104
MODEL PEMBINAAN ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM SISTEM PEMASYARAKATAN
“Model for Children in Conflict With The Law in The Penal System”
Sabaruddin1, Fenty U. Puluhulawa2, Udin Hamim3
1Magister Hukum Program Pascasarjana Universitas Negeri Gorontalo, Gorontalo
2Prodi Magister Hukum Universitas Negeri Gorontalo, Gorontalo
2Prodi Magister Hukum Universitas Negeri Gorontalo, Gorontalo Korespondensi: [email protected]
Info Artikel Abstrak
Kata Kunci:
Pembinaan; Anak; LPKA.
Cara Mengutip (APA Citation Style):
Sabaruddin., Puluhulawa F.U., Hamim, Udin.
(2021). Model
Pembinaan Anak Yang Berkonflik Dengan Huku
Dalam Sistem
Pemasyarakatan.
Philosophia Law Review, 1 (2) : 104-125
Pembinaan Anak merupakan upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan Anak sehingga diharapkan terjadinya perubahan sikap dan perilaku Anak. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menjelaskan bahwa pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan keterampilan, professional serta kesehatan jasmani dan rohani Anak baik di dalam maupun di luar proses peradilan pidana Anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem, mekanisme dan prosedur pembinaan Anak, hambatan-hambatan dalam melaksanakan pembinaan Anak dan menganalisis model pembinaan yang ideal bagi Anak yang berkonfik dengan hukum dalam sistem pemasyarakatan. Jenis penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Hasil penelitian ini adalah bahwa sistem, mekanisme dan prosedur pembinaan Anak mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 serta Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 1999 yang terdiri dari 3 (tiga) tahap yaitu Pembinaan Tahap Awal, Pembinaan Tahap Lanjutan dan Pembinaan Tahap Akhir. Adapun hambatan dalam melaksanakan pembinaan yaitu kualitas sumber daya manusia, anggaran, sarana dan prasarana, kualitas Anak, peran keluarga dan masyarakat serta belum adanya standar khusus pembinaan Anak. Pembinaan yang ideal yakni melalui Model Sistem Pembinaan Terpadu Ramah Anak yaitu sistem pembinaan Anak yang dilakukan secara perorangan maupun secara kelompok sesuai dengan kebutuhan Anak dengan melibatkan secara langsung Petugas, Keluarga, Masyarakat dan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan aspek hukum, organisasi dan tatalaksana, SDM, anggaran, sarana dan prasarana, sosial budaya serta asas kepentingan terbaik bagi Anak.
105 1. Pendahuluan
Anak adalah aset berharga dari suatu bangsa dan negara yang harus dijaga dan dilindungi hak-haknya. Hal ini dikarenakan di tangan anak kemajuan suatu bangsa tersebut dapat ditentukan. Semakin modern suatu bangsa, seharusnya semakin besar perhatian dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi tumbuh kembang anak dalam rangka perlindungan anak. selain itu Anak merupakan tunas, potensi, serta generasi muda yang menjadi penerus cita-cita perjuangan bangsa yang berperan strategis serta memiliki ciri yang bersifat khusus yang berpengaruh terhadap eksistensi bangsa dan negara di masa mendatang.1 Peran strategis ini telah disadari oleh masyarakat Internasional untuk melahirkan sebuah konvensi yang intinya menekankan posisi anak
1 Ni Gusti Ayu Agung Novitaa Dhamayanti, dkk. (2019). Perlindungan hukum terhadap identitas anak sebagai korban tindak pidana di media elektronik. Fakultas Hukum Universitas Udayana. Hlm. 11
Article Info Abstract
Keywords:
Coaching; Child; LPKA.
How to cite (APA Citation Style):
Sabaruddin., Puluhulawa F.U., Hamim, Udin.
(2021). Model for Children in Conflict With The Law in The Penal System. Philosophia Law Review, 1 (2) : 104-125
Child Development is an effort to increase the knowledge and ability of the child so that it is expected that there will be changes in the attitude and behavior of the child. Law Number 11 of 2012 concerning the Juvenile Criminal Justice System explains that coaching is an activity to improve the quality, piety to God Almighty, intellectual, attitude and behavior, skills training, professional and physical and spiritual health of children both inside and outside juvenile criminal justice process. This study aims to determine the systems, mechanisms and procedures for fostering children, the obstacles in carrying out child development and to analyze the ideal coaching model for children in conflict with the law in the correctional system. This type of research uses normative legal research using a statutory and case approach. The results of this study are that the systems, mechanisms and procedures for child development refer to Law Number 12 of 1995 and Law Number 11 of 2012 and Government Regulation Number 31 of 1999 which consists of 3 (three) stages, namely Early Stage Development, Development Advanced Stage and Final Stage Coaching. The obstacles in implementing guidance are the quality of human resources, budget, facilities and infrastructure, quality of children, the role of families and communities and the absence of special standards for child development. The ideal coaching is through the Child Friendly Integrated Development System Model, which is a child coaching system that is carried out individually or in groups according to the needs of the child by directly involving officers, families, communities and local governments by paying attention to legal, organizational and management aspects, human resources, budget , facilities and infrastructure, socio-cultural as well as the principle of the best interests of the child.
106
sebagai makhluk manusia yang harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya.2
Perilaku menyimpang yang dilakukan anak disebabkan oleh beberapa faktor internal maupun eksternal dari si anak, di antaranya adalah perkembangan fisik dan jiwanya (emosinya) yang belum stabil, mudah tersinggung dan peka terhadap kritikan, serta karena disebabkan pengaruh lingkungan sosial dimana anak itu berada,3 dengan melakukan tindak pidana, maka anak tersebut akan mendapatkan hukuman akibat tindak pidana yang dilakukannya. Namun hal yang harus diingat bahwa pidana penjara bukanlah jalan keluar yang terbaik bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum.
Penjara justru sering kali membuat Anak semakin profesional dalam melakukan tindakan kejahatan.4 Berdasarkan data Anak yang berkonflik dengan hukum yang dibina di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Gorontalo untuk tahun 2018 sebanyak 16 (enam belas) orang, tahun 2019 sebanyak 25 (dua puluh lima) orang, tahun 2020 sebanyak 9 (sembilan) orang dan tahun 2021 sampai dengan bulan Juni sebanyak 7 (tujuh) orang. Sejak mulai beroperasi dari tahun 2018 sampai dengan bulan Juni tahun 2021 terdapat 5 (lima) orang kembali melakukan tindak pidana (Sumber:
Data Bagian Registrasi dan Klasifikasi Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Gorontalo, diambil pada tanggal 2 Juni 2021). Hal ini tentu sangat memprihatinkan mengingat anak-anak adalah generasi penerus bangsa yang diharapkan kelak akan menjadi pemimpin negeri ini. Oleh sebab itu perlindungan hukum terhadap anak-anak yang berkonflik dengan hukum harus menjadi perhatian serius bagi seluruh elemen bangsa terutama pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada anak-anak tersebut.
Berlakunya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan) dan UU SPPA telah menjadi dasar hukum dalam penanganan Anak yang berhadapan dengan hukum di jajaran pemasyarakatan. Pada prinsipnya sistem perlakuan dan pembinaan anak berdasarkan sistem pemasyarakatan merupakan proses perlakuan terintegrasi, berkesinambungan dan terus menerus sejak pra-ajudikasi, ajudikasi dan post adjudikasi bahkan sampai tahap pembimbingan setelah menjalani
2 Ruben Achmad. (2005). Upaya Penyelesaian Masalah Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Kota Palembang. Jurnal Simbur Cahaya. No. 27. Hlm 24.
3 Gatot Supramono. (2000). Hukum Acara Pengadilan Anak. Jakarta: Djambatan. Hlm. 4
4 M.Joni dan Zulchan Z. Tanamas. (1995). Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak. Bandung: Citra Aditya Bhakti. Hlm. 47
107
pidana.5 Substansi pembinaan dan pembimbingan serta pengawasan bagi Anak dalam sistem pemasyarakatan ditekankan pada perspektif edukatif dan rekreatif.6
Pembinaan bagi Anak merupakan upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan keampuan Anak, sehingga diharpkan terjadinya perubahan sikap dan perilaku Anak.
sebagaimana tertuang dalam penjelasan UU SPPA bahwa pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan keterampilan, professional serta kesehatan jasmani dan rohani Anak baik di dalam maupun di luar proses peradilan pidana Anak.
Dalam pelaksanaan pembinaan tetap mengedepankan asas Sistem Peradilan Pidana Anak yang meliputi perlindungan, keadilan, non diskriminasi, kepentingan terbaik Anak, penghargaan terhadap pendapat Anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak, pembinaan dan pembimbingan Anak, proporsional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir, dan penghindaran pembalasan.7 2. Rumusan masalah
Berdasarkan Latar belakang tersebut, dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana model pembinaan anak yang berkonflik dengan hukum dalam sistem pemasyarakatan?
2. Apa saja hambatan pelaksanaan pembinaan anak yang berkonflik dengan hukum dalam sistem pemasyarakatan?
3. Bagaimana model pembinaan yang ideal bagi anak yang berkonflik dengan hukum dalam sistem pemasyarakatan?
3. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian yuridis normatif (legal research). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan kasus (case uproach). Dimana isu permasalahan dikaji dan dianalisis melalui instrument peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan isu hukum yang hendak dipecahkan. Teknik pengumpulan bahan berdasarkan metode penelitian lapangan (field research) dan penelitian
5 Rafika Nur. (2017). Esistensi Lembaga Perlindungan Khusus Anak (LPKA) di Kota Gorontalo. Fakultas Hukum Universitas Ichsan, Gorontalo. Hlm. 18
6 Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak 2017
7 Maidin Gultom. (2014). Perlindungan Hukum Terhadap Anak. Bandung: Reflika Aditama. Hlm. 32
108
kepustakaaan (library research). Data dalam peneltian ini dianalisis secara deskriptif kualitatif yakni dengan menggunakan pendekatan kualitatif kualitatif yang memberikan gambaran yang jelas dan terperinci berdasarkan kenyataan yang ditemukan di lapangan melalui hasil wawancara yang kemudian ditarik suatu kesimpulan agar memberikan jawaban atas permasalahan yang dikemukakan untuk mendapatkan solusi dalam hal model pembinaan Anak yang berkonflik dengan hukum di LPKA.
4. Pembahasan
4.1 Model Pembinaan Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam Sistem Pemasyarakatan
Berlakunya UU SPPA sangat berpengaruh pada pembinaan Anak pada sistem pemasyarakatan. Satu perubahan yang mendasar adalah berubahnya jangka waktu proses pembinaan.
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan Pasal 17 ayat (2) menyebutkan bahwa tahapan pembinaan bagi Anak pidana terbagi atas 3 (tiga) tahap yaitu tahap awal, tahap lanjutan dan tahap akhir. Mekanisme dan pendekatan pembinaan yang dilaksanakan di LPKA diimplementasikan kedalam 3 (tiga) pola pembinaan sesuai dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor : M.HH-03.OT.02.02 Tahun 2014 tentang Pedoman Perlakuan Anak di BAPAS, LPAS dan LPKA yang diuraikan sebagai berikut :
a. Pembinaan Tahap Awal
Pembinaan tahap awal dimulai sejak Anak baru diterima di LPKA hingga 1/3 masa pidana atau batas waktu yang ditentukan berdasarkan hasil Litmas dari Bapas. Tahap pembinaan awal dimulai dengan proses registrasi yang terdiri dari kegiatan penerimaan, pendaftaran dan penempatan serta pengenalan lingkungan. Dalam proses pembinaan tahap awal ini dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :
1) Penelitian Kemasyarakatan
Penelitian Kemasyarakatan wajib dilakukan terhadap setiap anak.
Penelitian Kemasyarakatan di LPKA dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Bapas. Penelitian Kemasyarakatan merupakan proses pengumpulan data dan informasi yang di dalamnya mencakup juga hasil profiling dan assesmen yang dilakukan oleh assessor. Hasil Penelitian Kemasyarakatan adalah rekomendasi pembinaan atau perlakuan untuk Anak
109
selama di LPKA yang kemudian disampaikan kepada Kepala LPKA. Hasil Penelitian Kemasyarakatan juga disampaikan kepada Wali/pengasuh untuk dipelajari dalam rangka persiapan sidang TPP.
2) Assesment
Asesmen di LPKA dilakukan oleh assessor. Hasil assesmen berupa rekomendasi diserahkan kepada Kepala LPKA untuk disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen Litmas. Hasil assesmen juga disampaikan kepada Pengasuh Pemasyarakatan untuk dipelajari dalam rangka persiapan sidang TPP.
3) Perencanaan Program
a) Kepala LPKA wajib meminta Litmas kepada Pembimbing Kemasyarakatan melalui Kepala Bapas.
b) Berdasarkan hasil assesmen dan Litmas, Petugas LPKA dan Pembimbing Kemasyarakatan bersama-sama membuat perencanaan program yang kemudian disampaikan kepada Kepala LPKA untuk dibahas dalam sidang TPP.
c) Sidang TPP akan memutuskan berdasarkan rekomendasi Litmas mengenai hal-hal yang meliputi rencana klasifikasi, rencana penempatan, dan rencana program pembinaan yang akan diberikan kepada Anak.
d) Penyusunan rencana program harus memperhatikan prioritas kebutuhan Anak. Jika Anak berdasarkan hasil assesmen kebutuhan dan persetujuan direkomendasikan untuk mengikuti kegiatan pendidikan dan pembinaan keterampilan maka:
1) dapat diberikan kedua-duanya,
2) dipilih salah satunya berdasarkan prioritas Anak.
e) Anak wajib diupayakan dan dipastikan untuk mendapat program pendidikan dengan memperhatikan kesediaan dan kemampuan Anak untuk mengikuti program. Apabila Anak tidak memiliki minat pada program pendidikan maka Anak wajib diarahkan kepada program pembinaan kemandirian.
f) Perencanaan program di dalamnya harus meliputi tujuan yang akan dicapai, jenis program dan kegiatan, kebutuhan program yang sesuai dengan Anak dan waktu pelaksanaan program.
110
4) Sidang Tim Pengamatn Pemasyarakatan (Sidang TPP)
Salah satu tugas TPP di LPKA adalah memberi saran dan pertimbangan kepada Kepala LPKA mengenai bentuk dan program bagi Anak. Dalam melakukan tugas tersebut, TPP mempunyai fungsi untuk melakukan sidang TPP. Rekomendasi hasil perencanaan program yang sudah dibuat sebelumnya wajib dijadikan bahan pertimbangan oleh TPP untuk memutuskan program yang tepat bagi Anak.
5) Klasifikasi (Penempatan dan Intensivitas Pengawasan)
Untuk kepentingan pemberian program pembinaan selanjutnya, pada saat masa pengamatan dan pengenalan lingkungan telah mencapai 1 (satu) bulan, maka Anak wajib dipindahkan ke dalam kamarnya masing-masing.
Penempatan Anak sebagaimana dimaksud harus memperhatikan rekomendasi Litmas yang mencakup hasil assesment risiko dan kebutuhan, penggolongan usia, jenis kelamin, status penahanan, tindak pidana, lama penahanan, pengulangan tindak pidana dan kewarganegaraan.
6) Persiapan Pelaksanaan Program Pembinaan
Berdasarkan hasil keputusan sidang TPP yang telah disetujui oleh Kepala LPKA maka program pembinaan bagi Anak dilaksanakan. Hal yang perlu diperhatikan dalam persiapan pelaksanaan program pembinaan di LPKA adalah kesiapan anggaran, ketersediaan anak yang akan mengikuti program pembinaan, kesiapan petugas pemasyarakatan dan tenaga instruktur yang telah memenuhi kompetensi dan kualifikasi, tempat pelaksanaan pembinaan serta jadwal pelaksanaan program pembinaan.
7) Pelaksanaan Program Pembinaan
Pelaksanaan program pembinaan dapat diberikan kepada masing- masing anak sesuai dengan kebutuhan. Program Pembinaan Anak terdiri dari Pembinaan Kepribadian, Pembinaan Keterampilan dan Pendidikan a) Pembinaan Kepribadian terdiri dari kegiatan Pembinaan kerohanian,
kesadaran hukum, jasmani, kesadaran berbangsa dan bernegara, pembinaan karakter dan kegiatan lainnya.
b) Pembinaan Keterampilan terdiri dari kegiatan pembinaan pertanian, peternakan, pertukangan, kesenian dan Teknologi Informasi (IT), dan kegiatan lainnya.
111
c) Pendidikan anak yang diselenggarakan di LPKA terdiri dari Pendidikan Formal dan Non Formal. Pendidikan Formal terdiri dari pendidikan wajib belajar 9 tahun/ SD, SMP dan SMA, sedangkan Pendidikan Non Formal mencakup Kejar Paket A untuk tingkat SD, Paket B untuk tingkat SMP dan Paket C untuk tingkat SMA.
8) Pelaporan Hasil Program Pembinaan
Petugas LPKA wajib membuat laporan program pembinaan yang telah dilaksanakan. Laporan ini berisikan realisasi pelaksanaan program pembinaan berdasarkan fakta yang ada. Laporan tersebut disampaikan kepada Kepala LPKA dan ditembuskan kepada Pembimbing Kemasyarakatan untuk kepentingan program pembinaan.
9) Evaluasi Program Pembinaan
Petugas LPKA wajib melakukan monitoring dan evaluasi program pembinaan untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan program terhadap perkembangan perilaku Anak. Hasil monitoring dan evaluasi tersebut dimuat dalam laporan evaluasi pelaksanaan program. Laporan sebagaimana dimaksud merupakan kompilasi catatan pelaksanaan masing-masing program dan hasil evaluasinya yang dibuat oleh penanggungjawab setiap bulannya.
10) Pengawasan Program Pembinaan Anak.
Pengawasan program pembinaan dilakukan oleh Wali/pengasuh, pejabat atasan langsung di LPKA dan Pembimbing Kemasyarakatan.
b. Pembinaan Tahap Lanjutan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembinaan tahap lanjutan seperti : 1) Tahapan pembinaan lanjutan dihitung dari 1/3 sampai dengan 1/2 masa
pidana.
2) Penghitungan ½ masa pidana diberikan selama anak masih berusia di bawah 18 tahun.
3) Dalam hal belum mencapai 1/3 masa pidana namun berdasarkan hasil pengawasan PK dan penelitian kemasyarakatan anak sudah menunjukkan perubahan perilaku maka anak didik dapat diberikan asimilasi.
112
4) Pembinaan Tahap lanjutan dan Asimilasi dilakukan melalui kegiatan membaurkan anak dengan keluarga, masyarakat dan lingkungan lain di Luar LPKA.
5) Asimilasi terdiri dari asimilasi dalam dan asimilasi luar. Asimilasi dalam adalah program pembauran yang melibatkan masyarakat dari luar untuk melakukan kegiatan didalam LPKA. Asimilasi luar adalah membaurkan anak dengan melakukan kegiatan bersama masyarakat di Luar LPKA.
6) Jika asimilasi diberikan dalam bentuk pelatihan kerja, lamanya tidak boleh melebihi dari 3 jam per hari.
7) Proses pelaksanaan tahap pembinaan lanjutan, dimulai dengan melakukan Litmas, dan melakukan evaluasi pelaksanaan progam pembinaan tahap awal, selanjutnya menyusun perencanaan program lanjutan, menyusun pelaksanaan program lanjutan (jenis program yang diberikan dan dapat diberikan asimilasi) dan terakhir menyususn evaluasi untuk program lanjutan.
8) Mekanisme pelaksanaan litmas dan assesment, perencanaan program lanjutan, pelaksanaan program lanjutan dan evaluasi program lanjutan mengacu kepada pedoman penyusunan litmas dan assesment, perencanaan program, pelaksanaan program dan evaluasi program pada tahap pembinaan lanjutan dengan memperhatikan jenis dan bentuk serta tujuan program tahap akhir.
c. Pembinaan Tahap Akhir
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembinaan tahap akhir seperti :
1) Pembinaan Tahap akhir dihitung dari 1/2 sampai dengan bebas menjalani hukuman.
2) Pembinaan Tahap akhir dilakukan dengan menyerahkan Anak kepada Bapas.
3) Apabila Anak memenuhi persyaratan reintegrasi maka pembinaan lanjutan (pembimbingan) diserahkan ke Bapas, apabila Anak tidak memenuhi persyaratan reintegrasi maka pembinaan akhir dilakukan di LPKA.
4) Proses pelaksanaan tahap pembinaan akhir terdiri dari kegiatan Litmas, dengan melakukan reassesmen berdasarkan evaluasi tahap lanjutan, selanjutnya menyusun perencanaan program tahap akhir, menyusun pelaksanaan program tahap akhir (jenis program yang diberikan dan dapat
113
diberikan reintegrasi) dan terakhir menyusun evaluasi untuk program lanjutan.
5) Mekanisme pelaksanaan litmas dan assesmen, perencanaan program tahap pembinaan akhir, pelaksanaan program tahap pembinaan akhir dan evaluasi program tahap pembinaan akhir mengacu kepada rekomendasi litmas, perencanaan program, pelaksanaan program dan evaluasi program pada tahap pembinaan tahap akhir.
Tahapan pembinaan bagi Anak yang diimplementasikan dalam pola pembinaan yang diuraikan diatas dianalisa bahwa pembinaan Anak adalah serangkaian usaha yang disengaja dan terarah agar Anak Indonesia sejak lahir dapat berkembang menjadi orang dewasa yang mampu dan mau berkarya untuk mencapai dan memelihara tujuan pembangunan nasional. Pembinaan Anak dalam arti luas meliputi pemberian perlindungan, kesempatan, bimbingan, bantuan agar janin Indonesia berkembang menjadi orang dewasa Indonesia yang mau dan mampu berkarya yang tinggi mutu dan volumenya besar demi tercapainya tujuan bangsa Indonesia.
LPKA berperan dalam melaksanakan pembinaan bagi Anak yang memperlakukan Anak agar menjadi baik. Yang perlu dibina adalah pribadi Anak, membangkitkan rasa harga diri dan mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tentram dan sejahtera dalam masyarakat, sehingga potensial menjadi manusia yang pribadi dan bermoral tinggi.
Pelaksanaan program pembinaan di LPKA dapat diberikan kepada masing-masing Anak sesuai dengan kebutuhan. Program pembinaan Anak terdiri dari:
1. Pembinaan Kepribadian yang terdiri dari kegiatan pembinaan kerohanian, kesadran hukum, jasmani, kesadaran berbangsa dan bernegara dan kegiatan lainnya.
2. Pembinaan Keterampilan yang terdiri dari kegiatan pembinaan pertanian, peternakan, pertukangan, kesenian dan teknologi dan kegiatan lainnya.
3. Pendidikan Anak yang diselenggarakan di LPKA terdiri dari pendidikan formal dan non formal. Pendidikan formal terdiri dari pendidikan wajib belajar 9 tahun (SD, SMP dan SMA), sedangkan pendidikan non formal mencakup Paket A untuk tingkat SD, Paket B untuk tingkat SMP dan Paket C untuk tingkat SMA.
114
Pembinaan secara perorangan lebih ditunjukan khususnya bagi pemulihan sikap dan mental dari anak. Pembinaan ini sangat penting karena terdapat berbagai macam sifat dari anak didik yang tentunya membutuhkan suatu pembinaan yang berbeda terutama pembinaan yang di tunjukan untuk memperbaiki diri anak didik itu sendiri. Betuk dari pembinaan secara perorangan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pembinaan keagamaan
Pembinaan keagamaan dilaksanakan dengan tujuan agar Anak dapat menumbuhkan rasa keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Nilai-nilai keagamaan penting untuk menjadi benteng kehidupan dalam menghadapi pengaruh - pengaruh negatif yang muncul disekitaran mereka yang dikwatirkan akan mempengaruhi mereka untuk melakukan perbuatan melanggar hukum. Selain itu Anak dapat mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukan itu dosa atau tidak yang nantinya akan berdampak pada akibat hukum dari perbuatan yang telah dilakukannya serta dengan mendalami keimanan dan ketaqwaan diharapkan Anak dapat mengendalikan hawa nafsunya, menjalankan segala perintah dan menjauhi segala laranganNya.
b. Pembinaan kesadaran hukum.
Pembinaan kesadaran hukum terhadap anak dilaksanakan dengan memberikan cara penyuluhan hukum secara rutin agar anak tidak melanggar tata tertib selama menjalani pidana di LPKA. Memberikan pembinaan kepada Anak adanya harapan akan menumbuhkan sikap dan kesadaran hukum terhadap Anak. paling utama adalah Anak menyadari kesalahnnya. Harapan kedepannya tidak mengulangi lagi, dan dapat membedakan mana perbuatan yang dianggap salah dan perbuatan yang dianggap benar.8
c. Pembinaan pengintegrasi diri anak dengan masyarakat
Pembinaan dibidang ini merupakan pembinaan kehidupan sosial kemasyarakatan, yang tujuan pokonya adalah agar anak dapat diterima kembali oleh masyarakat lingkungannya sebagai mana anak yang tidak pernah melakukan tindak pidana. Untuk mencapai tujuan tersebut anak selama dibina
8 Fransiska Novita Eleanora dan Esther Masri. (2018). Pembinaan Khusus Anak Menurut Sistem Peradilan Pidana Anak. Jurnal Kajian Ilmiah Universitas Bhayangkara. Vol. 18. No 3. Hlm. 2
115
dan didik agar melaksanakan ibadah secara rutin dan serius. Selain itu, ada juga kegiatan-kegiatan pembelajaran kecakapan hidup (soft skill) sehingga dapat mengambangkan kemandirian. Hal ini diharapkan agar anak mempunyai keterampilan pekerjaan (hard skill) dan kecakapan hidup yang memadai agar dapat diterima oleh masyarakat, dan dapat berpartisipasi dalam pembangunan.
Sejalan dengan itu, memberikan pembinaan kepada Anak akan menumbuhkan sikap dan kesadaran hukum terhadap Anak. paling utama adalah Anak menyadari kesalahnnya. Harapan kedepannya tidak mengulangi lagi, dan dapat membedakan mana perbuatan yang dianggap salah dan perbuatan yang dianggap benar.
4.2 Hambatan Pelaksanaan Pembinaan Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam Sistem Pemasyarakatan
Berbicara tentang pembinaan terhadap Anak yang berkonflik dengan Hukumdalam sistem pemasyarakatan, tidak dipungkiri bahwa dalam pelaksanaan tugas dapat ditemukan beberapa hambatan-hambatan dalam memberikan pembinaan diantaranya seperti :
1. Hambatan di Bidang Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia dalam hal ini adalah Petugas LPKA secara kuantitas termasuk memadai jika dibandingkan dengan jumlah Anak yang ada, namun hal kualitas yang perlu menjadi perhatian. Kenyataan yang ada bahwa petugas yang ada di LPKA adalah petugas yang dimutasi dan promosi dari Lembaga Pemasyarakatan tidak memiliki keahlian khusus untuk menangani persoalan anak,9 serta petugas yang baru diangkat sebagai ASN dan tempat tugas pertama di LPKA.
Sistem selama ini yang dianut adalah bagaimana petugas yang lebih senior menjadi teladan dan model bagi petugas yang lebih muda untuk melaksanakan tugas. Petugas senior yang dipromosikan dan dimutasi dari Lembaga Pemasyarakatan yang membina narapidana dewasa sehingga penanganan dan perlakuan yang dianut adalah model pembinaan dewasa sehingga suasana dan perlakuan yang diberikan terhadap anak seperti berada
9 Setyobudi, M.T. (2012). Pembinaan Anak Pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tanggerang. Tesis.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Hal. 80
116
dalam penjara yang tidak sesuai dengan model pembinaan Anak di LPKA yang perlu penanganan dan perlakuan khsusus.
2. Hambatan di Bidang Anggaran
Anggaran pada DIPA khususnya untuk kegiatan pembinaan sangat minim dananya. Minimnya anggaran dapat berpengaruh pada proses pentahapan pembinaan. Kegiatan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta pengahiran kegiatan pembinaan menjadi tidak efektif jika tidak didukung oleh anggaran.
3. Hambatan di bidang Sarana dan Prasarana a. Kondisi bangunan
Penempatan Anak di LPKA tentunya akan sangat rentan secara psikologis, yang dibutuhkan oleh seorang Anak agar dapat mengikuti pembinaan dengan baik adalah kenyamanan. Saat ini banyak LPKA belum sepenuhnya dapat mengakomodir kebutuhan tersebut. Konsep utama Lapas yang berorientasi pada kebutuhan keamanan, mencegah agar Anak tidak melarikan diri berimbas pada bentuk dari bangunan LPKA itu sendiri.
Tembok pagar yang tinggi dan adanya jeruji/teralis di kamar hunian merupakan situasi yang rentan terhadap psikologis Anak sehingga rendahnya minat dan semangat Anak untuk mengikuti kegiatan pembinaan.
Meminimalisir atau bahkan menghilangkan kesan Lapas di LPKA sebagai rumah kurungan bagi pelaku tindak pidana adalah salah satu cara. Konsep bangunan yang lebih edukatif and fun dapat mempengaruhi psikologis Anak untuk memiliki semangat untuk mengikuti kegiatan pembinaan.
b. Sarana dan prasarana penunjang pelaksanaan pembinaan
Pada umumnya LPKA yang baru dibangun belum memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk menunjang kegiatan pembinaan. Sarana penunjang yang paling utama adalah ketiadaan ruangan belajar dan ruangan-ruangan pembinaan lainnya serta minimnya fasilitas yang ada.
Ketiadaan ruangan untuk kegiatan pembinaan menjadikan ruangan tertentu mempunyai fungsi ganda misalnya aula dan ruangan kantor dijadikan sebagai tempat untuk segala aktifitas kegiatan pembinaan. Disamping itu sarana pendukung seperti peralatan belajar, peralatan olahraga, peralatan
117
medis, peralatan pengembangan bakat dan minat dan peralatan lainnya juga sangat minim.
4. Anak yang Berkonflik dengan Hukum
Pelaksanaan program pembinaan dapat diberikan kepada masing-masing Anak sesuai dengan kebutuhan (Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak). Terlaksananya pembinaan yang efektif juga perlu memperhatikan kemampuan Anak itu sendiri baik dari sisi psikologis maupun intelektualnya. Karena pada kenyataannya tidak semua Anak yang berada di LPKA mempunyai kemampuan dan motivasi yang kuat untuk mengikuti program pembinaan hal ini tentunya menjadi penghambat. Selain itu kemampuan intelektual Anak yang tidak memungkinkan untuk disamakan dengan anak-anak lain pada umumnya karena kebanyakan Anak yang dibina di LPKA adalah Anak yang sudah lama tidak mengenyam pendidikan karena putus sekolah sejak lama. Disinilah diperlukan peran seorang Psikolog dam Konselor Anak yang dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan Anak itu untuk mendukung program pembinaan Anak selama menjalani pidana di LPKA.
5. Peran Keluarga dan Masyarakat
Anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan dan bimbingan serta pembinaan dalam pengembangan sikap perilaku penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua, wali atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya.10
Keluarga dan masyarakat juga sangat berperan dalam keberhasilan pembinaan terhadap Anak yang berkonflik dengan hukum di LPKA. Kerjasama antara keluarga dan masyarakat dengan LPKA perlu ditingkatkan karena kadang keluarga dan masyarakat kurang peduli. Adanya Anak yang jarang dibesuk oleh keluarganya bahkan ada yang tidak pernah dibesuk sama sekali sejak berada di LPKA dengan berbagai alasan baik masalah keluarga seperti perceraian maupun alasan ekonomi.
10 Gatot Supramono. Op.Cit. Hlm. 33
118
Selain itu sejak Anak selesai menjalani pidana dan keluar dari LPKA, itu bukan lagi tanggung jawab LKPA. Hal itu dapat mempengaruhi program pembinaan yang telah dilaksanakan karena Anak kembali bergaul di lingkungan masyarakat yang tidak kondusif, bertemu kembali dengan teman-teman pergaulan yang tidak mendukung perbaikan tingkah laku, ditambah keluarga kurang peduli dengan kondisi tersebut dengan segala alasan yang dapat membuat Anak terpengaruh dengan pergaulan negatif sehingga menyebabkan Anak kembali melakukan tindak pidana.
6. Standar Pembinaan Anak di LPKA
UU Pemasyarakatan dan lahirnya UU SPPA secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada Anak yang berhadapan dengan hukum termasuk didalamnya Anak yang berkonflik dengan hukum. Undang- undang ini lebih ramah Anak dan secara praktis merubah paradigma penanganan Anak yang berhadapan dengan hukum, dengan semangat memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak.
Perubahan paradigma ini sedikit banyak berpengaruh pada pelaksanaan perlakuan terhadap Anak dalam sistem Pemasyarakatan. Seperti diketahui bersama, ada beberapa perubahan yang cukup mendasar dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan terkait perubahan paradigma penanganan Anak yang berhadapan dengan hukum ini yakni lahirnya institusi baru dalam organisasi Pemasyarakatan yakni LPKA.
Dalam melaksanakan pembinaan di jajaran pemasyarakatan perlu didasarkan pada suatu asas yang merupakan pegangan/pedoman bagi para pembina antara lain asas pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat, kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.. Untuk mencapai tujuan tersebut, sistem pemasyarakatan berupaya melakukan perubahan kondisi terpidana melalui proses pembinaan dan pembimbingan serta perlindungan terhadap hak-hak narapidana.
Narapidana dewasa dengan narapidana anak harus dibedakan perlakuannya termasuk untuk anak yang berkonflik dengan hukum yang di sebut anak didik pemasyarakatan. Hal ini dilakukan untuk mengganti istilah
119
narapidana anak yang dirasakan menyinggung perasaan dan mensugestikan sesuatu yang tidak mengenakkan bagi anak. Dalam konteks anak didik pemasyarakatan, perlindungan dan pemenuhan hak anak melalui perlakuan khusus diperlukan dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak, di mana Anak adalah subyek dengan kebutuhan khusus dan berhak atas masa depan. Salah satu hak Anak yang harus dipenuhi adalah hak untuk mendapatkan pembinaan yang layak buat Anak.
Kenyataan dan kondisi yang ada di lapangan bahwa pelaksanaan pembinaan kepada Anak yang berkonflik dengan hukum perlakuan dan penangannya masih sering disamakan dengan narapidana dewasa. Hal ini disebabkan oleh belum adanya standar pembinaan khusus bagi Anak yang berkonflik dengan hukum di LPKA. Petugas kadang masih mencampur adukan antara UU Pemasyarakatan dengan UU SPPA.
4.3 Model Pembinaan yang Ideal bagi Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam Sistem Pemasyarakatan
Sesungguhnya pembinaan merupakan nafas utama dalam perlakuan negara terhadap narapidana. Adanya pembinaan menjadi wujud nyata bahwa negara hadir dalam memberdayakan warga bangsanya, tidak terkecuali mereka yang sedang menjalani pidana. Pembinaan juga menjadi satu indikasi bahwa negara masih menempatkan narapidana sebagai sumber daya bangsa yang mempunyaiYhak untuk mendapatkan perlakuan yang terbaik dan manusiawi. Pembinaan ini dilakukan untuk membangun perilaku taat hukum dan memberikan pilihan-pilihan positif bagi narapidana. Narapidana diberikan kesempatan yang luas dan terukur untuk berintegrasi dengan masyarakat. Integrasi ini sebagai upaya untuk membangun jalinan yang kuat dan positif antara narapidana dan masyarakat.
Pertalian yang kuat dengan masyarakat ini sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pembinaan narapidana karena dengan adanyaa ikatan yang kuat antara narapidana dengan masyarakat maka akan dapat menjadi tali kendali bagi mereka untuk tidak lagi melakukan tindak pidana. Oleh karena, pengembangan
120
pembinaan yang memberikan ruang luas dalam upaya pendekatan narapidana dengan masyarakat menjadi asfek yang sangat penting dalam pembinaan.11
Pembinaan atau yang disebut rebalilitation, bertujuan untuk mengubah tingkah laku atau kepribadian narapidana agar narapidana tersebut meninggalkan kebiasaan buruk yang bertentangan dengan norma-norma hukum serta norma- norma lainnya dan agar lebih cenderung untuk mematuhi norma-norma yang berlaku dimasyarakat. Dalam teori pembinaan ini lebih memberikan efek bagaimana cara merubah pola pikir dan tingkah laku pelanggar hukum agar tujuan daripada penghukuman tersebut tidak hanya sekedar penjeraan melainkan memberikan perubahan kepada pelanggar hukum sehingga diterima kembali di lingkungan masyarakat. Munculnya teori pembinaan ini merupakan suatu bentuk perubahan besar bagi sistem kepenjaraan di dunia karena pada teori ini lebih melihat pendekatan dalam aspek kemanusiaan.12
Gordon Bazamore dalam “Three Paradigm of Juvenile Justice”13 mengenalkan 3 (tiga) alternatif model yaitu Model Pembinaan pelaku perorangan (Individual Treatment Model), Model Retributif (Retributive Model) dan Model Restoratif (Restorative Model). Ketiganya mempunyai kelebihan dan kekurangan masing- masing. Untuk model pembinaan pelaku perorangan dan model retributif hanya memiliki dimensi tunggal dan pengendaliannya berorientasi pada individual anak selaku delinkuen, sehingga dalam hal ini kepentingan korban dan masyarakat menjadi tidak tersentuh. Anak diperlakukan sebagai orang yang sakit yang harus didiagnosa sakitnya. Atas dasar temuan penyebab penyakitnya maka ditentukan terapi yang sesuai untuk mengobatinya di mana terapi ini bersifat perorangan.
Namun disisi lain model ini memiliki kelemahan terutama dari sisi pendanaan yang mahal, infrasturktur yang kurang memadai dan masih belum berhasil mengarahkan secara formal kebutuhan untuk meningkatkan efektivitas sanksi terhadap anak
11 Yasona H. Laoly. (2019). Pemasyarakatan dan Legacy. Jakarta: Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Hlm 102
12 Narvedha Andriyana. (2020). Pola Pembinaan Anak Didik Pemasyarakatan Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Kutoarjo. Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) Universitas Pendidikan Ganesha. Vol. 6.
No 2. Hlm. 3
13 Paulus Hadisuprapto. (2006). Peradilan Restoratif, Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang Universitas Dipanegoro Semarang. Hlm. 21
121
pelaku delinkuen dan juga gagal memainkan peran dari peradilan anak dalam kerangka kepentingan publlik.
Model restoratif justice muncul sebagai alternatif dari 2 (dua) model sebelumnya. Restorative justice merupakan usaha untuk mencari penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan. Khusus untuk Anak, restorative justice penting untuk diterapkan karena faktor psikologis anak harus diperhatikan. Prinsip dasar model ini bahwa keadilan paling baik terlayani apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan. Tujuan dari restorative justice bukan penghukuman namun yang utama adalah perbaikan luka yang diderita si korban, pengakuan pelaku dan rekonsiliasi diantara korban, pelaku dan masyarakat.
Selanjutnya, secara teoritis, terdapat 5 (lima) metode pembinaan anak pidana sebagai berikut:14
1. Pembinaan berdasarkan situasi (situational Treatment) 2. Pembinaan Perorangan (individual treatment)
3. Pembinaan secara berkelompok (classial treatment) 4. Belajar dari pengalaman (experiemential learning) 5. Auto sugesti
Pembinaan berdasrkan situasi, pembina harus mampu merubah cara berpikir Anak, untuk tidak terpengaruh pada situasi tetapi menguasai situasi sehingga materi pembinaan dapat terserap dengan baik. Sementara itu metode pembinaan perorarangan diberikan kepada anak secara perorangan. Anak dapat dikelompokkan namun pembina harus mengetahui kebutuhan, karakter, tingkat kematangan, emosi, logika masing-masing individu anak.
Metode pembinaan secara berkelompok dilakukan dengan cara memberi ceramah, tanya jawab, simulasi, permainan peran atau pembentukan tim. Peran kelompok harus aktif baik secara individu maupun kelompok. Materi dan cara pembinaan juga harus melibatkan kelompok sehingga proses pembinaan lebih mengena. Dalam metode ini, pembina harus mampu mengajak anak memahami
14 Fanny Tanuwijaya. (2009). Pembinaan Anak di Lembaga Pemasyarakatan Anak dalam Rangka Perlindugan Hak Anak Pidana. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang. Hlm.
113
122
nilai-nilai positif yang tumbuh dalam masyarakat atau kelompok sebagai bahan pembinaan.
Metode belajar dari pengalaman mengedepankan pengalaman yang anak-anak alami. Komunikasi menjadi hal yang penting karena banyak hal terjadi karena kesalahan komunikasi. Dalam komunikasi, semua komponen komunikasi harus jelas sehingga hasilnya jelas dan dimengerti. Auto sugesti merupakan motivasi dari dalam diri sendiri. Auto sugesti akan menjadi efektif bila seseorang Anak tahu cara menerapkannya dengan memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Auto sugesti adalah sarana untuk mempengaruhi bahwa sadar manusia dengan memasukkan saran, pengaruh, perintah, untuk melakukan suatu tindakan yang sesuai dengan saran yang diberikan. Saran, pengaruh, perintah dari dan untuk diri sendiri, melalui alam sadar untuk mempengaruhi alam bawah sadar. Auto sugesti adalah cara agar anak timbul keyakinan untuk tobat, timbul rasa percaya diri untuk mampu hidup dengan cara yang benar, tidak putus asa.
Mencermati model pembinaan pelaku perorangan yang dikemukakan oleh Gordon Bazamore dalam “Three Paradigm of Juvenile Justice dan teori-teori pembinaan Anak pidana menurut Fanny Tanuwijaya serta memperhatikan segala hambatan dan kekurangan yang dialami selama melaksankan pembinan bagi Anak yang Berkonflik di Lembaga Pembinaan Khusus Anak, maka dapat direkomendasikan model pembinaan alternatif dengan menggunakan Model Pembinaan Terpadu Ramah Anak. Maksud dari Model Pembinaan Terpadu Ramah Anak adalah bahwa pembinan Anak yang berkonflik dengan hukum dapat dilakukan secara perorangan maupun secara kelompok sesuai dengan kebutuhan Anak. hal ini dilakukan karena setiap Anak memiliki latar belakang sosial, pendidikan, kejiwaan, ekonomi dan alas an berbeda-beda sehingga mereka melakukan tindak pidana.
Pembinaan juga harus dilaksanakan oleh Petugas yang memiliki serifikasi dan kompetensi khusus seperti tenaga Assessor Anak, Konselor Anak, Psikolog Anak, Dokter Anak dan Pengasuh Pemasyarakatan Anak yang diangkat oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dibawah tanggung jawab langsung oleh Kepala LPKA. Selain itu program pembinaan akan berjalan lebih efektif apabila ditunjang oleh anggaran yang memadai serta didukung oleh sarana dan parasarana yang lengkap.
123
Program pembinaan yang dilaksanakan selama di LPKA harus kontinyu dan berkelanjutan setelah Anak bebas kembali bergaul di lingkungan masyarakat dan ini perlu mendapatkan perhatian agar Anak tidak kembali dalam pergaulan yang negatif sehingga menyebabkan Anak kembali melakukan tindak pidana untuk itu perlu peran keluarga, masyarakat dan pemerintah setempat.
5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dalam penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
a. Sistem, Mekanisme dan Prosedur Pembinaan Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Gorontalo mengacu pada Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dimana dapat dibagi atas 3 (tiga) tahapan pembinaan yaitu Pembinaan Tahap Awal (0 – 1/3 Masa Pidana), Pembinaan Tahap Lanjutan (1/3 -
½ Masa Pidana) Pembinaan Tahap Akhir (1/2 – Bebas).
b. Berbicara tentang pembinaan terhadap Anak yang berkonflik dengan Hukum di Lembaga Pembinaan Khusus Anak tidak dipungkiri bahwa dalam pelaksanaan tugas dapat ditemukan beberapa hambatan-hambatan dalam memberikan pembinaan diantaranya seperti hambatan dalam SDM, anggaran, sarana dan prasarana, kondisi Anak, peran keluarga dan masyarakat serta belum adanya standar khusus pembinaan khusus Anak di LPKA.
c. Perspektif kedepan dengan model pembinaan dan teori-teori yang ada serta memperhatikan segala hambatan dan kekurangan yang dialami selama melaksanakan pembinaan bagi Anak yang berkonflik dengan hukum di LPKA, maka dapat direkomendasikan model pembinaan alternatif dengan menggunakan Model Pembinaan Terpadu Ramah Anak. Maksud dari Model Pembinaan Terpadu Ramah Anak adalah bahwa pembinaan Anak yang dilakukan secara perorangan maupun secara kelompok sesuai dengan kebutuhan Anak dengan melibatkan secara
124
langsung Petugas, Keluarga, Masyarakat dan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan aspek hukum, organisasi dan kelembagaan, SDM, anggaran, sarana dan prasarana, sosial budaya serta asas kepentingan terbaik bagi Anak.
Referensi Buku
Gatot Supramono. (2000). Hukum Acara Pengadilan Anak. Jakarta: Djambatan.
M.Joni dan Zulchan Z. Tanamas. (1995). Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak. Bandung: Citra Aditya Bhakti.
Maidin Gultom. (2014). Perlindungan Hukum Terhadap Anak. Bandung: Reflika Aditama.
Yasona H. Laoly. (2019). Pemasyarakatan dan Legacy. Jakarta: Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Jurnal
Fransiska Novita Eleanora dan Esther Masri. (2018). Pembinaan Khusus Anak Menurut Sistem Peradilan Pidana Anak. Jurnal Kajian Ilmiah Universitas Bhayangkara.
Vol. 18. No 3.
Narvedha Andriyana. (2020). Pola Pembinaan Anak Didik Pemasyarakatan Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Kutoarjo. Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) Universitas Pendidikan Ganesha. Vol. 6. No 2.
Ruben Achmad. (2005). Upaya Penyelesaian Masalah Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Kota Palembang. Jurnal Simbur Cahaya. No. 27.
Karya Tulis
Fanny Tanuwijaya. (2009). Pembinaan Anak di Lembaga Pemasyarakatan Anak dalam Rangka Perlindugan Hak Anak Pidana. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang.
Ni Gusti Ayu Agung Novitaa Dhamayanti, dkk. (2019). Perlindungan hukum terhadap identitas anak sebagai korban tindak pidana di media elektronik. Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Paulus Hadisuprapto. (2006). Peradilan Restoratif, Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang Universitas Dipanegoro Semarang.
Rafika Nur. (2017). Esistensi Lembaga Perlindungan Khusus Anak (LPKA) di Kota Gorontalo. Fakultas Hukum Universitas Ichsan, Gorontalo.
125
Setyobudi, M.T. (2012). Pembinaan Anak Pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tanggerang. Tesis. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Perdilan Pidana Anak
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan
Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor M.HH-03.OT.02.02 Tahun 2014 tentang Pedoman Perlakuan Anak di Bapas, LPAS dan LPKA.
Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor : PAS. 49. PK. 01.06.01. Tahun 2017 Tentang Standar Pembinaan dan Pengentasan Anak Berbasis Budi Pekerti.