunnah da`if adalah: tidak terlalu lemah, dibenarkan oleh kaidah umum atau dasar kulli (umum) dari nas, tidak bertentangan dengan dalil yang kuat atau sahih dan hadis tersebut bukan untuk menetapkan halal dan haram atau masalah keimanan, melainkan sekedar untuk keutamaan amal (fada’il al-‘amal) atau untuk himbauan (targib) dan anjuran (tarhib).

Dalam pandangan Imām as-Syāfi’i hadis mempunyai kedudukan yang begitu tinggi bahkan disebut-sebut salah seorang yang meletakkan hadis setingkat dengan al- Qur’an dalam kedudukannya sebagai sumber hukum Islam yang harus diamalkan.

Karena, menurutnya, hadis itu mempunyai kaitan yang sangat erat dengan al-Qur’an.

Bahkan menurutnya, setiap hukum yang ditetapkan Rasulullah s.a.w. pada hakikatnya merupakan hasil pemahaman yang ia peroleh dari memahami al-Qur’an.

Satu hal yang perlu diketahui bahwa Imām al-Syāfi’i tidak bersikap fanatik terhadap pendapat-pendapatnya, hal ini nampak pada suatu ketika ia pernah berkata:

(5)

“Demi Allah aku tidak peduli apakah kebenaran itu nampak melalui lidahku atau melalui lidah orang lain.1

Adapun penjelasan dari masing-masing sumber hukum tersebut adalah sebagai berikut:

1. Al-Qur’an

Sebagaimana imam-imam lainya Imām al-Syāfi’i menempatkan al-Qur’an pada urutan pertama, karena tidak ada sesuatu kekuatan pun yang dapat menolak keontetikan al-Qur’an. Sekalipun sebagian hukumnya harus diakui masih ada yang bersifat zanni, sehingga dalam penafsirannya terdapat perbedaan pendapat.

Dalam pemahaman Imām al-Syāfi’i atas al-Qur’an, ia memperkenalkan konsep al-bayan. Melalui konsep al-bayan ini, ia kemudian mengklafikasikan dilalah nas atas

‘amm dan khas. Sehingga ada dilalah `amm dengan maksud `amm, ada pula dilalah

‘amm dengan dua maksud ‘amm dan khas, dan ada pula dilalah ‘amm dengan maksud khas.

Klasifikasi lain adalah dilalah tertentu yang maknanya ditentukan oleh konteksnya, ada juga dilalah yang redaksinya menunjuk arti implisit bukan eksplisit, bahkan ada pernyataan ‘amm yang secara spesifik ditunjukkan oleh sunnah bahwa maksudnya khusus.

2. Al-Sunnah

Menurut Imam al-Syafi`i yang dimaksud adalah al-Hadis. Al-Sunnah selain sebagai sumber yang kedua setelah al-Qur’an juga sebagai pelengkap yang menginterpretasikan isi kandungan al-Qur’an, sehingga kedudukan al-Sunnah atas al- Qur’an sebagai berikut:

a. Ta`kid, menguatkan dan mengokohkan al-Qur’an.

b. Tabyin, menjelaskan maksud nas al-Qur’an.

c. Tasbit, menetapkan hukum yang tidak ada ketentuan nasnya dalam al- Qur’an.

1 Yusuf al-Qardawi, Fiqh Perbedaan Pendapat antar Gerakan Islam, cet. ke-4 (Jakarta: Rabbani Press, 2002), hlm. 190

(6)

d. Dilalah-dilalah al-Sunnah meskipun hukumnya berdiri sendiri tidak ada yang bertentangan dengan dilalah nas al-Qur’an, karena al-Sunnah selain bersumber pada wahyu juga ada faktor lain yang menyebabkan keontetikkan al-Sunnah yaitu terpeliharanya Nabi dari dosa dan kekeliruan sejak kecil

Dalam implementasinya, Imām al-Syāfi’i memakai metode, apabila di dalam al-Qur’an tidak ditemukan dalil yang dicari maka menggunakan hadis mutawatir.

Namun jika tidak ditemukan dalam hadis mutawatir baru ia menggunakan hadis ahad.

Meskipun begitu, ia tidak menempatkan hadis ahad sejajar dengan al-Qur’an dan juga hadis mutawatir

Pandangan Imām al-Syāfi’i Tentang Hadis Ahad

a. Perawi dapat dipercaya keagamaannya dan juga tidak menerima hadis dari orang yang tidak dipercaya.

b. Perawinya dabit

c. Perawinya berakal dalam artinya bisa memahami apa yang diriwayatkan.

d. Hadis yang diriwayatkan tidak menyalahi ahli hadis yang juga meriwayatkan.

Dalam masalah hadis mursal Imām al-Syāfi’i menetapkan dua syarat:

a. Mursal yang disampaikan oleh tabi`in yang berjumpa dengan sahabat.

b. Ada petunjuk yang menguatkan sanad mursal itu.2

Adapun dalam menanggapi pertentangan al-Sunnah dengan al-Sunnah Imam al- Syafi’i membagi kepada dua bagian:

a. Ikhtilaf yang dapat diketahui nasikh-mansukhnya, maka diamalkanlah yang nasikh.

b. Ikhtilaf yang tidak dikeahui nasikh-mansukhnya.

2 Huzaimah T.Y., Pengantar Perbandigan Mazhab, (Jakarta: logos Wacana Ilmu,1999), hlm. 130.

(7)

Dalam ikhtilaf yang terakhir di atas, Imam al-Syafi’i membaginya dalam dua kategori:

a. Ikhtilaf yang dapat dipertemukan.

b. Ikhtilaf yang tidak dapat dipertemukan.

Adapun jika terjadi suatu pertentangan yang tidak dapat dipertemukan, dalam hal ini, ia menempuh cara berikut ini:

a. Menentukan mana yang lebih dulu dan mana yang baru kemudian, dan yang terdahulu dianggap mansukh, sehingga harus dapat diketahui asbab al- wurudnya.

b. Jika tidak diketemukan maka harus dipilih salah satu yang terkuat berdasarkan sanad-sanadnya.3

3. Ijma’ Dalam Pandangan Imam Syafi’i

Ijma’ menurut Imām al-Syāfi’i adalah kesepakatan para ‘ulama’ diseluruh dunia Islam, bukan hanya disuatu negeri tertentu dan bukan pula ijma` kaum tertentu saja. Namun Imam al-Syafi`i tetap berpedoman bahwa ijma` sahabat adalah ijma’

yang paling kuat.

Imām al-Syāfi’i mendefinisikan ijma’ sebagai konsensus ulama dimasa tertentu atas suatu perkara berdasarkan riwayat Rasul. Karena menurutnya mereka tidak mungkin sepakat dalam perkara yang bertentangan dengan al-Sunnah.

Imām al-Syāfi’i membagi ijma’ menjadi dua yaitu ijma’ sarih dan ijma’ sukuti.

Namum yang paling diterima olehnya adalah ijma’ sarih sebagai dalil hukum. Hal ini menurutnya, dikarenakan kesepakatan itu disandarkan kepada nas, dan berasal dari secara tegas dan jelas sehingga tidak mengandung keraguan. Sedangkan ijma’ sukuti ditolaknya karena tidak merupakan kesepakatan semua mujtahid. Dan diamnya mujtahid menurutnya, belum tentu mengindikasikan persetujuannya.

3 Ibid., hlm. 130

(8)

Melihat kondisi kehidupan para ulama dimasanya yang telah terjadi ikhtilaf dikalangan mereka, maka menurutnya, ijma` hanya terjadi dalam pokok-pokok fardu dan yang telah mempunyai dasar atau sumber hukum.4

4. Qiyas Menurut IMam SYafi’i

Muhammad Abu Zahrah menjelaskan bahwa ulama yang pertama kali mengkaji qiyas (merumuskan kaidah-kaidah dan dasar-dasarnya) adalah Imām al-Syāfi’i.

Dengan demikian Imām al-Syāfi’i menjadikan qiyas sebagai hujjah ke empat setelah al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ dalam menetapkan hukum Islam.5Ia menempatkan qiyas setelah ijma`, karena ijma’ merupakan ijtihad kolektif sedangkan qiyas merupakan ijtihad individual.

Syarat-syarat qiyas yang dapat diamalkan menurut Imām al-Syāfi’i adalah sebagai berikut:

a. Orang itu harus mengetahui dan mengusai bahasa arab.

b. Mengetahui hukum al-Qur’an, faraid, uslub, nasikh-mansukh, ‘amm-khas, dan petunjuk dilalah nas.

c. Mengetahui Sunnah, qaul sahabat, ijma` dan ikhtilaf dikalangan ulama.

d. Mempunyai pikiran sehat dan prediksi bagus, sehingga mampu membedakan masalah-masalah yang mirip hukumnya.

5. Istidlal Imam Syafi’i

Bila Imām al-Syāfi’i tidak mendapatkan keputusan hukum dari ijma` dan tidak ada jalan dari qiyas, maka barulah ia mengambil dengan jalan istidlal, mencari alasan, bersandarkan atas kaidah-kaidah agama, meski itu dari ahli kitab yang terakhir yang disebut “syar`u man qablana” dan tidak sekali-kali mempergunakan pendapat atau buah pikiran manusia, juga ia tidak mau mengambil hukum dengan cara istihsan, seperti yang biasa dikerjakan oleh ulama dari pengikut Imam Abu Hanifah di Bagdad dan lain-lainnya.6

4 T.M. Hasbi al-Shidieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, (Semarang: PT. Pustaka Rizqi Putra), hlm. 28.

5 Huzaimah T.Y., Pengantar…, hlm. 130.

6 Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 245.

(9)

II.III. QAUL QADIIM DAN QAUL JADIID

Ulama membagi pendapat Imam Syafi’i menjadi dua, yaitu Qaul Qadim dan Qaul Jadid. Qaul Qadim adalah pendapat imam Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Irak. Sedangkan Qaul Jadid adalah pendapat imam Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Mesir. Di Irak, beliau belajar kepada ulama Irak dan banyak mengambil pendapat ulama Irak yang termasuk ahl al-ra’y. Di antara ulama Irak yang banyak mengambil pendapat Imam Syafi’i dan berhasil dipengaruhinya adalah Ahmad bin Hanbal, al-Karabisi, al-Za’farani, dan Abu Tsaur.

Setelah tinggal di Irak, Imam Syafi’i melakukan perjalanan ke Mesir

kemudian tinggal di sana. Di Mesir, dia bertemu dengan (dan berguru kepada) ulama Mesir yang pada umumnya sahabat Imam Malik. Imam Malik adalah penerus fikih Madinah yang dikenal sebagai ahl al-hadits. Karena perjalanan intelektualnya itu, Imam Syafi’i mengubah beberapa pendapatnya yang kemudian disebut Qaul Jadid.

Dengan demikian, Qaul Qadim adalah pendapat imam Syafi’i yang bercorak ra’yu, sedangkan Qaul Jadid adalah pendapatnya yang bercorak sunnah.7

Contoh contoh Qaul Qadim dan Qaul Jadid

1. Hukum Air yang mengalir terkena najis ,namun sifat-sifatnya tidak berubah.

Qaul Qadim : Air mengalir tidak akan menjadi najis

Qaul Jadid : Air mengalir hukumnya sama dengan air tenang, jika jumlahnya kurang dari dua kullah maka menjadi najis 2. Hukum Air musta’mal untuk bersuci yang wajib.

Qaul Qadim : Air musta’mal hukumnya suci lagi menyucikan Qaul Jadi :Air musta’mal hukumnya suci tapi tidak menyucikan 3. Hukum menjual kulit binatang yang telah di samak.

Qaul Qadim : Tidak boleh menjualnya

7 Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam, Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid, Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada, 2002, hal.9-11.

(10)

Qaul Jadid : Boleh Menjualnya 4. Hukum terlupa tertib wudhu

Qaul Qadim : sah Wudhunya

Qaul jadid : Hukumnya sama dengan orang yang tinggalkan secara sengaja, tidak sah.

5. Hukum Muwalat dalam berwudhu Qaul Qadim : Wajib

Qaul Jadid : Sunat, Bukan wajib II.IV KARYA KARYA IMAM SYAFI’I

Para ulama telah menyebutkan karangan imam Asy-Syafi’i yang tidak sedikit,diantara karangannya adalah :

a. Kitab al-Umm

Sebuah kitab tebal yang terdiri dari empat jilid (Volume) dan berisi 128 masalah.dimuali dari kitab ‘ath-Thahaarah kemudian kitab as-shalaah begitu seterusnya yang beliau susun berdasarkan bab-bab fiqih.

Bersama kitab al-Umm di cetak pula kitab-kitab lainnya yaitu

1). Kitab Jimaa’ul-‘ilmi (pembelaan terhadap as-Sunah dan pengamalannya) 2). Kitab ibthaalul Istihsaan (sanggahan kepada para fuqaha madzhab Hanafi) 3). Kitab perbedaan antara Imam Malik dan Imam Syafi’i

4).Kitab ar-Radd’alaa Muhammad bin al-hasan (bantahan terhadap Muhammad binb al-Hasan

b. Kitab ar Risaalatul Jadiidah

sebuah kitab yang telah di cetak dan di tahqiq oleh Syaikh Ahmad Syakir yang diambil dari riwayat ar-Rabi’ bin Sulaiman dari Imam asy- Syafi’i. Kitab ini terdiri dari satu jilid besar. Di dalam kitab ini imam asy- Syafi’i berbicara tentang al-qur-an dan penjelasannya,juga membahas tentang as-Sunah berikut kedudukannya dari al-Qur-an al-Kariim. Beliau mengemukakan bahwa banyak dalil mengenai keharusan berhujjah dan

(11)

berargumentasi dengan as-Sunnah. Beliau juga mengupas masalah Nasikh dan Mansukh dalam Al-qur-an dan as-sunah menguraikan tentang ‘ilal yang terdapat pada sebagian Hadits dan alasan dari keharusan mengambil hadistahad sebagai hujjah dan dasar Hukum serta apa yang boleh diperselisihkan dan yang tidak boleh di perselisihkan di dalamnya.

Selain kedua kitab yang kami sebutkan ada beberapa kitab lain yang dinisbathkan kepada imam asy-Syafi’I seperti kitab al-Musnad,as-Sunan,ar-Radd’alal baraahimah,Mihnatusy Syafi’i, Ahkamul Qur-an dan yang lainnya.

II.V. GURU DAN MURID IMAM SYAFI’I SERTA PENYEBARLUASAN MADZHAB SYAFI’I

Imam asy-Syafi’i mengambil banyak ilmu dari para ulama di berbagai tempat pada zamanya. Di antaranya di Makkah, Madinah,Kuffah Bashrah, Yaman, Syam, dan Mesir. Ibnu Katsir berkata : “Imam asy-Syafi’i belajar banya hadits kepada para syaikh dan para Imam. Ia membaca sendiri kitab al-Muwaththa’ dengan hafalan sehingga Imam Malik kagum terhadap hafalan dan kemauan kerasnya”.

Imam al-Baihaqi juga menyebutkan para syaikh Imm asy-Syafi’i diantar syaikhnya yang berasal dari penduduk Makkah adalah :

1. Imam Sufyan bin ‘Uyainah

2. ‘Abdurrahman bin Abu Bakar bin ‘Abdullah bin Abu Mulaikah 3. Isma’il bin Abdullah bin Qisthinthin al-Muqri

4. Muslim bin Khalid az-Zanji dan banyak lagi selain mereka Dari penduduk Madinah adalah :

1. Malik bin Anas bin Abu ‘Amir al-Ashbahi 2. ‘abdul Aziz bin Muhammad ad-Darawardi 3. Ibrahim bin Sa’ad bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf

4. Mihammad bin Isma’il bin Abu Fudaik, dan banyak lagi selain mereka.

Dari negeri lain diantaranya : 1. Hisyam bin Yusuf as-Shan’ani

(12)

2. Mutharrif binMazin as-Shan’ani 3. Waki’ bin Jarrah

4. Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani, dan banyak lagi yang lainya.

Orang orang yang mengambil ilmu dari Imam Syafii sangat banyak, tidak ada yang dapat menghitung jumlahnya, sebab setiap dating ke suatu Negara dan menyebarkan ilmu di sana beliau pun didatangi oleh banyak orang untuk belajar. Berikut beberapa nama-nama murid beliau yang populer, diantaranaya adalah :

a) Ar-Rabi’in bin Sulaiman bin Abdul Jabbar bin Kamil

Ia adalah seorang muhaddits sekaligus ulama besar di bidang ilmu Fiki. Julukannya, abu Muhammad al-Muradi al-Mishri al-Muadzdzin.

Lahir pada tahun 174 H dan wafat pada tahun 270 H.

b) Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya bin Isma’il bin Amr bin Muslim al- Muzani al- Mishri

Ia adalah seorang imam besar yang sangat faham tentang Agama pemuka para ahli Zuhud ia lahir pada tahun175 H karanganya yang berupa Mukhtashar (Ringkasan ) dalam bidang fiqih tersebar dibanyak negeri Islam yang kemudian di syarah (diuraikan) oleh sejumlah imam besar. Al-Muzani Wafat pada Tahun 264 H

c) Abu Abdillah Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdul Hakam bin A’yan bin Laits.

Ia merupakan seorang Ulama besar dan mendapat gelas syaikhul Islam. Diriwatkan bahwa terjadi selisih pendapat antara dia (Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdul Hakam )dengan al-Buwaithi Karena imam

Penyebaran Madzhab Syafi’I dewasa ini

Penyebar-luasan pemikiran Mazhab Syafi'i berbeda dengan mazhab sebelumnya (Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki) yang mana lebih dominan

(13)

dipengaruhi oleh Kekhalifahan. sedagkan pokok pikiran dan prinsip dasar Mazhab Syafi'i lenih disebar-luaskan oleh para murid-muridnya. Diantara murid-muridya yang dari Mesir, diantaranya:

Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 846)

Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 878)

Ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 884)

Mazdhab syafi’I berkembang di beberapa Negara di dunia antara lain Berunai Darussalam, Ethiopia, Indonesia, Kenya, Maladewa, Malaysia, Filipina, Singapura, Somalia, Srilangka, Tanzania dan Yaman.

BAB III PENUTUP III.I Kesimpulan

Dalam makalah ini ada beberapa hal yang penulis simpulkan antara lain:

1. Pendiri mazdhab syafi’I ialah Imam Syafi’I Nama lengkap beliau adalah: Abu

Abdullah bin Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’I bin Sa’id bin Ubaid bin abu Yazid bin Hasyim bin Muthalib bin Abdu Manaf, nasabnya sampai kepada rasulullah saw, pada kakeknya Abdu Manaf, oleh karena itu ia dikatakan tentang Syafi’I, “cucu sepupu Nabi saw”.

(14)

2. Factor-faktor yang mempengaruhi pemikiran Imam Syafi’I sehingga lahirlah Mazdhab syafi’I antara lain ialah factor sudah banyaknya ahli fiqh saat itu, factor tempat, factor social budaya. Qaul Qadim adalah pendapat imam Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Irak. Sedangkan Qaul Jadid adalah pendapat imam Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Mesir.

3. Dasar-dasar dari istimbath imam syafi’I ialah Nash-nash, baik Alquran dan

sunnah, ijma, pendapat para sahabat, qiyas dan istidjal.

4. Karya-karya imam Syafi’I yang terkenal diantaranya adalah kitab Al-Umm dan Ar-Risalah

5. Imam Syafi’I Memiliki Banya guru dan Murid murid yang membantu penyebar luasan Madzhab Imam Syafi;i. Mazdhab syafi’I tersebar di berbagai Negara antara lain Indonesia, Malaysia, Yaman, singapura, Somalia dan lain-lain.

III.II SARAN

Di Indonesia madzhab syafi’I menjadi mayoritas sehingga alangkah lebih baiknya jika kita sebagai umat muslim dan juga seorang pendidik khusunya dibidang pendidikan agama islam memperdalam mengenai pengetahuan mazdahab syafi’I ini.

Referensi

Dokumen terkait

berdasarkan kitab Al- Uum karya Imam Syafi‟I tidak boleh bagi seseorang menjamakkan antara dua shalat, pada waktu shalat yang pertama daripada keduanya selain

Abu al-Hassan 'Ali Muhammad Habib al-Basri al-Baghdadi al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir , juz.. Artinya: Imam Syafi`i berkata Fi Sabilillah diberikan kepada orang yang

Sementara menurut Imam asy-Syafi`i jumlah takbir pada rakaat pertama dalam salat `Id adalah 8 kali takbir termasuk takbiratul ihram dan pada rakaat kedua

Sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada bab-bab sebelumnya, bahwa Imam Hanafi hidup lebih awal dari pada Imam Syafi‟i. Perbedaan kultur, kondisi sosial