PETA KELAS LERENG DAS CITARUM BAGIAN HULU
5.3 Rekomendasi Pola Penggunaan Lahan Optimal
Berdasarkan hasil optimasi, direkomendasikan pola penggunaan lahan optimal yang dapat memenuhi sasaran erosi (TSL), sasaran RTH, dan sasaran pendapatan (KHL) dengan pola perubahan penggunaan lahan dari kondisi aktual ke optimal secara spasial disajikan pada Gambar 12. Perubahan penggunaan lahan secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 14.
Gambar 12 Konfigurasi spasial penggunaan lahan aktual yang mengalami
Beberapa kelompok penggunaan lahan yang direkomendasikan untuk diubah pemanfaatannya berdasarkan hasil optimasi yaitu hutan produksi dan lahan kosong (Tabel 18). Rekomendasi perubahan penggunaan lahan tersebut menunjukkan bahwa sekitar 25.721,10 ha (14,15%) DAS Citarum Hulu masih belum sesuai dengan kondisi lingkungan fisik lahan setempat. Pada kondisi aktual, penggunaan lahan yang seharusnya berfungsi lindung agar keseimbangan manfaat ekologi dan ekonomi DAS Citarum Hulu terjaga masih berupa hutan produksi seluas 11.366,69 ha dan lahan kosong seluas 14.354,41 ha.
Tabel 18 Rekomendasi perubahan penggunaan lahan untuk mencapai kondisi optimal
Penggunaan lahan aktual Penggunaan lahan rencana Luas Tutupan lahan Status
kawasan Tutupan lahan
Status
kawasan ha %
Hutan Produksi
1. Hutan primer HP Hutan primer HL 590,93 100,00 2. Hutan sekunder HP Hutan sekunder HL 8.612,11 99,83 3. Hutan tanaman HP Hutan tanaman HL 2.163,65 99,04
Total Luas Perubahan dalam Kawasan Hutan 11.366,69 6,25
Lahan Kosong
APL 1. Kebun/Perkebunan APL 1.409,15 40,19 1. Rumput/
Tanah kosong 2. Ruang terbangun APL 695,99 19,85
3. Sawah tadah hujan APL 483,15 13,78
4. Vegetasi permanen APL 338,00 9,64
5. Ladang/Tegalan APL 317,31 9,05
6. Sawah irigasi APL 208,62 5,95
7. Hutan rakyat APL 54,00 1,54
Total 3.505,43 100,00
2. Semak/ Belukar APL 1. Vegetasi permanen APL 8.289,57 76,91
2. Kebun/Perkebunan APL 1.941,17 18,01
3. Hutan rakyat APL 410,64 3,81
4. Ruang terbangun APL 91,61 0,85
5. Sawah tadah hujan APL 31,26 0,29
6. Ladang/Tegalan APL 8,62 0,08
7. Sawah irigasi APL 6,47 0,06
Total 10.777,98 100,00
3. Tanah berbatu APL 1. Vegetasi permanen APL 57,00 80,28
2. Sawah tadah hujan APL 8,00 11,27
3. Sawah irigasi APL 3,00 4,23
4. Kebun/Perkebunan APL 3,00 4,23
Total 71,00 100,00
Total Luas Perubahan luar Kawasan Hutan 14.354,41 7,90
Total 25.721,10 14,15
Keterangan: HL = Hutan Lindung, APL = Area Penggunaan Lain Sumber: Hasil analisis.
Berdasarkan Tabel 18 dapat diketahui bahwa rekomendasi penggunaan lahan optimal merekomendasikan perubahan pemanfaatan kawasan, baik di dalam kawasan hutan maupun luar kawasan hutan sehingga diperlukan upaya-upaya teknis berupa teknik silvikultur maupun teknik konservasi tanah dan air dalam
rangka memenuhi perubahan tersebut. Khusus untuk perubahan penggunaan lahan dalam kawasan hutan, upaya-upaya yang harus dilaksanakan dalam rangka memenuhi rekomedasi tersebut tidak hanya aspek-aspek teknis, tetapi juga aspek- aspek yuridis yang berkaitan dengan perizinan perubahan status kawasan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, rekomendasi perubahan tersebut termasuk kedalam kategori perubahan peruntukan kawasan hutan yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis. Hal itu karena rekomendasi tersebut dapat meningkatkan kualitas kondisi biofisik dan sosial ekonomi masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang maupun akan datang. Peraturan tersebut juga menjelaskan bahwa perubahan peruntukan kawasan hutan tersebut dapat ditetapkan berdasarkan usulan Bupati/Wali Kota apabila kawasan hutan berada dalam suatu kabupaten/kota atau Gubernur apabila kawasan hutan berada di lintas kabupaten/kota. Oleh karena itu, rekomendasi hasil optimasi dalam penelitian ini sangat penting dijadikan masukan dalam perbaikan Rencana Tata Ruang Wilayah di wilayah yang tercakup dalam DAS Citarum Hulu.
Rekomendasi perubahan penggunaan lahan dalam kawasan hutan hasil optimasi tersebut merupakan perubahan fungsi kawasan hutan secara parsial dari hutan produksi menjadi hutan lindung. Berdasarkan PP No. 10 Tahun 2010, perubahan tersebut dapat dipenuhi apabila memenuhi ketentuan kriteria hutan lindung sesuai peraturan perundang-undangan. Hutan produksi pada kondisi aktual yang direkomendasikan untuk diubah menjadi hutan lindung memiliki karakteristik topografi dengan kemiringan lereng sangat curam (>40%). Oleh karena itu, seharusnya rekomendasi perubahan fungsi kawasan hutan tersebut dapat dipenuhi untuk ditetapkan oleh pemerintah.
Upaya-upaya teknis di kawasan lindung yang dapat dilaksanakan untuk memenuhi sasaran-sasaran optimasi disajikan pada Tabel 19. Pembuatan sabuk hijau (green belt) di sekeliling area perairan sebagai taman perairan kota berfungsi untuk mengurangi tanah longsor, erosi, dan laju sedimentasi ke dalam badan air, serta melindungi area perairan dari kegiatan budidaya yang dapat mengganggu kelestarian fungsi area perairan tersebut yaitu berupa danau, waduk, sungai, maupun empang.
Tabel 19 Rekomendasi penanaman di kawasan lindung untuk mencapai kondisi optimal
Penggunaan Lahan Aktual Penggunaan
Lahan
Rencana Tutupan lahan
Status kawasan
Luas (ha)
Sistem Penanaman *) Air Tawar APL 251,99
Taman Perairan Kota (272,99 ha)
Empang APL 21,00
Pembuatan sabuk hijau (green belt) di sekeliling area perairan dengan komposisi: min. 60% pohon kayu-kayuan dan maks. 40% MPTS. Jarak tanam disesuaikan dengan kondisi lapangan (1.100 batang/ha)
Hutan Primer HL 5.270,32 Hutan Sekunder HL 2.258,62 Hutan Tanaman HL 173,00
Pengayaan tanaman dengan pohon berdaur panjang (min. 60% pohon kayu-kayuan dan maks. 40% MPTS). Jarak tanam sekitar 5 m x 5 m (400 batang/ha) Hutan Primer HPB 590,93 Hutan Sekunder HPB 2.010,97 Hutan Sekunder HPT 6.601,14 Hutan Tanaman HPB 66,00 Hutan Tanaman HPT 2.097,65 Hutan Lindung (27.753,21 ha)
Lahan kosong APL 8.684,57
Reboisasi dengan pohon berdaur panjang (min. 60% pohon kayu-kayuan dan maks. 40% MPTS). Jarak tanam sekitar 3 m x 3 m (1.100 batang/ha)
Hutan Primer HK-CA 1.067,98 Hutan Sekunder HK-CA 8.144,89
Tidak dilakukan perubahan kondisi hutan Hutan
Konservasi
(10.128,86 ha) Hutan Sekunder HK- TWA
915,99 Pengayaan tanaman dengan komposisi: min. 90% pohon kayu-kayuan dengan jenis endemik setempat dan maks. 10% MPTS yang merupakan jenis asli setempat. Jarak tanam sekitar 5 m x 5 m (400 batang/ha).
Total 38.155,06 Keterangan: *) berdasarkan Pedoman Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Dephut 2007)
HL = Hutan Lindung HPB = Hutan Produksi Terbatas HK-CA = Hutan Konservasi (Cagar Alam) HPT = Hutan Produksi Tetap HK-TWA = Hutan Konservasi (Taman Wisata Alam) APL = Areal Penggunaan Lain Sumber: Hasil analisis.
Jenis tanaman yang direkomendasikan untuk penanaman baik untuk pengayaan maupun reboisasi di kawasan lindung yaitu jenis tanaman berdaur panjang dan jenis tanaman Multi Purpose Tree Species (MPTS) dengan proporsi untuk hutan lindung ialah 60% : 40% dan untuk hutan konservasi ialah 90% : 10%. Jenis tanaman berdaur panjang yang dapat digunakan untuk rehabilitasi lahan kritis di hutan lindung dan taman perairan kota antara lain angsana (Pterocarpus indicus), benuang (Duabanga moluccana), rasamala (Altingia
excelsa), meranti (Shorea sp.), pasang (Quercus sp.), dan puspa (Schima walichii). Jenis
tanaman MPTS yang dapat digunakan untuk rehabilitasi lahan kritis di hutan lindung dan taman perairan kota antara lain aren (Arenga pinnata), bambu (Bambussa sp.), durian (Durio zibethinus), jambu mete (Anacardium ocidentale), kayu putih (Malaleuca leucadendron), kemiri (Aleurites moluccana), melinjo (Gnetum gnemon), nangka (Artocarpus heterophyllus), dan petai (Parkia
speciosa). Jenis tanaman berdaur panjang yang dapat digunakan untuk pengayaan tanaman di hutan konservasi yaitu beringin (Ficus benyamina), salam (Eugenia sp.), dan saga (Adenanthera pavonina). Jenis tanaman MPTS yang dapat digunakan untuk pengayaan tanaman di hutan konservasi yaitu asam jawa
(Tamarindus indica), buni (Antidesma bunius), durian (Durio zibethinus), kenari
(Canarium sp.), mangga (Mangifera sp.), dan nangka (Artocarpus sp.) (Dephut 1992).
Untuk dapat memenuhi sasaran pendapatan dalam optimasi, maka direkomendasikan pola penanaman pada kawasan budidaya disajikan pada Tabel 21. Jenis tanaman yang direkomendasikan ialah jenis tanaman lokal yang tidak memiliki masalah dalam kesesuaian lahan, produktivitas, serta permintaan dan harga pasar lokal komoditas dari jenis tanaman tersebut (Tabel 20). Proporsi areal tiap jenis tanaman pada tiap penggunaan lahan di kawasan budidaya direkomendasikan berdasarkan hasil optimasi LGP yang dapat dilihat pada Lampiran 15 sampai dengan Lampiran 20. Tabel 20 Jenis tanaman rekomendasi untuk kawasan budidaya
Jenis tanaman rekomendasi Jenis tanaman rekomendasi Nama lokal Nama ilmiah Nama lokal Nama ilmiah
SEKTOR KEHUTANAN
- Akasia Acacia sp. - Nyatoh Palaquium sp.
- Kempas Koompassia malaccensis - Sonokeling Dalbergia latifolia
- Mahoni Swietenia sp. - Pinus Pinus sp.
SEKTOR PERKEBUNAN – MPTS
- Alpukat Persea americana - Kina Cinchona pubeschens
- Aren Arenga pinnata - Mangga Mangifera indica
- Asam jawa Tamarindus indica - Nangka Artocarpus heterophyllus
- Jambu biji Psidium guajava - Petai Parkia speciosa
- Jeruk Citrus sp. - Rambutan Nephelium lappaceum
- Kemiri Aleurites moluccana
SEKTOR PERKEBUNAN - NON MPTS
- Kelapa Cocos nucifera - Rumput sudan Penisetum purpureum
- Pepaya Carica papaya - Teh Camellia sinensis
- Pisang Musa paradisiaca
SEKTOR PANGAN Sub-sektorPadi
- Padi Oryza sativa
Sub-sektor Palawija
- Bawang merah Allium ascalonicum - Kacang tanah Arachis hypogaea
- Bawang putih Allium sativum - Kedelai Glycine max
- Jagung Zea mays - Kentang Solanum tuberosum
- Jahe Zingiber officinale - Ubi jalar Ipomoea batata
- Kacang merah Vigna umbellata - Ubi kayu Manihot sp.
Sub-sektor Sayur
- Bayam Amaranthus sp. - Kubis Brassica oleraceae
- Buncis Phasaelus vulgaris - Lobak Raphanus sativus
- Cabe hijau Capsicum annum - Nanas Ananas comosus
- Cabe merah Capsicum annum - Petsai/sawi Brassica sp.
- Cabe rawit Capsicum frutescens - Terung Solanum melongenae
- Kacang panjang Vigna sinensis - Tomat Lycopersicon esculentum
- Kangkung Ipomoea aquatica - Waluh/Labu Cucurbita sp.
- Ketimun Cucumis sativus - Wortel Daucus carota
Tabel 21 Rekomendasi pola penanaman di kawasan budidaya untuk mencapai kondisi optimal Penggunaan Lahan Aktual
Penggunaan Lahan
Rencana Tutupan lahan
Status
kawasan Luas (ha)
Rekomendasi sistem penanaman
1. Hutan Sekunder HPB 203,00
2. Hutan Sekunder HPT 12,00
3. Hutan Tanaman HPT 21,00
- Hutan Produksi dengan sistem agroforestri interplanting
(pola tanaman sela), 1 baris larikan tanaman sela berada di antara 9 baris larikan tanaman pokok (sektor kehutanan).
- Larikan tanaman sela (khususnya tanaman semusim) diapit
oleh strip cropping berupa tanaman penutup tanah (cover
crops) yang tumbuh rapat atau pupuk hijau selebar 1 m.
1. Rumput/ Tanah kosong APL 55,88 Hutan Produksi (699,55 ha) 2. Semak/Belukar APL 409,67
- Hutan rakyat dengan sistem agroforestri interplanting (pola
tanaman sela), 1 baris larikan tanaman sela berada di antara 9 baris larikan tanaman sektor kehutanan.
- Pohon mahoni, rambutan, dan kelapa ditanam di dengan
pola tanam buffer zone (penyangga) yang melingkari batas
tiap petak tanaman
1. Kebun/ Perkebunan APL 27.345,31
2. Rumput/Tanah kosong APL 1.408,69
3. Semak/ Belukar APL 1.940,82
Kebun/ Perkebunan 30.697,82
ha 4. Tanah Berbatu APL 3,00
Perkebunan rakyat: Agroforestri Kebun-Talun
Perkebunan teh dan kina: Agroforestri dengan penanaman tanaman tahunan, baik pohon lindung maupun MPTS, sebagai buffer zone (penyangga) yang melingkari setiap petak kebun tanaman pokok
1. Ladang/Tegalan APL 28.842,81
2. Rumput/Tanah kosong APL 317,32
Ladang/ Tegalan 29.168,70 ha
3. Semak/Belukar APL 8,57
Ladang/Tegalan aktual: Pengkayaan tanaman tahunan (kayu- kayuan & MPTS) pada batas pemilikan lahan dan sisipan dalam petak tanaman berdasarkan Pedoman RHL (Dephut 2007) Konversi lahan tidak produktif: Agroforestri / tumpang sari
1. Sawah Tadah Hujan APL 8.906,94
2. Rumput/ Tanah kosong APL 483,13 Sawah Tadah Hujan 9.429,07 ha 3. Semak/Belukar APL 31,00
- Agroforestri dengan proporsi tanaman semusim : tanaman
tahunan = 90% : 10%
- Tanaman semusim ditanam dengan sistem pergiliran tanaman
- Tanaman tahunan (sektor kehutanan, perkebunan-MPTS, &
perkebunan) ditanam di sekeliling batas petak sawah sebagai tanaman penutup tanah tinggi.
- Untuk penguat terras dan saluran-saluran air, digunakan
tanaman penutup tanah bawah berupa jenis rumput-rumputan dan tumbuhan merambat
1. Sawah irigasi APL 41.955,42
2. Rumput/Tanah
Kosong
APL 208,52
3. Semak/Belukar APL 7,00
4. Tanah Berbatu APL 3,00
Sawah Irigasi 29.168,70 ha
- Agroforestri dengan proporsi tanaman semusim : tanaman
tahunan = 90% : 10%
- Tanaman semusim ditanam dengan sistem pergiliran tanaman
- Tanaman tahunan (sektor kehutanan, perkebunan-MPTS, &
perkebunan) ditanam di sekeliling batas petak sawah sebagai tanaman penutup tanah tinggi.
- Untuk penguat terras dan saluran-saluran air, digunakan
tanaman penutup tanah bawah berupa jenis rumput-rumputan dan tumbuhan merambat
1. Sawah irigasi APL 3.070,36
2. Rumput/Tanah Kosong APL 69,59 Pekarangan pada Ruang Terbangun 3.149,09 ha 3. Semak/Belukar APL 9,14
- Agroforestri Kebun Pekarangan dengan proporsi tanaman
tahunan (lindung & MPTS) : tanaman lain = 90% : 10%
- Luas Kebun Pekarangan yaitu minimum 10% luas Ruang
Terbangun
Keterangan: *) hasil optimasi LGP Sumber: Hasil analisis.
Pola areal budidaya tanaman pada penggunaan lahan berfungsi budidaya direkomendasikan dengan menerapkan sistem agroforestri. Keuntungan yang diperoleh dari sistem ini ialah kesuburan tanah yang lestari, konservasi tanah, peningkatan hasil, pengurangan resiko kegagalan, mudah dikelola, pengendalian hama dan penyakit, dan lebih dapat memenuhi kebutuhan sosial ekonomi
penduduk setempat. Tegakan pohon pada sistem agroforestri ini juga mampu menghambat air hujan agar tidak langsung jatuh ke tanah (troughfall) dan mengakibatkan air hujan yang jatuh ke tanah terserap (infiltrasi) ke dalam tanah sehingga tidak terjadi aliran permukaan (surface run-off) yang besar sehingga akan mencegah terjadinya erosi yang besar dan meningkatkan pasokan air tanah.
Untuk penggunaan lahan rencana hutan produksi baik di dalam kawasan hutan maupun areal penggunaan lain, direkomendasikan sistem agroforestri dengan pola tanaman sela (interplanting). Alokasi penggunaan lahan tersebut berada pada lahan dengan kelerengan 15-25% (agak curam) sehingga penanaman harus dilakukan searah garis kontur dengan jumlah pohon 400 batang/ha atau dengan jarak tanam 5 m x 5 m (Dephut 2007). Jalur tanaman sela diapit oleh strip cropping untuk mencegah kejadian erosi yang besar di jalur tanaman sela yang merupakan tanaman semusim tersebut. Jenis tanaman yang dapat digunakan pada strip cropping tersebut yaitu tumbuhan Ageratum mexicanum (ditanam pada awal musim hujan) yang ditanam bersama-sama dengan Centrosema pubescens atau Centrosema plumieri (pada akhir musim kemarau) yang biasa diterapkan pada perkebunan karet pada daerah berelevasi tinggi (Arsyad 2006). Skema penanaman interplanting pada hutan produksi disajikan pada Gambar 13.
Gambar 13 Skema penanaman interplanting pada hutan produksi.
Untuk penggunaan lahan rencana kebun/perkebunan berupa perkebunan teh
dan kina direkomendasikan agroforestri dengan penanaman tanaman tahunan, baik pohon berfungsi lindung maupun MPTS, sebagai buffer zone yang melingkari setiap petak kebun tanaman pokok. Untuk penggunaan lahan rencana kebun/perkebunan berupa perkebunan rakyat direkomendasikan sistem agroforestri tradisional kebun talun yang memiliki tutupan vegetasi berupa kebun
campuran berkerapatan tinggi hampir mirip dengan hutan alam karena didominasi oleh tanaman tahunan namun diantara tanaman tersebut juga ditanam jenis tanaman rendah atau tanaman semusim (Arsyad 2006). Walau ditanami jenis tanaman semusim sebagai tanaman sela pola penanaman tidak seperti pada hutan tanaman karena tidak ditanam dengan pola tanam yang teratur dengan jarak tanam tertentu, biasanya petani menyesuaikan dengan kondisi lapangan. Kerapatan vegetasi pada kebun talun pada tahapan suksesi tertentu akan berubah dari kerapatan tinggi ke sedang karena sebagian tanaman dipanen untuk memenuhi kebutuhan petani. Tahapan suksesi pada kebun talun di Jawa Barat yaitu talun- kebuncampuran-talun atau talun-huma-kebuncampuran-talun dengan pola perubahan suksesi bergiliran tiap petak tanaman yang disajikan pada Gambar 14.
Gambar 14 Contoh profil tegakan kebun talun pada tahapan suksesi talun (a),
kebun campuran (b), dan huma (c).
Talun adalah tahapan suksesi kebun talun dimana vegetasi didominasi oleh
pohon kayu-kayuan, kebun campuran adalah tahapan suksesi kebun talun dimana
vegetasi didominasi oleh pohon MPTS, dan huma adalah tahapan suksesi kebun
talun dimana pada lahan ditanami pula padi dengan penanaman yang merata di seluruh atau sebagian areal kebun talun. Contoh profil tegakan tiap tahap suksesi pada Gambar 14 merupakan profil tegakan pada salah satu lokasi kebun talun di Desa Kemang (Kabupaten Cianjur) yang juga merupakan kawasan DAS Citarum yang oleh penduduk setempat disebut huma-talun.
Pengkayaan tanaman kayu-kayuan dan MPTS pada penggunaan lahan rencana ladang/tegalan pada batas pemilikan lahan dan pengkayaan sisipan dalam petak tanaman direkomendasikan dengan skema penanaman seperti pada Gambar 15. Untuk rehabilitasi lahan dari lahan kosong menjadi ladang/tegalan juga mengacu pada skema penanaman tersebut.
Gambar 15 Pola penanaman pengkayaan di lahan tegalan berdasarkan Pedoman Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Dephut 2007).
Pada penggunaan lahan rencana sawah tadah hujan dan sawah irigasi
direkomendasikan sistem agroforestri dengan menanam tanaman tahunan di sekeliling batas petak sawah dengan proporsi areal tanaman semusim dan tanaman tahunan ialah 90% : 10%. Berbagai tanaman semusim yang direkomendasikan oleh hasil optimasi LGP ditanam dengan sistem pergiliran tanaman. yang bertujuan untuk memenuhi permintaan konsumsi maupun industri dan agar tidak terjadi lonjakan atau penurunan harga jual akibat terlalu sedikit atau banyaknya komoditas tanaman di pasar yang akan merugikan petani.
Dari aspek ekologis, pergiliran tanaman mempunyai peranan untuk mengurangi atau mencegah erosi. Menurut Arsyad (2006), pergiliran tanaman juga memiliki keuntungan dalam pemberantasan hama dan penyakit yaitu dengan menekan populasi hama dan penyakit karena memutuskan siklus hidup seta mengurangi bahan makanan dan tempat hidup suatu hama dan penyakit; pemberantasan gulma; mempertahankan dan memperbaiki sifat-sifat fisik dan kesuburan tanah; serta memelihara keseimbangan unsur hara karena absorpsi dari kedalaman dan preferensi yang berlainan. Untuk penguat terras dan saluran- saluran air, digunakan tanaman penutup tanah bawah berupa jenis rumput- rumputan dan tumbuhan merambat seperti dedekan (Indigofera endecaphylla),
babadotan (Ageratum conyzoides), sintrong (Erechtites valerianifolia), bulu lutung (Borreria latifolia), rumput bede (Brachiaria decumbens), akar wangi (Andropogon zizanoides), rumput banggala (Panicum maximum), rumput gajah (Pennisetum purpureum), dan sebagainya (Arsyad 2006).
Pada penggunaan lahan rencana ruang terbangun, minimum 10% area dialokasikan sebagai ruang terbuka hijau privat. Sistem agroforestri yang diterapkan ialah kebun pekarangan dengan proporsi tanaman tahunan (pohon lindung dan MPTS) : tanaman lain = 90% : 10%. Selain untuk pencegahan erosi, tanaman tahunan yang ditanam di pekarangan ruang terbangun berfungsi sebagai penahan dan penyaring partikel padat dari udara, penyerap dan penjerap partikel timbal, penyerap dan penjerap debu dan semen, peredam kebisingan, mengurangi bahaya hujan asam, penyerap karbon monoksida, penyerap karbondioksida dan penghasil oksigen, penahan angin, penepis bau, mengatasi penggenangan, pelestarian air tanah, peneduh jalan, meningkatkan keindahan, sebagai habitat burung, mengurangi stres, dan sebagainya (Dahlan 1992).
Beberapa tanaman yang termasuk dalam rekomendasi hasil optimasi untuk kawasan ruang terbangun memiliki fungsi khusus terhadap perbaikan lingkungan, yaitu pinus, akasia, dan kelapa. Pinus dan akasia merupakan pohon yang sangat
baik untuk peneduh jalan. Akasia juga merupakan salah satu penyerap gas CO2
dan logam yang baik. Kelapa merupakan salah satu tanaman yang baik untuk
pelestarian air tanah karena mempunyai daya transpirasi yang rendah (Manan 1976). Jenis tanaman MPTS yang dialokasikan di kawasan pemukiman dapat dimanfaatkan sebagai produksi terbatas (Dahlan 2004). Asam jawa, jambu biji, jeruk, mangga, nangka, dan rambutan, dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk meningkatkan gizi dan kesehatan masyarakat serta dapat dijual. Beberapa jenis tanaman rekomendasi juga dapat difungsikan sebagai sumber pakan untuk budidaya lebah madu karena memiliki nektar dan tepung sari, antara lain jeruk, kelapa, dan mangga, yang banyak mengandung nektar dan tepung sari; serta akasia, kemiri, dan rambutan yang mengandung sedikit nektar dan tepung sari (Mulyaningsih 2000 dalam Dahlan 2004).
Dengan diterapkannya rekomendasi perubahan penggunaan lahan optimal, seluruh lahan kosong atau lahan yang tidak produktif di DAS Citarum Hulu dapat
dimanfaatkan sesuai dengan kesesuaian lahan dan tujuan optimasi yang ingin dicapai. Rekomendasi perubahan penggunaan lahan mengakibatkan perubahan proporsi areal penggunaan lahan yang disajikan pada Gambar 16 dan digambarkan secara spasial pada Gambar 17.
Gambar 16 Perbandingan luas penggunaan lahan pada kondisi aktual dan optimal.
Gambar 17 Konfigurasi spasial perubahan penggunaan lahan dari aktual ke optimal di DAS Citarum Hulu.
Pada kondisi optimal, DAS Citarum Hulu terdiri atas penggunaan lahan berfungsi lindung (lahan konservasi) seluas 20,48% (37.239,06 ha), penggunaan lahan berfungsi budidaya seluas 62,20% (113.085,07 ha), dan ruang terbangun seluas 17,32% (31.490,86 ha). Luas penggunaan lahan berupa hutan, baik yang berada di kawasan hutan maupun areal penggunaan lain, yaitu 38.581,61 ha (21,22%) yang terdiri atas hutan lindung seluas 27.753,20 ha (15,26%); hutan konservasi seluas 10.128,86 ha (5,57%); hutan produksi seluas 699,55 ha (0,38%). Luas hutan lindung meningkat 260,34% atau 3,6 kali dari kondisi aktual yang memiliki luas hutan lindung 7.701,94 ha (4,24%). Konsekuensi dari peningkatan tersebut ialah menurunnya luas hutan produksi seluas 10.903,14 ha
(93,97%) sehingga produksiyang dihasilkan, baik berupa hasil hutan kayu maupun
bukan kayu, juga menurun. Oleh karena itu, pengusahaan hutan produksi harus mengoptimalkan usaha pokok dari hasil hutan non kayu yang akan memberikan dampak finansial yang tinggi, seperti wanawisata dengan pengelolaan ekowisata yang profesional, pengembangan usaha persuteraan alam, produksi hutan tanaman dengan hasil pokok berupa getah, dan sebagainya.
Peningkatan luas hutan pada kondisi optimal yang memiliki luas hutan sebesar 21,22% masih belum memenuhi standar minimum luas hutan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Hal itu terjadi karena dalam penelitian ini
penggunaan lahan aktual selain hutan berupa kebun/perkebunan, ladang/tegalan,
sawah irigasi, sawah tadah hujan, dan ruang terbangun, diasumsikan tidak dapat dikurangi luasannya karena akan mempengaruhi terganggunya aktivitas produksi dan alokasi kebutuhan penduduk akan pemukiman.