• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menyoal Pengelolaan Keuangan Publik Dalam penanganan Pandemi Covid-19 di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Menyoal Pengelolaan Keuangan Publik Dalam penanganan Pandemi Covid-19 di Indonesia"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

MENYOAL PENGELOLAAN KEUANGAN PUBLIK DALAM PENANGANAN PANDEMI COVID-19 DI INDONESIA

Rusman Ghazali1*

1Program Studi Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik, FISIP Universitas Nasional Email : ghazali.rusman@gmail.com

*Korespondensi: ghazali.rusman@gmail.com

(Submission 07-08-2023, Revissions 04-09-2023, Accepted 05-09-2023).

Abstract

This research is a study on public finance in handling Covid-19 in Indonesia. The problem is that public financial management is not in harmony with the humanitarian threats faced by the people. The purpose of the study is to assess the allocation of state finances by the government in handling the Covid-19 pandemic. The theoretical approach refers to the concept of public finance managed by policy-making actors. This study uses a descriptive-qualitative method that relies on secondary data. The results of the study revealed that the allocation of state finances by the government in handling the Covid-19 pandemic does not give priority to the health sector directly, but instead is allocated to the economic recovery sector, although it is recognized that the Covid-19 pandemic causes complexity of public problems in other economic and socio-cultural fields, and has implications for various forms of corrupt practices. Despite the government's limitations in overcoming the complexity of the problem of handling the Covid-19 pandemic, the government still benefits from the socio- cultural capital of the Indonesian people to help each other deal with the Covid-19 pandemic. The conclusion is that public financial management for its allocation to the interests of the people is not guided by the principles of transparency and accountability, because the regulations made by actors in handling the Covid-19 pandemic actually overlap a lot.

Keywords: management issues; public finance; handling covid-19.

Abstrak

Penelitian ini adalah studi tentang keuangan publik dalam penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia.

Masalahnya, pengelolaan keuangan publik tidak selaras dengan ancaman kemanusiaan yang dihadapi. Tujuan studi, untuk menilai peruntukan keuangan negara oleh pemerintah dalam menangani Covid-19. Pendekatan teori mengacu pada konsep keuangan publik yang dikelola oleh aktor pembuat kebjakan. Kajian ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif yang bertumpu pada data sekunder. Hasil studi mengungkap, bahwa peruntukan keuangan negara oleh pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 tidak memberi prioritas pada sektor kesehatan secara langsung, namun justru lebih besar dialokasikan pada sektor pemulihan ekonomi, meskipun diakui bahwa pandemi Covid-19 menyebabkan timbulnya kompleksitas masalah publik pada bidang ekonomi dan sosial-budaya lainnya, dan berimplikasi pada berbagai bentuk praktik korupsi. Meskipun demikian, keterbatasan pemerintah mengatasi kompleksitas masalah penanganan pandemi Covid-19, pemerintah masih diuntungkan modal sosial-budaya masyarakat Indonesia untuk saling membantu menghadapi pandemi Covid-19.

Kesimpulan, bahwa pengelolaan keuangan publik untuk alokasinya pada kepentingan rakyat tidak dipandu asas transparansi dan akuntabilitas, karena regulasi yang dibuat para aktor dalam menangani pandemi Covid-19 justru banyak yang tumpang-tindih.

Kata Kunci: manajemen pengelolaan; keuangan publik; penanganan covid-19.

PENDAHULUAN

Dimensi kesehatan adalah pelayanan publik yang paling utama setelah ketersediaan pangan bagi setiap orang di semua negara. Layanan kesehatan seharusnya dikelola secara penuh oleh negara untuk memastikan akses layanan kesehatan seluruh warga negara setara. Namun kenyataannya layanan kesehatan tidak semua dapat dikelola dan dikendalikan melalui layanan negara sebagai konsekuensi keterbatasan sumber daya.

(2)

Peristiwa pandemi Corona Virus Disease 19 (Covid-19) yang dihadapi oleh semua negara di dunia telah menunjukkan bahwa hampir semua negara mempunyai keterbatasan kemampuan menanganinya. Kasus Covid-19 sekaligus menunjukkan sisi paling lemah dari layanan kesehatan bagi warga dunia di banyak negara, termasuk di Indonesia. Ini disebabkaan kontrol kekuatan kapitalis yang sangat dominan dalam penanganan pandemi Covid-19. Konsekuensinya, masyarakat di Indonesia dihadapkan pada ketidakpastian dalam proteksi kesehatan, yang pada saat yang sama, pemerintah juga dihadapkan pada ancaman krisis ekonomi. Terjadi kompleksitas penanganan Covid-19. Layanan kesehatan sebagai amanat konstitusi, seharusnya menjadi prioritas sebagai akar masalah. Namun dalam penanganan Covid-19, terutama dari segi peruntukan keuangan publik, justru tidak berbanding lurus dengan akar masalahnya, dan bahkan menimbulkan berbagai persoalan.

Harris (2020) menyatakan bahwa pengalaman di berbagai negara menunjukkan betapa layanan dan fasilitas kesehatan paling esensial yang bisa diakses publik secara luas, sangat jauh dari cukup, dan hanya kelompok kaya yang bisa mendapatkan akses terbaik. Pernyataan tersebut sejalan dengan keadaan penanganan Covid-19 di Indonesia. Mulanya, pemerintah tidak percaya pandemi Covid-19 akan merambah ke Indonesia. Akibatnya, pilihan kebijakan pemerintah dalam penanganan Covid-19 menjadi sorotan, dan menjadi awal mula sulitnya pengendalian Covid-19 dari segi politik anggaran negara (dana publik). Terutama terkait adanya norma kebijakan yang memungkinkan pengecualian tindakan pidana penggunaan uang negara dalam penanganan Covid-19. Konteks inilah yang disoal oleh publik sebagai kritik terhadap pilihan kebijakan para aktor negara. Selain itu, pada tingkat implementasi kebijakan juga menimbulkan kesenjangan (gap) antara kebutuhan perlindungan kesehatan masyarakat dengan alokasi keuangan untuk sektor lainnya.

Atas dasar pertimbangan akademik tersebut, studi ini fokus pada pengelolaan keuangan publik dalam penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia sebagai bagian dari studi kebijakan dalam ilmu administrasi publik. Kebijakan keuangan publik untuk alokasinya dalam penanganan pandemi Covid- 19 mesti dicermati sebagai pilihan politik penganggaran oleh para aktor. Hal inilah yang menjadi tinjauan dalam kajian artikel ini sebagai pokok bahasan yang sangat penting ditinjau secara ilmiah.

Covid-19 sebagai Masalah Publik

Dunn (2003) menjelaskan bahwa sesungguhnya masalah kebijakan dapat digolongkan dalam tiga (3) kategori, yakni: masalah yang sederhana (well structured), masalah yang agak sederhana (moderately structured), dan masalah yang rumit (ill structured). Kasus pandemi Covid-19 sebagai masalah kesehatan masuk dalam kategori ill structured, karena penanganannya melibatkan berbagai variabel sosial, ekonomi dan politik. Penanganan Covid-19 juga tidak dapat dilepaskan dari tuntunan konstitusional warga negara, di mana norma Pasal 28H UUD NRI Tahun 1945 mengamanahkan: (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan; (2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan; dan (3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.

Demikian juga dalam norma Pasal 34 ayat (3) menegaskan, bahwa: “negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.

Berdasarkan hal ini, maka permasalahan Covid-19 dan tuntunan hak konstitusional warga negara menuntut perlunya tanggungjawab pemerintah dalam penanganan Covid-19 yang mampu memberi perlidungan bagi masyarakat Indonesia. Namun persoalannya, berbagai perangkat kebijakan yang dibuat pemerintah justru banyak dimasalahkan oleh publik, terutama terkait dengan peruntukan keuangan publik untuk perlidungan kesehatan berserta pemenuhan kebutuhan sosial-ekonomi masyarakat.

METODE

Studi ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif. Ghazali (2018) menjelaskan, metode deskriptif-kualitatif menggunakan data yang telah ada dari berbagai sumber, termasuk hasil penelitian sebelumnya untuk membangun konstruk teoritik. Oleh karena itu, metode ini mengandalkan data sekunder yang telah dibentuk sebelumnya dari berbagai sumber, antara lain buku, jurnal, dokumen kebijakan (perangkat perundang-undangan), dan media-media online.

(3)

Pendekatan Konseptual

 Konsep Keuangan Publik

Isu-isu penting dalam keuangan publik bukan hanya persoalan keuangan dari segi jumlah kuantitatif, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu alokasi untuk kepentingan publik. Oleh karena itu, kajian keuangan publik akan selalu berpijak pada analisis positif dan normatif. Analisis positif berdasar pada isu tentang sebab dan akibat keuangan negara dialokasikan dan digunakan.

Selanjutnya, analisis isu-isu etika dalam perolehan dan penggunaan keuangan publik secara normatif menerangkan tentang kelayakan keuangan negara tersebut diperoleh dan digunakan.

Beranjak dari konstruksi konseptual ini, maka keuangan publik tidak hanya menggambarkan kegiatan pemerintah untuk memperoleh sumber-sumber dana, tetapi juga bagaimana utilitasnya untuk kepentingan hajat hidup orang banyak.

Aronson (1985) menjelaskan bahwa ruang lingkup keuangan publik mencakup aspek ekonomi, penyelenggaraan pemerintahan dan politik, dan terkait dengan aktor pembuat keputusan mengenai isu tertentu serta mereka yang akan dipengaruhi oleh keputusan politik dan ekonomi.

Karena itu pula, keuangan publik dalam konteks bernegara dideskripsikan sebagai segala aktivitas pemerintah dalam mencari sumber-sumber pendapatan untuk memperoleh dana, kemudian dana- dana tersebut digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan negara yang dijalankan oleh pemerintah dengan segala otoritasnya.

Rosen & Ted Gayer (2008) menekankan perlunya upaya rasionalisasi peran negara dalam kehidupan ekonomi untuk memodifikasi distribusi pendapatan yang dihasilkan sesuai dengan norma-norma umum dan keadilan distributif. Sejalan dengan hal itu, Salanie (2010), Glazer &

Rothenberg (2011) menekankan perlunya fungsi kesejahteraan sosial untuk dimaksimalkan oleh otoritas publik. Itulah sebabnya, penggunaan keuangan publik harus lebih efektif dari waktu ke waktu.

Musgrave & Alan Peacock (2008) sejak tahun 1950-an menunjukkan suatu kepercayaan pada kepentingan maksimalisasi kesejahteraan sosial melalui keuangan publik. Oleh karena itu, pengembangan pendekatan kesejahteraan sosial menjadi bagian terbesar pada kajian keuangan publik, terutama dimulai dari kontribusi perpajakan yang telah dikaji oleh Samuelson (2004), Pigau (2011), Edgeworth (2007), dan Ramsey (2007 untuk sebesar-besarnya ditujukan bagi kepentingan publik. Pengadaan barang-barang publik sebagai bagian dari penerapan fungsi kesejahteraan sosial dalam ekonomi publik tidak dapat dilepaskan dari penggunaan keuangan publik. Oleh karena itu, Batin (2022) menjelaskan, keuangan publik merupakan aktivitas finansial pemerintah. Dalam hal ini adalah cara pemerintah memengaruhi alokasi sumber daya yang ada dan distribusi pendapatan di masyarakat melalui kebijakan.

Berpijak pada pendekatan konsepsional di atas, maka keuangan publik meliputi berbagai dimensi. Pertama, penerimaan negara, yaitu sumber-sumber pendapatan diperoleh melalui tata kelola yang produktif secara ekonomi, secara sosial berkeadilan, dan secara politik berbasis aspiratif. Kedua, pengeluaran negara, yaitu asas dalam mengembangkan sistem ekonomi yang berdasarkan skema kepentingan publik dan kapasitas negara, selanjutnya secara politik-sosial proporsional dan adil. Ketiga, administrasi negara, yaitu terkait dengan penerimaan dan pengeluaran negara berdasar pada sistem transparansi dan akuntablitas. Keempat, isu dan masalah yang urgen, yaitu pilihan kebijakan linier dengan akurasi kebutuhan masyarakat.

 Regulasi Keuangan Publik di Indonesia

Sistem pengelolaan keuangan publik di Indonesia secara faktual cukup progresif dalam kerangka penggunaan keuangan negara dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Ada Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, dan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang mengatur agenda pembangunan. Semua merupakan instrumen kebijakan yang menjadi dasar penggunaan dana publik, sekaligus merupakan instrumen kontrol dan evaluasi penggunaan dana negara.

Terdapat tiga alasan pokok yang dapat menjelaskan kesulitan dalam pelaksanaan anggaran yang efisien, yaitu: (a) lemahnya penyiapan anggaran; (b) pelaksanaan anggaran yang kaku; dan

(4)

(c) hambatan implementasi (Soetrisno 2011). Menjelaskan lebih jauh mengenai hal tersebut, terutama dalam konteks penyusunan anggaran, seringkali tidak teralokasi secara proporsional sehingga jauh dari aspek keadilan bagi masyarakat. Demikian pula pada tingkat hambatan implementasi penggunaan dana publik, seringkali mengalami beragam bentuk manipulasi, baik dalam pelaksanaan pembangunan maupun dalam hal pembiayaan rutin bagi aparat penyelenggaraan negara. Suparmoko (2023) menyatakan bahwa beberapa indikator utama tentang kinerja anggaran pemerintah belum mengalami perbaikan, terutama mengenai indikator realisasi anggaran. Realisasi pengeluaran pemerintah pusat selalu menyimpang dari rencana awal.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mencakup berbagai hal yang memungkinkan tata kelola pengelolaan keuangan publik memenuhi unsur transparansi dan akuntabilitas. Soediyono (2005) menjelaskan bahwa pokok-pokok reformasi penganggaran yang terpenting adalah penerapan pendekatan dengan perspektif jangka menengah, mengintegrasikan anggaran rutin dan anggaran pembangunan, dan penerapan anggaran berbasis kinerja.

Lebih jauh dapat dinyatakan, bahwa tata kelola keuangan negara di Indonesia sekarang ini telah mengacu pada sistem penganggaran unified budget sebagaimana juga dalam praktik yang berlaku secara internasional. Dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dinyatakan, bahwa “Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”. Oleh karena itu, pengelolaan anggaran sangat penting untuk mencapai tujuan bernegara.

PEMBAHASAN

Peruntukan Keuangan Penanganan Pandemi Covid-19

Secara konsepsional, alokasi anggaran dalam konteks pembuatan kebijakan selama ini seringkali mengabaikan nilai publik (public values) sebagai variabel utama penetapan kebijakan.

Dalam konteks ini, rakyat mengharapkan aktor kebijakan sebagai pihak yang tepat secara moral dalam merancang, memformulasi, dan menetapkan kebijakan berdasarkan kepentingan publik sebagai nilai utama kebijakan. Itulah sebabnya, keputusan kebijakan harus mencerminkan kepentingan sosial ekonomi masyarakat, termasuk dalam penanganan pendemi Covid-19. Pertanyaannya, sejauhmana pemerintah menghadirkan kebijakan untuk melayani kepentingan masyarakat dalam penanganan Covid-19 di Indonesia?

Selama penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia, kebijakan anggaran pemerintah Indonesia senantiasa mengalami perubahan sesuai situasinya. APBN 2020 mengalami dua kali perubahan. Hal ini menunjukkan alokasi peruntukan keuangan tidak pada realitas masalah utama yang dihadapi masyarakat, yaitu ancaman kesehatan dan layanan bantuan sosial ekonomi masyarakat yang mengalamai degradasi yang sangat akut.

Perubahan menonjol terjadi pada postur pendapatan, belanja, dan pembiayaan negara.

Terdapat pelebaran defisit anggaran yang sangat signifikan, dari minus Rp307,22 triliun (1,76%) menjadi minus Rp1.039,21 triliun (6,34%) terhadap PDB. Konsekuensinya, pemerintah harus menutup defisit anggaran, termasuk untuk pembiayaan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang mengalami pembengkakan hingga 58% dari rencana semula (Bilbina, 2023). Perubahan-perubahan tersebut tidak melalui pembahasan antara lembaga eksekutif dengan lembaga legislatif atas nama keadaan darurat, yakni pandemi Covid-19. Karena itu dapat dikatakan, bahwa selama Covid-19, proses penetapan dan perubahan APBN relatif tanpa pembahasan DPR RI.

Efektivitas APBN sebagai sumber keuangan publik dalam penanganan masalah Covid-19 sebenarnya dapat dilakukan tanpa pelebaran defisit anggaran. Caranya, bisa dengan menerapkan dua pendekatan, yaitu: Pertama, melakukan penelusuran pada pos penganggaran yang masih tidak optimal sebagai sumber pembiayaan, baik dari sektor perpajakan maupun dari sisi penerimaan negara bukan pajak sebagai sumber pembiayaan Covid-19. Kedua, pelacakan potensi keuangan untuk pembiayaaan Covid-19 melalui penghentian penyertaaan modal negara yang tidak potensial, sisa anggaran tahunan, dan efisiensi besar-besaran di semua lembaga negara. Dua pendekatan tersebut terbaca tidak dimaksimalkan dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya penanganan Covid-19, sehingga terlihat lebih banyak mengambil jalan pintas melalui peningkatan utang negara.

(5)

Meskipun demikian, di masa pandemi Covid-19, diakui bahwa pemerintah di pusat dan daerah memang melakukan apa yang disebut refocusing anggaran. Namun di lain sisi, pembangunan infrastruktur yang banyak menelan dana yang bersumber dari APBN tetap dijalankan pemerintah.

Akibat keadaan itu, publik kemudian menilai para aktor kebijakan kurang sensitif dengan kepentingan utama masyarakat, yaitu menjamin layanan kesehatan yang berkualitas dan pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat melalui bantuan sosial.

Dalam pengamatan penulis, pembuatan kebijakan oleh pemerintah dalam penanganan Covid- 19 terjebak pada hal-hal yang seringkali terjadi dalam proses pembuatan kebijakan, yaitu: Pertama, simplikasi masalah publik, dalam hal ini para aktor pembuat keputusan cenderung menyederhanakan masalah. Aktor kebijakan relatif hanya mengamati gejala masalah yang tampak tanpa kajian cermat terhadap keterkaitan sebab dan akibat timbulnya masalah serta konsekuensi dari pilihan kebijakan dalam konteks negara konstitusional.

Kedua, keputusan kebijakan tidak dibuat berdasarkan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation). Akibatnya, keputusan kebijakan gagal menghasilkan kebijakan yang adil.

Dalam hal ini proses formulasi dan penetapan kebijakan oleh para aktor tidak jujur, karena tidak didasarkan pada situasi sosial yang baru. Ketiga, rendahnya kapasitas kognitif para aktor kebijakan dalam hal analisis untuk membuat konstruksi berpikir konseptual, atau ada kecenderungan bahwa para aktor pembuat kebijakan hanya memenuhi kebutuhan temporer tanpa mengantisipasi kepentingan dan eksistensi masa depan negara yang lebih esensial.

Relevan dengan masalah tersebut, proses pembuatan kebijakan dalam penanganan Covid-19 juga terjebak pada masalah lain. Akibatnya, pengelolaan keuangan negara untuk alokasi kepentingan publik di masa pandemi Covid-19 banyak yang salah sasaran, bahkan menjadi sumber manipulasi dalam beragam bentuk kasus korupsi. Diantara berbagai kasus manipulasi keuangan publik yang paling disorot terkonfirmasi dari korupsi adalah kasus yang melibatkan Menteri Sosial Republik Indonesia dalam penyaluran bantuan sosial negara. Terkait dengan hal ini secara ringkas kasus tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut:

Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Program Bantuan Sosial (Bansos) di Kemensos menerima hadiah dari para vendor Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (PBJ) Bansos di Kemensos dalam penanganan pandemi Covid-19. KPK menetapkan empat tersangka dalam kasus ini, yaitu JB (Mensos), MJS, AW, ketiganya adalah penerima, dan sebagai pemberi adalah AIM dan HS. Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi, pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama, mereka telah menerima fee Rp12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh MJS kepada JB melalui AW dengan nilai sekitar Rp 8,2 miliar. Pemberian uang tersebut, selanjutnya dikelola oleh Eko dan orang kepercayaan JB bernama Shelvy untuk digunakan membayar berbagai keperluan pribadi JB.

Untuk periode kedua pelaksanaan paket bansos sembako, terkumpul fee dari Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sejumlah sekitar Rp 8,8 miliar yang dimaksudkan digunakan untuk keperluan JB (Medcom.id).

Kasus yang dideskripsikan di atas pada akhirnya memang terbukti di pengadilan dan terdakwanya dipidana akibat manipulasi dana negara dalam penanganan pandemi Covid-19. Selain kasus tersebut, manipulasi bansos juga banyak terjadi di daerah, beragam bentuk penyelewengan keuangan negara dalam pengadaan fasilitas kesehatan, termasuk dalam konteks ini dapat dikonfirmasi dari pembiyaan Polymerase Chain Reaction (PCR) yang sangat membebani kehidupan masyarakat di masa pandemi Covid-19. Dalam kaitan itu juga termasuk pengadaan vaksin bagi masyarakat yang dilakukan tanpa transparansi. Semua kasus tersebut menunjukkan lemahnya pengelolaan keuangan publik.

Indonesia Corruption Watch (ICW, 2021) mengungkap empat (4) kasus manipulasi penyalagunaan anggaran pandemi Covid-19 sepanjang Semester I tahun 2021. Empat kasus itu ditangani Polri, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pertama, kasus pengadaan 15 ribu masker di Provinsi Banten yang merugikan negara Rp1,6 miliar. Kedua, kasus pengadaan alat darurat kesehatan yang melibatkan mantan Bupati Kabupaten Bandung Barat AA Umbara. Ketiga, kasus pemotongan dana bantuan sosial di Kabupaten Bogor. Keempat, kasus pemotongan bantuan

(6)

langsung tunai (BLT) di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, dan kasus-kasus lainnya. Semua membuktikan bahwa pengelolaan anggaran negara mengabaikan kaidah-kaidah administrasi dan manajemen keuangan publik.

Selama penanganan Covid-19, penggunaan anggaran negara didominasi keputusan lembaga eksekutif (pemerintah), lembaga legislatif relatif kurang terlibat. Di level pemerintah pusat, DPR RI hanya memberi pengesahan tanpa pembahasan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Konsekuensinya, tidak ada dialog alokasi anggaran yang intensif untuk proporsi yang bersesuaian dengan kepentingan rakyat.

Bahkan, Hasan (2021) menyatakan bahwa otoritas lembaga legislatif di hadapan pemerintah amat lemah, sehingga publik menganggap DPR RI hanya sebagai pemberi stempel saja. Padahal, kebijakan itulah yang kemudian menjadi dasar hukum secara nasional dalam penggunaan keuangan publik bagi pemerintah dalam menangani Covid-19, termasuk semua pemerintah di daerah. Meskipun diakui, bahwa dalam manajemen kedaruratan, sistem administrasi penggunaan anggaran negara memang perlu dipermudah untuk mempercepat penanganan masalah, namun tetap harus dengan kontrol yang ketat dan tidak melanggar perangkat perundang-undangan yang berlaku.

Regulasi penggunaan dana negara dalam penanganan pandemi Covid-19 yang bertumpu dari Perppu Nomor 1 Tahun 2020 memang secara regulatif disadari oleh berbagai pihak, bahwa kebijakan itu memberi “peluang manipulasi” penggunaan uang negara atas nama masalah pandemi Covid-19 yang dikecualikan dari pidana. Itulah sebabnya, pejabat atau para aktor yang menduduki posisi penting dalam sebuah lembaga pemerintahan merasa mempunyai “hak bebas” dalam menggunakan wewenang, terutama dalam menentukan kebijakan peruntukan anggaran untuk berbagai program penanganan Covid-19.

Bilbina (2023) menyatakan, bahwa kondisi itu memunculkan fenomena, bahwa makin besar kewenangan dalam penentuan pilihan politik kebijakan anggaran maka makin besar pula potensi penyalahgunaan kekuasan. Padahal kondisi pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia tidak boleh menjadi arena pembuatan kebijakan yang abai pada kaidah-kaidah manajemen keuangan publik yang akuntabel, sebagaimana yang telah diatur di dalam perangkat perundang-undangan mengenai pencegahan dan pemberantasan korupsi. Bagaimanapun, peristiwa penanganan pandemi Covid-19 tidaklah dalam kondisi yang genting dan mencekam, karena semua perangkat organisasi pemerintahan masih berfungsi dengan normal, baik di level pusat maupun di tingkat daerah. Meskipun memang diakui bahwa akibat pandemi Covid-19 aktivitas lembaga-lembaga pemerintahan dibatasi sedemikian rupa untuk mencegah penyebaran virus Covid-19.

Kebijakan dalam bentuk instrumen hukum telah dibentuk di Indonesia untuk mencegah dan memberantas tindak pidana penyalahgunaan uang negara (publik). Indonesia memiliki dasar hukum pemberantasan tindak pidana korupsi yang menjadi pedoman pencegahan dan penindakan, selain KUHP secara khusus juga ada UU Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Demikian pula, diantara berbagai regulasi untuk mencegah penggunaan keuangan negara tanpa tanggung jawab dan mencegah konflik kepentingan juga telah diatur dengan jelas dan tegas dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, dan undang-undang lainnya.

Jadi, penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia dalam kaitan manajemen keuangan publik dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu perspektif perilaku dan pola interaksi pembuatan kebijakan.

Dalam konteks perilaku, setiap aktor dapat melihat, menilai, dan meletakkan perlunya kebijakan alokasi anggaran penanganan pandemi Covid-19 yang cukup untuk layanan rakyat. Sementara perspektif pola interaksi, meliputi kapasitas aktor merespon aspirasi rakyat untuk dimasukkan dalam kebijakan peruntukan anggaran publik sangat terbatas.

Karena itulah, dari segi skema alokasi anggaran penanganan Covid-19 sebagai akar masalah kesehatan publik, pendanaannya tidak maksimal untuk sebesar-besarnya kepentingan layanan bagi rakyat, karena pembiayaan sektor pemulihan ekonomi jauh melampaui sektor kesehatan di tahap awal alokasi penanganan pandemi Covid-19. Terkait hal ini dapat dilihat dari data pada Tabel 1.

(7)

Tabel 1. Peruntukan Keuangan Publik dalam Penanganan Pandemi COVID-19 oleh Pemerintah, Maret 2020.

No Alokasi Anggaran Jumlah

1 Bidang Kesehatan:

a. Pembelian Alat Kesehatan b. Perlindungan Tenaga Kesehatan

c. Peningkatan Kapasitas Rumah Sakit Rujukan

Rp.75 Triliun

2 Perlindungan

a. 10 Juta Penerima PKH

b. 20 Juta Penerima Kartu Sembako c. 5.6 Juta Penerima Kartu Prakerja d. Insentif Cicilan KPR

e. Diskon Tarif Listrik Bersubsidi

Rp.110 Triliun

3 Program Pemulihan Ekonomi a. Restrukturisasi Kredit

b. Penjaminan dan Pembiayaan Dunia Usaha, khususnya UMKM

Rp.150 Triliun

4 Insentif Perpajakan dan Stimulus KUR

a. Insentif PPh 21 (Penghasilan 200 Juta/Tahun maksimal) b. Pembebasan PPh Impor

c. Restitusi PPN Dipercepat d. Tarif PPh Badan turun ke 2.2%

e. Penundaan Pokok dan Bunga KUR 6 Bulan

Rp.70.1 Triliun

Sumber: Diolah dari data Bilbina (2023).

Merujuk data pada Tabel 1, dapat dibaca bahwa peruntukan keuangan publik untuk penanganan pandemi Covid-19 sejak awal memang mencerminkan rendahnya alokasi anggaran di bidang kesehatan. Jumlah dana yang dialokasikan untuk program pemulihan ekonomi dan insentif perpajakan jauh lebih besar yang dialokasikan secara langsung dibanding bidang kesehatan dan perlindungan sosial, yaitu: Rp. 220,1 Triliun berbanding Rp.185 Triliun. Hal yang sama juga dinyatakan Ghazali, TB Massa, dan Sity (2021), bahwa kebijakan penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia menunjukkan formulasi kebijakan yang mengutamakan penanganan ekonomi dibanding dengan layanan kesehatan masyarakat sebagai akar masalah.

Dalam konteks peruntukan keuangan publik seperti itu, tentu menimbulkan berbagai macam perspektif, karena sasaran peruntukan keuangan publik justru tidak memberi prioritas pada masalah utamanya, yaitu sektor layanan kesehatan dengan segala fasilitasnya. Skema pembiayaan terfragmentasi di semua sektor dengan atas nama penanganan pandemi Covid-19. Hal itu pula yang menimbulkan akuntabilitas penggunaan dana Covid-19 kurang transparan dan menjadi kontroversi, baik di level pemerintah pusat maupun di level pemerintah daerah.

Meskipun diakui bahwa persoalan pandemi Covid-19 adalah masalah yang kompleks (ill structured) karena terkait dengan berbagai variabel yang langsung mempengaruhi kehidupan publik di masa pandemi Covid-2019. Semua itu terjadi sebagai konsekuensi dari kebijakan pembatasan aktivitas dan interaksi publik dalam berbagai bentuknya. Terlebih lagi penggunaan anggaran negara dalam penanganan pandemi Covid-19 dapat dikecualikan dari aspek pidana sepanjang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, padahal di satu sisi betapa mudahnya para aktor mengubah regulasi untuk kepentingan kelompok, baik secara politik, ekonomi, keuangan maupun sosial. Hal inilah yang kurang diperhitungkan dalam alokasi penggunaan dana publik yang bersumber dari APBN dan APBD untuk penanganan pandemi Covid-19.

Jadi, selain terjadi kompleksitas alokasi keuangan publik yang tersebar di banyak lembaga pemerintahan, juga ada kerumitan regulasi atau dasar hukum untuk melakukan kontrol terkait dengan rendahnya akuntabilitas penggunaan dana dalam penanganan pandemi Covid-19. Akibatnya adalah, selain terjadi kerugian negara juga terjadi implikasi lanjutan karena pembiayaan keuangan negara bersumber dari utang negara yang meningkat tajam di masa Covid-19. Dalam kaitan ini, Ganie (2023)

(8)

menjelaskan, bahwa utang pemerintah di akhir tahun 2020 atau setahun pandemi berjalan mencapai Rp 6.074,56 triliun atau naik sebanyak Rp 1.295,96 triliun (27 persen) dibandingkan setahun sebelumnya.

Di sini kita tidak melihat ada pengelolaan keuangan publik yang transparan di masa Covid-19, padahal terjadi peningkatan anggaran untuk penanganan Covid-19 dan segala implikasinya sangat signifikan. Terutama yang terkait dengan layanan dasar negara untuk warga negara dalam pendidikan, karena pembiyaaan pendidikan tetap dengan skema normal, kecuali bantuan pemotongan biaya dengan presentasi kecil yang dilakukan oleh berbagai institusi lembaga pendidikan di perguruan tinggi.

Padahal, harapan dalam konteks masalah besar seperti peristiwa pandemi Covid-19 adalah negara hadir dengan pilihan kebijakan pengelolaan keuangan publik yang memang dapat melindungi kesehatan dan memenuhi kebutuhan dasar rakyat.

Berdasarkan analisis inilah, penulis menilai bahwa manajemen keuangan publik di masa pandemi tidak akuntabel, tugas dan fungsi aktor negara gagal dalam mendistribusikan keadilan melalui peruntukan keuangan negara kepada rakyat.

Kerangka Sosial Penanganan Pandemi COVID-19

Banyak hal yang dapat dipermasalahkan dari segi administrasi dan manajemen keuangan publik dalam penanganan pandemi Covid-19, baik dari aspek kebijakan yang tumpang tindih maupun banyaknya manipulasi keuangan negara dalam berbagai bentuk program penanganan pandemi Covid- 19. Demikian pula Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 dalam Rangka Percepatan Penanganan pandemi Covid-19 yang kemudian berganti nama menjadi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dengan skala level 1 – level 2 melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2021, khususnya di Wilayah Jawa dan Bali adalah suatu kondisi sosial ekonomi yang sangat membebani kehidupan masyarakat.

Pilihan-pilihan kebijakan pembatasan aktivitas sosial secara langsung mempengaruhi pergerakan ekonomi masyarakat Indonesia, yang akibatnya adalah kondisi ekonomi memburuk dan berimplikasi pada peningkatan angka pengangguran dan kemiskinan di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada September 2020 menyebutkan bahwa penduduk miskin sebesar 10,19 persen atau meningkat 0,97 persen poin dibanding September 2019. Karena itu, pada periode September 2020, jumlah penduduk miskin sebesar 27,55 juta orang, naik 2,76 juta warga Indonesia yang menjadi miskin dibandingkan September 2019.

Sejalan dengan konsekuensi masalah tersebut, terdapat kondisi yang sesungguhnya relatif menguntungkan bangsa Indonesia dari segi modal sosial-budaya masyarakat Indonesia, yaitu budaya

“gotong royong”. Hal itu dapat dilihat dan dicermati dalam praktik kehidupan masyarakat di berbagai wilayah Indonesia selama penanganan pandemi Covid-19. Dalam konteks itu, maka suatu kerangka sosial penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia dapat diadaptasi. Adapun skema yang bisa diajukan sebagai suatu kerangka sosial dalam penanganan Covid-19 di Indonesia, bisa dirumuskan sebagaimana alur pada gambar berikut ini:

Gambar 1. Skema Kerangka Sosial Penanganan Covid-19 di Indonesia

Sumber: Diadaptasi dari Kerangka Teori Keuntungan Sosial (Ghazali, 2021).

Pemerintah

Masalah Publik Community Iniciatives

Pilihan Kebijakan : Faktor Pendukung

Pilihan Masyarakat : Faktor Penentu

Teori Keuntungan Sosial

(9)

Di tengah keterbatasan pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 sebagai ancaman kemanusiaan, skema di atas menunjukan bahwa modal sosial-budaya masyarakat Indonesia ternyata telah bekerja dalam penanganan pandemi Covid-19. Skema tersebut didasarkan pada teori keuntungan sosial, yaitu di mana kelompok-kelompok masyarakat berpartisipasi aktif secara sukarela untuk memberikan bantuan sosial dan ekonomi untuk tujuan saling membantu dalam kondisi yang sangat sulit (Ghazali 2021). Keadaan tersebut mampu menopang keterbatasan negara dalam penanganan pandemi Covid-19, baik dari sisi ekonomi maupun dari aspek sosial. Inilah bentuk modal sosial masyarakat Indonesia yang berkali-kali terbukti setiap kali negara menghadapi kondisi bencana besar, seperti tsunami di Aceh, 26 Desember 2004, dan bencana-bencana lainnya di berbagai daerah.

Dengan demikian, penanganan Covid-19 di Indonesia bisa dibaca dalam dua kerangka pendekatan, yakni melalui kebijakan pemerintah dan juga modal sosial masyarakat Indonesia. Dua pendekatan tersebut secara nyata dapat membantu mengatasi berbagai keterbatasan negara dalam layanan kesehatan publik, dan sekaligus membantu keadaan sosial ekonomi masyarakat untuk tetap bertahan menghadapi ancaman kemanusiaan menuju kehidupan normal.

SIMPULAN

Dalam keadaan normal pun akan sulit menemukan produk kebijakan yang secara sempurna dapat memuaskan semua kepentingan warga negara (publik). Terlebih lagi dalam konteks menghadapi kompleksitas yang datang secara bersamaan. Deskripsi konseptual yang penulis jelaskan tersebut linier dengan keadaan ketika pandemi Covid-19 datang menyerang hampir semua negara di dunia, termasuk Indonesia. Meskipun demikian, tidak berarti disain kebijakan harus tunduk pada kerangka konseptual seperti itu, karena secara metodologis pula, keadaan keterbatasan ilmu dan pengetahuan aktor negara dalam membuat kebijakan akan menemukan bentuknya yang realistis pada pilihan model partisipasi rakyat dalam pembuatan kebijakan.

Pendekatan seperti itulah yang tidak tampak dalam pilihan-pilihan kebijakan pemerintah dalam membuat keputusan kebijakan penanganan pandemi Covid-19, terutama dalam kebijakan pengelolaan keuangan publik melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk alokasi prioritas anggaran bagi perlidungan masyarakat dari ancaman pandemi Covid-19. Pengelolalan dana keuangan publik selama penanganan pandemi Covid-19 kurang berbasis pada asas transpraransi dan akuntabilitas, yang akibatnya memunculkan berbagai manipulasi terjadi dalam berbagai bentuk atas nama penanganan pandemi Covid-19, seperti korupsi bantuan sosial, korupsi pengadaan fasilitas kesehatan, manipulasi pengadaan obat-obatan dan bantuan ekonomi lainnya.

Hal itu terjadi di level pemerintah pusat maupun tingkat lokal. Akibatnya menuai protes publik, baik yang dikemukan dalam narasi yang langsung mendeskripsikan keadaan yang timpang antara kondisi kebutuhaan masyarakat dengan peruntukan keuangan publik (negara) maupun dalam bentuk “bahasa satire” melalui berbagai media. Akurasi keuangan publik untuk alokasi anggaran di masa pandemi Covid-19 mencerminkan ketidaksesuaian antara akar masalah dengan peruntukan keuangannya yang langsung melindungi dan merawat kesehatan warga masyarakat.

Kompleksitasnya bertambah karena diperparah oleh pilihan kebijakan nasional yang justru menimbulkan ketidakpercayaan publik ketika Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19 memberi pengecualian, bahwa penggunaan keuangan negara dikecualikan dari tindakan pidana jika digunakan sesuai dengan perangkat perundang-undangan yang berlaku. Bahasa norma seperti itulah yang menimbulkan kontroversi, dibaca sebagai kerangka politik anggaran untuk kepentingan pragmatis yang abai pada kaidah-kaidah pengelolaan keuangan publik yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

Agustina S, Susanti (Editor). 2020. Partisipasi Publik Hadapi Covid-19. Jakarta: Harian Kompas.

Atmadja, Arifin P. Soeria. (2010). Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum: Teori, Praktik, dan Kritik. Jakarta: Rajawali.

(10)

Arsjad, N. D. (2012). Keuangan Negara. Jakarta: Intermedia.

Aronson, J. Richard. (1985). Public Finance. Penerbit: Mc Graw-Hill Book Company. Akses: http://

katalog.pustaka.unand.ac.id//index.php?p=show_detail&id=2933.

Badan Pusat Statistik (BPS). (2020). Ekonomi Indonesia pada 2019, Tumbuh 5,02 Persen. Jakarta:

Dokumen Badan Pusat Statistik, Indonesia.

Batin, Mail Hilian. (2022). Keuangan Publik. Jakarta: Prenada Media.

Bilbina, Arzeti. (2023). Politik Kebijakan Anggaran dalam Penanganan COVID-19 di Indonesia.

Jakarta: Disertasi, Sekolah Pascasarjana Universitas Nasional.

Dunn, William N. (2003). Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Edgeworth, F. Y. (2007). The Pure Theory of Taxation. VII, p. 13-14.

Ganie. (2023). https://www.kompas.id/baca/riset/2023/01/16/analisis-litbang-kompas -tiga-tahun- pandemi-dan-kenaikan-utang-pemerintah. Diakses 1 Agustus 2023.

Ghazali, Rusman. (2022). Kuliah tentang Materi Pokok Kajian Kebijakan Publik di Program Magister Ilmu Administrasi Publik Universitas Nasional Tahun 2022 - 2023. Jakarta: Universitas Nasional.

Ghazali, Rusman. TB Massa Djafat, Sity Daud. (2021). Policies and Social Adventages toward a New Normal: A Case Study of Handling The COVID-19 Pandemic in Indonesia. The International Journal of Organizational Diversity, Vol 21 Issue 1.

Ghazali, Rusman. (2020). Daya Tahan dan Risiko Sosial dari Tatanan Kehidupan Normal Baru.

Makalah dipresentasikan di Kantor Kepolisian Republik Indonesia. Jakarta: June 17, 2020.

Ghazali, Rusman. (2018). Kuliah tentang Materi Pokok Metodologi Penelitian Kualitatif di Program Magister Ilmu Administrasi Publik Universitas Nasional Tahun 2020 - 2023. Jakarta:

Universitas Nasional.

Ghazali, Rusman. (2012). “The Conflict of Regional Autonomy in Indonesia: A Comparative Studies.” Dissertation. Bangi: Malaysia National University.

Glazer, A & L. Rothenberg. (2011). Why Government Succeeds and Why It Fails . Cambridge MA:

Harvard University Press.

Harris, Freddy. (2020). Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kemenkum HAM tentang Protokol Kesehatan Dalam Beradaptasi Dengan Kebiasaan Baru. Jakarta: Dokumen Kebijakan, hal. 18.

Hasan, Misbah. (2021). Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA). Link:

https://www.neraca. co.id/article/142855/politik-anggaran-covid-19. Diakses 18 Juli 2023.

Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Musgrave, R., & Alan Peacock, A. (2008). Classic in the Theory of Public Finance . New York:

Macmillan.

(11)

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 dalam Rangka Percepatan Penanganan pandemi COVID- 19.

Pigau, A. (2011). A Study in Public Finance. London: Macmillan.

Ramsey, F. (2007). A Contribution to the Theory of Taxation. Economic Journal, Vol. 37, 47.

Rosen, Harvey S and Ted Gayer. (2008). Public Finance. New York: McGraw-Hill.

Salanie, Bernard. (2010). Microeconomics of Market Failure. Cambridge MA: MIT Press.

Samuelson, P. A. (2004). The Pure Theory of Public Expenditure. Review of Economics and Statistics , 36 , 387-389.

Soediyono. (2005). Ekonomi Makro Pengantar Analisis Pendapatan Nasional. Yogyakarta: Liberty.

Soetrisno, P. (2011). Dasar-Dasar Ilmu Keuangan Negara. Yogyakarta: FE-Universitas Gadjah Mada.

Suparmoko, M. (2003). Keuangan Negara: Dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: BPFE.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Internet:

https://www.medcom.id/nasional/hukum/yKXjWnDb-5-kasus-korupsi-anggaran-covid-19-terbongkar- pada-semester-i-2021. Diakses 8 Juli 2023.

Referensi

Dokumen terkait

Persoalan pengelolaan limbah padat bahan berbahaya dan beracun masih menjadi kendala sebagian besar rumah sakit terutama pada masa pandemi COVID-19. Di era

Situasi pandemi Covid-19 seperti ini, pembelajaran daring diatur melalui Surat Edaran Kemdikbud mengenai Pelaksanaan Pendidikan Dalam Masa Darurat Covid-19 terdapat

The PRAKARSA Refleksi Pembangunan Kesehatan di Indonesia dalam Situasi Pandemi Covid-19 Bagian Keempat: Pembelajaran Dari Penanganan Covid-19 di Sulawesi Barat. Oleh Muh Saleh,

Dalam Program Implementasi Kebijakan Penanganan Pandemi Covid-19 di Kota Sukabumi (Studi Kasus Pembatasan Sosial Berskala Besar), peneliti menanyakan bagaimana

Dalam kondisi extraordinary pandemi Covid-19, Pemerintah bersinergi dengan Bank Indonesia (BI) untuk mendukung pembiayaan penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.

Dalam penanganan pandemi Covid-19 Presiden mengambil kebijakan dengan menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, bahwa pelaksanaan tata kelola kolaboratif dalam penanganan pandemi covid-19 di Kota Padang belum

EVALUASI KEBIJAKAN PROGRAM BANTUAN PANGAN NON TUNAI DALAM PENANGANAN DAMPAK PANDEMI COVID-19.. Musamus Journal of Public Administration, 41,