OPTIMAL DI DAS CITARUM HULU
R. RODLYAN GHUFRONA
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
OPTIMAL DI DAS CITARUM HULU
R. RODLYAN GHUFRONA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada
Departemen Silvikultur
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
R. RODLYAN GHUFRONA. Application of Linear Goals Programming
Optimization Models in Determining The Optimal Land Use Configuration at The Upper Citarum Watershed. Under direction of OMO RUSDIANA.
Various natural disasters such as floods and landslides that much happening at this time caused by not optimum land use configuration which does not have forest cover at least 30% area of upper watershed (Republic of Indonesia’s laws number 41 year 1999 concerning Forestry). One of river basin in Indonesia which has great environmental problems is the Upper Citarum Watershed. The Upper Citarum Watershed is one of DAS Kategori I or needed a serious treatments because its conditions is very critical. Therefore, research must be done to determine the optimal land use configuration in the Upper Citarum watershed that could support the sustainability ecological and economic functions of the upstream region of a watershed.
This research is conducted through several steps such as: grouping of physical environmental characteristics; determination of actual erosion, green open space, and farm household income; formulating the optimization model framework; and sensitivity analysis. In this research, optimization techniques apply Linear Goals Programming (LGP) optimization model using General Algebraic Modeling System (GAMS) software. LGP is a linear program with the objectives of negative and positive deviation close to target set. Sugiyono and Suarna (2006) explained that the linear program can solves equations that has a large order with thousands of variables and constraints, and also very useful to solve problems in efficient resources allocation.
Actual land use configurations at the Upper Citarum Watershed causes most of the region (36.87%) is dominated by the level of erosion hazard very heavy with erosion rate is 0.35-17.704,27 tons/hectare/year; green open space of 76.75% area; approximately 58.25% farmer households estimated not able to meet the minimum necessities of life. Optimization techniques result the recommendation of optimum land use configuration that can decrease the erosion rate of 94.13% and reaching 72% areas that meet standards of TSL; reaching an area covering 87.39% of RTH; and increasing aggregate sector of food crops, plantations, and forestry farm household income amount 220.83%. From sensitivity analysis result, it is known that a 1% increase of tea and quinine plantations area can lead to increase 14.46-6159.59% of soil erosion in Upper Citarum Watershed; a 1% increase in soil erosion can lead to decrease 1.67% farm household income of forestry sector, 81.35% farm household income of plantation sector; and 1316.35% farm households income of food crops sector; a 1% increase of crops commodity local demand can lead to increase 13.68-2582.48% of farm household income in Upper Citarum Watershed.
R. RODLYAN GHUFRONA. Aplikasi Model Optimasi Linear Goals Programming dalam Menentukan Pola Penggunaan Lahan Optimal di DAS
Citarum Hulu.Dibimbing oleh OMO RUSDIANA.
Berbagai kejadian bencana alam seperti banjir dan longsor yang banyak terjadi saat ini disebabkan tidak optimalnya penggunaan lahan terutama di kawasan hulu suatu DAS yang seharusnya memiliki luasan hutan minimal 30% berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. DAS Citarum merupakan salah satu DAS Kategori I atau membutuhkan penanganan serius karena kondisinya sangat kritis. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk menentukan pola penggunaan lahan optimal yang dapat mendukung keberlanjutan fungsi ekologi dan ekonomi dari kawasan hulu suatu daerah aliran sungai. Penelitian ini bertujuan menentukan kondisi erosi, ruang terbuka hijau, dan pendapatan rumah tangga tani aktual yang diakibatkan pola penggunaan lahan aktual di DAS Citarum Hulu; merekomendasikan pola penggunaan lahan optimal dengan menggunakan model optimasi Linear Goals Programming; menentukan implikasi rekomendasi tersebut terhadap erosi, ruang terbuka hijau, dan pendapatan rumah tangga tani; serta menentukan elastisitas dampak perubahan suatu sasaran optimasi terhadap sasaran lainnya melalui analisis sensitivitas.
Penelitian ini dilaksanakan melalui beberapa tahapan yaitu pengelompokan karakteristik lingkungan fisik; penentuan erosi aktual, ruang terbuka hijau, dan pendapatan rumah tangga tani aktual; perumusan kerangka model optimasi; dan analisis sensitivitas. Optimasi dalam penelitian ini bertujuan merancang konfigurasi spasial pola penggunaan lahan yang dapat mengendalikan laju erosi
sampai mendekati erosi yang dapat dibiarkan atau tolerable soil loss (TSL),
memenuhi standar minimum luas ruang terbuka hijau (RTH), menghasilkan berbagai komoditas tanaman yang memenuhi permintaan lokal, dan memberikan dampak positif terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga tani yang memenuhi standar kebutuhan hidup layak (KHL). Untuk memenuhi tujuan
optimasi tersebut, teknik optimasi mengaplikasikan model optimasi Linear Goals
Programming (LGP) dengan menggunakan software optimasi General Algebraic Modeling System (GAMS). LGP merupakan program linear dengan sasaran-sasaran berupa simpangan negatif maupun simpangan positif yang mendekati sasaran yang ditetapkan. Sugiyono dan Suarna (2006) menjelaskan bahwa program linear dapat menyelesaikan persamaan yang mempunyai orde besar dengan ribuan variabel dan kendala, serta sangat bermanfaat untuk menyelesaikan permasalahan alokasi sumberdaya secara efisien.
didominasi lahan dengan tingkat bahaya erosi sangat berat (36,87%); ruang terbuka hijau seluas 139.549,65 ha (76,75%); dan sekitar 58,25% rumahtangga tani di DAS Citarum Hulu diperkirakan tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan hidup layak yaitu 23,43% rumahtangga termasuk kategori keluarga Pra-Sejahtera (sangat miskin) dan 34,82% Sejahtera I (miskin).
Teknik optimasi menghasilkan rekomendasi pola penggunaan lahan optimal yaitu lahan berfungsi lindung yang terdiri atas hutan lindung, hutan konservasi, dan taman perairan kota seluas 38.155,06 ha (20,99%); hutan produksi seluas
699,56 ha (0,38%); kebun/perkebunan seluas 30.697,81 ha (16,88%);
ladang/tegalan seluas 29.168,70 ha (16,04%); sawah tadah hujan seluas 8.906,64 (4,89%); sawah irigasi seluas 43.200,11 ha (23,76%); dan ruang terbangun dengan luasan RTH 10% seluas 30.966,97 (17,03%). Pada penggunaan lahan berfungsi budidaya, direkomendasikan sistem penanaman agroforestri dengan jenis tanaman yang direkomendasikan sebanyak 50 jenis yang merupakan jenis tanaman lokal yang tidak memiliki masalah dalam kesesuaian lahan, produktivitas, serta permintaan dan harga pasar lokal komoditas dari jenis tanaman tersebut. Keuntungan yang diperoleh dari sistem ini ialah kesuburan tanah yang lestari, konservasi tanah, peningkatan hasil, pengurangan resiko kegagalan, mudah dikelola, pengendalian hama dan penyakit, dan lebih dapat memenuhi kebutuhan sosial ekonomi penduduk setempat.
Rekomendasi penggunaan lahan optimal tersebut dapat menurunkan laju erosi dari aktual ke optimal sebesar 94,13% sehingga 72,97% kawasan mencapai TSL; meningkatkan areal RTH menjadi 87,39%; serta menurunkan jumlah rumah tangga tani yang tergolong miskin sebanyak 71,26% dari kondisi aktual sehingga 83,26% rumah tangga tani tanaman di DAS Citarum Hulu dapat memperoleh pendapatan yang memenuhi KHL. Dari hasil analisis sensitivitas dapat diketahui bahwa perluasan areal perkebunan teh dan kina sebesar 1% dapat mengakibatkan peningkatan erosi sebesar 14,46-6159,59%; peningkatan erosi sebesar 1% dapat mengakibatkan penurunan pendapatan rumah tangga tani 800,82%; peningkatan permintaan lokal terhadap suatu komoditas tanaman sebesar 1% dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga tani di DAS Citarum Hulu sebesar 13,68-2582,48%.
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aplikasi Model Optimasi Linear Goals Programming dalam Menentukan Pola Penggunaan Lahan Optimal di DAS Citarum Hulu adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan
sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juli 2010
Nama : R. Rodlyan Ghufrona
NIM : E44052421
Menyetujui:
Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc. NIP. 19630119 198903 1 003
Mengetahui:
Ketua Departemen Silvikultur
Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr. NIP. 19641110 199002 1 001
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
limpahan rahmat, anugerah dan lindungan-Nya penulis dapat menyelesaikan karya
ilmiah dengan judul “Aplikasi Model Optimasi Linear Goals Programming dalam
Menentukan Pola Penggunaan Lahan Optimal di DAS Citarum Hulu” dibawah
bimbingan Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc. Karya ilmiah ini merupakan tugas akhir
(skripsi) sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Dalam karya ilmiah ini, penulis mencoba memaparkan hasil penelitian
mengenai penerapan model optimasi sasaran ganda (Linear Goals Programming)
dengan menggunakan perangkat lunak General Algebraic Modeling System
(GAMS) untuk menentukan rekomendasi pola penggunaan lahan yang optimal.
Rekomendasi pola penggunaan lahan optimal tersebut mempertimbangkan faktor
ekologi, yaitu terpenuhinya erosi yang diperbolehkan (tolerable soil loss) dan
standar luas minimum ruang terbuka hijau, serta faktor ekonomi yaitu peningkatan
pendapatan petani minimum setara dengan kebutuhan hidup layak.
Penulis berharap semoga hasil dan rekomendasi yang dituangkan dalam
karya ilmiah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan pengetahuan,
khususnya di bidang kehutanan.
Bogor, Juli 2010
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 13 Mei 1987
(15 Ramadhan 1407 H) sebagai anak pertama dari empat
bersaudara dari pasangan Bapak Dr. Ir. H. R. Sunsun
Saefulhakim, M.Agr. dan Ibu Hj. Winda Lina, B.Ac., S.Pd.I.,
MM.Pd. Pada tahun 2005, penulis menyelesaikan jenjang
pendidikan sekolah dari SMA Negeri 1 Bogor kemudian
melanjutkan pendidikan perguruan tinggi di Institut Pertanian Bogor melalui
Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Pada tahun 2006, penulis memilih
Mayor Silvikultur di Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan dan Minor
Supporting Courses. Pada tahun 2008, penulis mengambil minat studi di Laboratorium Pengaruh Hutan Bagian Ekologi Hutan.
Selama duduk di bangku kuliah, penulis aktif dalam Komunitas Seni Budaya
Masyarakat Roempoet dan Himpunan Profesi Mahasiswa Departemen Silvikultur
Tree Grower Community. Penulis juga dipercaya untuk menjadi asisten praktikum pada mata ajaran Ekologi Hutan (2008/2009 dan 2009/2010) dan Pengaruh Hutan
(2009/2010). Salah satu prestasi penulis dalam bidang karya ilmiah yaitu sebagai
penerima penghargaan DIKTI Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Artikel
Ilmiah dengan judul Analisis Tutupan Lahan terhadap Kualitas Air Situ Burung,
Desa Cikarawang, Kabupaten Bogor, pada tahun 2009.
Penulis telah menyelesaikan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH)
yang berlokasi di Cagar Alam Leuweung Sancang dan Cagar Alam Kamojang
pada tahun 2007. Lalu menyelesaikan Praktek Pembinaan Hutan di Hutan
Pendidikan Gunung Walat (HPGW) pada tahun 2008. Kemudian penulis
melaksanakan Praktek Kerja Profesi pada tahun 2009 di Kelas Perusahaan Acacia
mangium KPH Bogor, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten.
Untuk menyelesaikan studi pada Program Pendidikan Sarjana Kehutanan di
Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis
melakukan penelitian dengan judul Aplikasi Model Optimasi Linear Goals
UCAPAN TERIMA KASIH
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
limpahan rahmat, anugerah dan lindungan-Nya penulis dapat menyelesaikan karya
ilmiah ini. Penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr. selaku Dekan Fakultas Kehutanan IPB
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr. selaku Ketua Departemen
Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB
3. Bapak Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc. atas selaku Dosen Pembimbing atas
bimbingan, ilmu pengetahuan, dan waktu yang telah diberikan
4. Ibu Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si; Bapak Effendi Tri Bahtiar, S.Hut, MS;
dan Bapak Soni Trison, S.Hut, M.Si; selaku Dosen Penguji dalam Ujian
Komprehensif dan Bapak Ir. Andi Sukendro, M.Si. selaku Dosen Moderator
dalam Seminar Hasil Penelitian
5. Seluruh jajaran staf BPDAS Citarum-Ciliwung, Biro Pusat Statistik (BPS),
Subdit Potensi Ekonomi Daerah Ditjen Bina Bangda Depdagri, dan
Community and Regional Development Institute of Aqwati Center (CoRDIA) atas bantuan data-data yang telah diberikan
6. Komisi Pendidikan Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor yang telah membantu dalam pengurusan administrasi
7. Orang tua (Bapak Dr. Ir. H. R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr dan Ibu Hj.
Winda Lina, B.Ac., S.Pd.I, MM.Pd), adik-adik (Fahmi, Syifa, dan Ihsan), serta
keluarga besar penulis yang telah memberikan inspirasi, motivasi, dan doa
8. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Cecep Kusmana, MS; Ibu Ir. Siti Sugiah Mugniesyah,
M.Si; Bapak Dadan Mulyana, S.Hut, M.Si; Ibu Atikah; Ibu Mudiani; Desti
Hartanti, S.Hut; Anna Husnaeni, S.Hut; yang memberikan bantuan dan doa
9. Syampadzi Nurroh, Dedy Wahyudi, Deviyanti, Rizky Dwima Ananda, Juniar
Prayogi, Dwita Noviani, Tina Maretina, Ridho M. Dhani, Chandra Agung
Septiadi Putra, serta teman-teman mahasiswa Departemen Silvikultur
Angkatan 42 dan 43 yang telah memberikan bantuan, motivasi, dan doa
10.Serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
RIWAYAT HIDUP ii
UCAPAN TERIMA KASIH iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN ix
I. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan Penelitian 3
1.3 Manfaat Penelitian 3
II. TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS) 4
2.2 Penggunaan Lahan 6
2.3 Erosi 7
2.4 Evaluasi Erosi 8
2.4.1 Model prediksi erosi USLE 8
2.4.2 Tingkat bahaya erosi (TBE) 9
2.4.3 Erosi yang dapat dibiarkan (Tolerable soil loss) 9
2.4.4 Sedimentasi 9
2.5 Ruang Terbuka Hijau 10
2.6 Standar Kebutuhan Hidup 11
2.7 Optimasi Penatagunaan Lahan 12
III.METODOLOGI 15
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 15
3.2 Alat dan Bahan 15
3.3 Metode Penelitian 16
3.3.1 Pengelompokan karektiristik lingkungan fisik 18
3.3.2 Penentuan erosi aktual 18
3.3.3 Penentuan ruang terbuka hijau aktual 20
3.3.4 Penentuan pendapatan rumah tangga tani aktual 20
3.3.5 Perumusan kerangka model optimasi 20
3.3.6 Standarisasi data 27
3.3.7 Analisis sensitivitas 28
IV.KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 29
4.1 Letak dan Luas DAS 29
4.2 Kondisi Fisik 30
4.2.1 Tanah dan geologi 30
4.2.2 Hidrologi 31
4.2.4 Topografi 33
4.3 Penggunaan Lahan Aktual 34
4.4 Sosial Ekonomi 35
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 36
5.1 Penggunaan Lahan Aktual dan Implikasinya terhadap Erosi, Ruang
Terbuka Hijau, dan Pendapatan Rumah Tangga Tani 36
5.2.1 Implikasi penggunaan lahan aktual terhadap erosi 37
5.2.2 Implikasi penggunaan lahan aktual terhadap ruang terbuka
hijau 39
5.2.3 Implikasi penggunaan lahan aktual terhadap pendapatan rumah
tangga tani 41
5.2 Proses Optimasi 43
5.3 Rekomendasi Pola Penggunaan Lahan Optimal 47
5.4 Implikasi Implementasi Rekomendasi Pola Penggunaan Lahan
Optimal 59
5.4.1 Implikasi implementasi rekomendasi pola penggunaan lahan
optimal terhadap erosi 59
5.4.2 Implikasi implementasi rekomendasi pola penggunaan lahan
optimal terhadap ruang terbuka hijau 63
5.4.3 Implikasi implementasi rekomendasi pola penggunaan lahan
optimal terhadap pendapatan rumah tangga tani 65
5.5 Analisis Sensitivitas (Elastisitas) 68
5.5.1 Elastisitas dampak perluasan areal perkebunan teh dan kina
terhadap perubahan erosi 69
5.5.2 Elastisitas dampak peningkatan erosi terhadap perubahan
pendapatan rumah tangga tani 70
5.5.3 Elastisitas dampak permintaan lokal terhadap perubahan
pendapatan rumah tangga tani 72
VI.KESIMPULAN DAN SARAN 73
6.1 Kesimpulan 73
6.2 Saran 74
DAFTAR PUSTAKA 75
DAFTAR TABEL
No Halaman
1. Upah minimum tiap Propinsi, Kabupaten, dan Kota di Indonesia 12
2. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian 16
3. Kategori sistem lahan pada penelitian 18
4. Skor faktor K untuk beberapa jenis tanah (soil greats) klasifikasi USDA 19
5. Kelas Tingkat Bahaya Erosi (TBE) 19
6. Sediment Delivery Ratio (SDR) 19
7. Cakupan wilayah administatif di kawasan DAS Citarum Hulu 29
8. Jenis tanah di DAS Citarum Hulu 31
9. Kelas kelerengan DAS Citarum Hulu 33
10.Penggunaan lahan aktual di DAS Citarum Hulu 35
11.Laju erosi, luas ruang terbuka hijau, dan pendapatan rumah tangga tani
tiap penggunaan lahan pada kondisi aktual 37
12.Laju pelepasan sedimen dan persentase berdasarkan capaian TSL dan
TBE tiap penggunaan lahan aktual 38
13. Luas ruang terbuka hijau tiap penggunaan lahan di kawasan perkotaan dan pedesaan DAS Citarum Hulu pada kondisi aktual 40 14. Pendapatan rumah tangga tani aktual sektor komoditas tanaman setiap tahun
pada tiap penggunaan laha di DAS Citarum Hulu 42 15. Ketentuan kerangka model optimasi untuk penentuan pola penggunaan lahan
optimal 44
16. Ketentuan proporsi areal budidaya tanaman tiap sektor pada penggunaan lahan
rencana 44
17. Kesesuaian lahan tiap sistem lahan di DAS Citarum Hulu 45 18. Rekomendasi perubahan penggunaan lahan untuk mencapai kondisi optimal 48 19. Rekomendasi penanaman di kawasan lindung untuk mencapai kondisi optimal 50 20. Jenis tanaman rekomendasi untuk kawasan budidaya 51 21. Rekomendasi pola penanaman di kawasan budidaya untuk mencapai kondisi
optimal 52
22. Laju erosi, luas ruang terbuka hijau, dan pendapatan rumah tangga tani pada implementasi rekomendasi penggunaan lahan optimal 59 23. Laju pelepasan sedimen dan persentase luas berdasarkan capaian TSL dan
TBE tiap penggunaan lahan pada kondisi optimal 60 24. Luas ruang terbuka hijau tiap penggunaan lahan di kawasan perkotaan dan
pedesaan DAS Citarum Hulu pada kondisi optimal 63 25. Pendapatan rumah tangga tani per tahun pada kondisi optimal tiap sektor
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Hubungan biofisik antara DAS bagian hulu dengan hilir 5
2. Tipologi Ruang Terbuka Hijau 10
3. Peta lokasi penelitian 15
4. Skema tahapan penelitian 17
5. Peta wilayah administratif DAS Citarum Hulu 30
6. Peta jaringan sungai DAS Citarum Hulu 32
7. Peta kelas lereng DAS Citarum Hulu 34
8. Kelompok penggunaan lahan aktual di DAS Citarum Hulu 36
9. Persentase jenis tanaman yang dibudidayakan petani pada kondisi
aktual sektor kehutanan, perkebunan, dan tanaman pangan 41
10.Total persamaan infeasible dan nilai total persamaan infeasible dalam
pencarian ruang pilihan dalam proses optimasi 46
11.Grafik nilai fungsi tujuan dalam proses pencarian nilai minimum dalam
model optimasi 47
12.Konfigurasi spasial penggunaan lahan aktual yang mengalami
perubahan fungsi penggunaan lahan untuk mencapai kondisi optimal 47
13.Skema penanaman interplanting pada hutan produksi 53
14.Contoh profil tegakan kebun talun pada tahapan suksesi talun, kebun
campuran, dan huma 54
15.Pola penanaman pengkayaan di lahan tegalan berdasarkan Pedoman
Rehabilitasi Hutan dan Lahan 55
16.Perbandingan luas penggunaan lahan pada kondisi aktual dan optimal 57
17.Konfigurasi spasial perubahan penggunaan lahan dari aktual ke optimal
DAS Citarum Hulu 57
18.Perbandingan laju erosi tiap kelompok penggunaan lahan pada kondisi
aktual ke optimal 60
19.Perbandingan proporsi areal tiap penggunaan lahan di DAS Citarum
Hulu berdasarkan tingkat bahaya erosi pada kondisi aktual dan optimal 61
20.Konfigurasi spasial laju perubahan erosi dari kondisi aktual ke optimal
di DAS Citarum Hulu 62
21.Perbandingan luas ruang terbuka hijau tiap kelompok penggunaan lahan
di DAS Citarum Hulu pada kondisi aktual dan optimal 64
22.Konfigurasi spasial persentase ruang terbuka hijau optimal di DAS
23.Perbandingan pendapatan rumah tangga tani tanaman di DAS Citarum
Hulu pada kondisi aktual dan optimal 66
24.Implikasi implementasi rekomendasi budidaya tanaman pada
penggunaan lahan optimal terhadap produksi tiap kelompok komoditas
tanaman di DAS Citarum Hulu 67
25.Elastisitas dampak peningkatan luas areal perkebunan teh dan kina
terhadap perubahan erosi tiap sistem lahan di DAS Citarum Hulu 69
26.Elastisitas dampak peningkatan erosi terhadap perubahan pendapatan
rumah tangga tani tiap sektor di DAS Citarum Hulu 71
27.Elastisitas dampak peningkatan permintaan lokal komoditas tanaman
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Nilai faktor pengelolaan tanaman (C) 79
2. Nilai faktor teknik konservasi tanah (P) berbagai tindakan konservasi
tanah khusus 79
3. Faktor kedalaman untuk 30 sub-ordo tanah 80
4. Pedoman penetapan nilai erosi yang dapat dibiarkan (TSL) 80
5. Penetapan kelas kesesuaian lahan padi 81
6. Penetapan kelas kesesuaian lahan tanaman semusim 82
7. Penetapan kelas kesesuaian lahan pohon/tanaman tahunan 83
8. Rincian set desa di DAS Citarum Hulu (i) 84
9. Penggunaan lahan aktual (k) 88
10.Penggunaan lahan rencana 88
11.Nilai faktor erosi, erosi yang diperbolehkan (TSL), dan kelas kedalaman
tanah tiap sistem lahan 89
12.Daftar jenis/komoditas tanaman yang tercakup model (n) 89
13.Program optimasi menggunakan software GAMS 90
14.Pola perubahan penggunaan lahan dari aktual (k) ke optimal (l)
berdasarkan hasil optimasi Linear Goals Programming 94
15.Rekomendasi pola penanaman di Hutan Produksi Rencana 95
16.Rekomendasi pola penanaman di Kebun/Perkebunan Rencana 95
17.Rekomendasi pola penanaman di Ladang/Tegalan Rencana 96
18.Rekomendasi pola penanaman di Sawah Irigasi Rencana 96
19.Rekomendasi pola penanaman di Sawah Tadah Hujan Rencana 97
20.Rekomendasi pola penanaman di pekarangan Ruang Terbangun
Rencana 97
21.Ringkasan rekomendasi perubahan tipe penggunaan lahan ke lahan
berfungsi lindung untuk mencapai kondisi optimal 98
22.Ringkasan rekomendasi perubahan tipe penggunaan lahan ke hutan
produksi dan areal tegakan tanaman untuk mencapai kondisi optimal 99
23.Ringkasan rekomendasi perubahan tipe penggunaan lahan ke Kebun/
Perkebunan dan areal tegakan tanaman untuk mencapai kondisi optimal 100
24.Ringkasan rekomendasi perubahan tipe penggunaan lahan ke Ladang/ Tegalan dan areal tegakan tanaman untuk mencapai kondisi optimal 101
26.Ringkasan rekomendasi perubahan tipe penggunaan lahan ke Sawah Tadah Hujan dan areal tegakan tanaman untuk mencapai kondisi
optimal 103
27.Ringkasan rekomendasi perubahan tipe penggunaan lahan ke Ruang
Terbangun dan areal tegakan tanaman untuk mencapai kondisi optimal 104
28.Ringkasan implikasi implementasi rekomendasi perubahan pola
penggunaan lahan terhadap Erosi, RTH, dan RTB 105
29.Ringkasan implikasi implementasi rekomendasi pola penggunaan lahan
dan pola areal tegakan tanaman terhadap produksi 107
30.Ringkasan implikasi implementasi rekomendasi perubahan pola
penggunaan lahan dan pola areal tegakan tanaman terhadap keragaan
output dan pendapatan 108
31.Profil tajuk kebun talun pada tipe suksesi lahan talun di areal
agroforestri tradisional huma talun, Desa Kemang (Kab. Cianjur) 109
32.Profil tajuk kebun talun pada tipe suksesi lahan kebun campuran di areal
agroforestri tradisional huma talun, Desa Kemang (Kab. Cianjur) 110
33.Profil tajuk kebun talun pada tipe suksesi lahan huma di areal
agroforestri tradisional huma talun, Desa Kemang (Kab. Cianjur) 111
34.Pendapatan rumah tangga tani tiap sektor di tiap desa pada kondisi
1.1 Latar Belakang
Berbagai kejadian bencana alam seperti banjir dan longsor yang banyak
terjadi saat ini diakibatkan oleh kerusakan lingkungan terutama kerusakan hulu
suatu daerah aliran sungai sebagai daerah tangkapan air. Salah satu penyebab dari
masalah tersebut ialah tidak optimalnya penggunaan lahan dan tutupan hutan
terutama di kawasan hulu suatu Daerah Aliran Sungai (DAS), yang seharusnya
memiliki luasan hutan minimal 30% (UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999).
Penggunaan lahan dari suatu kawasan harus diselenggarakan berdasarkan
penataan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan dengan
terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam, sumber daya
buatan, dan sumber daya manusia; serta terwujudnya perlindungan fungsi ruang
dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang
(UU Penataan Ruang Nomor 7 Tahun 2007). Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional, kawasan hulu suatu
DAS dapat dikategorikan kedalam kawasan lindung nasional yang ditunjukkan
dengan beberapa fungsi yaitu kawasan yang memberikan perlindungan terhadap
kawasan bawahannya sebagai kawasan resapan air, kawasan perlindungan
setempat sebagai sempadan sungai dan kawasan sekitar danau atau waduk,
kawasan rawan bencana alam seperti tanah longsor dan banjir, serta sebagai
kawasan perlindungan terhadap air tanah karena terdapat sempadan mata air.
Salah satu kawasan yang memiliki masalah kerusakan lingkungan yang
besar di Indonesia ialah DAS Citarum. DAS Citarum merupakan salah satu DAS
Kategori I atau membutuhkan penanganan serius karena kondisinya sangat kritis.
Berdasarkan data dalam Harian Kompas (2010), sebanyak 78% DAS Citarum
merupakan hutan rakyat yang rusak karena sebagian besar telah beralih fungsi
menjadi lahan pertanian semusim. Kebutuhan ekonomi dan pertambahan
penduduk di bagian hulu DAS Citarum mendorong terjadinya konversi kawasan
hampir 25 tahun, perluasan lahan pertanian meningkat dua kali lipat lebih dari
24,75% pada tahun 1983 menjadi 53,24% pada tahun 2007. Konversi lahan
tersebut mengakibatkan fungsi ekologis kawasan hulu DAS tidak berjalan dengan
baik, laju sedimentasi di kawasan hulu DAS Citarum meningkat hampir dua kali
lipat yang ditunjukkan oleh laju ekspor sedimen tahunan sebesar 1,18 juta ton
pada tahun 1993 yang meningkat menjadi 2,15 juta ton pada tahun 2003. Hal itu
mengakibatkan sedimentasi hingga 5 juta m3 di Waduk Saguling (outlet besar
pertama dan juga salah satu Pembangkit Listrik Tenaga Air Sungai Citarum) yang
mengurangi daya tampung waduk sehingga berdampak pada penurunan kinerja
0,58% per tahun untuk membangkitkan listrik dan pengurangan usia pemanfaatan
waduk yang kini hanya 25 tahun lagi atau 50 tahun sehingga mengakibatkan
kerugian pembangkit listrik sebesar Rp 20 triliun. Peningkatan laju sedimentasi
tersebut juga mengakibatkan kejadian banjir yang mengakibatkan kerugian
lumbung padi nasional, yaitu sekitar 300.000 ha sawah di Karawang dan
Purwakarta, sebanyak Rp 5,25 triliun; kerugian sektor perikanan sebesar Rp 50
miliar; dan kerugian lain akibat banjir, baik kerugian materi maupun kesehatan, di
areal pemukiman dan pabrik.
Kawasan hulu DAS Citarum memiliki peran yang besar sebagai sistem
perlindungan dan penyangga kehidupan sehingga keberadaannya perlu dikelola
dengan baik agar peran tersebut tetap berfungsi secara lestari. Menurut Sunarti
(2008), kerusakan di bagian hulu tidak hanya hanya mempunyai efek yang
bersifat on site tetapi juga dapat menyebabkan efek yang bersifat off site atau
kerusakan di bagian hilir. Efek yang terjadi bukan hanya kerusakan lingkungan
tetapi kerusakan roda perekonomian, baik di kawasan hulu maupun hilir. Efek
dari kerusakan lingkungan dapat berdampak terhadap menurunnya ekonomi dari
penduduk dari suatu lokasi bahkan dapat berdampak meningkatnya kemiskinan.
Oleh karena itu, perlu dilakukan penatagunaan lahan yang optimal di DAS
Citarum Hulu yang memperhatikan aspek ekologis dan ekonomis sehingga
kawasan hulu dapat berfungsi secara optimal dan berkelanjutan sebagai suatu
kawasan lindung namun tetap memperhatikan aspek kesejahteraan rakyat, dalam
hal ini ialah petani sebagai pengelola dan pemelihara lahan dalam mengelola
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian “Aplikasi Model Optimasi Linear Goals Programming dalam
Menentukan Pola Penggunaan Lahan Optimal di DAS Citarum Hulu” ini
memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Menentukan kondisi erosi, ruang terbuka hijau, dan pendapatan rumah tangga
tani aktual akibat pola penggunaan lahan aktual di DAS Citarum Hulu
2. Merekomendasikan pola penggunaan lahan optimal di DAS Citarum Hulu
yang dapat memenuhi sasaran ekologi dan ekonomi dengan mengaplikasikan
model optimasi sasaran ganda (Linear Goals Programming)
3. Menentukan implikasi rekomendasi pola penggunaan lahan optimal terhadap
erosi, ruang terbuka hijau, dan pendapatan rumah tangga tani
4. Menentukan elastisitas dampak perubahan suatu sasaran optimasi terhadap
sasaran optimasi lainnya
1.3 Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat dijadikan masukan kepada Balai Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai Citarum-Ciliwung dalam perencanaan dan pelaksanaan program
rehabilitasi lahan di DAS Citarum Hulu, serta memberikan masukan kepada
perencanaan tata ruang dan kebijakan Pemerintah Kabupaten/Kota yang berada di
2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS)
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan unit alam berupa kawasan yang
dibatasi oleh pemisah topografis berupa punggung-punggung bukit yang
menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh diatasnya ke
sungai utama (Sunarti 2008) dan kemudian menyalurkannya ke laut (Asdak 1995).
Wilayah daratan tersebut dinamakan Daerah Tangkapan Air (DTA atau catchment
area) yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas
sumberdaya alam (tanah, air, dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai
pemanfaat sumberdaya alam (Asdak 1995).
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
menyebutkan bahwa DAS adalah suatu bentang lahan yang dibatasi oleh
punggung bukit pemisah aliran (topographic divide) yang menerima, menyimpan,
dan mengalirkan air hujan melalui jaringan sungai dan bermuara di satu patusan
(single outlet) di sungai utama menuju danau dan laut. DAS merupakan ekosistem
alam berupa hamparan lahan yang bervariasi menurut kondisi geomorfologi
(geologi, topografi, dan tanah), penggunaan lahan, dan iklim yang memungkinkan
terwujudnya ekosistem hidrologi yang unik.
Secara makro, DAS terdiri dari unsur biotik (flora dan fauna), abiotik
(tanah, air, dan iklim), dan manusia yang saling berinteraksi dan saling
ketergantungan membentuk sistem hidrologi. DAS juga dapat dipandang sebagai
suatu sistem hidrologi yang dipengaruhi oleh presipitasi (hujan) sebagai masukan
ke dalam sistem. DAS mempunyai karakteristik yang spesifik berkaitan dengan
unsur-unsur utama seperti jenis tanah, topografi, geologi, geomorfologi, vegetasi,
dan tata guna lahan.
Berdasarkan fungsinya, DAS dibagi menjadi tiga bagian yaitu DAS bagian
hulu, DAS bagian tengah, dan DAS bagian hilir. DAS bagian hulu didasarkan
pada fungsi konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan
DAS agar tidak terdegradasi, yang dapat diindikasikan oleh kondisi tutupan
hujan. DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang
dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi,
yang dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan
air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti
pengelolaan sungai, waduk, dan danau. DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi
pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat sosial dan
ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan
menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian,
air bersih, serta pengelolaan air limbah (Effendi 2008). Hubungan biofisik antara
DAS bagian hulu dan hilir digambarkan pada Gambar 1.
Gambar 1 Hubungan biofisik antara DAS bagian hulu dengan hilir (Asdak 1995).
Pengelolaan DAS pada dasarnya ditujukan untuk terwujudnya kondisi yang
optimal dari sumberdaya vegetasi, tanah, dan air, sehingga mampu memberi
manfaat secara maksimal dan berkesinambungan bagi kesejahteraan manusia.
Selain itu pengelolaan DAS dipahami sebagai suatu proses formulasi dan
implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam
dan manusia yang terdapat di DAS untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa
tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah, yang dalam
hal ini termasuk identifikasi keterkaitan antara tata guna lahan, tanah dan air, serta
2.2 Penggunaan Lahan
Lahan (land) adalah lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah,
air, dan vegetasi serta benda diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap
potensi penggunaan lahan (FAO 1976 dalam Arsyad 2006). Saefulhakim (1997)
menyatakan bahwa lahan adalah matriks dasar kehidupan manusia dan
pembangunan karena semua aspek kehidupan dan pembangunan baik langsung
maupun tidak langsung berkaitan dengan permasalahan lahan. Setiap bentuk
campur tangan manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya baik material maupun spiritual disebut juga sebagai penggunaan lahan
atau land use (Arsyad 2006). Penggunaan lahan merupakan suatu proses dinamis,
sebagai hasil dari perubahan pola dan besarnya aktivitas manusia sepanjang
waktu.
Kebutuhan penggunaan lahan berkaitan erat dengan sistem aktivitas antara
manusia dengan kelembagaan yaitu individu, rumah tangga, firma, dan institusi.
Barlowe (1978) menyebutkan ada tiga faktor penting yang dipertimbangkan
dalam menggunaan lahan yaitu kesesuaian bio-fisik, kelayakan sosial ekonomi,
dan kelayakan kelembagaan. Faktor fisik dan biologis mencakup kesesuaian sifat
fisik seperti keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuh-tumbuhan, binatang dan
kependudukan.
Arsyad (2006) mengelompokkan penggunaan lahan kedalam dua golongan
besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian.
Penggunaan lahan pertanian yaitu penggunaan lahan tegalan, sawah, kebun,
padang rumput, hutan, padang alang-alang, dan sebagainya. Sedangkan
penggunaan lahan bukan pertanian yaitu penggunaan lahan kota atau desa
(pemukiman), industri, rekreasi, pertambangan, dan sebagainya.
Sebaran penggunaan lahan di suatu kawasan atau wilayah membentuk suatu
pola yang disebut pola penggunaan lahan. Pola penggunaan lahan ialah
konfigurasi spasial atau tata ruang di suatu wilayah untuk waktu tertentu. Di
samping itu, pola penggunaan lahan dapat menggambarkan keadaan sosial
ekonomi dari masyarakatnya. Secara umum, pola tersebut merefleksikan aktivitas
manusia yang membutuhkan lahan untuk memproduksi pangan, lokasi
penggunaan lahan merupakan gabungan dari beberapa jenis penggunaan lahan
yang ada dalam suatu wilayah. Oleh karena itu, potensi suatu daerah dapat dilihat
dari pola penggunaan lahan yang ada di daerah yang bersangkutan.
Semakin bertambahnya penduduk suatu wilayah setiap tahunnya akan
menyebabkan bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan ke
penggunaan yang lain diikuti oleh berkurangnya tipe penggunaan lahan lain pada
suatu waktu ke waktu berikutnya yang disebut perubahan penggunaan lahan.
Perubahan penggunaan lahan tidak akan membawa masalah yang serius sepanjang
mengikuti kaidah konservasi tanah dan air serta kelas kemampuan lahan.
Perubahan lahan akan berpengaruh langsung terhadap karakteristik penutupan
lahan sehingga akan mempengaruhi sistem tata air DAS yang ditunjukkan oleh
respon hidrologi DAS yang diketahui melalui produksi air, erosi, dan sedimentasi
(Seyhan 1990).
2.3 Erosi
Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau
bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami, seperti air atau
angin (Arsyad 2006). Di daerah tropis seperti Indonesia, erosi terutama
disebabkan oleh air hujan. Erosi terjadi akibat interaksi kerja antara faktor iklim,
topografi, tanah, vegetasi, dan manusia. Faktor iklim yang paling berpengaruh
terhadap erosi yaitu intensitas curah hujan. Faktor topografi yang berpengaruh
terhadap debit dan kadar lumpur yaitu kecuraman dan panjang lereng. Faktor
tanah yang mempengaruhi erosi dan sedimentasi yaitu luas jenis tanah yang peka
terhadap erosi, luas lahan kritis atau daerah erosi, dan luas tanah berkedalaman
rendah.
Peranan manusia, baik yang bersifat positif maupun negatif, merupakan
faktor utama dalam proses erosi. Manusia berperan positif apabila tindakan
manusia yang dilakukan dapat mengurangi besarnya kehilangan tanah (Arsyad
2006). Faktor tindakan konservasi tanah (P) yang dilakukan oleh manusia
merupakan nisbah besarnya erosi dari lahan dengan tindakan konservasi tertentu
2.4 Evaluasi Erosi
Evaluasi atau penilaian erosi dapat dilakukan dalam dua bentuk, yaitu
penilaian mengenai kemungkinan besarnya erosi yang akan atau dapat terjadi
pada suatu wilayah atau sebidang tanah dan penilaian mengenai besarnya atau
tingkat erosi yang telah terjadi pada suatu wilayah atau sebidang tanah (Arsyad
2006). Evaluasi ancaman erosi bertujuan untuk mengetahui bagian mana dari
suatu daerah yang mempunyai potensi untuk mengalami erosi dan kemungkinan
tingkat erosi yang akan terjadi. Evaluasi ancaman erosi dapat dilakukan pada
semua tingkat pengamatan, antara lain:
1. Tingkat makro yang merupakan evaluasi umum suatu wilayah yang luas
meliputi satu pulau atau wilayah nasional
2. Tingkat meso yang merupakan evaluasi potensi erosi yang meliputi areal lebih
kecil seperti suatu DAS, Sub-DAS, Propinsi, Kabupaten, atau Kecamatan
3. Tingkat mikro yang merupakan evaluasi potensi erosi meliputi suatu areal
yang sempit yaitu sebidang tanah.
Evaluasi erosi tingkat meso dapat menggunakan dua cara yaitu menggunakan
model prediksi erosi atau klasifikasi kemampuan lahan.
2.4.1 Model prediksi erosi USLE
Prediksi erosi adalah alat bantu untuk mengetahui besarnya erosi yang akan
terjadi pada suatu penggunaan lahan dengan pengelolaan tertentu dan untuk
mengambil keputusan dalam perencanaan konservasi tanah pada suatu areal tanah.
Menurut Arsyad (2006), metode prediksi erosi merupakan alat untuk menilai
apakah suatu program atau tindakan konservasi tanah telah berhasil mengurangi
erosi dari suatu daerah aliran sungai (DAS). Salah satu model yang dapat
digunakan untuk prediksi erosi ialah USLE (Universal Soil Loss Equation). USLE
memungkinkan perencana menduga laju rata-rata erosi suatu bidang tanah tertentu
pada suatu kecuraman lereng dan pola hujan tertentu untuk setiap macam
pertanaman dan tindakan pengelolaan (tindakan konservasi tanah) yang mungkin
dilakukan atau sedang dilakukan. Struktur model Prediksi erosi USLE
(Wishchmeier dan Smith 1978) ialah sebagai berikut:
A=RKLSCP
A = Rata-rata tanah tererosi spasial dan temporal per satuan areal R = Faktor curah hujan dan aliran permukaan
K = Faktor erodibilitas tanah L = Faktor panjang lereng S = Faktor kecuraman lereng
C = Faktor vegetasi/tanaman penutup tanah dan pengelolaan tanaman P = Faktor tindakan konservasi tanah
2.4.2 Tingkat Bahaya Erosi (TBE)
Tingkat Bahaya Erosi adalah perkiraan kehilangan tanah maksimum
dibandingkan dengan tebal solum tanahnya pada setiap unit lahan bila teknik
pengelolaan tanaman dan konservasi tanah tidak mengalami perubahan.
Penentuan tingkat bahaya erosi menggunakan pendekatan tebal solum tanah yang
telah ada dan besarnya erosi sebagai dasarnya. Semakin dangkal solum tanahnya
maka semakin sedikit tanah yang boleh tererosi, sehingga tingkat bahaya erosinya
cukup besar meskipun tanah yang hilang belum terlalu besar (Arsyad 2006).
2.4.3 Erosi yang dapat dibiarkan (Tolerable Soil Loss)
Erosi yang dapat dibiarkan (TSL) ialah laju erosi yang dinyatakan dalam
ton/ha/tahun yang terbesar yang masih dapat ditoleransikan agar terpelihara suatu
kedalaman tanah yang cukup bagi pertumbuhan tanaman yang memungkinkan
tercapainya produktivitas yang tinggi secara lestari (Arsyad 2006).
2.4.4 Sedimentasi
Sedimen adalah tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut dari suatu
tempat yang tererosi. Sedimentasi yaitu sedimen yang dihasilkan dari proses erosi
dan terbawa oleh suatu aliran yang diendapkan pada suatu tempat dimana
kecepatan airnya melambat atau berhenti (Arsyad 2006). Sedimen umumnya
mengendap di bagian bawah kaki bukit, di daerah genangan banjir, saluran air,
sungai, dan waduk (Asdak 1995). Nisbah jumlah sedimen yang benar-benar
terbawa oleh sungai dari suatu daerah terhadap jumlah tanah yang tererosi di
daerah tersebut disebut sebagai Sediment Delivery Ratio (SDR).
Proses sedimentasi dapat memberikan dampak yang menguntungkan dan
merugikan. Sedimentasi dapat menguntungkan karena pada tingkat tertentu
terbentuknya tanah garapan baru di daerah hilir, namun pada saat yang bersamaan
aliran sedimen dapat menurunkan kualitas perairan dan pendangkalan badan
perairan (Asdak 1995). Pengendapan yang berlebihan akan menyebabkan
pendangkalan loka-loka penampungan air, termasuk dataran banjir di sekitar
muara sungai (Purwowidodo 2002).
Produksi sedimen tahunan rata-rata dari suatu daerah aliran sungai
tergantung dari faktor iklim, jenis tanah, tata guna lahan, topografi, dan waduk.
Menurut Asdak (1995), faktor lain yang mempengaruhi besarnya sedimen yang
masuk ke sungai adalah karakteristik sungai yang meliputi morfologi sungai,
tingkat kekasaran sungai, dan kemiringan sungai.
2.5 Ruang Terbuka Hijau
Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
mendefinisikan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai area memanjang/jalur
dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat
tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja
ditanam. Selanjutnya, tipologi RTH menurut undang-undang tersebut seperti
dijelaskan pada Gambar 2.
Gambar 2 Tipologi Ruang Terbuka Hijau dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Manfaat RTH bagi ekologi antara lain menjadi habitat bagi berbagai macam
organisme, mencegah erosi, menyerap air hujan, sekaligus memperbaiki drainase.
Tanaman dalam RTH mampu menyerap polutan dari kendaraan dan mengurangi
efek pulau panas di kawasan perkotaan. Efek pulau panas adalah gejala
peningkatan suhu pada kawasan perkotaan dibandingkan dengan kawasan
ruang terbangun yang masif dikarenakan bangunan, aspal jalan, dan kontruksi
beton menyerap panas, sehingga temperatur sekitarnya menjadi meningkat. RTH
juga dapat memberikan manfaat sosial antara lain sebagai tempat rekreasi, tempat
bersosialisasi, menciptakan interaksi positif antar masyarakat, serta
mengembangkan nilai-nilai sosial yang dapat menjadi modal sosial bagi
pembangunan. RTH menjadi sarana pendidikan untuk mengenalkan alam,
menghubungkan masyarakat dengan lingkungannya sehingga muncul kesadaran
untuk menciptakan lingkungan hidup yang nyaman.
Kebijakan yang memuat ketentuan standar luas RTH berbeda-beda. Luas
RTH sebagaimana diatur dalam undang-undang Penataan Ruang adalah sebesar
30% luas wilayah. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), luasan RTH
bervariasi dari satu daerah dengan daerah lain dan antar berbagai fungsi kawasan
dengan kisaran 10% sampai dengan 60%. Angka tersebut merupakan standar
building coverage dan pedoman perencanaan lingkungan pemukiman kota untuk
berbagai fungsi kawasan dan jenis sarana dari Dirjen Cipta Karya Departemen
Pekerjaan Umum (1983).
2.6 Standar Kebutuhan Hidup
Ada dua kriteria yang dapat digunakan dalam menilai standar kebutuhan
hidup suatu keluarga, yaitu dengan standar kebutuhan hidup minimum (KHM)
dan standar kebutuhan hidup layak (KHL). Besarnya standar kebutuhan hidup
minimum penduduk dari suatu kawasan di lokasi tertentu ditentukan berdasarkan
standar Upah Minimum Regional (UMR) lokasi tertentu. Upah Minimum
Regional adalah suatu standar minimum yang digunakan oleh para pengusaha atau
pelaku industri untuk memberikan upah kepada pegawai, karyawan, atau buruh di
dalam lingkungan usaha atau kerjanya. Pemerintah mengatur pengupahan melalui
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 05/Men/1989 tanggal 29 Mei 1989 tentang
Upah Minimum. Saat ini UMR juga dikenal dengan istilah Upah Minimum
Propinsi (UMP) karena ruang cakupannya biasanya hanya meliputi suatu propinsi.
Selain itu setelah otonomi daerah berlaku penuh, dikenal juga istilah Upah
Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Nilai UMP maupun UMK di wilayah
Tabel 1 Upah minimum tiap propinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia
Nama Propinsi / Kabupaten / Kota
Nilai Upah Minimum
(Rp)
Nama Propinsi / Kabupaten / Kota
Nilai Upah Minimum
(Rp) 1. Nangroe Aceh Darussalam 1.300.000,00 16. Jawa Timur
2. Sumatera Utara 965.000,00 - Kota Surabaya 805.500,00
3. Sumatera Barat 700.000,00 - Kab. Sidoarjo 802.000,00
4. Riau 800.000,00 17. Bali
5. Kepulauan Riau 833.000,00 - Kab. Badung 605.000,00
6. Jambi 900.000,00 - Kota Denpasar 800.000,00
7. Sumatera Selatan 743.000,00 - Kab. Gianyar 760.000,00
8. Bangka Belitung 813.000,00 - Kab. Jembrana 737.500,00
9. Bengkulu 683.528,00 - Kab. Karangasem 712.320,00
10.Lampung 678.900,00 - Kab. Klungkung 686.000,00
11.Jawa Barat 568.193,39 - Kab. Bangli 685.000,00
-Kab. Bogor 873.231,00 - Kab. Tabanan 685.000,00
-Kota Depok 962.500,00 - Kab. Buleleng 685.000,00
-Purwakarta 763.000,00 18. Nusa Tenggara Barat 730.000,00
-Kota Bekasi 994.000,00 19. Nusa Tenggara Timur 650.000,00
- Kab. Bekasi 980.589,60 20. Kalimantan Barat 645.000,00
21. Kalimantan Selatan 1.024.500,00
22. Kalimantan Tengah 765.868,00
- Kab. Sumedang
(Jatinangor, Tanjungsari, Cimanggung, Pamulihan)
886.000,00
23. Kalimantan Timur 1.002.000,00 - Kab. Sumedang (diluar
Jatinangor, Tanjungsari, Cimanggung, Pamulihan)
700.000,00 24. Maluku Utara (masih dalam
pembahasan di Pemda)
- Kab. Karawang 912.225,00 25. Maluku 840.000,00
- Kota Bandung 939.000,00 26. Gorontalo 710.000,00
- Kab. Bandung 895.980,00 27. Sulawesi Utara 1.000.000,00
12.DKI Jakarta 972.604,80 28. Sulawesi Tenggara 860.000,00
13.Banten 537.000,00 29. Sulawesi Tengah 777.500,00
- Kab. Tangerang 953.850,00 30. Sulawesi Selatan 1.000.000,00
- Kota Cilegon 978.400,00 31. Sulawesi Barat 944.500,00
14. Jawa Tengah 547.000,00 32. Papua Barat 1.210.000,00
15. Yogyakarta 586.000,00 33. Papua 1.105.500,00
Sumber: Wikipedia Indonesia (2010)
Standar kebutuhan hidup layak (KHL) dapat ditentukan berdasarkan kriteria
yang dikemukakan oleh Sajogjo (1977), yaitu pendapatan bersih yang diperoleh
minimal setara 320 kg/orang/tahun dikali harga beras berlaku dikali 5 orang
anggota keluarga dalam setiap KK dikali 2,5 sebagai indeks faktor pengali yang
merupakan kebutuhan diluar pangan berupa biaya tempat tinggal, kesehatan,
pakaian, kegiatan sosial kemasyarakatan, dan pendidikan.
2.7 Optimasi Penatagunaan Lahan
Optimasi adalah suatu teknik analisis untuk menentukan keputusan optimal
(maksimal atau minimal) untuk mencapai tujuan tertentu dengan dibatasi berbagai
dalam sistem manajemen secara umum. Kajian penatagunaan lahan dengan teknik
optimasi telah banyak digunakan dalam hal produktivitas lahan dan pemanfaatan
sumberdaya, seperti memaksimalkan produksi; penentuan pola tanam optimal;
analisis target produksi dengan kendala fisik, biologi, ekonomi, dan lingkungan;
optimasi suplai air untuk lahan pertanian; dan sebagainya. Namun teknik optimasi
belum banyak digunakan untuk perencanaan sistem tata guna lahan (tata ruang)
kawasan daerah aliran sungai yang mengoptimalkan fungsi kawasan sebagai
kawasan lindung dan budidaya dari segi ekologis, ekonomis, dan sosial.
Intrilligator (1978) menjelaskan bahwa komponen utama model berdasarkan
kerangka umum permodelan optimasi (mathematical programming) terdiri atas
variabel keputusan (decision variables atau instruments); ruang pilihan
(opportunity sets) yang dirumuskan dengan beberapa fungsi pembatas nilai
variabel keputusan yang disebut fungsi kendala (constraint functions); dan fungsi
tujuan (objective function). Variabel keputusan dalam optimasi penggunaan lahan
adalah pola spasial penggunaan lahan yang mencakup tipe, luas, dan lokasi
penggunaan lahan. Variabel keputusan didasarkan pada pola penggunaan lahan
aktual dengan tipe penggunaan lahan yang ada atau dikembangkan lebih lanjut
sesuai dengan tujuan optimasi. Permasalahan yang dihadapi adalah mencari nilai
variabel keputusan dalam suatu ruang pilihan sehingga dapat memaksimumkan
nilai fungsi tujuan.
Sadeghi dan Jalili (2008) dalam kajian optimasi penggunaan lahan daerah
aliran sungai (Land Use Optimization in Watershed Scale) menentukan variabel
keputusan optimasi pola penggunaan lahan, yaitu tipe, lokasi, dan luasan
penggunaan lahan yang didasarkan pada pola da tipe penggunaan lahan aktual.
Fungsi tujuan disusun berdasarkan sasaran-sasaran optimasi untuk
memaksimalkan keuntungan dan meminimumkan erosi. Untuk tujuan ganda
tersebut teknik optimasi yang digunakan adalah multiobjectives goal
programming.
Bentuk umum model goals programming (Saefulhakim 2008) adalah
sebagai berikut:
• Fungsi tujuan:
min
∑
[
(
)
]
∑
∑
= =
− +
=
− − + +
− ⋅ ⋅ + ⋅ = =
= K
k
K
k k k
K
k
k k k k
k P d P d P P
g z
1 1
1 1
• Fungsi-fungsi kendala:
- Kendala sasaran :
∑
(
)
=
+ −
⋅ ⋅ + − =
J
j
k k k j k
j x d d g
v 1
- Kendala riil :
∑
=
≤ J
j
i j
ijx b
a 1
- Kendala non negativitas : xj ≥0; 0dk− ≥ ; 0dk+ ≥
Keterangan:
z = variabel tujuan yang dicari nilai optimalnya j = {1…..J} set variabel keputusan
i = {1…..I} set fungsi kendala riil k = {1…..K} set fungsi kendala sasaran
k
g = nilai sasaran ke-k
k
P+ = skala prioritas penurunan angka kelebihan dari nilai sasaran ke-k
+
k
d = variabel angka kelebihan dari angka sasaran ke-k
−
k
P = skala prioritas penurunan angka kekurangan dari nilai sasaran ke-k
−
k
d = variabel angka kekurangan dari angka sasaran ke-k
, j k
v = koefisien fungsi sasaran ke-k untuk variabel keputusan ke-j
j
x = variabel keputusan ke-j
, i j
a = luas total areal set fungsi kendala riil ke-i dan set varibel keputusan ke-j
i
b = luas total area lokasi kajian
Salah satu program yang dapat digunakan dalam rangka teknik optimasi
ialah GAMS (General Algebraic Modeling System). GAMS merupakan program
yang didesain untuk membuat konstruksi dan solusi atas model program
matematika yang kompleks dan besar. GAMS juga dapat meningkatkan
produktivitas para pembuat model dan memperluas kegunaan aplikasi program
matematika dalam analisis kebijakan dan pembuatan keputusan (Brooke et al.
1988). GAMS dapat diaplikasikan ke berbagai bidang dengan tujuan menentukan
solusi yang optimal dari kondisi tertentu dari suatu permasalahan. Keunggulan
software GAMS dibandingkan dengan software optimasi lainnya ialah dapat
digunakan untuk analisis optimasi dasar dan berbagai pengembangannya. Selain
itu, GAMS tidak menggunakan tabel yang terbatas jumlah kolom dan barisnya
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan pada bulan Desember 2009
sampai dengan Mei 2010 di Laboratorium Pengaruh Hutan, Departemen
Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Wilayah studi yang
dikaji dalam penelitian ini yaitu DAS Citarum Hulu yang terdiri atas lima
Sub-DAS, yaitu Cikapundung, Citarik, Cirasea, Cisangkuy, dan Ciwidey (BPDAS
Citarum-Ciliwung 2007). Lokasi wilayah kajian penelitian dapat dilihat pada
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini berupa data-data
sekunder, yang terdiri atas data spasial dan data statistik (Tabel 2).
Tabel 2 Data sekunder yang digunakan dalam penelitian
Sumber data * No Jenis data sekunder
Nama data Instansi Tahun
DATA SPASIAL
1 Batas DAS dan Sub-DAS Peta batas DAS dan Sub-DAS di DAS Citarum BPDAS
Citarum-Ciliwung
2007
2 Karakteristik tanah, geologi, dan topografi DAS Citarum Hulu
Peta sistem lahan DAS Citarum BPDAS
Citarum-Ciliwung
2007
3 Curah hujan lapangan di DAS Citarum Hulu
Peta curah hujan lapangan DAS Citarum BPDAS
Citarum-Ciliwung
2007
4 Kedalaman solum tanah DAS Citarum Hulu
Peta kedalaman solum DAS Citarum BPDAS
Citarum-Ciliwung
2007
- Peta penggunaan lahan aktual - Peta tutupan lahan hutan 5 Penggunaan lahan aktual di DAS
Citarum Hulu
- Peta fungsi hutan
BPDAS
Citarum-Ciliwung
2007
- Peta wilayah administrasi Potensi Desa Sensus Pertanian
BPS 2004 6 Wilayah administratif di DAS
Citarum Hulu **
- Peta wilayah administrasi Potensi Desa Sensus Sosial Ekonomi Nasional
BPS 2007
DATA STATISTIK
- Data Potensi Desa Sensus Pertanian BPS 2004 - Data Potensi Desa Sensus Sosial Ekonomi BPS 2007 7 Aktivitas produksi komoditas
tanaman dan luas areal yang dibudidayakan di DAS Citarum Hulu
- Data Potensi Ekonomi Daerah Tahun 2007 Ditjen. Bina Bangda Depdagri
2008
8 Pola konsumsi masyarakat sekitar lokasi penelitian
Data Survey Sosial Ekonomi Nasional [SUSENAS] Modul Konsumsi Tahun 2002
BPS 2004
9 Komoditas tanaman bahan baku industri pengolahan
Data Sensus Industri Skala Menengah-Besar Tahun 2005 (Sensus Industri 2005)
BPS 2007
10 Laju pertumbuhan ekonomi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) harga konstan dan harga berlaku periode (2000-2007)
Ditjen. Bina Bangda Depdagri
2008
Keterangan: *) Data terkini dari sumber
**) Pemekaran wilayah administratif dikoreksi berdasarkan Permendagri (2008)
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan melalui beberapa tahapan yaitu pengelompokan
karakteristik lingkungan fisik, penentuan erosi aktual, penentuan ruang terbuka
hijau (RTH) aktual, penentuan pendapatan rumah tangga tani aktual, perumusan
kerangka model optimasi, standarisasi data, dan analisis sensitivitas. Proses dari
Gambar 4 S
k
ema taha
p
an
p
3.3.1 Pengelompokan karateristik lingkungan fisik
Dalam penelitian ini, karakteristik lingkungan fisik di lokasi penelitian
berupa curah hujan, tanah, dan topografi dikelompokkan menjadi suatu sistem
lahan seperti yang disajikan pada Tabel 3. Pengelompokan ini bertujuan
memudahkan dalam penentuan laju erosi dan analisis kesesuaian lahan.
Tabel 3 Kategori sistem lahan pada penelitian
Sumber: Hasil analisis.
3.3.2 Penentuan erosi aktual
Dalam penentuan erosi aktual, dihitung laju erosi, tingkat bahaya erosi, laju
sedimentasi. Data yang digunakan dalam menentukan erosi aktual ialah data
sistem lahan (j) dan penggunaan lahan aktual (k). Perhitungan laju erosi
menggunakan model pendugaan laju erosi USLE (Universal Soil Loss Equation)
yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978):
akt j j j j k k
E =R K L S C P (1)
yang menyatakan:
Eakt = Rata-rata tanah tererosi spasial dan temporal per satuan areal [ton/ha/tahun]
Rj = Faktor erosivitas hujan pada sistem lahan tertentu
Kj = Faktor erodibilitas tanah pada sistem lahan tertentu
Lj = Faktor panjang lereng pada sistem lahan tertentu
Sj = Faktor kecuraman lereng pada sistem lahan tertentu
Ck = Faktor tutupan lahan pada penggunaan lahan aktual
Pk = Faktor tindakan khusus konservasi pada penggunaan lahan aktual
Nilai Kj ditentukan berdasarkan Tabel 4. Nilai Ck dan Pk ditentukan
berdasarkan nilai faktor C pada Lampiran 1 atau nilai faktor P pada Lampiran 2
(Arsyad 2006).
l Nama 1 2 3
1 Argalingga 1120 3,0 25% 60 cm agak halus Eutrandepts Tropudults Tropohumults 750 15 - 25
2 Bukit Balang 2040 4,0 60% 90 cm agak halus Dystropepts Humitropepts Tropohumults 1050 > 40
3 Bukit Masung 1386 3,0 60% 90 cm sedang Dystropepts Tropudults Troporthents 1050 > 40
4 Batu Ajan 1440 5,0 60% 60 cm agak halus Tropudults Humitropepts Troporthents 750 > 40
5 Batuapung 1323 2,0 40% 90 cm agak kasar Dystropepts Dystrandepts Tropudults 1050 25 - 40
6 Barong Tongkak 1400 2,5 25% 90 cm sedang Dystropepts Eutropepts Tropudalfs 1050 15 - 25
7 Cibingbin 1323 1,0 25% 60 cm agak halus Eutropepts Eutrandepts - 750 15 - 25
8 Cipancur 1620 4,0 25% 30 cm agak halus Eutrandepts Troporthents - 300 15 - 25
9 Citarum 1512 3,5 2% 30 cm halus Tropaquepts Fluvaquents - 300 < 8
10 Gunung Saman 1160 3,0 25% 60 cm agak halus Eutropepts Tropudults - 750 15 - 25
11 Kuranji 1281 2,5 8% 90 cm kasar Dystropepts Dystrandepts Tropaquepts 1050 < 8
12 Kundut 1150 2,0 15% 30 cm agak halus Paleudults Eutropepts - 300 8 - 15
13 Patuha 1596 0,5 25% 60 cm agak halus Dystrandepts Tropudults Eutropepts 750 15 - 25
14 Tanggamus 1386 2,5 60% 90 cm sedang Dystrandepts Humitropepts Hydrandepts 1050 > 40
15 Talamau 1428 3,5 25% 60 cm agak halus Dystrandepts Tropudults Eutropepts 750 15 - 25
Jenis tanah dominan (USDA) Rata-rata
Kedalaman Solum (mm)
Kelas Lereng (%)
Sistem Lahan Curah
hujan (mm/th)
Jumlah bulan kering
Lereng tercuram
Solum terdangkal
Tabel 4 Skor faktor K untuk beberapa jenis tanah (soil greats) klasifikasi USDA
Jenis Tanah Skor Faktor K Jenis Tanah Skor Faktor K
1. Dystrandepts 0,150 8. Paleudults 0,300
2. Dystropepts 0,300 9. Tropaquepts 0,300
3. Eutrandepts 0,150 10. Tropohumults 0,300
4. Eutropepts 0,300 11. Troporthents 0,300
5. Fluvaquents 0,150 12. Tropudalfs 0,300
6. Humitropepts 0,150 13. Tropudults 0,300
7. Hydrandepts 0,150
Sumber: BPDAS Citarum-Ciliwung (2007)
Klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi (TBE) mengacu pada pedoman klasifikasi
TBE Dirjen Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan (1998) yang disajikan
pada Tabel 5.
Tabel 5 Kelas Tingkat Bahaya Erosi (TBE)
Kelas erosi
I II III IV V Erosi (ton/ha/tahun)
Kedalaman tanah (cm)
< 15 15-60 60-180 180-480 > 480 Dalam (> 90) 0 – SR I – R II – S III – B IV – SB Sedang (60-90) I – R II – S III – B IV – SB IV – SB Dangkal (30-60) II – S III – B IV – SB IV – SB IV – SB Sangat dangkal (< 30) III – B IV – SB IV – SB IV – SB IV – SB Keterangan: 0 - SR = sangat ringan III - B = berat
I - R = ringan IV - SB = sangat berat II - S = sedang
Sumber: Dirjen Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan (1998)
Laju pelepasan sedimen ditentukan dengan menggunakan pendekatan
Sediment Delivery Ratio (SDR) yang dikembangkan oleh USDA berdasarkan luas
area (Tabel 6). Rumusan pendekatan tersebut yaitu: Sed =SDR A× (2)
Dimana, Sed = besarnya sedimentasi yang dihasilkan
SDR = rasio sedimen terangkut dari keseluruhan material erosi tanah
A = besarnya erosi yang terjadi dari suatu area (erosi potensial)
Tabel 6 Sediment Delivery Ratio (SDR)
Luas area
km2 ha SDR
0,05 5 0,580
0,10 10 0,520
0,50 50 0,390
1,00 100 0,350
5,00 500 0,250
3.3.3 Penentuan ruang terbuka hijau aktual
Kriteria ruang terbuka hijau (RTH) menurut Undang-undang RI No. 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yaitu area memanjang/jalur dan/atau
mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh
tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
Berdasarkan definisi tersebut, dalam penelitian ini penentuan RTH aktual adalah
sebagai berikut:
- Luas RTH untuk tipe penggunaan lahan aktual berupa hutan,
kebun/perkebunan, ladang/tegalan, dan sawah adalah 100%
- Luas RTH untuk penggunaan lahan aktual berupa ruang terbangun (RTH
privat) adalah 10%
- Luas RTH untuk tipe penggunaan lahan aktual berupa lahan kosong (semak
belukar, rumput/tanah kosong, tanah berbatu) dan air yaitu 0%
3.3.4 Penentuan pendapatan rumah tangga tani aktual
Pendapatan rumah tangga tani aktual ditentukan dengan menjumlahkan
besarnya pendapatan tiap rumah tangga yang bermatapencaharian petani
komoditas tanaman yang diperoleh dari data sosial ekonomi.
3.3.5 Perumusan kerangka model optimasi
Dalam merumuskan kerangka model optimasi, dilakukan analisis
kesesuaian lahan, analisis komoditas tanaman yang sesuai dengan permintaan
lokal,dan teknik optimasi. Analisis kesesuaian lahan dilakukan berdasarkan
penetapan kelas kesesuaian lahan pada Lampiran 5 sampai dengan Lampiran 7.
Analisis komoditas tanaman yang sesuai dengan permintaan lokal dilakukan
dengan menggunakan data aktivitas produksi tanaman untuk desa/kelurahan di
lokasi penelitian dalam Data Potensi Desa Sensus Pertanian (BPS 2004), data pola
konsumsi masyarakat sekitar lokasi penelitian dalam Data Survey Sosial Ekonomi
Nasional Modul Konsumsi Provinsi Jawa Barat (BPS 2004), dan data komoditas
tanaman bahan baku industri pengolahan dalam Data Sensus Industri (BPS 2007).
Teknik Optimasi dilakukan dengan pendekatan model optimasi linear sasaran
ganda atau linear goals programming (LGP) menggunakan software optimasi
Optimasi dalam penelitian ini bertujuan merancang konfigurasi spasial pola
penggunaan lahan yang dapat mengendalikan laju erosi sampai mendekati erosi
yang dapat dibiarkan atau tolerable soil loss (TSL), memenuhi standar minimum
ruang terbuka hijau (RTH), menghasilkan berbagai komoditas tanaman yang
memenuhi permintaan lokal, dan memberikan dampak positif terhadap
peningkatan pendapatan rumah tangga tani yang memenuhi standar kebutuhan
hidup layak (KHL). Tujuan optimasi tersebut dipenuhi dengan struktur model
LGP terdiri atas fungsi tujuan; fungsi-fungsi kendala, yang terdiri atas fungsi
kendala real dan fungsi kendala sasaran; variabel-variabel model, yang terdiri atas
variabel-variabel keputusan, variabel-variabel sasaran, dan variabel tujuan; serta
parameter model.
Variabel keputusan
Dalam penelitian ini, terdapat dua variabel keputusan optimasi antara lain:
a. Konfigurasi spasial pola penggunaan lahan
Xi,j,k,l : areal suatu desa dengan sistem lahan kategori tertentu dan
penggunaan lahan aktual tipe tertentu yang direkomendasikan untuk diubah menjadi penggunaan lahan rencana tipe tertentu [ha]
b. Konfigurasi spasial pola budidaya tanaman
Ti,j,k,l,m,n : areal suatu desa dengan sistem lahan kategori tertentu,
penggunaan lahan aktual tipe tertentu dan direkomendasikan untuk dirubah menjadi penggunaan lahan rencana tipe tertentu yang termasuk kelompok penggunaan budidaya tanaman, yang selanjutnya direkomendasikan pada periode musim tertentu untuk areal tegakan jenis tanaman tertentu [ha]
Fungsi tujuan
Tujuan optimasi dipenuhi dengan meminimumkan nilai rataan berbobot dari
skor baku berbagai variabel sasaran. Rumusan fungsi tujuan ialah sebagai berikut:
(
12 12 12 12 5 5 5 5 6 6 6 6)
, , ,
,
1 2 3
, , min
ˆ ˆ ˆ
ˆ (3)
E E E E G G G G
i j i j i j i i i i i i
i j i i
D D D D D D D D D D
n n n n n n n n n
n n n
o o i o i o i
o i
Z P P w P P w P P w
P P P w P P w P P w
P P P w
κ κ κ κ
π π π
π π π π π
+ − −
− − −
−
= Δ + Δ + Δ +
Δ + Δ + Δ +
Δ
∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑
………Dimana,
minZ : variabel tujuan optimasi yang ingin diminimumkan
s
P : skala prioritas antar kelompok sasaran utama optimasi, untuk sasaran:
erosi (s=E), RTH (s=G), RTB (s=κ), output komoditas tanaman (s=D),
,
E i j
P : skala prioritas antar desa antar sistem lahan untuk sasaran erosi
,
E i j
w : pembobot variabel sasaran total erosi setahun yang terjadi pada suatu desa
dengan sistem lahan tertentu [ton-1]; E , 1 ,
i j i j
w = E°
,
E i j +
Δ : simpangan positif total erosi setahun yang terjadi pada suatu desa dengan
sistem lahan tertentu, dari sasaran total erosi setahun yang ditetapkan untuk desa itu dengan sistem lahan tersebut [ton]
G i
P : skala prioritas antar desa untuk sasaran RTH
G i
w : pembobot variabel sasaran areal RTH untuk suatu desa [ha-1]; Gwi=1Gi°
G i −
Δ : simpangan negatif areal RTH di suatu desa, dari sasaran areal RTH yang
ditetapkan untuk desa tersebut [ha]
i P
κ
: skala prioritas antar desa untuk sasaran RTB
i w
κ
: pembobot variabel sasaran areal RTB untuk suatu desa [ha-1]; κwi =1κi°
i
κΔ−
: simpangan negatif areal ruang terbangun (RTB) di suatu desa, dari sasaran areal RTB yang ditetapkan untuk desa tersebut [ha]
D n
P : skala prioritas antar jenis komoditas tanaman untuk sasaran output
D n
w : pembobot variabel sasaran output setahun untuk suatu komoditas tanaman
[Rp-1 juta-1]; Dwn=1 Dn° D
n −
Δ : simpangan negatif dan positif output setahun suatu komoditas tan