• Tidak ada hasil yang ditemukan

MUKALLAF SEBAGAI SUBJEK HUKUM DALAM Fiqih jinayah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "MUKALLAF SEBAGAI SUBJEK HUKUM DALAM Fiqih jinayah"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Volume 5 nomor 2, Desember 2021 | 121 MUKALLAF SEBAGAI SUBJEK HUKUM DALAM FIQIH JINAYAH

Penulis: Abdur Rakib STAI Nurud Dhalam Sumenep

abdur.roqib@gmail.com

Abstract

Legal actors in the study of jinayah fiqh are an important part in the further study of jinayah fiqh, as are legal actors in muamalah fiqh, worship, and munakahat which of course cannot be separated from the discussion of mukallaf as the perpetrator of the legal discussion in it, where every law is certain because there are legal actors, or where there are humans (mukallaf) there must be laws resulting from their actions.

The importance of the study of mukallaf in this more specific discussion is of course because the perpetrators or legal subjects – if not call it mukallaf – in the context of jinayah fiqh there are some differences in the imposition of taklif when compared to the fiqh of Mawarits, even with the fiqh of worship. Mukallaf in the discussion of jinayah fiqh basically has no difference with other fiqh except in the discussion of the expertyah category wujub al-kamilah. In essence, fiqh is God's law which is based on the absence of burdens on His servants who are beyond the limits of ability.

Key words: fiqh jinayah, Islamic criminal law, mukallaf, taklif, expert

Abstrak

Pelaku hukum dalam kajian fiqih jinayah merupakan bagian penting dalam pengkajian ilmu fiqih jinayah selanjutnya, seperti juga pelaku hukum dalam fiqih muamalah, ibadah, dan munakahat yang tentu tidak bisa dipisahkan dengan pembahasan mukallaf sebagai pelaku dari bahasan hukum di dalamnya, dimana setiap ada hukum pasti karena ada pelaku hukum, atau dimana ada manusia (mukallaf) pasti ada hukum yang diakibatkan oleh perbuatannya. Pentingnya kajian mukallaf dalam bahasan yang lebih spesifik ini tentu karena pelaku atau subjek hukum – kalau bukan menyebutnya mukallaf – dalam kontek fiqih jinayah ada beberapa perbedaan dalam pembebanan taklif jika dibandingkan dengan fiqih mawarits, bahkan sekalipun dengan fiqih ibadah. Mukallaf dalam pembahasan fiqih jinayah pada dasarnya tidak ada perbedaan dengan fiqih-fiqih yang lain kecuali dalam bahasan katagori ahliyah wujub al-kamilah. Pada intinya fiqih sebagai hukum Allah yang berdasar pada tidak adanya pembebanan pada hambaNya yang di luar batas kemampuan.

Kata kunci: fiqh jinayah, pidana islam, mukallaf, taklif, ahliyah

(2)

Volume 5 nomor 2, Desember 2021 | 122 PENDAHULUAN

Memahami fiqih jinayah adalah kajian yang lebih khusus dan sekaligus pendalaman untuk mengkaji ilmu fiqih secara syumul. Dalam beberapa literatur klasik pengelompokan anwa’ul fiqh tidak begitu detail melainkan tetap dalam satu disiplin keilmuan yaitu ilmu fiqih, namun akhir – akhir ini karena pertimbangan untuk memudahkan khususnya para pelajar pemula sehingga pengelompokan anwa’ul fiqih dalam kajiannya juga harus dikelompokkan sesuai ranah jangkauan bahasan fiqih yang akan dikaji. Fiqih – yang didefinisikan sebagai rangkaian pengetahuan beberapa hukum syara’ tentang aktivitas fisik1 yang diambil dari dalil yang rinci2 merupakan pengetahuan yang terus berkembang dan tidak pernah berhenti dalam menyikapi serangkaian peristiwa yang senantiasa hidup dan bergerak seiring perubahan zaman – tidak bisa dipisahkan dengan pelaku atau subjek al ahkam al Syar’iyyah tersebut. Hal ini karena tidak mungkin ada hukum syara’ tanpa adanya pelaku dari hukum syara’ itu sendiri – jika tidak mengatakan – hukum itu ada karena di sisi lain dalam rangka menyikapi adanya pelaku hukum dalam ranah sosialnya sendiri. Jadi hukum itu ada semenjak kehidupan itu ada, bahkan sebelum kita lahir.3

1 Kata “aktivitas fisik” membedakan dengan arti i’tiqody, karena ranah fiqih hanya al-ahkam al syar’iyyah al ‘amaliyah bukan termasuk di dalamnya al-ahkam al syar’iyyah al i’tiqodiyyah. Sedangkan pengkajian ilmu syariat yang berhubungan dengan i’tiqody (keyakinan) tidak dibahas dalam ilmu fiqih akan tetapi termasuk pembahasan dalam ilmu tauhid.

2 Sedangkan kata “ yang diambil dari dalil yang rinci” merupakan penegasan bahwa dalil bahasan kajian fiqih ini berbeda dengan dalil kajian ushul fiqih dimana pengambilan dalilnya merupakan sumber atau dalil yang global. Perbedaan singkat antara kedua kajian ini, jika mengetahui kewajiban hukum shalat yang diketahui dari al Quran pada kata ةلاصلا اوميقا (tegakkan shalat) maka ini namanya pengetahuan yang didapat dari kajian ushul fiqih karena menggunakan sumber yang global.

Sementara jika mengetahui kewajiban beberapa rukun shalat, seperti memahami bahwa membaca fatihah hukumnya wajib karena adanya hadits باتكلا ةحتافب ءرقي مل نمل ةلاص لا (tidak sah shalat yang tidak membaca fatihah) maka ini berarti memahami kajian hukum fiqih, karena telah mengetahui hukum syara’ melalui dalil yang terperinci.

3 Emile Durkheim (pendiri Fakultas Sosiologi pertama di Eropa pada tahun 1895), menggunakan istilah realitas sosial disebut fakta sosial. Fakta sosial adalah cara-cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang bersumber pada satu kekuatan di luar individu, bersifat memaksa dan mengendalikan individu. Emile Durkheim merinci fakta sosial meliputi hukum, moral, kepercayaan, adat istiadat, tata cara berpakaian, dan kaidah ekonomi yang berlaku di masyarakat. Dapatkah Anda menghindar dari aturan adat istiadat daerah? Bagaimana jika Anda memaksakan diri melanggar tata tertib mahasiswa di UIN Ar Raniry ini, atau mungkin melanggar hukum dan norma masyarakat Aceh walaupun anda orang jawa timur? Anda tentu akan mendapat sanksi bukan? Aturan-aturan itu sudah ada di masyarakat bahkan mungkin sejak Anda belum lahir, yang mau tidak mau harus dipatuhi.

(3)

Volume 5 nomor 2, Desember 2021 | 123 Pelaku hukum dalam kajian fiqih jinayah merupakan bagian penting dalam pengkajian ilmu fiqih jinayah selanjutnya, seperti juga pelaku hukum dalam fiqih muamalah, ibadah, dan munakahat yang tentu tidak bisa dipisahkan dengan pembahasan mukallaf sebagai pelaku dari bahasan hukum di dalamnya, dimana setiap ada hukum pasti karena ada pelaku hukum, atau dimana ada manusia (mukallaf) pasti ada hukum yang diakibatkan oleh perbuatannya. Pentingnya kajian mukallaf dalam bahasan yang lebih spesifik ini tentu karena pelaku atau subjek hukum – kalau bukan menyebutnya mukallaf – dalam kontek fiqih jinayah ada beberapa perbedaan dalam pembebanan taklif jika dibandingkan dengan fiqih mawarits, bahkan sekalipun dengan fiqih ibadah.

Adapun perbedaan yang dimaksudkan secara garis besar adalah : pertama, fiqih ibadah merupakan kajian khusus mengenai pembahasan aktivitas yang berhubungan langsung antara seorang hamba (individu) dengan Allah sebagai Tuhannya. Kedua, Mukallaf atau juga dalam istilah Ushul Fiqh disebut mahkum alaihi dalam fiqih jinayah bersentuhan langsung dengan hukuman (pembalasan) di dunia – selain juga masih tetap ada pertanggungjawaban dengan Allah di akhirat nanti – sedangkan aktivitas amaliyah fiqih ibadah “seolah” tidak berkaitan dengan orang lain dalam pertimbangan sosial, melainkan hanya berkonsekwensi antara boleh dan tidak (halal – haram) di hadapan Allah yang maha Pengasih dan Penyayang sehingga akibat dari pelanggaran pelaku (mukallaf) masih ditangguhkan di akhirat nanti.

MUKALLAF

Pada dasarnya – jika tidak menggunakan istilah sepintas – dalam beberapa pembahasan mukallaf pada kajian fiqih (seolah) tidak dibedakan antara mukallaf dalam konteks fiqih apapun, baik fiqih ibadah, muamalah, jinayah, maupun munakahat – hanya saja karena realitas bahasan subjek hukum dalam fiqih jinayah terdapat perbedahan fatal – sehingga jika subjek hukum jinayah terpaksa disamakan dalam pembahasan mukallaf dengan subjek hukum fiqih mu’amalah, ibadah, dan munakahat, maka konsekwensi hukumnya-pun akan menjadi tidak sesuai dengan tuntutan syara’. Hal ini mungkin juga bisa terjadi pada pegiat kajian fiqih pemula, dimana pemahaman mukallaf dalam banyak kajian fiqih – terutama dalam beberapa literatur fiqih klasik – jarang dibahas secara terpisah (antara

(4)

Volume 5 nomor 2, Desember 2021 | 124 mukallaf dalam fiqih jinayah dan mukallaf dalam kajian fiqih lainnya)4 dan memungkinkan untuk terjadi pengkaburan maksud dan tujuan pada masing-masing bahasan fiqih secara spesifik. Oleh karena adanya pemetaan wilayah fiqih seperti yang digambarkan di atas, perlu kiranya pengkajian ini difokuskan pada perbedaan makna mukallaf yang terdapat dalam fiqih ibadah, munakahat, dan mu’amalah, dengan makna mukallaf dalam fiqih jinayah guna untuk menjaga ke-shahihan kesimpulan terhadap kajian fiqih secara umum.

Dalam Kamus Bahasa Arab, kata kallafa (فّ

لك) berarti membebani. Kata Mukallaf (فّ

لكم) murapakan bentuk isim maf’ul dari kata kerja kallafa yang mempunyai arti dibebani tanggung jawab. ( فّ

لك انلاف

رملأاب ) membebani fulan dengan pekerjaan. Mukallaaf (فّ

لكم) berarti yang diberati/dibebani, yang bertanggung jawab).5 Dalam ilmu fiqih, mukallaf atau orang telah diberi beban tanggung jawab dalam agama islam adalah himpunan dari tiga kenyataan – seandainya tidak menggunakan istilah tiga syarat untuk bisa dikatakan mukallaf. Pertama, muslim.

Seseorang tidak akan dikenai khitab Allah jika belum menyatakan dirinya sebagai muslim dengan dua kalimat syahadat. Maka sekalipun ia berakal dan cukup umur tidak bisa dikatakan sebagai mukallaf. Kedua, Baligh. Kata baligh sering disejajarkan dengan mukallaf oleh sebagian kalangan. Padahal baligh adalah batasan masa (usia) anak-anak dengan dewasa. Umur baligh bagi perempuan menurut ulama fiqih 9 tahun dengan disertai tanda keluarnya darah haid. Sedangkan bagi laki-laki 12 belas tahun disertai dengan keluarnya sperma melalui mimpi. Jika pada usia 15 tahun namun masih belum mendapat tanda-tanda tersebut maka ia telah dinyatakan baligh secara umur dengan tanpa mempertimbangkan agama, baik itu muslim atau non muslim, baik itu berakala atau gila. Jadi dalam kontek cakupannya baligh lebih umum dari mukallaf, tidak semua baligh itu mukallaf, tapi semua yang mukallaf pasti sudah baligh. Ketiga, berakal sehat. Dalam hal ini Orang gila tidak bisa dikatakan mukallaf sekalipun umurnya 15 tahun dan beragama islam, karena syarat mukallaf

4 Namun sekalipun persoalan mukallaf dalam beberapa literatur fiqih klasik tidak dibahas secara terpisah (antara mukallaf dalam fiqih jinayah dan mukallaf dalam fiqih ibadah), bukan berarti para ulama memberikan pengertian yang sama, bahkan para ulama fiqih maupun Ushul fiqh memberikan perbedaan yang jelas tentang pemahaman mukallaf ketika ada dalam konteks fiqih jinayah dan mukallaf ketika dibahas dalam fiqih ibadah, muamalah, dan munakahat.

5 Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir. (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997) 1225

(5)

Volume 5 nomor 2, Desember 2021 | 125 harus mempunyai akal sehat sehingga mampu memahami khitob taklif Allah Ta’ala.

Jadi istilah mukallaf adalah seseorang yang telah memenuhi beberapa kreteria untuk menyandang kewajiban dari Allah sebagai konsekwensi dari beban taklif-nya.

Sedangkan kata fiqih jinayah merupakan paduan dari dua kata yang disebut dalam gramatika arab dengan istilah idhafah. Susunan idhafah yang dimaksud ialah kata fiqh sebagai mudlaf dan jinayah sebagai mudlaf ilaih. Secara bahasa fiqh berarti paham dan mengerti, sedangkan secara istilah yaitu : Ilmu yang membahas tentang hukum – hukum syara’ yang diambil dari dalil yang rinci.6 Adapun kata ةيانجلا secara bahasa adalah bentuk masdar dari kata kerja jana )ىنج) yang berarti kejahatan, perbuatan dosa.7 Dalam istilah ilmu fiqih, jinayah diartikan sebagai perbuatan atau perilaku jahat yang dilakukan oleh seseorang untuk menganiaya orang lain dengan sengaja, dimana apabila dilakukan perbuatan tersebut mempunyai konsenkuensi membahayakan agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta benda.8 Jadi keterkaitan sebab akibat yang dilakukan oleh seseorang dengan apa yang telah dilakukannya adalah cikal bakal dari bahasan antara mukallaf dengan jinayah, dimana perbuatan menjadi beban dan tanggung jawab bagi seseorang yang telah memenuhi syarat taklif.

Dari konsekwensi inilah dalam kajian ilmu fiqih ada istilah mukallaf – yang merupakan titik sentral dalam pembahasan ini – dan istilah ini dalam ilmu Ushul Fiqh disebut dengan Mahkum Alaih. Ulama Ushul Fiqh telah berspakat bahwa mahkum alaihi adalah seseorang yang segala aktivitas perbuatannya dikenai khitab Allah ta’ala.9 Jadi secara umum mukallaf ialah orang yang telah mendapat kewajiban Allah, baik untuk dikerjakan ataupun ditinggalkan, baik dalam tinjaukan fiqh jinayah atapun selain fiqh jinayah.

Dalil

Dari pengertian mukallaf – atau jika menggunakan istilah Ushuliyyin adalah mahkum alaih – maka ini berarti Allah ta’ala yang memberikan seruan (beban)

6 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Daar al-Fikr Al ‘Araby, tt), 6

7 Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir, 216

8 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), (Bandung : CV Pustaka Setia, 2000), 12.

9 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), 334

(6)

Volume 5 nomor 2, Desember 2021 | 126 terhadap hambanya dengan kekuatan yang dimilikinya, baik laki – laki ataupun perempuan, tua ataupun anak – anak, baik dalam hal ushul (tauhid) maupun furu’

(fiqih). Hal ini seperti dalam Al Quran surat Al Baqarah : 286 Allah berfirman :

ُفِّ لاكُي الَ

ْواأ ٓاانيِّسهن نِّإ ٓانَْذِّخااؤُ ت الَ اانه بار ْتاباساتْكٱ اام ااهْ يالاعاو ْتاباساك اام ااالَ ااهاعْسُو هلَِّإ اًسْفا ن ُهللَّٱ ْلِّمْاتَ الَاو اانه بار انَْأاطْخاأ

انْلِّ ماُتَ الَاو اانه بار اانِّلْبا ق نِّم انيِّذهلٱ ىالاع ۥُهاتْلااحَ ااماك اًرْصِّإ ٓاانْ يالاع اتناأ ٓاانْاحَْرٱاو اانال ْرِّفْغٱاو اهناع ُفْعٱاو ۦِّهِّب اانال اةاقااط الَ اام ا

انيِّرِّفٰاكْلٱ ِّمْواقْلٱ ىالاع انَْرُصنٱاف اانٰ ىالْوام

Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo’a): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.

Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. (QS Al Baqarah : 286)

Dalam ayat di atas Allah menggunakan kata yukallifu yang juga menjadi landasan istilah taklif dan mukallaf dalam ilmu fiqih. Dalam konteks ayat diatas, Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Diceritakana asbab nuzul dari ayat diatas bahwa sebelumnya ada firman Allah yang berbunyi :

ُهللَّا ِّهِّب ْمُكْبِّسااُيُ ُهوُفُْتُ ْواأ ْمُكِّسُفْ ناأ ِّفِ اام اوُدْبُ ت ْنِّإاو ۗ ِّضْراْلْا ِّفِ ااماو ِّتااواامهسلا ِّفِ اام ِّهِّللَّ

او ُءااشاي ْنامِّل ُرِّفْغا يا ف ۖ ُبِّ ذاعُ ي

ريِّداق ٍءْياش ِّ لُك ٰىالاع ُهللَّااو ۗ ُءااشاي ْنام

Artinya : Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Kemudian para sahabat merasa keberatan jika setiap apa yang dilakukan akan dibalas dan dibuat perhitungan diakhirat nanti oleh Allah, baik yang perbuatan lahir maupun perbuatan secara bathin, maka turunlah ayat Layukallifullahu nafsan…10

10 Atthabary, Tafsir Atthabary, Maktabah Syamilah (offline), juz 6, 104

(7)

Volume 5 nomor 2, Desember 2021 | 127

ِّاج ْمُكْيالِّإ ِّهللَّا ُلوُسار ِّ نِّّإ ُساهنلا ااهُّ ياأ ايَ ْلُق اوُنِّمآاف ۖ ُتيُِّيُاو يِّيُْيُ اوُه هلَِّإ اهٰالِّإ الَ ۖ ِّضْراْلْااو ِّتااواامهسلا ُكْلُم ُهال يِّذهلا اًعي

انوُداتْاتَ ْمُكهلاعال ُهوُعِّبهتااو ِّهِّتاامِّلاكاو ِّهللَِّّبِ ُنِّمْؤُ ي يِّذهلا ِّ يِّ مُْلْا ِّ ِّبهنلا ِّهِّلوُساراو ِّهللَِّّبِ

Artinya : Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk." (Al A’raf : 158)

Dalam surat al A’rof di atas memang tidak ada kata taklif seperti dalam surat al Baqarah sebelumnya, namun dalam ayat ini ada kata perintah untuk mengikuti dan mematuhi Allah dan Rasul-Nya, yakni kata : هوعبتاف . ayat ini memberikan pemahaman atau sejajar dengan pembebanan terhadap seseorang agar senantiasa mematuhi apa yang telah diperintahkan syari’. Dalam Tafsir Ibnu Katsir, al-Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Darda’: aku mendengar Abu Darda’

berkata: “Pernah terjadi muhawrah antara Abu Bakar dan ‘Umar, lalu Abu Bakar membuat ‘Umar marah, sehingga ‘Umar pergi meninggalkannya. Kemudian Abu Bakar mengikutinya untuk meminta kepadanya, namun ‘Umar tidak memberikan maaf kepadanya, hingga ia menutup pintu rumahnya tepat di hadapan Abu Bakar.

Setelah itu Abu Bakar pergi menghadap Rasulullah.”

Abu Darda’ melanjutkan, Pada saat itu kami sedang berada di sisi beliau.

Maka Rasulullah saw. bersabda: “Adapun sahabatmu ini, telah menjadikan (orang lain) marah dan dendam.” Maka ‘Umar pun, lanjut Abu Darda’, menyesal apa yang telah dilakukannya. Lalu ia berangkat menuju rumah Rasulullah kemudian mengucapkan salam dan duduk di hadapan Nabi saw., lalu menceritakan peristiwa yang telah terjadi. Maka Rasulullah pun marah, Kemudian Abu Bakar berkata: “Demi Allah. Ya Rasulullah, sungguh akulah yang telah berbuat dhalim.” Lalu Rasulullah saw bersabda: “Apakah kalian akan meninggalkan Sahabatku ini? Sungguh (ketika dahulu) aku mengatakan: ‘Hai sekalian manusia, sesungguhnya aku adalah Rasul Allah kepada kalian semua.’ Lalu kalian mengatakan: `Engkau berdusta.’ Sedangkan

(8)

Volume 5 nomor 2, Desember 2021 | 128 Abu Bakar mengatakan: `Engkau benar.” (Hadits ini hanya diriwayatkan oleh al- Bukhari.)11

ا عِّفُر ِّفُي هتَّاح ِّنْوُ نْجالما ِّناعاو امِّلاتْايُ هتَّح ِّ ِّ بهصلا ِّناعاو اظِّقْيتْساي هتَّاح ِّمِّئ اهنلا ِّناع : ٍث الَاث ْناع ُمالاقل اقْي

Artinya : Diangkatnya pembebanan hukum dari tiga (jenis orang): orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia balig, dan orang gila sampai ia sembuh. (H.R.

Bukhori, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Daruquthni dari Aisyah dan Ali bin Abi Thalib)"12

Jika dikaitkan dengan beberapa ayat tentang taklif pada bahasan sebelumnya, hadits diatas memberikan batasan dan merupakan bentuk tabyin dan tamtsil selain juga memperkokoh (menguatkan) sebagaimana fungsi hadits terhadap Al Quran.13 Taklif tidak terjadi terhadap beberapa hal yang memang tidak memenuhi syarat dalam pen-taklifan-nya. Rasulullah langsung memberikan contoh nyata seperti orang tidur sampai ia bangun, anak kecil hingga ia sampai pada batasan umur tertentu, dan orang gila hingga ia waras.

KEMAMPUAN MENERIMA HUKUM

Setidaknya dalam pembahasan mengenai kemampuan menerima hukum terhadap subjeknya dalam ilmu fiqih ada dua katagori penting yakni ;

Taklif.

Secara logika, seseorang yang tidak tahu terhadap isi perintah maka ia tidak mungkin melakukan apa yang diperintahkan dalam isi perintah tersebut.

Seseorang menjadi wajib melakukan sebuah “perintah” jika ia telah mengetahui atas isi suatu perintah. Ulama Ushul fiqh menamakan perintah ini dengan taklif.

Seseorang itu dikenai hukum taklif apabila orang tersebut memenuhi standart kemampuan untuk menerima beban hukum yang diperintahkan oleh Allah ta’ala. Sebagian besar ulama Ushul fiqh berpendapat bahwa dasar pembebanan hukum bagi seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman.14 Seseorang telah dianggap taklif jika ia mampu memahami khitab syari’ (tuntutan syara’) yang

11 Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Juz III, Maktabah Syamilah (offline), 489.

12 Jalaluddin As Suyuti, al Jami’ Al Shaghir, Juz II, (Beirut: Dar Al Fikr, tt), 24

13 Abbas Mutawalli Hamadah, As-Sunnah an-Nabawiyah wa Makanatuha fi Tasyri‟. 43

14 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, 335

(9)

Volume 5 nomor 2, Desember 2021 | 129 terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits, baik dengan pemahamannya sendiri maupun melalui orang lain, hal ini karena kecenderungan benar dan tidaknya seseorang dalam melakukan perintah terhadap suatu pekerjaan atau larangan melakukan suatu pekerjaan tergantung pada pemahamannya terhadap suruhan dan larangan yang menjadi tuntutan tersebut. Oleh karena itu, orang yang tidak mampu dalam memahami tuntutan syara’, maka ia tidak mungkin dapat melakukan terhadap isi suatu taklif. Sedangkan mampu dalam memahami suatu taklif hanya bisa dengan menggunakan akal manusia, hal ini karena hanya akal yang mampu mengetahui atas tuntutan yang berarti perintah atau larangan dalam suatu taklif.

Ahliyah

Secara bahasa Al-Ahliyah ( هيلهلاا ) berarti kepantasan, kelayakan. ةفص ةلهؤم (sifatun mu’ahhalatun : keahlian, kecakapan).15 Dalam pengertian secara istilah dalam ilmu Ushul fiqh Ahliyah adalah :

يعرش باطلخ الحاص لَمح هلعتج صخشلا فى عراشلا اهردقي ةفص

Artinya: Suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang dijadikan ukuran oleh oleh syari’ (pembuat hukum) untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.

Jadi, ahliyah dalam pemahaman ushuliyyin adalah sifat yang dapat memberikan petunjuk terhadap seseorang bahwa ia telah sempurna secara jasmani dan akalnya, sehingga semua perbuatan yang dilakukan dapat dinilai oleh syara’ dan harus dipertanggungjawabkan. Jika seseorang sudah mempunyai sifat ini, ia dianggap telah sah secara syara’ melakukan suatu tindakan hukum, seperti bertransaksi yang bersifat pemindahan hak kepada orang lain, dan lain sebagainya. Ulama Ahli ushul fikih membagi ahliyah menjadi dua macam, yaitu ahliyah al-wujub dan ahliyah ada’.

Ahliyah wujub adalah sifat kepantasan seseorang untuk menerima hak yang telah menjadi haknya, hanya saja ia belum mampu untuk dibebani kewajiban. Contohnya, ia bisa menerima pemberian orang lain, wasiat, atau ganti rugi terhadap hartanya yang dirusak orang lain. Bahkan ia juga dianggap cakap

15 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir. 46

(10)

Volume 5 nomor 2, Desember 2021 | 130 dalam menerima harta waris dari keluarganya. Seseorang yang termasuk ahliyah wujub ini sekalipun punya hak dalam menerima beberapa haknya tetapi ia tidak bisa men-tasharruf-kan kepemilikinnya dengan tanpa ada ahli terutama dalam hal bertransaksi yang akan menjadikan pemindahan hak milik (harta) kepada orang lain. Namun begitu, terlepas dari perbuatan muamalah diatas, jika ternyata ia bisa melakukan perbuatan – perbuatan ibadah seperti shalat, puasa, haji, dan lain – lain, maka status ibadah tersebut tidak sampai pada perlakuan hukum wajib karena secara syari’ah ia belum dianggap pantas menerima beban kewajiban.

Ulama Ushul fiqh juga membagi ahliyah wujub ini menjadi dua macam : Ahliyah Al-Wujub An-Naqishah (kecakapan melaksanakan kewajiban secara tidak sempurna). Ahliyah Al-Wujub An-Naqishah ini dalam beberapa literatur juga disebut ahliyah al-wujub al Qashirah atau kecakapan hukum yang lemah, yaitu kepantasan seorang manusia untuk mendapat haknya, tetapi tidak menerima kewajiban; atau kepantasan seorang manusia untuk dikenai kewajiban tetapi tidak pantas menerima hak.16 Adapun contoh yang pertama (menerima hak tertentu tetapi tidak menerima kewajiban apapun), ialah janin dalam kandungan. Janin dianggap pantas oleh syariah untuk menerima hak tertentu, seperti : waqaf, wasiat, dan lain – lain.17 Beberapa hak tersebut dapat menjadi hak yang sebenarnya jika janin dilahirkan dalam keadaan hidup, walaupun bagi si janin masih belum dibebani kewajiban apapun karena ia tidak pantas memikul kewajiban.18 Sebaliknya, contoh yang kedua (hanya mendapat kewajiban tertentu tetapi tidak diberikan hak apapun) ialah orang yang

16 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), 357

17 Sebagaimana yang telah maklum, dalam kajian ilmu fiqih bahwa tidak selamanya transaksi dalam muamalah itu harus dilakukan oleh dua aqid (orang yang bertransaksi) seperti jual beli, ijarah, rahn, dan lain-lain. Artinya beberapa akad tersebut tidak sah menurut syara’ jika belum disepakati (ijab – qabul) oleh kedua pihak yang berttansaksi itu. Hal ini beda dengan waqaf dan wasiat, kedua akad ini tetap dihukumi sah dilakukan walau hanya dengan satu orang aqid saja tanpa ada bersetujuan kata

“ia” dari pihak yang akan menerima harta waqof dan wasiat tersebut. Jadi, sah hukumnya wakaf dan wasiat terhadap janin sekalipun janin (pihak yang akan menerima harta waqaf dan wasiat) tidak melalui proses qabal seperti dalam contoh jual beli dan yang lainnya.

18 Ulama ushul fikih menetapkan ada empat hak janin yang masih dalam kandungan ibunya, yaitu:

Hak keturunan dari ayahnya, hak waris dari ahli warisnya yang meninggal dunia, Wasiat yang ditujukan kepadanya, harta wakaf yang ditujukan kepadanya. (baca : Totok Jumantoro, Samsul munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2009), 4)

(11)

Volume 5 nomor 2, Desember 2021 | 131 meninggal dunia. Orang yang meninggal dunia dipandang tidak pantas mendapat hak karena kematiannya, akan tetapi ia tetap wajib membayar hutang semasa hidupnya. bisa jadi kewajiban membayar hutang tersebut diambil dari harta warisan yang ditinggalkannya.

Ahliyah Al-Wujub Al-Kamilah (kecakapan melaksanakan kewajiban yang sempurna). Ahliyah al-wujub kamilah merupakan suatu sikap kepantasan seseorang untuk dikenai kewajiban dan pantas menerima hak. Keberadaan sifat yang sempurna dalam bentuk ini karena kepantasan berlaku untuk keduanya, baik kewajiban maupun penerimaan hak. Kepantasan pada Ahliyah al Wujub al Kamilah ini berlaku semenjak ia lahir sampai sekarat selama ia masih bernafas.

Kepantasan ini terdapat pada anak-anak, orang yang telah mumayiz, dan ada pada orang yang telah baligh. Dalam perkembangan hidup manusia seperti rentetan di atas, tidak ada orang yang tidak mempunyai keahlian wujub.19

Adapun contoh dari ahliyah al wujub al kamilah ini adalah seorang bayi.

Bayi dipandang pantas dan cakap menerima hak (menerima harta orang lain seprti warits, wasiat, dan lain-lain) karena dia sudah lahir ke alam dunia ini.

Selain kepantasan hak menerima harta, seorang bayi juga dipandang pantas menerima kewajiban tertentu, seperti kewajiban zakat fitrah, dan kewajiban zakat atas hartanya. Termasuk ahliyah al wujub al kamilah, menurut sebagian ulama, adalah orang yang sakratul maut (sedang menghadapi kematian).

Sekalipun ia berada dipenghujung hidupnya, namun karena ia masih hidup, maka ia juga dikenai kewajiban membayar zakat fitrah dan zakat atas hartanya, disamping ia juga dipandang pantas menerima hak atas warisan sebagai ahli waris dari pewarisnya yang lebih dahulu wafat darinya.20

Ahliyatul ada’ ini ialah kepantasan untuk melakukan tindakan secara hukum atau memikul beban taklif. Dengan adanya kepantasan ini seseorang disebut mukallaf, artinya segala perbuatannya harus sesuai dengan aturan Allah, baik mengerjakan segala perintah-Nya ataupun menjahui larangan-Nya.21

19 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012) 167.

20 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), 96

21 Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: kencana, 2014), 75

(12)

Volume 5 nomor 2, Desember 2021 | 132 Menurut uluma Ushul fiqih, yang menjadi ukuran dalam menentukan terhadap seseorang apakah telah termasuk ahliyah al ada’ adalah standart aqil – baligh, sekalipun batas aqil – baligh yang terjadi pada manusia amat beragam sesuai dengan pontensi dan perkembangan masing – masing manusia secara psikis. Allah meng-isyarahkan dalam Al Quran surat An-nisa’ : 6

ْمُهْ نِّم ْمُتْسانآ ْنِّإاف احااكِّ نلا اوُغالا ب ااذِّإ ٰهتَّاح ٰىامااتا يْلا اوُلا تْ بااو

ۖ ْمُالَااوْماأ ْمِّهْيالِّإ اوُعا فْدااف اًدْشُر

Artinya : Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.

Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya

Dari ayat di atas, oleh karena beragamnya capaian ahliyah ada’ pada manusia, fiqih sebagai hukum formal dalam agama islam memberikan batasan baligh sebagaimana berikut :

Secara fiqih, sempurnanya umur 15 tahun baik laki atau perempuan dalam hitungan tahun hijriyah maka seseorang telah dianggap baligh. Artinya jika seorang laki – laki atau perempuan sudah berumur 15 tahun sekalipun belum keluar mani atau belum keluar darah haid (bagi perempuan) maka ia tetap dianggap baligh dalam pandangan syara’. Ini adalah pandangan fiqih dalam memberikan limitasi waktu terhadap kewajiban taklif , sekalipun mungkin dalam sebuah penelitian tertentu dan pada suatu komunitas tertentu limit waktu 15 tahun bisa jadi itu belum dianggap taklif karena ada faktor perbedaan geografis yang mempengaruhi terhadap perkembangan psikologis seseorang untuk bisanya menerima beban dan kewajiban tertentu.

Dalam tanda-tanda psikis ini seseorang cenderung berbeda masa baligh yang terjadi pada masing-masing individu. Oleh karena itu, ulama fiqih memberikan batasan keluarnya air mani – baik mimpi atau bukan – untuk laki- laki dan wanita diumur minimal 9 tahun atau keluar darah haid pagi perempuan.

Dalam KUHPerdata pasal 330, seseorang dikatakan dewasa apabila ia telah mencapai usia genap 21 tahun atau yang telah menikah walau pun belum berusia genap 21 tahun, dan jika pernikahannya telah berakhir atau cerai maka orang tersebut tetap dikatakan dewasa. Tidak lagi berada dalam kekuasaan orang tuanya atau berada diperwalian. Dengan demikian maka KUHPerdata

(13)

Volume 5 nomor 2, Desember 2021 | 133 memandang seseorang yang telah berusia dewasa (21 tahun) itu kematangan secara biologis dan psikologis dianggap mampu dan cakap untuk melakukan perbuatan hukum perdata itu sendiri. Jadi logika penetapan baligh dalam KUHP menggunakan standart perkawinan, bukan standart secara umum seperti dalam fiqih yang mencakup semua aktivitas manusia jika ia telah mencapai umur 15 tahun. Hal ini terbukti ketikan ada seseorang yang kawin sebelum umur 21 tahun, lalu ia bercerai, maka ia tidak bisa kembali menjadi tidak baligh, sekalipun kenyataannya secara umur belum mencapai 21 tahun.

Halangan ahliyah

Sebagai mahluk lemah – yang tercipta dalam keadaan lemah dan penuh kekurangan – sekalipun sejak lahir seseorang telah memiliki kepantasan menerima hak dan kewajiban, dan sejak dewasa dari segi usia dan akalnya telah memiliki kepantasan untuk bertindak secara hukum, akan tetapi kadang pada waktu tertentu terdapat faktor-faktor yang menghalanginya untuk dapat dipandang sebagai cacat dalam bertindak secara hukum. Faktor-faktor tersebut ulama ushul menamakan dengan istilah ‘awarid al-ahliyah ( ةيلهلاا ضراوع ) atau mawani’ al taklif ( فيلكتلا عناوم ) dimana faktor penghalang ahliyah ini sekaligus menjadi gugurnya taklif pada seseorang.

Beberapa faktor penghalang taklif itu dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: al-awaridh as-samawiyyah dan al-awaridh al-muktasabah, adapun uraian tentang keduanya adalah sebagaimana berikut :

Al-awaridh as-samawiyyah ialah penghalang kepantasan seseorang untuk bertindak secara hukum yang timbul dari luar dirinya, seperti : usia kanak-kanak, lemah akal, Sakit, haid dan nifas, mati, Bodoh, dll. Al-awaridh as- samawiyyah ini sebenarnya menjadi penghalang atas taklif Allah secara logika karena sebagai wujud atas mutlaknya kekuasaan Allah dan bentuk nyata bahwa manusia dicipta dalam keadaan lemah yang tak berdaya, sehingga secara kudrati beberapa sifat yang menjadi pembeda dengan sifat ketuhanan yang dimiliki Allah pasti terjadi pada manusia, seperti sakit, bodoh, dan usia kanak-kanak.

Logikanya, jika ciri-ciri manusia sebagai mahluk lemah ini tidak menjadi penghalang atas taklif yang Allah perintahkan maka secara logika Tuhan ada

(14)

Volume 5 nomor 2, Desember 2021 | 134 dalam sifat kezalimannya yang nyata karena telah memerintahkan sesuatu diluar kemampuannya22. Padahal dalam al Quran seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, Allah tidak akan memerintahkan sesuatu terhadap manusia melainkan sesuai atas kemampuannya.23

Al-awaridh al-muktasabah merupakan penghalang kepantasan untuk bertindak secara hukum yang timbul dari diri sendiri dan atas keterlibatannya walaupun tetap dalam pertimbangan ketidak mampuannya atas dasar kelemahan yang dimilikinya, namun merupakan akibat dari kehendak dan perbuatannya, seperti: gila, lupa, tidur, dan lain-lain. 24 Secara substasi dalam konsekwensi hukum fiqih baik al-awaridh al-muktasabah maupun al-awaridh as- syamawiyah tidak dibedakan, baik secara falsafi maupun logika, kedua pembagian awaridh ini hanya terletak pada perbedaan adanya campurtangan dirinya (manusia) dan tidak adanya campurtangan manusia sehingga menimbulkan terjadinya penghalang terhadap taklif-nya mukallaf dalam menjalani hukum islam.

Pelanggaran Kejahatan dan Norma Pidana

Dalam pandangan agama islam setidaknya manusia yang telah lebur dalam sekelompoknya dan menjadi sebuah rentetan sosial, baik secara individu maupun secara bersama-sama mempunyai kewajiban untuk berbuat baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dengan manusia, bahkan dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan sekalipun. Sebagai mahluk sosial yang “dipaksa” berinteraksi dengan sesama, pada gilirannya terkadang manusia melakukan beberapa kesalahan

22 Dalam pengertian yang lain, seperti yang dijelaskan Imam Abu Ja’far yang dikutip Imam Thabari dalam Tafsir at-Thabary, bahwa jika tidak menggunakan Tuhan telah Zalim dalam konteks mentakwil ayat al Qur’an surat Al Baqarah ayat 286 pada ayat : اهعسو لاا اسفن فاكي لا maka manusia hanya diperintahkan mengikuti segala apa yang ia mampu dalam melakukannya, tidak diperintahkan melakukan segala apa yang ia tidak mampu untuk berbuatnya.

23 Q.S : Al Baqarah : 286

24 Ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan sebagaian ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa mabuk juga dituntut segala bentuk tindakannya secara sempurna. Artinya tidak berarti menggugurkan beban hukum. Jadi segala tindakan dan ucapannya adalah berkonsekwensi. Sedangkan Imam Ahmad dan Imam Syafi’i serta Imam Malik mengatakan bahwa orang mabuk tidak menyadari apa yang diucapkannya tidak sah akadnya, karena yang menjadi dasar dari semua akad adalah kerelaannya.

(lihat : Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarata: Logos.1997), 373)

(15)

Volume 5 nomor 2, Desember 2021 | 135 dalam kesepakatan pemenuhan ketertiban yang telah berlaku dalam kehidupannya, bahkan telah dilegalkan oleh agama (syari’) dalam al Quran sejak 14 abad yang lalu.

Perlakuan pelanggaran inilah yang dimaksud dalam muatan hukum pidana dengan istilah pelanggaran dan kejahatan – sekalipun dalam bahasan selanjutnya terkadang kedua istilah ini harus dibedakan.

Terlepas dari legalitas hukum – baik dalam hukum agama (yang kemudian diistilahkan dengan Fiqih Jinayah) maupun dalam hukum positif – masyarakat adalah kehidupan yang hidup dengan norma dan ketertibannya masing-masing, dimana norma dan ketertibannya adalah hal yang melekat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Sedangkan hukum pidana datang dengan membawa kekuatan legal dalam rangka mengikat dan memperkuat norma dan ketertiban yang telah ada, sekalipun ada beberapa kaidah yang butuh penyesuaian. Karena pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan.25 Jadi dalam hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri, melainkan sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana diadakan untuk menguatkan agar ditaatinya norma-norma lain tersebut, misalnya norma agama dan kesusilaan.

Asas dan Pertanggungjawaban Pidana Islam

Asas Pertanggungjawaban dalam Pidana Islam setidaknya meliputi : pertama, setiap diri adalah bertanggung jawab terhadap apa yang telah diperbuatnya. Asas ini adalah dasar dari setiap hukum yang berkonsekwensi pada sebuah hukuman, bukan cuma dalam pidana islam tapi juga berlaku secara umum dalam agama apapun. Kedua, seseorang yang telah berbuat dosa tidaklah dapat dibebankan pada orang lain. Artinya tidak ada seorangpun yang akan menerima beban dosa akibat dari dosa yang tidak dilakukannya sediri. Manusia dalam hal ini tidak bisa membuat mudharat pada sesama karena berpijak pada keadilan Tuhan.

Dalam agama islam, asas ini disandarkan pada firman Allah dalam al Quran surat al Baqarah ayat 286 :

25 Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, Perpustakaan Nasional (KDT), 2006. 216 -217

(16)

Volume 5 nomor 2, Desember 2021 | 136

ْتاباساتْكا اام ااهْ يالاعاو ْتاباساك اام ااالَ

Artinya : Bagi seseorang itu perbuatan jeleknya dan bagi seseorang itu juga perbuatan baiknya.

Pertanggungjawaban pidana dalam syariat islam yaitu pemberian beban terhadap seorang pelanggar pidana sebagai akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya itu. Dalam syariat Islam pertanggungjawaban itu didasarkan kepada tiga hal, yaitu : adanya perbuatan yang dilarang, perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan sendiri, dan pelaku mengetahui terhadap akibat dari perbuatannya.26

Ulama Fiqih berpendapat setidaknya ada tiga hal yang dapat mempengaruhi pertanggungjawaban Pidana dalam syariat islam.

Lupa; Pekerjaan yang dilakukan dalam keadaan lupa adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar tidak adanya pengetahuan yang ada sebelumnya. Dalam syariat islam lupa disejajarkan dengan keliru seperti yang tercantum dalam hadist Nabi: Dihapuskan dari umatku kekeliruan, lupa, dan perbuatan yang dipaksakan atasnya.27 Namun begitu, para ahli fiqih menjadikan lupa sebagai gugurnya pertanggung jawaban ini hanya menyangkut persoalan ibadah, bukan persoalan perdata dan pidana, artinya orang yang mengerjakan perbuatan yang dilarang karena alasan lupa, ia tetap dikenakan pertanggungjawaban, apabila perbuatannya itu menimbulkan kerugian kepada orang lain.28

Tidak Tahu; Pelaku tidak dapat diberikan beban hukum karena melakukan suatu perbuatan yang dilarang, kecuali ia mengetahui dengan sempurna tentang dilarangnya perbuatan tersebut. Apabila seseorang tidak tahu tentang dilarangnya perbuatan tersebut maka ia tidak dibebani pertanggungjawaban pidana dalam syariat islam. Akan tetapi para fuqaha menyatakan bahwa di dalam negeri islam tidak dapat diterima alasan tidak mengetahui ketentuan-ketentuan hukum karena

26 A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), 121

27 Jalaluddin As Suyuti, Al Jami’ Al Shaghir, 24

28 Syamsuddin Muhammad Ibn Abi Bakar Ibn AL Qayyim, I’lam Al Muwaqqi’in, juz III, (Beirut: Daar Al Fikr, 1997), 117-118

(17)

Volume 5 nomor 2, Desember 2021 | 137 istilah mengetahui disini bukan berarti harus tahu secara kaffah sampai dengan dalilidalinya.29

Keliru; Yang dimaksud keliru yaitu terjadinya sesuatu di luar kehendak pelaku. Dalam jarimah, kekeliruan perbuatan pelaku itu bukan karena niat atau kesengajaan, melainkan karena kelalaian dan kurang hati-hati. Konsekwensi hukum yang dilakukan oleh seorang yang keliru dalam bertindak tidak sama dengan adanya unsur kesengajaan, sekalipun keduanya tetap harus mendapat hukuman. Hal ini karena berdasar Al Quran Surah An Nisa : 93

ًأاطاخ اًنِّمْؤُم الاتا ق ْناماو ۚ ًأاطاخ هلَِّإ اًنِّمْؤُم الُتْقا ي ْناأ ٍنِّمْؤُمِّل انااك ااماو ۚ اوُقهدهصاي ْناأ هلَِّإ ِّهِّلْهاأ ٰالَِّإ ةامهلاسُم ةايِّداو ٍةانِّمْؤُم ٍةابا قار ُريِّرْحاتا ف

ْمُكانْ يا ب ٍمْوا ق ْنِّم انااك ْنِّإاو ۖ ٍةانِّمْؤُم ٍةابا قار ُريِّرْحاتا ف نِّمْؤُم اوُهاو ْمُكال ٍ وُداع ٍمْوا ق ْنِّم انااك ْنِّإاف اسُم ةايِّداف قااثيِّم ْمُها نْ يا باو

ٰالَِّإ ةامهل

او ۗ ِّهللَّا انِّم ًةابْوا ت ِّْيْاعِّبااتا تُم ِّنْيارْهاش ُماايِّصاف ْدِّايَ ْالَ ْناماف ۖ ٍةانِّمْؤُم ٍةابا قار ُريِّرْاتَاو ِّهِّلْهاأ اًميِّكاح اًميِّلاع ُهللَّا انااك

Artinya : Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman.

Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana

Mukallaf dalam Fiqih Jinayah

Mukallaf yang menjadi bagian penting tak terpisahkan dalam ilmu fiqih, tentu memiliki bahasan panjang pula seperti yang telah diketahui bersama pada bagian-bagian sebelumnya. Fiqih sebagai hukum yang hidup dan sekaligus hukum formal untuk umat islam senantiasa berjalan seiring tuntutan dan beberapa elemen di dalamnya, termasuk kesesuaian objek dengan dengan subjek hukum atau mahkum fih dan mahkum alaih-nya. Mahkum alaih (mukallaf) yang ada dalam fiqih mawarits tentu tidak sama dengan mukallaf yang dinginkan dalam fiqih jinayah.

Sebenarnya istilah mukallaf pada awalnya tidak dipetak apakah itu mukallaf dalam jinayah atau lainnya. Mukallaf hanyan didefinisikan sebagai orang yang cakap dalam menerima beban hukum dengan kreteria tertentu. Namun pada

29 Abdul Qadir Audah, At Tasyri’ Al Jana’iy Al Islamy, (Beirut: Dar Al kitab al ‘Araby, tt) 405

(18)

Volume 5 nomor 2, Desember 2021 | 138 perkembangan ilmu selanjutnya dan untuk memudahkan pembahasan akhirnya ada pengklasifikasian fiqih yang secara tidak langsung mengisyarahkan juga adanya klasifikasi bagian yang ada dalam satu disiplin penelitian fiqih tersebut, sehingga muncul istilah “mukallaf dalam fiqih jinayah”.

Mukallaf dalam pembahasan fiqih jinayah pada dasarnya tidak ada perbedaan dengan fiqih-fiqih yang lain kecuali dalam bahasan katagori ahliyah wujub al-kamilah. Pada intinya fiqih sebagai hukum Allah yang berdasar pada tidak adanya pembebanan pada hambaNya yang di luar batas kemapuan,30 telah memberikan toleransi dan kesesuaian hukum sehingga anak kecil yang belum dinyatakan cakap dalam menerima beban hukum terbebas dari konsekwensi hukum Qishas sekalipun tidak bisa dihindari dari hukum diyat.

KESIMPULAN

Mukallaf adalah seseorang yang pantas menerima beban taklif Allah Ta’ala dengan kreteria tertentu sehingga ia mendapat konsekwensi dari perbuatan yang dilakukannya, baik di dunia dalam arti pertanggung jawaban dalam pengadilan bahkan hingga hukuman mati, maupun diakhirat sebagai konsekwensi finish dari semua pakerjaan manusia yang akan diadili langsung oleh Allah sebagai Zat yang maha Adil . Istilah Mukallaf dalam pembahasan fiqih jinayah mempunyai perbedaan arti dengan mukallaf yang dimaksud dalam fiqih mawarits, munakahat, maupun dalam fiqih ibadah, sekalipun tetap dalam satu subjek hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Qadir Audah, At Tasyri’ Al Jana’iy Al Islamy, Dar Al kitab al ‘Araby, Baeirut.tt.

Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Cetakan ke 6, Jakarta : Rineka Cipta 2012.

Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Jakarta : Amzah, 2011

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I , Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 2000.

30 Karena logikanya, jika Allah memberikan beban di atas kemampuan hambaNya yang diciptakan dalam keadaan lemah, maka sama saja dengan memberi kesimpulan bahwa Allah itu Dzalim, sedang Allah Mahasuci dari sifat Dzalim. Dalam Al Quran : (Azab) yang demikian itu adalah disebabkan perbuatan tanganmu sendiri, dan bahwasanya Allah sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba- Nya.( Ali Imron : 182)

(19)

Volume 5 nomor 2, Desember 2021 | 139 A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1967.

Jalaluddin As Suyuti, al Jami’ Al Shaghir, Juz II, Dar Al Fikr, Beirut, tt.

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir. Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997

Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Daar al-Fikr Al ‘Araby, tt.

Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), cet I, Bandung : CV Pustaka Setia, 2000

Rachmat Syafe’i, M.A., Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia Bandung, 2015.

Satria Efendi, Ushul Fiqh, cetakan – 5, Jakarta : kencana, 2014

Syamsuddin Muhammad Ibn Abi Bakar Ibn AL Qayyim, I’lam Al Muwaqqi’in, juz III, Daar Al Fikr Beirut, Cetakan II, 1997.

Totok Jumantoro, Samsul munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh Jakarta, Amzah : 2009 Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, Perpustakaan Nasional (KDT), 2006.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini terlihat pada kurangnya buku yang dibaca, kurangnya buku bacaan yang dimiliki, jarangnya kunjungan perpusatakaan, dan tidak menyediakan dana khusus untuk membaca 2 Tingkat minat

Latar Belakang Ushul Fikih Latar belakang studi ushul fiqih adalah sejarah perkembangan ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah dan metode yang digunakan untuk menetapkan hukum syara'