Metode Pengumpulan Data: Sumber Data, Metode Pengumpulan Data, Wawancara, Metode Proyektif
Disusun Oleh Kelompok 5 : 3B D3 AKUNTANSI
1. Andi Muh. Saputra (36122031) 2. Andi Aziqah Sunniah T. E. (36122035) 3. Ade Fitra Maulina (36122036)
PROGRAM STUDI D3 AKUNTANSI JURUSAN AKUNTANSI
POLITEKNIK NEGRI UJUNG PANDANG
2024/2025
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan berkah dan karnia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul “Metode Pengumpulan Data: Sumber Data, Metode Pengumpulan Data, Wawancara, Metode Proyektif” dengan baik.
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Metodologi Penelitian. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang metode pengumpulan data: sumber data, metode pengumpulan data, wawancara, metode proyektif bagi para pembaca dan juga bagi penyusun.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini, semoga Allah SWT senantisa membalas dengan kebaikan yang berlipat ganda.
Dalam penyusunan makalah ini kami masih merasa belum sempurna. Oleh karena itu, kami memohon maaf apabila masih banyak kekurangan. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini. Kritik dan saran tersebut akan kami jadikan bahan evaluasi kedepannya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Makassar, 18 Oktober 2024 Kelompok 5
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL... i
KATA PENGANTAR...ii
DAFTAR ISI... iii
BAB I PENDAHULUAN...1
1.1. Latar Belakang...1
1.2. Rumusan Masalah...1
1.3. Tujuan... 2
2.1. Pengertian Kaidah Al-Qur’an dan Sunnah...3
BAB III...10
PENUTUP...10
3.1 Kesimpulan...10
DAFTAR PUSTAKA...11
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Sumber-sumber hukum islam adalah segala sesuatu yang melahirkan ketentuan hukum yang mengatur umat islam. Kaidah Al-Qur’an dan Sunnah merupakan dua pilar utama hukum islam yang mendasari setiap aspek kehidupan umat islam. Keduanya menjadi sumber hukum fundamental yang tidak hanya mengatur ibadah, namun jua muammarah, akhlak, dan berbagai aspek sosial lainnya. Dengan adanya kaidah ini, umat islam dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan esensi ajaran agama.
Akar dan buah pikir manusia tidak bisa mengubah isi kebenaran dari Al- Qur’an dan Hadist, sebaliknya kedua sumber hukum ini menjadi sumber kebenaran untuk mempertimbangkan daya pikir manusia. Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama, memberikan prinsip-prinsip dasar yang bersifat universal dan abadi. Ayat-ayatnya mencakup berbagai macam tema, mulai dari akidah hingga tata cara ibadah.
Hadist atau yang bisa disebut juga sunnah merupakan sumber ajaran islam yang kedua setelah Al-Qur’an, karena sunnah adalah ajaran yang disampaikan melalui perkataan dan perbuatan Rasul sebagai contoh yang teladan bagi manusia. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam mengenai kaidah Al-Qur’an dan Sunnah sangat penting untuk menjaga integritas ajaran islam di tengah dinamika kehidupan modern.
1.2.Rumusan Masalah
2.1 Apa pengertian kaidah Al-Qur’an dan Sunnah?
2.2 Apa saja macam-macam kaidah Al-Qur’an dan Sunnah?
1.3. Tujuan
3.1 Untuk mengetahui apa pengertian kaidah Al-Qur’an dan Sunnah
3.2 Untuk mengetahui apa saja macam macam kaidah Al-Qur’an dan Sunnah
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Kaidah Al-Qur’an dan Sunnah
Tafsir adalah bentuk kata benda dari kata fassara-yufassir-tafsiran, berasal dari kata “al-fassara” yang bermakna penjelasan, uraian, interpretasi, atau komentar. Kata ini terdapat hanya satu kali dalam Al-Qur’an.1 Secara Bahasa kata ini digunakan dalam makna membuka al-hissi (berhubungan dengan perasaan), dan membuka makna-makna yang masuk akal. Sedangkan menurut syara’ tafsir yaitu menjelaskan mengenai makna ayat tentang arti pentingnya, kisahnya, sebab diturunkannya ayat tersebut.2
Dari penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa menafsirkan ayat Al-Qur’an merupakan upaya membuka atau menunjukkan makna yang dapat menunjukkan maksud yang merupakan fakra dari suatu ayat. Sehingga maksud itu bisa diarealisasikan oleh setiap hamba-Nya dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan al-Sunnah secara bahasa berarti jalan, baik terpuji maupun tercela.3 Menurut ahli hadis, sunnah adalah apa yang ditinggalkan dari Nabi SAW berupa ucapan, perbuatan, taqrir, akhlak, atau sirah (peri kehidupan), baik sebelum ia diangkat menjadi Rasul atau sesudahnya.4 Sunnah menurut istilah fiqih merupakan apa yang ditetapkan dari Nabi SAW tanpa penerimaan wajib dan yang lainnya dari hukum yang lima (wajib, sunnah, mubah, makruh, haram), termasuk apa yang disebut dengan bid’ah.5
Ulama tafsir membahas Rasul dengan memandang beliau sebagai ahli tafsir yang memahami dan mempraktikkan seluruh Al-Qur’an dalam kehidupan beliau
1Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqiy, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz Al-Qur’an al-Karim, Jilid II, pdf.
519
2 Khalid Abdul Rahman al-‘Ak, Us}ūl al-Tafsir… h. 30.
3 Mustafa al-Siba’i, Al-Sunnah waMakānatihāfī al-Tasyri’ al-Islāmi, (Kairo:
Maktabah Dar al-‘Urubah, 1961), h. 59.
4 Ibid., h. 59.
5 Ibid., h. 60.
dengan cakupan bahasan yang luas, seluas yang tercakup di dalam Al-Qur’an. Selain kata sunnah, sering juga digunakan kata lain yang semakna yaitu “hadis”.
Menurut ahli hadis, hadis didefinisikan sebagai “segala ucapan Nabi SAW, perbuatan dan hal ihwalnya.” Yang dimaksud dengan “hal ihwal” adalah semua yang diriwayatkan dari Nabi SAW yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaannya.6 Adapun definisi lain dari ahli hadis yang menjelaskan definisi hadis lebih luas, yang melihat bahwa “hadis itu tidak hanya untuk marfu’, yaitu yang disandarkan kepada Nabi SAW, melainkan dapat juga yang mauquf, yaitu yang disandarkan kepada para sahabat atau yang maqtu’
yaitu yang disandarkan kepada tabi’in”.7
2.1 Macam-macam Kaidah Al-Qur’an dan Kaidah Sunnah - Macam-macam Kaidah Al-Qur’an
Kaidah al-qur’an dari fungsinya dapat dibagi menjadi dua yaitu:
a. Kaidah umum yang digunakan untuk memahami al-qur’an, misalnya sesuatu yang mufrod dimudlofkan maka befaidah umum, misal:
ثْدِّحَفَ كَبِّرَ ةِمَعْنِبِّ امَّاَوَ8 Maksudnya yaitu, segala nikmat Tuhanmu.
b. Kaidah yang digunakan untuk menilai pendapat, yaitu untuk mengetahui penafsiran mana yang lebih kuat, misal firman-Nya:
ىۗ بِّرْقُلْاَ ىفَ ةَدَّوَمَلْاَ لَّااَ اَ رْجْاَ هِيْلَعَ مْكُلَ(ـَٔسْاَ لَّآ لْقُ9
Syi’ah menafisrkan al-qurba dengan Ali, Fatimah, Hasan dan Husein. Ayat dalam asy-Syuraa merupakan surah makkiyah atas kesepakatan ahlu sunnah, bahkan aliflam, hammim itu makkiya, begitupun aliflam, tha sin.
Sebagaimana juga diketahui bahwa Ali menikahi Fatimah di Madinah setelah berlangsungnya perang Badar, kemudian Hasan dilahirkan di ketiga
6 Munzier Suparta, Ilmu Hadis, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 2 mengutip
Muhammad Mahfudz ibn Abdillah al-Timisi, Manhaj al-Nazar, ( Jeddah: al-Haramain, 1974), h. 8.
7 Ibid.,h. 3
hijriyah, sedangkan Husain di tahun keempat hijriyah. Maka ayat ini diturunkan sebelum lahirnya Hasan dan Husain selang beberapa tahun, maka tidak mungkin ditafsirkan ayat ini dengan kewajiban mencintai kerabat yang belum diketahui dan belum tercipra sesudahnya. Kaidah Syi’ah tidak kuat sesuai dengan kaidah tarjih yang artinya “Jika suatu penafsiran ditetapkan dengan tarikh turunnya ayat atau surat maka penafsiran lebih kuat karena sesuai dengan salah satu konsep tafsir”.10
Kaidah Al-Qur’an pada dasarnya dibagi menjadi tiga pokok, yaitu:
Pertama, Kaidah yang bersumber dari disiplin ilmu tertentu, misalnya ilmu bahasa dan ushul fiqih. Keragaman sumber menjadikan kaidah yang dimaksud dapat juga diterapkan dalam bidang ilmu yang berhubungan, misalnya dari segi bahasa tentang fungsi-fungsi huruf wawu dan perbedaannya dengan tsumma dan fa’.
Seorang mufassir itu harus bisa menghayati. Misalnya, mengapa Nabi Ibrahim as menjawab para malaikan yang berkunjung ke rumah beliau sambil mengucapkan “salaman” lalu beliau menjawabnya dengan “salamun
” (QS. Hud[11]:69) dengan menghayati perbedaan yang dikemukakan pakar-pajar bahasa antara lain ucapan malaikat salaman bernama jumlah fi’liyah sehingga ia dipahami sebagai bermakna “kami mengucapkan salam”. Kata salaman disini berkedudukan sebagai objek ucapan, sedang ucapan Nabi Ibrahim as berbentuk jumlah Ismiyyah sehingga maknanya adalah “keselamatan mantap dan terus menerus menyertai kalian.”
Demikian beliau menjawab sambutan damai dengan yang lebih baik.
Kedua, Kaidah yang khusus dibutuhkan oleh penafsir sebelum melangkah masuk kedalam penafsiran, yang antara lain bersumber dari pengamatan terhadap kesalahan-kesalahan sementara penafsir atau dari kesadaran perlunya mengikat diri agar tidak terjerumus dalam kesalahan.
10 Husein bin Ali bin Husein al-Harbi, Qawaid al-Tarjih ‘Inda al-Mufassirin,Riyadh:Dar alQasim, h.527
Misalnya kaidah yang berkaitan dengan penerapan metode Tahlili, Muaudhu’i, atau Muqaran. Demikian menyangkut sistematika penyusunan urutan uraian, misalnya kapan uraian Asbab an-Nuzul didahulukan atas hubungan ayat dan kapan sebaliknya. Bagaimana sikap terhadap sinonim dalam al-Qur’an, apakah maknanya sama atau berbeda, dan lain-lain.
Ketiga, Kaidah yang bersumber dari pengamatan terhadap al-Qur’an, yang bisa jadi ia tidak sejalan dengan kaidah-kaidah ilmu lain. Kaidah ini cukup banyak, misal penggunaan bentuk kata mudhari’ untuk suatu peristiwa yang lalu mengisyaratkan keindahan atau keburukan peristiwa itu.
Firman Allah yang menyinggung pembunuhan atas orang yahudi terhadap Nabi-Nabi dilukiskan dengan al-Qur’an dengan kata (نوَـَٔـَٔلَتقُي ءاـَٔـَٔيْبنِلْاَاَ) yaqtuluna al-Anbinya’ padahal pembunuhan itu telah berlalu sekian lama, sebaliknya firman Allah :
هِ3لَلْاَ نوَعْيابي امَنَّاَ كَنَّوَعْيابي نَيذِلْاَ ناَ11
Ayat ini melukiskan pembaiatan sahabat dilukiskan dalam bentuk masa kini, padahal ayat tersebut turun setelah pembaiatan itu. Ini guna mengisyaratkan betapa indah pembaiatan itu. Sebaliknya, bila bentuk Madhi digunakan untuk peristiwa yang belum terjadi, maka itu antara lain untuk menunjukkan kepastian terjadinya peristiwa itu. Sebagaimana firman Allah yang melukiskan kepastian datangnya kiamat menggunakan bentuk lampau.
نوَكُرْشْي امَعَ ىلَعْتَوَ :هِنِحَبسْ هُوَلَجِعْتسْتَ لَافَ هِ3لَلْاَ رْمَّاَ ?ىتَاَىۗ 12
Demikian juga kata kami yang menunjuk Allah Tuhan Yang Maha Esa.
Penggunaan kata tersebut disamping bertujuan menunjukkan keagunganNya, juga dapat berarti adanya keterlibatan makhluk dalam aktivitas yang ditunjuknya. Firman Allah:
نوَظُفِحَلْ :هِلْ انَّاَوَ رْكُذِلْاَ انِلْزَّنَّ نَحَنَّ انَّاَ13
11 QS Al-Fath: 10
sesungguhnya kami yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya kami benar-benar adalah pemeliharanya. Ini karena yang membawa turun al- Qur’an adalah malaikat Jibril atas perintah Allah dan yang memeliharanya bersama Allah antara lain umat islam. Sedangkan jika Allah menunjuk dirinya dengan kata aku, maka itu antara lain mengisyaratkan bahwa tidak ada selain-Nya yang boleh terlibat didalamnya, seperti firman-Nya:
CمْيْقُتسْDمَّ Cطٌاَرْصِ اَذِهٰ يْنَّوَدِّبعَاَ ناَوَىۗ 14
dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.
Bisa juga kata aku menunjukkan bahwa keterlibatan selainnya sedemikian sedikit/ kecil tidak berarti sehingga dinilai tidak ada, seperti dalam firman-Nya:
دِّيْحِوَ تُقُلَخَ نَمَّوَ يْنَّرَذَ
اۙ
Biarkanlah Aku(bertindak) terhadap orang yang Aku telah menciptakanya sendirian. 15
- Macam-macam Kaidah Sunnah
a. Hadits qauli (Sunnah dalam bentuk ucapan) ialah segala ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ada hubungannya dengan tasyri’, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
هِيْنِعْي لَّا امَّ هِكُرْتَ ءرْمَلْاَ مِلَاسْإِ نَسْحِ نَمَّ
“Di antara kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.”16
b. Hadits fi’li (Sunnah yang berupa perbuatan) ialah segala perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diberitakan oleh para Sahabatnya tentang wudhu’, shalat, haji, dan selainnya. Misalnya:
هِتيْحَلْ لْلَخَي ناكُ مْلَسْوَ هِيْلَعَ هِلَلْاَ ىلَصِ يْبنِلْاَ نأَ :نافِعَ نَبِّ نامَثْعَ نَعَ
14 QS Yasin: 61
15 QS Al-Muddassir: 11
16 HR. At-Tirmidzi (no. 2317), Ibnu Majah (no. 3976), Ibnu Hibban (Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban no. 229), hadits ini hasan.
“Dari ‘Utsman bin ‘Affan bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (apabila berwudhu’), beliau menyela-nyela jenggotnya”17
c. Hadits taqriri ialah segala perbuatan Sahabat yang diketahui oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau membiarkannya (sebagai tanda setuju) dan tidak mengingkarinya. Misalnya:
Sلْمَعَ ىجْرَأَبِّ يْنِثْدِّحِ !لُلَابِّ اي :حِبDصُّلْاَ ةَلَاصِ دِّنِعَ Sلُلَابلْ مْلَسْوَ هِيْلَعَ هِلَلْاَ ىلَصِ Dيْبنِلْاَ لُاقُ
لَامَعَ تُلَمَعَ امَّ :لُاقُ ،ةِنِجِلْاَ يْفَ يَّدِّي نَيْبِّ كَيْلَعْنَّ فَّدَّ تُعْمَسْ يْنَّإِفَ مِلَاسْلإِاَ يْفَ هِتلَمَعَ
امَّ رَوَهُDطُّلْاَ كَلْذِبِّ تُيْلَصِ لَّاإِ Sرَاهُنَّ وَأَ Sلْيْلْ نَمَّ Sةِعَاسْ يْفَ اَرَوَهُطُ رْهُطُّتَأَ مْلْ يْنَّأَ يَّدِّنِعَ ىجْرَأَ
يْلَصِأَ نأَ يْلْ بَتكُ.
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Bilal setelah selesai shalat Shubuh, ‘Wahai Bilal, kabarkanlah kepadaku sebaik-baik amalan yang telah engkau kerjakan dalam Islam, karena aku telah mendengar suara terompahmu di dekatku di Surga?’ Ia menjawab, ‘Sebaik-baik amal yang aku kerjakan ialah, bahwa setiap kali aku berwudhu’ siang atau malam mesti dengan wudhu’ itu aku shalat (sunnah) beberapa raka’at yang dapat aku laksanakan.”18
Atau kisah dua Sahabat yang melakukan safar, keduanya tidak menemukan air (untuk wudhu’) sedangkan waktu shalat sudah tiba, lalu keduanya bertayammum dan mengerjakan shalat, kemudian setelah selesai shalat mereka menemukan air sedang waktu shalat masih ada, maka salah seorang dari keduanya mengulangi wudhu’ dan shalatnya, kemudian keduanya mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian itu. Lalu beliau bersabda kepada Shahabat yang tidak mengulangi shalatnya, “Engkau telah berbuat sesuai dengan Sunnah.” Dan
17 HR. At-Tirmidzi (no. 31), Ibnu Majah (no. 430), Shahih Ibni Majah (no. 345), al-Hakim (I/149) dan al-
kepada yang lain (Sahabat yang mengulangi shalatnya), beliau bersabda,
“Engkau mendapatkan dua ganjaran.”19
19 HR. Abi Dawud (no. 338-339), an-Nasa-i (I/213) dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu. Lihat Shahih Sunan Abu Dawud (no. 366), cet. I/ Ghar-raas, th. 1423 H.
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan
Kaidah Al-Qur’an dan Sunnah merupakan dua pilar utama dalam hukum islam yang saling melengkapi dan memberikan pedoman bagi umat muslim dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Al-Qur’an sebagai kitab suci mengandung wahyu Allah yang memberikan petunjuk umum, sementara Sunnah berfungsi sebagai penjelas dan contoh nyata dari ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Dalam kaidah Al-Qur’an membantu dalam memahami makna ayat-ayat Al-Qur’an dengan benar, sedangkan kaidah Sunnah memberikan panduan tentang bagaimana ajaran Nabi Muhammad SAW diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
Ghazali, Dede Ahmad dan Heri Gunawan. Studi Islam Suatu Pengantar Dengan Pendekatan Interdisipliner, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015.
Yazid, Al-Ustadz. Pengertian As-Sunnah Menurut Syari’at. (online).
https://almanhaj.or.id/. Diakses pada 30 Oktober 2024.
Yusron, M. Agus. (2022). Memahami Tafsir dan Urgensinya. Jurnal ZAD Al- Mufassirin. Vol.4 No.1. Hal 61-81.