Vol. 8 No. 1, Februari 2023
MENGURAI POLEMIK PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PUSARAN PANDEMI COVID-19 DI INDONESIA
Fajrianto
Fakultas Hukum, Universitas Islam Malang, Kota Malang E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini hendak meninjau probabilitas penjatuhan sanksi pidana mati kepada mantan Menteri Juliari P. Batubara jika nantinya hasil penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi yang dilakukan memenuhi unsur delik dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TPK). Metode penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah penelitan yuridis normatif dengan teknik analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaku korupsi hanya dapat dipidana mati apabila jenis korupsi dilakukan merujuk pada Pasal 2 Ayat (1) UU TPK, memenuhi unsur “keadaan tertentu” dalam Pasal 2 Ayat (2) UU TPK dan ketentuan aspek kesalahan, dampak, serta keuntungan tinggi yang termaktub dalam Pasal 8 PERMA No.1/2020. Berkaitan dengan kasus korupsi yang dilancarkan oleh mantan Menteri Sosial Juliari P. Batubara, meskipun nantinya hasil penyelidikan KPK menunjukkan bahwa korupsi yang dilakukan memenuhi unsur-unsur delik Pasal 2 Ayat (1) UU TPK, pidana mati sejatinya tidak dapat diterapkan, karena unsur “keadaan tertentu” yang merupakan prasyarat pelaku korupsi dapat dipidana mati tidak terpenuhi.
Kata Kunci: Korupsi; Covid-19; Pidana Mati; Juliari P. Batubara
ABSTRACT
This study wants to review the probability of imposing a death penalty on former Minister Juliari P. Batubara if later the results of the Investigation of the Corruption Eradication Commission (KPK) show that the corruption crimes committed meet the elements of the offense in Article 2 Paragraph (1) of Law Number 31 of 1999 juncto Law Number 20 of 2001 concerning the Eradication of Corruption Crimes (TPK Law).The research method used in this study is normative juridical research with descriptive analysis techniques.
The results showed that corruption perpetrators can only be sentenced to death if the type of corruption is carried out referring to the provisions of Article 2 Paragraph (1) of the TPK Law, meeting the elements of "certain circumstances" in Article 2 Paragraph (2) of the TPK Law and the provisions on aspects of errors, impacts, and high profits contained in Article 8 of PERMA No.1/2020. In relation to the corruption case launched by former Minister of Social Affairs Juliari P. Batubara, although later the results of the KPK investigation showed that the corruption carried out met the elements of article 2 paragraph (1) of the TPK Law, the death penalty could not be applied, because the element of "certain circumstances" which was a prerequisite for corruption perpetrators to be sentenced to death was not met.
Vol. 8 No. 1, Februari 2023 Keywords : Corruption; Covid-19; Death Penalty; Juliari P. Batubara.
A. PENDAHULUAN
Korupsi secara etimologi berakar dari kata corruptus, yang kemudian dialihkan ke dalam bahasa Belanda menjadi corruptive, dan dalam bahasa Indonesia desebut korupsi (Hamzah, 1991:7). Korupsi berarti segala macam perbuatan yang tidak baik, mencerminkan keburukan, kebejatan, kebusukan, ketidakjujuran, dapat disuap dan tidak bermoral (Wojowasito, 1999:128). Di Indonesia, tindakan korupsi telah diatur sebagai salah satu bentuk tindak pidana (delik) yang bersifat luar biasa (extra ordinary crime).
Secara khusus, tindakan korupsi telah diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis, yang tipologinya telah diatur secara lex specialis dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (yang selanjutnya disebut UU TPK). Jika dikelompokkan menurut tipologinya maka korupsi dapat dibagi menjadi 7 (tujuh) bagian, diantaranya yaitu: benturan kepentingan dalam pengadaan; kerugian keuangan negara;
penggelapan dalam jabatan; suap-menyuap; perbuatan curang; pemerasan; dan gratifikasi (KPK, 2006:16).
“Korupsi” bukan menjadi hal yang baru dalam ranah pemerintahan di Indonesia.
Korupsi dianggap telah “membudaya” dan menjadi penyakit laten yang menjangkit struktur kekuasaan di hampir setiap rezim dalam catatan periode sejarah berdirinya negara (Sopoyono, 2019). Korupsi bukan saja mencederai keadilan dan merugikan negara baik dalam aspek material maupun nonmaterial yang besar, namun juga membawa dampak akutnya dekadensi moral dan marwah bangsa di setiap level kehidupan masyarakat. Oleh karenanya, penanggulangan kasus tindak pidana korupsi merupakan suatu prasyarat mutlak dalam rangka mewujudkan cita-cita kehidupan bernegara.
Harus diakui bahwa penanggulangan korupsi di Indonesia belum menampilkan hasil yang diharapkan, tanpa terkecuali di tengah Pandemi Covid-19 saat ini. Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak tahun 2004 hingga 2021, terdapat 1.194 kasus korupsi yang telah ditangani (Annur, 2022). Disisi lain, catatan Transparency International (TI) dalam laporannya menunjukkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) Indonesia di masa awal merebaknya Pandemi
Vol. 8 No. 1, Februari 2023
Covid-19 pada tahun 2020 berada di angka 37 pada skala 0-100. Skor pada angka 0 menunjukkan sangat korup dan sebaliknya skor angka 100 sangat bersih. Skor IPK Indonesia tahun 2020 di angka 37 menurun 3 poin dari tahun 2019 lalu yakni berada di angka 40, menurunnya angka IPK tersebut membuat posisi Indonesia merosot menjadi peringkat 102 dari 180 negara yang sebelumnya berada di posisi 85 dengan angka IPK 40 dan masih tergolong negara yang korup (Internasional, 2021). Dari hasil analisis survey diatas, dapat dipahami bahwa kondisi penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia dalam pusaran Pandemi Covid-19 bukan mengalami kemajuan melainkan malah semakin memburuk.
Selain index CPI diatas, maraknya praktek “memaling” uang rakyat yang dilancarkan oleh oknum pemerintah ditengah Pandemi semakin dibuktikan dengan terkuaknya korupsi suap bantuan sosial penanganan Pandemi Covid-19 yang dilangsungkan oleh mantan Menteri Sosial Republik Indonesia (RI) Juliari Peter Batubara. Juliari terbukti menerima suap dari perusahaan-perusahaan penyedia barang dalam pengadaan paket bantuan sosial Covid-19 wilayah Jabodetabek tahun 2020 sebesar Rp 32,48 Miliar untuk kepentingan pribadi. Pemberian uang tersebut merupakan imbalan dari penunjukkan perusahaan-perusahaan tersebut sebagai penyedia paket bantuan sosial Pandemi Covid-19. Atas perbuatannya, berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN Jkt.Pst, Juliari dipidana 12 tahun penjara dan denda Rp 500 Juta karena terbukti melanggar Pasal 12 huruf b UU TPK. Selain itu, Juliari juga dijatuhkan sanksi tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp. 14,49 Miliar.
Dalam perkembangannya, publik menilai bahwa ada yang janggal dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Putusan Hakim terkait kasus Juliari. Publik menyatakan bahwa sudah seharusnya mantan Menteri Sosial RI Juliari P. Batubara diberikan sanksi
“Pidana Mati”, karena praktik korupsi dilakukan diatas penderitaan rakyat yang sedang dilanda Pandemi. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM RI Prof. Dr. Eddy O.S Hiariej. Menurutnya, Juliari layak dituntut ancaman hukuman mati sebagaimana ketentuan yang termaktub dalam Pasal 2 Ayat (2) UU PTPK, yang menyatakan bahwa “dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan” (Hakim, 2022). Frasa “dalam keadaan tertentu”
dalam ketentuan a quo menurut Omar Sharif Hiariej mengakomodir praktek korupsi yang
Vol. 8 No. 1, Februari 2023
dilakukan di tengah pandemi, terlebih lagi korupsi yang dilakukan berkaitan dengan bantuan sosial.
Merespon tuntutan publik tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (yang selanjutnya disingkat KPK) sebagai lembaga yang bertugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 6 huruf e UU No 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) menyatakan akan terus mendalami hubungan kasus korupsi Juliari dengan Pasal 2 Ayat (1) UU TPK khususnya pada aspek kerugian keuangan negara. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyatakan bahwa dugaan kerugian negara pada kasus suap bantuan sosial Covid-19 akan mencapai titik terang pada akhir tahun 2022. Jika ditemukan kerugian keuangan negara, maka terdapat kemungkinan Juliari P. Batubara dapat dituntut kembali dengan ancaman death denalty berdasarkan Pasal 2 Ayat (2) UU TPK sepanjang unsur-unsur delik Pasal 2 Ayat (1) UU TPK lainnya terpenuhi (Ni’am, 2022).
Menarik mendalami kasus praktek korup Juliari jika dihubungkan dengan perspektif sanksi pidana mati yang diatur dalam Pasal 2 UU TPK di Indonesia. Selain untuk menjernihkan pemahaman kapan dan bagaimana pidana mati dapat diberlakukan dalam kasus korupsi, melalui kajian ini, akan ditemukan jawaban komprehensif terkait potensi penerapan sanksi pidana mati kepada mantan Menteri Sosial Juliari jika nantinya hasil penyelidikan KPK menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi yang dilakukan mengakomodir unsur-unsur Pasal 2 Ayat (1) UU TPK. karena itu, penelitian ini berjudul
“Mengurai Polemik Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Dalam Pusaran Pandemi Covid-19 di Indonesia”.
Fokus masalah yang hendak dikaji pada penelitian ini adalah, pertama, bagaimana menentukan kriteria kapan dan bagaimana pelaku korupsi dapat dipidana mati?. Kedua, apakah praktik korupsi yang dilancarkan oleh mantan Menteri sosial RI Juliari dapat dikenakan sanksi pidana mati jika nantinya hasil penyelidikan KPK menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi yang dilakukan memenuhi unsur-unsur delik dalam Pasal 2 Ayat (1) UU TPK?. Selaras dengan permasalahan yang diangkat, maka tujuan penelitian ini yaitu untuk: pertama, mengetahui kriteria tindak pidana korupsi yang pelakunya dapat disanksi pidana mati, dan kedua, menemukan jawaban terkait potensi penerapan sanksi
Vol. 8 No. 1, Februari 2023
pidana mati kepada mantan Menteri Sosial Juliari jika nantinya hasil penyelidikan KPK menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi yang dilakukan mengakomodir unsur-unsur delik Pasal 2 Ayat (1) UU TPK.
Metode penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang bertujuan untuk merumuskan argumentasi hukum terhadap suatu masalah dengan cara meneliti bahan-bahan kepustakaan atau data sekunder belaka (Mahmudji, 2003:13). Teknik pengumpulan dilakukan dengan studi kepustakaan, yaitu mencari serta mengkaji berbagai buku, asas- asas hukum yang berlaku, peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, jurnal ilmiah, internet dan artikel ilmiah yang bertalian dengan tindak pidana korupsi yang hendak diteliti. Data yang didapatkan kemudian dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan kalimat-kalimat sehingga menjadi suatu pembahasan yang sistematis, mudah dimengerti dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kerangka metode penelitian demikian, akan ditemukan jawaban komprehensif mengenai kapan dan bagaimana pidana mati dapat diberlakukan dalam kasus korupsi dan jawaban terkait potensi penerapan sanksi pidana mati kepada mantan Menteri Sosial Juliari jika nantinya hasil penyelidikan KPK menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi yang dilakukan mengakomodir unsur-unsur delik Pasal 2 Ayat (1) UU TPK.
B. PEMBAHASAN
1. Kontruksi Pidana Mati Terhadap Kejahatan Korupsi
Hukuman mati adalah jenis pidana yang paling berat bagi pelaku tindak pidana.
Pidana jenis ini dilaksanakan dengan menghilangkan nyawa pelaku tindak pidana sebagai akibat dari perbuatan pidana yang telah dilakukan. Dalam perkembangan hukum di berbagai negara, pidana mati tidak jarang menuai perdebatan publik seiring dengan peningkatan pemahaman tentang human rights atau Hak Asasi Manusia (HAM). Pada tingkat internasional, terdapat tendensi untuk menghapuskan pidana mati. Namun, pidana mati masih boleh diterapkan pada tindak pidana yang bersifat “the most serious crimes”.
Instrumen hukum internasional yang memuat tentang pidana mati termaktub dalam Pasal 6 Ayat (1) International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang menyatakan bahwa “tiap manusia berhak atas hak hidup yang melekat pada dirinya dan wajib
Vol. 8 No. 1, Februari 2023
dilindungi oleh hukum”. Namun pada Ayat (2), dijelaskan bahwa hukuman mati dapat diterapkan jika kejahatan bersifat serius (serious crime) (Lubis, 2009).
Di Indonesia, pidana mati masih mendapatkan legalitas. Hal itu diatur dalam Buku 1 Pasal 10 KUHP. Selain itu, legalitas pidana mati di Indonesia semakin diperkuat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2-3/PUU-V/2007 yang menyatakan hukuman mati tidak bertentangan dengan UUD 1945. Ketentuan pidana mati dalam sistem hukum di Indonesia bersifat umum, dalam arti dapat diterapkan terhadap delik yang diatur di dalam dan diluar KUHP kecuali peraturan tersebut mengatur berbeda (Anjari, 2020).
Salah satu jenis tindak pidana diluar KUHP yang mengatur tentang sanksi pidana mati adalah tindak pidana korupsi. Korupsi dinilai memenuhi unsur kejahatan yang bersifat serius (serious crime), karena tidak hanya dapat merugikan keuangan negara dalam skala yang besar, tetapi juga dapat merusak marwah bangsa dan dapat menyebabkan tidak terpenuhinya hak-hak rakyat untuk memperoleh keadilan dan kesejahteraan. Poin menimbang huruf a UU TPK menyatakan bahwa korupsi yang terjadi selama ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi turut merenggut hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Oleh karena itu, pelaku korupsi patut untuk mendapatkan penanganan luar biasa pula, salah satunya dengan pemberian sanksi pidana mati. Formulasi pidana mati terhadap pelaku korupsi di Indonesia saat ini mengikuti penerapan hukuman mati di beberapa negara, seperti di negara Pakistan, China, Iran Arab Saudi, Amerika Serikat Irak, Mesir, Somalia, Chad, Sudan Selatan, Taiwan, Yaman, Bangladesh, Sudan, Jepang, Singapura, Yordania, Oman, Afghanistan, India UEA, Korea Selatan, Malaysia dan Vietnam (Wahyuningsih, 2017).
Formulasi tindakan korupsi yang dapat dijatuhi pidana mati diatur olej Pasal 2 UU TPK, yang menyatakan bahwa: Ayat (1) “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”; Ayat (2) “Dalam hal tindak
Vol. 8 No. 1, Februari 2023
pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”.
Pasal 2 Ayat (2) UU TPK menerangkan bahwa pidana atau hukuman mati dapat dijatuhkan kepada pelaku korupsi jika dilakukan “dalam keadaan tertentu”. Jadi, hukuman mati adalah pemberatan pidana apabila memenuhi syarat pemberatan yakni keadaan tertentu tersebut. Dalam Penjelasan Umum UU TPK, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" pada ketentuan Pasal 2 ayat (2) adalah sebagai berikut:
1) Dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya;
2) Bencana alam nasional;
3) Penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas;
4) Penanggulangan krisis ekonomi dan moneter; dan 5) Pengulangan tindak pidana korupsi.
Perlu diketahui bahwa tidak semua jenis korupsi dapat dikenakan pidana mati, karena UU TPK secara khusus hanya mengatur ketentuan pemberian sanksi pidana mati bagi koruptor yang melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau yang berkaitan dengan jenis korupsi kerugian keuangan negara. Artinya, sepanjang suatu tindak pidana korupsi dilakukan diluar ketentuan a quo, maka pidana mati tidak dapat diberlakukan. Merujuk pada rumusan Pasal 2 Ayat (1), apabila dirinci maka terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
1) Setiap orang;
2) Secara melawan hukum;
3) Memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi;
4) Yang merugikan keuangan negara atau perokomian negara.
Formulasi Pasal 2 Ayat (1) UU PTPK diatas merupakan formulasi paling abstrak jika dibandingkan dengan formulasi-formulasi lainnya, atas dasar itu jangkauannya paling luas. Oleh sabab itu, tidak sedikit tindakan yang dapat diakomodir oleh formulasi ini. Menurut Adami Chazawi, aspek positif dari ketentuan Pasal 2 Ayat (1) adalah mempermudah menjerat koruptor karena cakupannya luas. Formulasi abstrak seperti itu juga lebih mudah mengimbangi perkembangan masyarakat melalui interpretasi hakim.
Tetapi, aspek negatifnya mereduksi kepastian hukum sebab terbukanya peluang yang
Vol. 8 No. 1, Februari 2023
lebih luas bagi jaksa dan hakim yang tidak bertanggungjawab untuk menggunakan Pasal 2 Ayat (1) secara sewenang-wenang, lebih-lebih apabila dari awal suatu perkara telah diskenario dan diatur sedemikian rupa oleh orang-orang kuat dibelakangnya (Chazawi, 2018:27).
Untuk memperjelas kapan dan bagaimana pelaku korupsi dapat dijerat menggunakan Pasal 2 Ayat (1), maka pengertian unsur-unsur delik yang harus dipenuhi menjadi penting untuk diketahui, agar tidak terjadi kesalahpamahaman dalam memaknai jenis korupsi kerugian keuangan negara, berikut penjelasannya:
1) Setiap Orang
“Setiap orang” yang dimaksud adalah orang perseorangan (Persoonlijkheid) termasuk pegawai negeri maupun bukan pegawai negeri atau badan hukum (Rechtspersoon) yang karena perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan kepadanya atau didakwa melakukan tindak pidana korupsi.
2) Secara Melawan Hukum
Istilah melawan hukum berasal dari kata wederrechtelijk. Istilah melawan hukum menerangkan tentang terlarangnya suatu perbuatan menurut hukum (Chazawi, 2008:37).
Perlu dipahami bahwa kata “hukum” dalam frase “melawan hukum” terbagi atas hukum formil dan materiil. Sifat melawan hukum formil dimaknai terlarangnya suatu tindakan karena berbenturan dengan peraturan tertulis yang berlaku. Sedangkan sifat melawan hukum materiil masih terbagi lagi menjadi sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif dan sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif.
sifat melawan hukum materiil dalam fungsi negatif bermakna meskipun perbuatan tersebut memenuhi unsur delik tetapi tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka perbuatan tersebut tidak dipidana. Adapun sifat melawan hukum materiil dalam fungsi positif mengandung makna bahwa meskipun perbuatan tersebut tidak/belum diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun jika perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana (Hiariej, 2016:243).
Dalam penjelasan umum UU TPK, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan unsur
"secara melawan hukum" dalam Pasal 2 Ayat (1) adalah “mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut
Vol. 8 No. 1, Februari 2023
tidak diatur dalam peraturan perudang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”.
Dengan begitu, pembentuk UU TPK ingin menegaskan bahwa unsur “melawan hukum” dalam Pasal 2 Ayat (1) UU TPK mempunyai makna melawan hukum ganda (formil dan materiil dalam fungsi positif). Artinya, melawan hukum yang dimaksud tidak hanya meliputi perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan hukum positif (tertulis), tetapi termasuk juga perbuatan tercela karena bertentangan dengan nilai keadilan atau norma-norma sosial dalam kehidupan masyarakat.
Sifat “melawan hukum” dalam Pasal 2 Ayat (1) UU TPK merupakan salah satu unsur delik, karena disebutkan secara eksplisit dalam rumusan pasal tersebut. Namun, yang perlu dipahami adalah eksistensi unsur melawan hukum dalam pasal tersebut bukanlah sebagai unsur inti delik (kernbestanddeel), melainkan hanya berfungsi sebagai tool atau sarana untuk menuju perbuatan yang dilarang, yaitu perbuatan memperkaya diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi. Oleh karena unsur “melawan hukum” dalam rumusan pasal ini merupakan sarana, maka dalam hal pembuktian, hubungan antara sifat
“melawan hukum” dengan perbuatan “memperkaya diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi” merupakan hal yang wajib untuk dibuktikan (Shinta Agustina, 2016:16).
Dalam perkembangannya, penafsiran unsur “melawan hukum” dalam arti materiil dengan fungsi positif yang memperluas rumusan unsur delik, menjadi kontroversi dan menuai perdebatan panjang dikalangan ahli hukum. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusannya No. 003/PUU-IV/2006, menilai bahwa penjelasan Pasal 2 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, karena menimbulkan ketidakpastian hukum. MK berpendapat bahwa perluasan makna “melawan hukum” yang mengakomodir sifat melawan hukum tidak tertulis bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945 yang melindungi hak konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang pasti dalam hukum pidana. Oleh karenanya, perluasan sifat melawan hukum dalam Pasal 2 Ayat (1) UU TPK dipandang bertentangan dengan asas legalitas yang berbunyi: “nullum delictum, nulla puna sine praevia lege poenali” (tiada perbuatan dapat dipidana kecuali
Vol. 8 No. 1, Februari 2023
atas dasar kekuatan pidana menurut undang-undang yang sudah ada terlebih dahulu) yang telah diadopsi dalam kontruksi Pasal 1 Ayat (1) KUHP.
Implikasi Putusan MK tersebut membawa ketidakseragaman pemahaman dikalangan Aparat Penegak Hukum (APH). Akibatnya, tidak sedikit putusan pengadilan setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi, tetap menafsirkan pemaknaan melawan hukum dalam arti formil dan materiil dalam fungsi positif. Merespon permasalahan tersebut, Mahkamah Agung (MA) dalam putusannya No. 103K/Pid/2007 menegaskan bahwa pemaknaan “melawan hukum” dalam formulasi Pasal 2 Ayat (1) haruslah di interpretasikan secara formil dan materiil dalam fungsi positif. Artinya, makna “melawan hukum” dalam rumusan Pasal 2 Ayat (1) UU TPK dikembalikan pada eksistensi awalnya.
Pendapat MA inilah yang kemudian di ikuti oleh aparat penegak hukum hingga saat ini.
3) Memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi
Kata kunci utama dalam unsur ini adalah “memperkaya”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dikatakan bahwa memperkaya memiliki arti “menjadikan lebih kaya”(Nasional, 2008:698). Sedangkan pengertian kaya yaitu “mempunyai banyak harta seperti uang dan lain sebagainya”. Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian memperkaya merupakan kata kerja yang menunjukkan segala perbuatan yang dilakukan untuk menambah harta kekayaan seperti uang dan lain sebagainya (yang bernilai). Kata memperkaya juga mengakomodir perbuatan secara melawan hukum yang menjadikan setiap orang yang sebelumnya tidak kaya menjadi kaya.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa in casu dapat dipidananya pelaku korupsi berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) UU TPK, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim harus terlebih dahulu membuktikan bahwa perbuatan secara melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku mengakibatkan bertambahnya harta seperti uang yang dikuasai/orang lain/suatu korporasi sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan a quo.
Unsur memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi terdiri dari 3 (tiga) elemen yang berbeda, yaitu:
1. Memperkaya diri sendiri, artinya pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta benda milik dirinya sendiri akibat tindakan melawan hukum yang dilakukan;
Vol. 8 No. 1, Februari 2023
2. Memperkaya orang lain, artinya dari tindakan yang dilakukan pelaku, terdapat orang lain yang menikmati harta bendanya, atau yang diuntungkan secara langsung bukanlah pelaku;
3. Memperkaya korporasi, artinya yang memperoleh keuntungan dari tindakan pelaku ialah suatu korporasi, misalnya mendapatkan fasilitas negara atau kemudahan izin usaha yang bertentangan dengan hukum yang berlaku. Berkaitan dengan pengertian korporasi, dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana korupsi, dikatakan bahwa korporasi adalah kumpulan orang atau kumpulan kekayaan yang terorganisir, baik berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum.
Ketentuan memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi dalam tersebut bersifat alternatif, hal itu dibuktikan dengan digunakannya kata “atau” sebagai kata penguhubung dalam rumusan pasal. Artinya, jika salah satu unsur “memperkaya terpenuhi”, maka hakim tidak perlu membuktikan unsur memperkaya lainnya.
4) Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Berlandaskan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Maksud dari kata ”merugikan”
adalah mendatangkan rugi atau menyebabkan rugi (Nasional, 2008:1322). Sedangkan
“keuangan negara” dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Alinea Keempat dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "keuangan Negara" adalah seluruh kekayaan Negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul kerena:
1. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung jawaban pejabat Negara baik di tingkat pusat maupun daerah;
2. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung jawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Selanjutnya pada Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Alinea Keempat Huruf (b) dijelaskan yang dimaksud "Perekonomian Negara" adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri berdasarkan pada kebijakan
Vol. 8 No. 1, Februari 2023
pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa merugikan keuangan negara adalah mendatangkan rugi bagi kekayaan negara dalam bentuk apapun, sedangkan pengertian merugikan perekonomian negara adalah mendatangkan atau menyebabkan rugi bagi kehidupan perekonomian negara yang telah disusun untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara juga meripakan unsur yang bersifat alternative, atau jaksa dan hakim hanya perlu membuktikan terpenuhinya salah satu dari unsur merugikan tersebut agar pelaku dapat dipidana berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) UU TPK. Berkaitan dengan jumlah kerugian keuangan atau perkonomian negara yang dimaksud, dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2012 dijelaskan bahwa pelaku korupsi dapat dituntut dengan Pasal 2 Ayat (1) UU TPK apabila jumlah kerugian negara yang ditimbulkan lebih dari 100 Juta Rupiah.
Setelah pelaku tindak pidana korupsi terbukti melanggar ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UU TPK dan unsur perbuatan korupsi dilakukan “dalam keadaan tertentu”
sebagaimana disebutkan pada Ayat (2) terpenuhi, hakim pada dasarnya tidak dapat secara langsung memberikan sanksi pidana mati terhadap pelaku. Ketentuan lain yang perlu diperhatikan oleh hakim adalah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 Dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat “PERMA No.1/2020”) yang diterbitkan pada tanggal 24 Juli 2020. Pasal 17 PERMA No.1/2020 menyatakan bahwa “dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (2) UU TPK, hakim dapat menjatuhkan pidana mati sepanjang perkara tersebut memiliki tingkat kesalahan, dampak, dan keuntungan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8”. Adapun penjelasan aspek kesalahan, dampak, dan keuntungan tinggi pada Pasal 8 PERMA No.1/2020 disebutkan sebagai berikut:
a. Aspek kesalahan tinggi, yaitu:
1) Terdakwa memiliki peran yang paling signifikan dalam terjadinya tindak pidana korupsi, baik dilakukan sendiri maupun bersama-sama;
Vol. 8 No. 1, Februari 2023
2) Terdakwa memiliki peran sebagai penganjur atau yang menyuruh lakukan terjadinya tindak pidana korupsi;
3) Terdakwa melakukan perbuatannya dengan menggunakan modus operandi atau sarana/ teknologi canggih; dan/atau
4) Terdakwa melakukan perbuatannya dalam keadaan bencana atau krisis ekonomi dalam skala nasional;
b. Aspek dampak tinggi, yaitu:
1) Perbuatan terdakwa mengakibatkan dampak atau kerugian dalam skala nasional;
2) Perbuatan terdakwa mengakibatkan hasil pekerjaan atau pengadaan barang dan/
atau jasa sama sekali tidak dapat dimanfaatkan; dan/ atau
3) Perbuatan terdakwa mengakibatkan penderitaan bagi kelompok masyarakat yang rentan, diantaranya orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, perempuan hamil, dan penyandang disabilitas;
c. Aspek keuntungan terdakwa tinggi, yaitu:
1) Nilai harta benda yang diperoleh terdakwa dari tindak pidana korupsi besarnya lebih dari 50% (lima puluh persen) dari kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dalam perkara yang bersangkutan; dan/ atau
2) Nilai pengembalian kerugian keuangan negara yang dilakukan terdakwa besarnya kurang dari 10% (sepuluh persen) dari nilai harta benda yang diperoleh terdakwa dalam perkara yang bersangkutan.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa ketentuan pemberian sanksi pidana mati yang harus mempertimbangkan aspek kesalahan, dampak, dan keuntungan tinggi dalam Pasal 8 PERMA No.1/2020 merupakan ketentuan yang bersifat kumulatif.
Hal itu dapat dibuktikan dengan digunakannya tanda baca “koma” dan kata penghubung
“dan” pada rumusan Pasal 17 PERMA No.1/2020. Sifat kumulatif ini mengandung arti bahwa jika pelaku korupsi yang dituntut dengan ancaman hukuman mati karena melanggar Pasal 2 Ayat (1) UU TPK dan dilakukan dalam “keadaan tertentu”, maka Hakim secara yurisdis tidak dapat menjatuhkan sanksi pidana mati kepada pelaku jika salah satu dari “aspek tinggi” sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 8 PERMA No.1/2020 tidak terpenuhi.
Vol. 8 No. 1, Februari 2023
Dari uraian kriteria kapan dan bagaimana pelaku korupsi dapat dipidana mati berdasarkan Pasal 2 UU TPK diatas, dapat disimpulkan bahwa pidana mati bagi pelaku korupsi bukanlah merupakan hal yang mudah untuk diterapkan pada peradilan pidana di Indonesia. Hemat penulis, hal inilah yang menjadi causa hingga saat ini tidak satu pun pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia yang di hukum dengan sanksi pidana mati.
2. Probabilitas Penerapan Sanksi Pidana Mati Korupsi Juliari Peter Batubara Banyak upaya yang telah dilakukan dalam upaya memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia, baik yang bersifat preventif maupun represif. Namun dalam perkembangannya korupsi seakan bukan semakin berkurang, melainkan semakin bertambah dan meluas hampir di seluruh struktur kekuasaan negara. Tidak jarang, publik mengatakan bahwa korupsi telah menjadi kebiasaan yang lumrah bagi penguasa.
Salah satu kasus korupsi yang cukup menyita perhatian publik belum lama ini adalah korupsi suap yang dilangsungkan oleh mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara. Banyak publik menilai bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang menggunakan Pasal 12 huruf b UU TPK dan putusan hakim yang memberikan sanksi pidana 12 tahun penjara serta denda Rp 500 juta tidak sebanding dengan kejahatan yang telah dilakukan oleh Juari. Publik menyatakan bahwa Juliari patut di sanksi dengan hukuman mati berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU TPK, karena korupsi dilakukan pada program bantuan sosial dan pada saat merambatnya Pandemi Covid-19.
Merespon polemik tersebut, penulis berpendapat sebagai berikut: pertama, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa formulasi Pasal 2 Ayat (1) UU TPK merupakan paling dibandingkan lainnya. Atas dasar itu jangkauannya sangat luas termasuk korupsi jenis suap-menyuap. Oleh karenanya, tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Juliari P. Batubara sejatinya dapat dituntut dengan Pasal 2 Ayat (1) sepanjang unsur-unsur delik dalam rumusan pasal terpenuhi.
Kedua, unsur “keadaan tertentu” Pasal 2 Ayat (2) UU TPK yang merupakan prasyarat pemberatan pelaku korupsi yang melanggar Pasal 2 Ayat (1) UU TPK dapat dipidana mati oleh hakim, sejatinya tidak mengakomodir Pandemi Covid-19 sebagai keadaan yang dimaksud. Karena dalam perkembangannya, pemerintah memandang bahwa Pandemi Covid1-9 bukan merupakan bencana alam, melainkan bencana nonalam.
Ketentuan ini dapat ditemukan dalam Keputusan Presiden (KEPPRES) tentang Penetapan
Vol. 8 No. 1, Februari 2023
Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional. Secara yuridis, UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulan Bencana tegas membedakan antara bencana alam dan nonalam. Pasal 1 UU a quo menerangkan bahwa bencana alam disebabkan oleh peristiwa alam, misalnya banjir dan kekeringan.
Sedangkan bencana nonalam disebabkan oleh peristiwa nonalam, misalnya berupa gagal teknologi, wabah penyakit dan epidemi.
Artinya, Pandemi tidak tergolong sebagai bencana alam yang merupakan salah satu bentuk “keadaan tertentu” yang dimaksud. Selain itu, tindakan korupsi yang dilakukan oleh Juliari secara yuridis juga tidak berpautan dengan anggaran yang dialokasikan untuk penanggulangan keadaan bahaya (perang), penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Dengan begitu, meskipun hasil penyelidikan KPK nantinya menunjukkan bahwa Juliari terbukti melanggar ketentuan Pasal 2 Ayat (1) tentang korupsi kerugian keuangan negara, maka hukuman mati tidak dapat diberikan oleh hakim karena unsur “dalam keadaan tertentu” sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 2 Ayat (2) tidak terpenuhi.
Ketiga, Pasal 17 PERMA No.1/2020 menerangkan bahwa pelaku korupsi yang dituntut dengan Pasal 2 UU PTPK hanya dapat dipidana mati apabila memenuhi unsur kesalahan, dampak, dan keuntungan tinggi sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 8 PERMA No.1/2020. Artinya, sekalipun Juliari nantinya terbukti melanggar ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UU TKP, dan tindakan korupsi tersebut dilangsungkan dalam keadaan tertentu sesuai Pasal 2 Ayat (2) UU TPK, maka sanksi pidana mati tidak dapat diberlakukan oleh hakim sepanjang perbuatan korupsi yang dilakukan tidak memenuhi unsur kesalahan, dampak dan keuntungan tinggi sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 8 PERMA No.1/2020.
C. PENUTUP 1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis diatas, dapat disimpulkan bahwa pelaku tindak pidana korupsi hanya dapat di sanksi dengan hukuman mati apabila jenis korupsi dilakukan merujuk pada Pasal 2 Ayat (1) UU TPK, mengakomodir unsur “dalam keadaan tertentu”
Vol. 8 No. 1, Februari 2023
Pasal 2 Ayat (2) UU TPK dan memenuhi ketentuan aspek kesalahan, dampak, serta keuntungan tinggi dalam Pasal 8 PERMA No.1/2020. Berkaitan dengan kasus korupsi yang dilakukan oleh mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara, sekalipun hasil penyelidikan KPK nantinya menunjukkan bahwa Juliari terbukti melanggar ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UU TPK tentang korupsi kerugian keuangan negara, maka hukuman mati tidak dapat diberikan oleh hakim, karena unsur “dalam keadaan tertentu” yang merupakan prasyarat pelaku korupsi kerugian keuangan negara dapat disanksi dengan pidana mati sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 2 Ayat (2) UU TPK tidak terpenuhi.
2. Saran
Hemat penulis, salah satu alasan yang menyebabkan tingginya angka tindak pidana korupsi di Indonesia hingga saat ini disebabkan oleh kurangnya fungsi efek jera pemidanaan. Rumitnya penerapan sanksi pidana mati dalam konstruksi hukum UU TKP seringkali membawa angin segar bagi pelaku tindak pidana korupsi dan menghilangkan efek jera pemidanaan. Selain itu, pemberian sanksi pidana penjara juga tidak jarang bermasalah. Koruptor tidak jarang diberi jalan untuk mengurangi masa tahanan dengan hanya mengembalikan keuangan negara atau “uang rakyat” yang dikorupsi. Implikasinya, pelaku korupsi yang mayoritas datang dari keluarga berada memaknai korupsi sebagai suatu perbuatan yang biasa saja, karena masa hukuman bisa dibeli dengan harta.
Ke depan, perlu adanya reformulasi sanksi pidana mati yang tidak hanya terfokus Pasal 2 UU TPK saja, tetapi terhadap semua jenis korupsi yang dapat merugikan negara, salah satunya korupsi suap-menyuap yang merupakan jenis/modus korupsi terbanyak yang pernah terjadi di Indonesia (Antikorupsi, 2022). Dengan begitu, para pelaku korupsi tidak dapat membeli pengurangan sanksi pidana menggunakan harta mereka yang melimpah, sekaligus akan menimbulkan rasa keraguan kepada para penguasa lainnya untuk melakukan perbuatan/tindakan korupsi.
Vol. 8 No. 1, Februari 2023 DAFTAR PUSTAKA
Anjari, Warih. " Penerapan Pidana Mati Terhadap Terpidana Kasus Korupsi." Masalah- Masalah Hukum, 2020: 432-442.
Annur, Cindy Mutia. KPK Sudah Tangani 1.194 Kasus Korupsi, Mayoritas Penyuapan . Januari Senin, 2022. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/01/10/kpk- sudah-tangani-1194-kasus-korupsi-mayoritas-penyuapan (accessed Agustus Sabtu, 2022).
Antikorupsi, Pusat Edukasi. Modus Korupsi Yang Paling Populer di Indonesia. Juni Senin, 2022. https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20220606-modus- korupsi-yang-paling-populer-di-indonesia (accessed Agustus Selasa, 2022).
Chazawi, Adami. Hukum Pidana Korupsi di Indonesia . Depok: Rajawali Pers, 2018,.
Djamiati, Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri. Argumentasi Hukum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005.
Hakim, Rahmat Nur. Wamenkumham Sebut Edhy Prabowo dan Juliari Batubara Layak
Dituntut Hukuman Mati. Februari Rabu, 2021.
https://nasional.kompas.com/read/2021/02/17/01163791/wamenkumham-sebut- edhy-prabowo-dan-juliari-batubara-layak-dituntut-hukuman (accessed Agustus Senin, 2022).
Hamzah, Andi. Korupsi di Indonesia. Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 1991.
Hiariej, Eddy O.S. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka, 2016.
Internasional, Tranparency. Corruption Perceptions Index 2020. 2021.
https://images.transparencycdn.org/images/CPI2020_Map-globalindex.pdf (accessed Agustus Sabtu, 2022).
KPK. Buku Panduan untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi . Jakarta: Penerbit KPK, 2006.
Lubis, Todung Mulya. " Hukuman Mati Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi." Jurnal Hukum Dan Pembangunan, 2009: 255– 270.
Mahmudji, Soerjono Soekanto dan Sri. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Vol. 8 No. 1, Februari 2023
Nasional, Pusat Bahasa Departenen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Keempat). Jakarta: Penerbit Pusat Bahasa Departenen Pendidikan Nasional, 2008.
Ni'am, Syakirun. Masih Dalami Kerugian Negara di Kasus Bansos, KPK: Mudah- mudahan Akhir Tahun Ada Kejelasan. Agustus Juma'at, 2022.
https://nasional.kompas.com/read/2022/08/19/09531431/masih-dalami-
kerugian-negara-di-kasus-bansos-kpk-mudah-mudahan-akhir-tahun (accessed Agustus Senin, 2022).
Nurbani, Salim HS dan Erlies Septiana. Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014.
Shinta Agustina, dkk. Penjelasan Hukum Penafsiran Unsur Melawan Hukum dalam Pasal 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta Selatan: Penerbit Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), 2016.
Sopoyono, Hilmah dan Eko. "Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Berbasis Nilai Keadilan." Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 2019: 78-92.
Wahyuningsih, Koko Arianto Wardani dan Sri Endah. " Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia." Jurnal Hukum Khaira Ummah , 2017: 951-958.
Wijowasito, S. Kamus Umum Belanda Indonesia. Jakarta: Penerbit PT Ichtiar Baru, 1999.