1 Gambar 2. DAS Citarum
Tugas MK Pembangunan dan Keberlanjutan SEJARAH DAS CITARUM
Lady Hafidaty Rahma Kautsar
NPM.2306198671 / S3 / Angkatan 24A / Sekolah Ilmu Lingkungan November 2024
=========================================================
Gambar 1. Peta Operasi PPK DAS Citarum
(Sumber: https://citarumharum.jabarprov.go.id/eusina/uploads/2022/01/WhatsApp-Image- 2022-01-19-at-11.59.09.jpeg )
Asal-Usul Nama Citarum
Secara etimologis, nama Citarum berasal dari dua kata, yaitu “ci” (artinya air), dan “tarum”
(artinya sejenis tanaman yang jaman dulu dipakai untuk bahan celup kain berwarna biru tua sampai ungu). Ada pula pendapat bahwa nama Citarum berkaitan dengan nama kerajaan tertua di Jawa Barat, yaitu Tarumanegara.
(Hardjasaputra, 2007; Cita Citarum 2013).
Pada abad ke-5, berawal hanya dari sebuah dusun kecil yang dibangun di tepi sungai Citarum oleh Jayasinghawarman, lambat laun daerah ini berkembang menjadi sebuah kerajaan besar, yaitu Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan
2
Gambar 3. Wilayah Cekungan Bandung
Hindu tertua di Jawa Barat. Dari dahulu hingga sekarang, Citarum memainkan peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, terutama masyarakat di Jawa Barat. Dahulu kala, Citarum menjadi batas wilayah antara dua kerajaan, yaitu Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda (pergantian nama dari Kerjaan Tarumanegara pada tahun 670 Masehi). Fungsi Citarum sebagai batas administrasi ini terulang lagi pada sekitar abad ke-15, yaitu sebagai batas antara Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten. Sungai Citarum juga pada masanya menjadi jalur Transportasi yang menghubungkan Kawasan pesisir dan bagian pendalaman (Bachtiar, 2010).
Di lembah-lembah sungai ini banyak meninggalkan jejak alam. Dalam tulisan J.A. Katili (1962), diketahui bahwa lembah Ci Tarum di Selatan Rajamandala ditemukan fosil badak, kijang dan hippotamus, yang sekarang dikenal dengan sebutan kudanil. Belakangan ditemukan geraham gajah yang sangat utuh di kedalaman 6 (enam) meter di Kawasan Rancamalang – Kabupaten Bandung.
Di bagian hilir dari Kawasan sungai ini ada kerajaan Tarumanegara. Di daerah Batujaya, Kabupaten Karawang sekarang, terdapat banyak candi dan batu bata, sebagai pertanda bahwa sungai sangat berperan dalam lintaran sejarah Tatar Sunda.
Ci Tarum pun dijadikan batas kerajaan saat kerajaan di Tatar Sunda mulai terpecah. Bahkan saat ini pun Ci Tarum menjadi batas administratif antara Kabupaten Bandung dengan Kabupaten Cianjur, misalnya. Daerah Aliran Sungai (DAS) Ci Tarum telah membentuk Kawasan budaya Ci Tarum.
Geografis Citarum Sungai Citarum merupakan sungai terbesar dan terpanjang di Jawa Barat yang mengalir sepanjang 297 km dari hulunya di Kawasan Bandung Selatan, dan berakhir di Pesisir Utara Pulau Jawa, tepatnya di Kabupaten Bekasi dan Karawang.
Wilayah Sungai (WS) Citarum memiliki luas
11.325 km2 atau 32% dari total luas wilayah Provinsi Jawa Barat, meliputi 14 wilayah administrasi Kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Bogor, Kabupaten Purwarkarta, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Garut, Kabupaten Subang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Sukabumi, Kota Bandung, serta Kota Cimahi.
3
Untuk DAS Citarum seluas 6.822 km2 atau sebesar 60,24% dari WS Citarum, yang mencangkup 13 wilayah administrasi Kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Bogor, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Garut, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Subang, Kota Bandung, serta Kota Cimahi.
Aliran anak-anak sungai Citarum bergabung membentuk satu badan sungai yang mengalir dari hulunya, dari tujuh mata air Situ Cisanti, yang terletak di kaki Gunung Wayang (1.700 m dpl), Kabupaten Bandung, menjadi sumber utama bagi lairan sungai terbesar dan berakhir di Muara Gembong (Kabupaten Bekasi) menyatu dengan Laut Jawa.
Topografi Wilayah Sungai (WS) Citarum digambarkan dalam bentuk lahan atau morfologi yang terbagi atas 3 (tiga) bagian, yaitu bagian hulu, tengah dan hilir. WS Citarum bagian hulu nampak seperti cekungan raksasa, yang Dikenal dengan Cekungan Bandung. Elevasi DAS Citarum bagian hulu berkisar antara 625 – 2.600 m dpl. Daerah tertinggi terdapat di bagian hulu Citarum, di sekitar Gunung Guha. Sedangkan di daerah Tengah morfologi bervariasi antara dataran (250-400 mdpl), perbukitan bergelombang lemah (200-800 mdpl), perbukitan terjal (1.400-2.400 mdpl), dan morfologi tubuh gunung api. Bentuk morfologi Citarum hilir lebih didominasi oleh dataran, perbukitan bergelombang lemah, dan terjal dengan variasi elevasi antara 200-1.200 mdpl. Seluruh sungai di WS Citarum mengalir dari Selatan ke arah utara yang bermuara di pantai utara (Laut Tengah). Terdapat 2 (dua) Kawasan metropolitan, yaitu:
1. Jabodetabek di bagian utara, yaitu pada dataran rendah dengan ketinggian 0-100 mdpl, dan
2. Cekungan Bandung yang berada di bagian Selatan (dataran tinggi) pada ketinggian di atas 100 mdpl).
Data hidroklimatologi memberikan gambaran mengenai kondisi hidrologi dan meteorologi secara umum, antara lain meliputi variabel curah hujan, dan aliran, temperature udara, kelembaban nisbi, lama penyinaran matahari dan kecepatan angin.
WS Citarum dimasukkan ke dalam dimasukkan ke dalam wilayah beriklim tropis dengan curah hujan dan kelembaban udara yang tinggi sepanjang tahun, dan sedikit variasi suhu udara antara bulan satu dengan lainnya. Tinggi curah hujan tahunan bervariasi sesuai lokasi dan kondisi topografinya.
DAS Citarum merupakan rumah bagi ekosistem endemik yang terdapat di Provinsi Jawa Barat. Provinsi ini memiliki koleksi tumbuhan yang sangat beragam dengan 3.882 spesies tumbuhan berbunga dan paku-pakuan asli Jawa Barat dan 258 spesies lain yang berasal dari luar negeri.
Jawa Barat memiliki 1.106 jenis tumbuhan yang dapat digolongkan sebagai pohon, termasuk 51 jenis yang dianggap bernilai tinggi. Secara umum, hewan endemic dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok serangga, ikan, amfibi, reptil, burung dan mamalia.
Demografis Citarum
4
Aliran sungai Citarum berperan sangat penting bagi kehidupan masyarakat Jawa Barat.
Sejarah mencagag bahwa perkembangan kebudayaan manusia berada di aliran sungai, tidak terkecuali di sungai Citarum. Sejak zaman dahulu Sungai Citarum telah memainkan peranan penting bagi kehidupan sosial masyarakat terutama bagi masyarakat di Jawa Barat.
Pada zaman pemerintahan Belanda, Sungai Citarum berperan menjadi penghubung antara daerah pedalaman dengan pesisir di pantai utara Jawa sebagaj jalur transportasi untuk membawa hasil pertanian atau sebagai jalur perdagangan. Hingga kini potensi sumber daya air Sungai Citarum masih berperan penting bagi kehidupan masyarakat dalam mendukung kegiatan pertanian beririgasi, kegiatan industri, serta sebagai sumber air minum bagi kawasan perkotaan Bandung, Cimahi, Cianjur, Purwakarta, Bekasi dan Karawang. Saat ini, bahkan Megapolitan Jakarta sebagai Ibukota Negara Indonesia masih menggantungkan 80%
kebutuhan air baku serta pasokan listrik dari pembangkit listrik tenaga air yang ada di Sungai Citarum.
Berdasarkan data dalam angka tahun 2023 penduduk di DAS Citarum sebanyak 13.565.088, dengan rata-rata rasio pertumbuhan penduduk DAS Citarum sebesar 1,186%. Jika dilihat persentase penduduk DAS Citarum terhadap wilayah yang lebih luas, prosentase jumlah penduduk sebesar 29,944% dari seluruh penduduk di Provinsi Jawa Barat, dan sebesar 8,645% dari seluruh penduduk Jawa. Seluruh DAS Citarum berada di wilayah Provinsi Jawa Barat. Sejalan dengan perkembangan berbagai sektor usaha kegiatan perekonomian di DAS Citarum, PDRB di Provinsi Jawa Barat didominasi oleh 3 (tiga) sektor lapangan usaha, yaitu sektor industri pengolahan sebesar 41,87%, kemudian diikuti oleh sektor perdagangan besar dan eceran 14,43 dan sektor pertanian sebesar 8,44%. Pertumbuhan ekonomi di DAS Citarum dihitung berdasarkan data PDRB Jawa Barat untuk masing-masing Kabupaten/Kota.
Pemanfaatan Sungai Citarum
Sungai Citarum sampai dengan hari ini masih menjadi andalan dalam menopang kehidupan masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa bagian Barat. Tidak ada sungai yang memiliki peran dan fungsi sebesar Sungai Citarum. Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Penetapan Wilayah Sungai dan diperbaharui melalui Peraturan Menteri PUPR No.4 Tahun 2015, Sungai Citarum ditetapkan sebagai sungai dengan status Sungai Strategis Nasional
Potensi sumber daya air Sungai Citarum bukan hanya sekedar menyediakan kebutuhan air sehari-hari bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya saja, namun berperan penting dalam memasok air baku rumah tangga, memenuhi kebutuhan air perkotaan, serta mendukung kegiatan industri bagi wilayah Bandung, Cimahi, Cianjur, Purwakarta, Bekasi, Karawang hingga DKI Jakarta. Pasokan air baku wilayah DKI Jakarta sebesar 80% berasal dari air Sungai Citarum yang disalurkan melalui Saluran Tarum Barat. Sumber daya air Sungai Citarum berperan besar dalam mendukung terus berputarnya sektor-sektor perekonomian.
Bahkan, air Sungai Citarum menjadi sumber pasokan utama bagi pertanian beririgasi di Karawang, Indramayu hingga Subang yang menjadi lumbung padi dan mendukung ketahanan pangan nasional. Bendungan-bendungan di aliran sungai juga memiliki fungsi sebagai penggerak turbin-turbin pembangkit yang menyuplai energi listrik.
5
Perubahan Landuse-Landcover (LULC) /Tutupan Lahan DAS CItarum dari Tahun 2020, 2010, 2020 dan Prediksinya Tahun 2030 dan Tahun 2040
Model IDRISI CA-Markov, yang dikalibrasi dengan data dari tahun 2000 hingga 2010 (lihat Gambar 5), berhasil memprediksi perubahan penggunaan lahan untuk tahun 2020, dengan akurasi yang tinggi. Hal ini memvalidasi keandalan model dalam memperkirakan pola penggunaan lahan di masa mendatang. Untuk mengevaluasi akurasi model, peta tutupan lahan yang diproyeksikan untuk tahun 2020 dibandingkan dengan peta aktual menggunakan statistik indeks Kappa, yang menilai validitasnya dalam hal kuantitas dan distribusi spasial (lihat Gambar 6). Hasil validasi model menegaskan bahwa akurasi yang disimulasikan memenuhi persyaratan penelitian. Secara khusus, temuan validasi menunjukkan akurasi prediksi sebesar 0,87, 0,87, dan 0,81 untuk nilai Kappa, lokasi Kappa, dan standar Kappa.
Analisis peta tutupan lahan historis dan simulasi menunjukkan bahwa perubahan dalam proses pengembangan lahan berpotensi berdampak pada keberlanjutan lahan hutan (FRSE) (Gambar 4).
Gambar 4. Hasil klasifikasi Perubahan Landuse Landcover (LULC) tahun 2000, 2010, 2020, 2030, 2040
6
Model rantai CA-Markov memperkirakan penurunan hutan (FRSE) di lahan-lahan di wilayah Citarum, yang memproyeksikan pengurangan sebesar 3.810 hektare pada tahun 2030 dan 5.655 hektare pada tahun 2040 (lihat Tabel 2). Ini merupakan penurunan yang signifikan dari 970 hektare yang tercatat pada tahun 2010. Faktor-faktor utama yang berkontribusi terhadap pengurangan ini adalah perluasan wilayah perkotaan (URMD) dan pertanian (AGRC), yang didorong oleh pertumbuhan populasi dan ekonomi yang pesat. Perluasan ini berdampak negatif terhadap keberlanjutan lahan hutan di Daerah Aliran Sungai Citarum. Selain itu, lahan hutan ini sering kali terletak di permukaan datar, sehingga menjadi target utama untuk proyek-proyek pembangunan perkotaan (Aburas et al. 2018). Sebaliknya, wilayah perkotaan diprediksi akan meluas secara signifikan, dengan peningkatan sebesar 34.870 hektare pada tahun 2030 dan 44.987 hektare pada tahun 2040.
Gambar 4 menyajikan proyeksi perubahan penggunaan lahan di Daerah Aliran Sungai Citarum untuk tahun 2030 dan 2040, berdasarkan model CA-Markov. Proyeksi tersebut menunjukkan penurunan signifikan pada kawasan hutan (FRSE), dengan perkiraan pengurangan sebesar 3.810 hektare pada tahun 2030 dan 5.655 hektare pada tahun 2040, dibandingkan dengan tahun dasar 2010. Tren ini sebagian besar didorong oleh perluasan kawasan perkotaan (URMD) dan pertanian (AGRC), yang mencerminkan tekanan pertumbuhan penduduk dan pembangunan ekonomi yang cepat. Kawasan perkotaan diperkirakan akan meningkat secara substansial, dengan proyeksi perluasan sebesar 34.870 hektare pada tahun 2030 dan 44.987 hektare pada tahun 2040. Perluasan kawasan perkotaan ini mengancam keberlanjutan ekosistem hutan dan kesehatan DAS secara keseluruhan.
Penurunan yang diprediksi pada lahan basah herba (WETN) dan lahan semak belukar (RNGB) semakin menekankan perlunya pengelolaan lahan strategis dan upaya konservasi untuk mengurangi dampak buruk dari alih fungsi lahan. Hasilnya menggarisbawahi pentingnya penerapan langkah-langkah proaktif seperti reboisasi, perencanaan kota berkelanjutan, dan praktik pertanian untuk menjaga integritas ekologis Daerah Aliran Sungai Citarum dan memastikan kelangsungan sumber daya air dan potensi tenaga airnya.
Tabel 1. Landuse/Landcover DAS Citarum dari Tahun 2000, 2010, 2020, dan Prediksi 2030 dan 2040
7
Analisis perubahan LULC pada Tabel 1 antara tahun 2000 dan 2040 menunjukkan transformasi signifikan di dalam wilayah DAS. Perbandingan dengan DAS Citarum di Indonesia, seperti yang dibahas oleh Dan-Jumbo dkk. (2018), Pitaloka dkk. (2020), Yulianto dkk. (2022), Suryanta dkk. (2022a), dan Sapan dkk. (2022), menggarisbawahi temuan ini.
Padang Rumput/Herbasea/RNGE dan Padang Semak Belukar/RNGB menunjukkan fluktuasi, dengan padang rumput mencapai puncaknya pada tahun 2020 pada 58,41 hektar sebelum kembali ke tingkat tahun 2010. Lahan semak belukar terus menurun dari 42.197,76 hektare pada tahun 2000 menjadi 20.714,58 hektare pada tahun 2040, kemungkinan karena alih fungsi lahan untuk pertanian atau pembangunan perkotaan, yang mencerminkan tren di Daerah Aliran Sungai Citarum sebagaimana dicatat oleh Dan-Jumbo et al. (2018) dan Pitaloka et al. (2020). Kawasan hutan hijau abadi menurun dari 328.870,2 hektare pada tahun 2000 menjadi 304.146,2 hektare pada tahun 2020, kemudian pulih pada tahun 2030 dan 2040, yang menunjukkan adanya upaya konservasi dan reboisasi. Pola ini sejalan dengan Pitaloka et al. (2020). Kawasan kepadatan sedang perkotaan (URMD) tumbuh dari 80.432,19 hektare pada tahun 2000 menjadi 135.827,9 hektare pada tahun 2020, yang mencerminkan perluasan perkotaan yang berkelanjutan, sebuah tren yang juga terlihat di Daerah Aliran Sungai Citarum, sebagaimana disorot oleh Yulianto et al. (2022) dan Suryanta et al. (2022a).
Kawasan perairan terbuka (WATR) tetap relatif stabil, yang menekankan perlunya pengelolaan tutupan lahan yang efektif untuk menjaga sumber daya air, sebagaimana dibahas oleh Sapan et al. (2022). Lahan pertanian menurun secara bertahap, yang menunjukkan pergeseran ke arah urbanisasi, dengan potensi dampak pada ekonomi lokal dan ketahanan pangan, yang sejalan dengan pengamatan di Daerah Aliran Sungai Citarum. Penurunan kawasan hutan dan peningkatan zona perkotaan dapat memperburuk erosi dan sedimentasi, sebagaimana disarankan oleh Suryanta et al. (2022a), yang menyoroti perlunya strategi konservasi komprehensif yang dianjurkan oleh Sapan et al. (2022) untuk menjaga keseimbangan ekologi di daerah aliran sungai. Dari informasi di atas, dapat dicatat bahwa meskipun terjadi penurunan luas wilayah hutan dari tahun 2000 hingga 2020, peningkatan yang diprediksi pada tahun 2040 didasarkan pada beberapa faktor yang dipertimbangkan dalam model CA-Markov dan SWAT. Model-model ini mengasumsikan dampak positif dari program reboisasi, kebijakan konservasi, dan praktik pengelolaan lahan berkelanjutan.
Intervensi kebijakan yang efektif untuk mengendalikan perluasan wilayah perkotaan dan mempromosikan infrastruktur hijau, bersama dengan kemajuan dalam pertanian berkelanjutan dan teknologi perencanaan perkotaan, diharapkan dapat mendukung pemulihan hutan. (dalam Pranoto, 2024).
REFERENSI
Bono Pranoto, Edy Hartulistiyoso, Muhammad Nur Aidi, Dewayany Sutrisno, Irmadi Nahiba, Nugroho Purwono, Nurul Hudayat, Achmad Fahruddin Raisa, Yulizar Ihrami Rahmila.
(2024). Assessing the sustainability of small hydropower sites in the Citarum Watershed, Indonesia employing CA-Markov and SWAT models. Water Supply Vol 24 No 9, 3253 doi:
10.2166/ws.2024.209. http://iwaponline.com/ws/article- pdf/24/9/3253/1488652/ws2024209.pdf
8
Satgas DAS Citarum. (2024) Citarum Harum Caring For Rivers Saving Lives. Water World Forum 10th Bali. Available at: https://issuu.com/
satgascitarum/docs/buku_citarum_harum_eng-final.