• Tidak ada hasil yang ditemukan

NASIONALISME INKLUSIF(proseding).pdf

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "NASIONALISME INKLUSIF(proseding).pdf"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

CULTIVATING NATIONALISM VALUES THROUGH INCLUSIVE EDUCATION PARADIGM

Imam Yuwono [email protected]

ABSTRACT

Nowdays, the world of education in Indonesia undergo additional enrichment by the implemention of inclusive education paradigm. This Additional enrichment got streghten by ministry of education and Culture’s regulation number 70 of 2009 that become the regulation for inclusive education practice of education in Indonesia.

The birth of inclusive education paradigm implicated to the practice of education in Indonesia, where special needs children learn together in the regular class together with the other kids. The problem that will crise is wheter the teachers and the school’s community are ready to excute inclusive education.

Additional enrichment in education through inclusive education is a strategic step, in the center of young generation of this nation, that start to leave Nationalism values. Foreign culture that enter through Technology Information growth coudn’t be stopped anymore, The Bhineka Tunggal Ika’s unity faded. Inclusive education paradigm that recognise diversity and cherished individual differences, respect children’s right without discrimination, expand justice and kind behaviors while learning. Expected to develop student’s Nationalism values and integrate this nation in the diversity of people. According to those things so in this journal will be described, wheter the inclusive education compatible with Bhineka Tunggal Ika philosopy, wheter the inclusive education concept could grow student’s Nationalism and how those values could be developed within learning in inclusive class.

Keywords: Nationalism Values, Inclusive Education Paradigm.

I. PENDAHULUAN

(7)

Dunia pendidikan di Indonesia mengalami tambahan pengayaan dengan diperkenalkanya inklusi dalam pendidikan (pendidikan inklusif). Tambahan pengayaan tersebut berdampak pada perubahan paradigma dalam pendidikan.

Perubahan paradigma ini secara keseluruhan merupakan proses peningkatan mutu pendidikan. Implikasi penting dari perubahan paradigma tersebut adalah penanaman nilai-nilai nasionalisme peserta didik yang ditandai dengan adanya nilai keadilan, menerima keberagaman dan menghargai perbedaan individu, menjunjung tinggi hak-hak orang lain dengan berperilaku tidak deskriminasi.

Paradigma baru pendidikan inklusif berimplikasi atau mengandung konsekuensi logis terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Salah satunya adalah sekolah yang terbuka dan ramah. Implementasi pendidikan inklusif di sekolah secara umum dan di kelas secara khusus berarti sekolah atau kelas tersebut ditandai oleh sikap tidak diskriminatif. Pengakuan dan penghargaan terhadap individu anak, fasilitas belajar dan lingkungan memberi kemudahan dan rasa aman kepada setiap anak, guru bekerja dalam sebuah tim dan adanya keterlibatan orang tua/masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah/kelas.

Berdasarkan pemikiran diatas, dalam makalah ini akan diuraikan bagaimana konsep pendidikan inklusif itu selaras dengan falsafah Bhineka Tunggal Ika yang merupakan Idiologi Negara Indonesia yang harus dimengerti oleh peserta didik, apakah tujuan pendidikan nklusif itu juga mengembangkan nilai-nilai nasionalisme semua peserta didik di kelas inklusif, bagaimana nilai- nilai nasionalisme yang dirindukan bangsa ini, dapat ditanamkan melalui proses pembelajaran di kelas sekolah penyelenggara pendidikan inklusif.

II. RUMUSAN MASALAH

(8)

Inklusi adalah sebuah proses dalam kebhinekaan. Artinya, inklusi harus dilihat sebagai pencarian yang tidak pernah berakhir untuk menemukan cara yang lebih baik menanggapi keragaman. Ini adalah tentang belajar bagaimana hidup dengan perbedaan (suku, ras, agama, bahasa, tingkat intelegensi, kepribadian) dan, bagaimana belajar dari perbedaan. Bangasa indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, ras dan budaya, memerlukan falsafah Bhineka Tunggal Ika, untuk mempersatukan bangsa ini. Paradikma pendidikan inklusif diharapkan selaras dengan falsafah Bhineka Tunggal Ika, karena dalam pendidikan inklusif yang terpenting adalah menghargai keberagamana dan saling menghormati perbedaan.

Tujuan pendidikan inklusif berkaitan bagaimana nilai-nilai Nasionalisme seperti menghargai perbedaan, menjunjung tinggi hak orang lain , berkeadilan, tidak mendiskriminasikan sesama warga negara harus dituangkan dalam tujuan pembelajaran. Akibatnya, pelaku pendidikan dituntut untuk merencanakan dan melaksanakan praktek pembelajaran yang menggamit nilai tersebut. Inklusi adalah tentang kehadiran, partisipasi dan prestasi dari semua siswa tanpa deskriminasi. Inklusi melibatkan penekanan khusus pada kelompok-kelompok pelajar yang mungkin beresiko dimarginalisasi, pengecualian atau kurang berprestasi. Hal ini menunjukkan tanggung jawab moral guru dalam proses pembelajaran untuk memastikan bahwa kelompok-kelompok yang secara statistik paling 'beresiko' dipantau secara hati-hati, dan jika perlu, langkah- langkah yang diambil untuk memastikan kehadiran, partisipasi dan prestasi mereka dalam sistem pendidikan dan pembelajaran, yang pada giliranya semua anak mendapatkan pembelajaran yang mengarah kepada pembentukan nilai-nilai Nasionalisme.

Paradikma pendidikan inklusif menerapkan pembelajaran yang ramah anak, pembelajaran yang bermutu, pembelajaran yang menjunjung tinggi nilai- nilai dan budaya masyarakat. Mutu sekolah tidak hanya diarahkan pada ranah

(9)

kognitif saja, tetapi mengembangkan seluruh aspek perkembangan anak, baik pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap. Pembelajaran di kelas inklusif diarahkan untuk saling menghormati perbedaan setiap indifidu, menghilangkan sikap deskriminasi, semua anak berhak atas pendidikan yang bermakna.

Berdasarkan uraian diatas maka dalam makalah ini dirumuskan permaslahan sebagai berikut: (1) Apakah konsep pendidikan inklusif selaras dengan falsafah Bhineka Tunggal Ika (2) Apakah tujuan pendidikan inklusif dapat mengembangkan nilai-nilai Nasionalisme? (3) Bagaimana menanamkan nilai-nilai Nasionalisme melalui proses pembelajaran di kelas Inklusi

III. PEMBAHASAN

3.1. Konsep Pendidikan Inklusif Hubungannya Dengan Falsafah Bhineka Tunggal Ika

Falsafah Bhineka Tungal Ika dalam idiologi negara Indonesia memiliki makna berbeda-beda tetapi tetap satu juga. walaupun berbeda suku, ras, agama, bahasa daerah tetapi tetap sebagai bangsa Indonesia. Konsep Bhineka tunggal Ika mengandung nilai yang mendalam bahwa bangsa Indonesia harus menghargai perbedaan individu dan tidak deskriminasi. Nilai penting yang melandasi suatu sekolah inklusif adalah menghargai bahwa individui tu berbeda satu sama lain, sehingga prinsip penerimaan, pemilikan, dan tidak deskriminasi terhadap seseorang. Pendidikan inklusif merupakan idiologi atau cita-cita yang ingin kita raih. Sebagai konsekuensi dari pandangan bahwa pendidikan inklusif itu sebagai idiologi dan cita-cita, dan bukan sebagai model, maka akan terjadi keragaman dalam implementasinya, antara negara yang satu dengan yang lainnya, antara daerah yang satu dengan yang lainnya atau bahkan antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lainnya.

Menurut Skjorten pendidikan inklusif adalah konsep pendidikan yang merangkul semua anak tanpa kecuali, Inklusi berasumsi bahwa hidup dan belajar

(10)

bersama adalah suatu cara yang lebih baik, yang dapat memberikan keuntungan bagi setiap orang, bukan hanya anak-anak yang diberi label sebagai yang memiliki suatu perbedaan. Pendidikan inklusif melibatkan perubahan dan modifikasi isi, pendekatan, struktur dan strategi, dengan suatu visi bersama yang meliputi semua anak yang berada pada rentangan usia yang sama dan suatu keyakinan bahwa inklusi adalah tanggung jawab sistem regular yang mendidik semua. Pendidikan inklusif berkenaan dengan aktivitas memberikan respon yang sesuai kepada spektrum yang luas dari kebutuhan belajar baik dalam setting pendidikan formal maupun nonformal.

Pengertian pendidikan inklusif sebagai pendidikan yang menempatkan semua peserta didik berkebutuhan khusus dalam sekolah reguler sepanjang hari.

dalam pendidikan seperti ini, guru memiliki tanggung jawab penuh terhadap peserta didik berkebutuhan khusus tersebut. Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa pendidikan inklusif menyamakan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal lainnya. Untuk itulah, guru memiliki tanggung jawab penuh terhadap proses pelaksanaan pembelajaran di kelas. Dengan demikian guru harus memiliki kemampuan dalam menghadapi banyaknya perbedaan peserta didik.

Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya. Hal ini merupakan gagasan mulia dimana anak berkebutuhan khusus yang tidak terjamah atau jauh dari layanan pendidikan dapat mengenyam pendidikan yang sama seperti anak normal yang berada di sekolah reguler pada umumnya.

Pendidikan inklusif merupakan pendekatan yang memperhatikan bagaimana mentransformasikan sistem pendidikan sehingga mampu merespon keragaman siswa. Pendidikan inklusif bertujuan dapat memungkinkan guru dan siswa untuk merasa nyaman dengan keragaman dan melihatnya sebagai suatu tantangan dan pengayaan dalam lingkungan belajar, dari pada suatu problem.

(11)

Definisi Pendidikan Inklusif yang dirumuskan dalam Seminar Agra disetujui oleh 55 peserta dari 23 negara (terutama dari Selatan) pada tahun 1998. Definisi ini kemudian diadopsi dalam South African White Paper on Inclusive Education dengan hampir tidak mengalami perubahan. Definisi Seminar Agra dan Kebijakan Afrika Selatan Pendidikan Inklusif: (1) lebih luas daripada pendidikan formal, mencakup pendidikan di rumah, masyarakat, sistem nonformal dan informal, (2) mengakui bahwa semua anak dapat belajar, (3) memungkinkan struktur system dan metodologi pendidikan memenuhi kebutuhan semua anak, (4) mengakui dan menghargai berbagai perbedaan pada diri anak: usia, jender, etnik, bahasa, kecacatan, status HIV/AIDS (5) merupakan proses yang dinamis yang senantiasa berkembang sesuai dengan budaya dan konteksnya. (6) merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk mempromosikan masyarakat yang inklusif

Konsep praktik inklusif didasarkan pada keyakinan atau falsafah bahwa siswa penyandang disabilitas harus sepenuhnya terintegrasi ke dalam komunitas belajar mereka, biasanya di kelas pendidikan umum, dan bahwa instruksi mereka harus didasarkan pada kemampuan, tidak pada kecacatan mereka. Praktek inklusif memiliki tiga dimensi: (1)Integrasi fisik: Menempatkan siswa di kelas yang sama seperti rekan-rekan non disabled harus menjadi prioritas yang kuat, dan menghapus mereka dari pengaturan yang harus dilakukan hanya bila benar-benar diperlukan. (2) Integrasi sosial: Hubungan harus dipupuk antara siswa penyandang cacat dan teman sekelas mereka dan rekan-rekan maupun orang dewasa. (3) Integrasi instruksional: Sebagian besar siswa harus diajarkan dalam kurikulum yang sama digunakan untuk siswa tanpa cacat dan membantu untuk sukses dengan menyesuaikan bagaimana belajar mengajar dirancang (yaitu, dengan akomodasi) dan diukur.

3.2. Pendidikan Inklusif Bertujuan Untuk Meningkatkan Nilai Nasionalisme

(12)

Pendidikan inklusif memberikan berbagai kegiatan dan pengalaman, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai warga negara Indonesia yang berbeda satu sama lain, kekuatan perbedaan ini mampu menjadi satu kesatuan ketika warga pembelajar menjunjung tinggi nilai Nasionalisme. Nilai- nilai nasionalisme dalam pendidikan inklusif ditandai dengan adanya semua siswa dapat berpartisipasi dan berhasil dalam kelas reguler yang ada di sekolah tetangga atau sekolah terdekat. Dengan demikian kehadiran pendidikan inklusif berpotensi mampu memberikan kontribusi yang berarti bagi setiap anak dengan segala keragamannya, terutama anak berkebutuhan khusus, hubungan dan mempersiapkan kehidupan yang layak dalam kehidupan masyarakat yang beragam.

Menurut Skjorten (2006) tujuan pendidikan inklusif adalah mengurangi kekhawatiran dan membangun, menumbuhkan loyalitas dalam persahabatan serta membangun sikap memahami dan menghargai. Sasaran pendidikan inklusif tidak hanya anak-anak yang luar biasa atau anak berkebutuhan khusus saja namun juga termasuk sejumlah besar anak yang terdaftar di sekolah.

Tujuan pendidikan inklusif ini berarti pertama, menciptakan dan membangun pendidikan yang berkualitas menciptakan dan menjaga komunitas yang menjunjung tinggi nilai Nasionalisme, yang dibuktikan dengan cara:

menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan, menciptakan suasana kelas yang menampung semua anak secara penuh dengan menekankan suasana sosial kelas yang menghargai perbedaan yang menyangkut kemampuan, kondisi fisik, sosial ekonomi, suku, agama, dan sebagainya. Mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, sosial, intelektual, bahasa dan kondisi lainnya.

Kedua, memupuk rasa nasionalisme, dengan cara berperilaku adil, yaitu memberikan kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang sama dan terbaik bagi semua anak dan orang dewasa yang memerlukan pendidikan, memiliki kecerdasan tinggi, yang secara fisik dan psikologis memperoleh hambatan dan

(13)

kesulitan baik yang permanen maupun sementara, dan mereka yang terpisahkan dan termarjinalkan.

Tujuan pendidikan inklusif yang tercantum dalam pernyataan Salamanca meliputi: (1) agar semua anak memiliki keberagaman yang luas dalam karakteristik dan kebutuhannya, (2) semua sekolah memliki persepsi bahwa perbedaan itu normal adanya, sehingga sekolah perlu mengakomodasi semua anak, (3) anak penyandang cacat seyogyanya bersekolah di lingkungan sekitar tempat tinggalnya, (4) meningkatkan partisipasi masyarakat akan pentingnya pendidikan diselenggarakan secara inklusi, (5) merubah paradikma pengajaran yang terpusat pada guru menjadi pengajaran yang terpusat pada diri anak, (6) penyelenggaraan kurikulum yang fleksibel seyogyanya disesuaikan dengan kebutuhan anak, bukan kebalikannya, (7) sekolah mampu memberikan manfaat untuk semua anak tanpa deskriminasi, oleh karena itu anak membantu menciptakan masyarakat yang inklusif. Inklusi meningkatkan efisiensi dan efektivitas biaya pendidikan, (8) dengan mengimplementasikan pendidikan inklusif, sekurang-kurangnya kita tidak perlu membangun infrastruktur baru guna menyekolahkan anak berkebutuhan khusus.

3.3. Menanamkan Nilai Nasionalisme Melalui Pembelajaran Di Kelas Inklusif Nilai-nilai nasionalisme yang bisa dikembangkan melalui pendidikan dan pembelajaran di kelas inklusif diataranya adalah nilai keadilan, menerima keberagaman dan menghargai perbedaan individu, menjunjung tinggi hak-hak orang lain dengan berperilaku tidak deskriminasi. Strategi pembelajaran di kelas inklusif intinya adalah memenuhi keberagaman kebutuhan anak. Artinya bagaimana pembelajaran itu diarahkan untuk mendukung agar semua anak dapat belajar secara optimal. Perubahan paradikma mengajar yang berpusat pada disiplin ilmu, yang seluruhnya difokuskan pada pengajaran menurut logika dan isi disiplin ilmu itu,

(14)

paradikma mengajar guru sebagai satu-satunya sumber belajar, seorang yang ahli dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan bergeser menjadi pendidikan yang terpusat pada siswa

Beberapa ahli berpendapat tentang pembelajaran di kelas inklusif, diantaranya Johnsen (2005), prinsip pendidikan yang disesuaikan dalam sekolah inklusif menyebabkan adanya tuntutan yang besar terhadap guru reguler maupun pendidik khusus. Hal ini maksudnya menuntut adanya pergeseran dalam paradigma proses belajar mengajar. Pergeseran besar lainnya adalah mengubah tradisi dari mengajarkan materi yang sama kepada semua siswa tanpa mempertimbangkan perbedaan individual menjadi mengajar setiap anak sesuai kebutuhan individualnya tetapi dalam setting kelas yang sama, dari berpusat pada kurikulum menjadi berpusat pada anak dan perubahan-perubahan lainnya. Skjorten (2006) mengemukakan tentang perlunya adaptasi kurikulum, perubahan pendidikan yang potensial kerjasama lintas sektoral dan adaptasi lingkungan. Sedangkan Stainback dalam Sunardi (2009) menggambarkan sekolah yang inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama, sekolah ini menyediakan program yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang diberikan oleh para guru. Agar anak berhasil, selain itu sekolah merupakan tempat setiap anak diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya terpenuhi.

Pendapat diatas menegaskan dalam setting pendidikan inklusif di tataran kelas bahwa pendidikan inklusif menuntut adanya pendidikan/pembelajaran yang berpusat pada anak, pendidikan inklusif berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keragaman dan menghargai perbedaan. Pendidikan inklusif juga menuntut penerapan kurikulum yang fleksibel. Pendidikan inklusif juga berarti mendorong guru sebagai fasilitator dan melakukan proses pembelajaran dan pengajaran yang komunikatif dan interaktif, mendorong adanya kerjasama tim guru

(15)

(team work). Pendidikan inklusif memungkinkan penyesuaian-penyesuaian bahan pelajaran, evaluasi, alat, dan penataan lingkungan belajar anak. Pendidikan inklusif berarti mendorong orang tua untuk terlibat secara proaktif dan bermakna dalam proses perencanaan pendidikan, pengajaran dan pembelajaran bagi anak. Dengan pengertian bahwa kelas inklusif akan dapat memenuhi kebutuhan individu setiap anak di dalamnya, salah satu contoh anak berkebutuhan khusus misalnya anak berbakat.

Salah satu strategi pembelajaran yang paling banyak dipakai dalam pendidikan inklusif, yaitu pembelajaran kooperatif. Penggunaan model pembelajaran ini mereka anggap kurang memberikan tantangan yang sesuai bagi anak berbakat dan hanya menempatkan anak berkemampuan lebih daripada yang lain dalam posisi sebagai tutor teman-teman sebayanya. Kekhawatiran ini sebenarnya tidak perlu terjadi. Salah satu karakteristik terpenting dari sekolah inklusif adalah satu komunitas yang kohesif, menerima dan responsif terhadap kebutuhan individual setiap murid.

Menurut Sapon-Shevin dalam Sunardi profil pembelajaran di sekolah inklusif.

Pendidikan inklusif berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan. Guru mempunyai tanggung jawab menciptakan suasana kelas yang menampung semua anak secara penuh dengan menekankan suasana sosial kelas yang menghargai perbedaan yang menyangkut kemampuan kondisi fisik, sosial ekonomi, suku, agama, dan sebagainya.

Pengelolaan kelas dalam pembelajaran kelas yang memang heterogen dan penuh dengan perbedaan-perbedaan individual memerlukan perubahan kurikulum secara mendasar. Guru di kelas inklusif secara konsisten akan bergeser dari pembelajaran yang kaku, berdasarkan buku teks, atau materi ajar ke pembelajaran yang banyak melibatkan belajar kooperatif, tematik, dan berfikir kritis, pemecahan masalah, dan asesmen secara autentik. Pendidikan inklusif berarti menuntut penerapan kurikulum yang multilevel dan multimodalitas. Kelas yang inklusif berarti pembelajaran tidak lagi berpusat pada kurikulum melainkan berpusat pada anak, dengan konsekuensi berarti adanya fleksibilitas kurikulum dan penerapan layanan

(16)

program individual atau pendekatan proses kelompok dalam implementasi kurikulum yang multilevel dan multimodalitas tersebut.

Perubahan dalam kurikulum berkaitan erat dengan perubahan metode pembelajaran. Model kelas tradisional di mana seorang guru secara sendirian berjuang untuk dapat memenuhi kebutuhan semua anak di kelas harus diganti dengan model murid-murid bekerja sama, saling mengajar, dan secara aktif berpartisipasi dalam pendidikannya sendiri dan pendidikan teman-temannya. Kaitan antara pembelajaran kooperatif dan kelas inklusif sekarang jelas, semua anak berada di satu kelas bukan untuk berkompetisi, tetapi untuk bekerja sama dan saling belajar dari yang lain.

Berdasarkan hasil penelitian Sapon Shevin, ada lima profil pembelajaran di kelas inklusif antara lain sebagai berikut: (1) pendidikan Inklusif berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman dan menghargai perbedaan, dimana guru mempunyai tangung jawab menciptakan suasana kelas dimana anak ditampung secara penuh dengan menekankan saling menghargai perbedaan, (2) mengajar kelas heterogen memerlukan perubahan pelaksanaan kurikulum secara mendasar, (3) pendidikan inklusif berarti menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif, (4) pendidikan inklusif berarti penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus menerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi, karena aspek terpenting dari pendidikan inklusif adalah pengajaran tim, kolaborasi dan konsultasi dengan berbagai cara mengukur keterampilan, pengetahuan dan bantuan individu yang bertugas mendidik sekelompok anak, (5) pendidikan inklusif berarti melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan.

Penempatan anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusif dapat dilakukan dengan berbagai model antara lain kelas reguler (inklusif penuh) yaitu anak berkebutuhan khusus bersama anak normal sepanjang hari di kelas reguler belajar

(17)

dengan menggunakan kurikulum yang sama, kelas reguler dengan cluster yaitu anak berkebutuhan khusus bersama anak normal di kelas reguler dalam kelompok khusus, kelas reguler dangan pull out yaitu anak berkebutuhan khusus bersama anak normal di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus, kelas reguler dengan cluster dan pull out yaitu anak berkebutuhan khusus bersama anak normal di kelas reguler dalam kelompok khusus namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang belajar lain dengan guru pembimbing khusus, kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian yaitu anak yang berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler, kelas khusus penuh yaitu anak berkebutuhan khusus belajar dalam kelas khusus pada sekolah reguler. Dengan demikian, pendidikan inklusif tidak mengharuskan semua anak berada dalam kelas reguler setiap saat. Setiap sekolah atau kelas inklusif dapat memilih model mana yang diterapkan terutama tergantung kepada jumlah anak yang mengalami kebutuhan khusus, ketersediaan tenaga pengajar dan sarana prasarana yang tersedia. Sementara itu mutu lulusan dipengaruhi oleh proses belajar-mengajar dan mutu belajar-mengajar dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait satu sama lain diantaranya input siswa, kurikulum, tenaga pengajar, sarana-prasarana, dana, manajemen dan lingkungan. Dari kesemuanya itu merupakan sub-sistem dalam sistem pendidikan dan bila ada perubahan pada salah satu sub-sistem, maka menuntut perubahan komponen lainnya. Oleh karena itu kelas inklusif merupakan salah satu bentuk pemerataan pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus atau memiliki kecerdasan luar biasa agar bisa memperoleh kesempatan pendidikan dengan anak normal lainnya karena tidak dapat dipungkiri bahwa mereka merupakan bagian integral dari masyarakat.

Keberhasilan utama dari pendidikan inklusif yaitu apabila ada kepedulian dari semua pihak serta adanya kerjasama dari semua pihak.

(18)

Kolaborasi atau bekerja sama dengan orang lain adalah salah satu kunci sukses untuk praktek inklusif. Berikut adalah beberapa contoh bagaimana anda akan berkolaborasi atas nama siswa: (1) Pertemuan dengan guru pendidikan khusus:

Anda akan sering bertemu dengan guru pendidikan khusus, baik secara formal dan informal. Seorang pendidik khusus dapat menghubungi anda untuk melihat apa yang dilakukan siswa di kelas anda, atau anda dapat menghubungi seorang pendidik khusus untuk meminta ide-ide baru untuk menanggapi perilaku siswa. Anda dan pendidik khusus dapat berbagi tanggung jawab untuk bertemu dengan orang tua selama open house atau konferensi orang tua. (2) Asisten mengajar: Tergantung pada program dan layanan lokal, Anda mungkin asisten mengajar dengan guru pendidikan khusus atau layanan terkait profesional seperti ahli patologi wicara/ bahasa. Dalam asisten mengajar, anda berbagi tanggung jawab mengajar dengan kedua pendidik dan bekerja dengan semua siswa. (3) Bekerja dengan paraprofesional: Jika di kelas Anda terdapat siswa dengan cacat yang signifikan atau beberapa siswa yang membutuhkan dukungan (bukan asisten mengajar), Anda dapat berkolaborasi dengan seorang paraprofesional. Anda akan mengarahkan pekerjaan individu yang di kelas Anda untuk memastikan bahwa dukungan siswa disediakan dengan tepat. (4) Rapat tim:

Berbagai tim sekolah mendukung praktik inklusif. tingkat kelas atau tim departemen sekolah menengah atau tinggi Anda kemungkinan akan menghabiskan sebagian besar waktunya mendiskusikan siswa penyandang disabilitas dan pemecahan masalah untuk mengatasi kebutuhan mereka. Anda juga dapat menjadi bagian dari sebuah tim yang mencoba untuk mengatasi masalah belajar dan perilaku siswa sebelum pertimbangan tentang perlunya pendidikan khusus. Jika seorang siswa di kelas Anda sedang dikaji untuk menentukan apakah pendidikan khusus yang diperlukan, Anda akan menjadi bagian dari tim itu. (5) Berinteraksi dengan orang tua: Mungkin bagian yang paling penting dari berkolaborasi atas nama siswa penyandang disabilitas adalah bekerja dengan orang tua. Anda dapat berkomunikasi dengan orang tua melalui buku penghubung dan melalui e-mail; kadang-kadang bertemu dengan mereka karena mereka mengungkapkan keprihatinan tentang anak-anak mereka; berunding dengan

(19)

mereka di pertemuan tim formal; dan bekerja dengan mereka karena mereka secara sukarela di sekolah, membantu dengan kunjungan lapangan, dan berpartisipasi dalam kegiatan dan inisiatif sekolah lainnya.

IV. SIMPULAN

Konsep pendidikan inklusif ternyata sangat selaras dengan falsafah Bhineka Tunggal Ika yang menjadi falsafah bangsa Indonesia, yang terdiri dari berbagai macam suka, bangsa, ras, bahasa dan agama. Bhineka Tunggal Ika menjadi pamersatu bangsa. Konsep keanekaraman dalam pendidikan inklusif disebut dengan pendidikan tanpa deskriminasi, artinya dalam menyelenggarakan pendidikan tidak boleh membedakan peserta didik, menghargai keragaman/perbedaan menjadi salah satu pilar utama dalam pendidikan inklusif. Maka dapat disimpulkan bahwa konsep pendidikan inklusif selaras dengan falsafah Bhineka Tunggal Ika.

Tujuan pendidikan inklusif adalah untuk meningkatkan rasa Nasionalisme peserta didik yang ditandai dengan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai individu yang memiliki perbedaan satu sama lain, membangun sikap memahami dan menghargai teman di kelas, menerima keanekaragaman, menghargai perbedaan kondisi fisik suku, ras dan agama. Berperilaku adil dalam pembelajaran.

Nilai-nilai Nasionalisme seperti nilai keadilan, menerima keberagaman dan menghargai perbedaan individu, menjunjung tinggi hak-hak orang lain dengan berperilaku tidak deskriminasi dapat dikembangkan melalui pembelajaran di kelas inklusif, antara lain adalah: (1) menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman dan menghargai perbedaan, dimana guru mempunyai tangung jawab menciptakan suasana kelas dan anak ditampung secara penuh dengan menekankan saling menghargai perbedaan (2) pembelajaran kooperatif dengan tutor teman sebaya, dimana siswa saling bekerja sama satu sama lain saling berfungsi (3) sekolah menampung semua murid di kelas yang sama, sekolah ini menyediakan program yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan

(20)

kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang diberikan oleh para guru (4) pembelajaran terpusat pada siswa dan menguntungkan bagi semua siswa (5) mengubah tradisi dari mengajarkan materi yang sama kepada semua siswa tanpa mempertimbangkan perbedaan individual menjadi mengajar setiap anak sesuai kebutuhan individualnya tetapi dalam setting kelas yang sama, dari berpusat pada kurikulum menjadi berpusat pada anak.

PUSTAKA

B.H, Johnsen. Kurikulum Untuk Pluraritas Kebutuhan Belajar Individu. Bandung:

Pasca Sarjana UPI, 2007

Daniel P. Hallahan, Exceptional Learners: An Introduction to Special Education, (Boston: Pearson Education Inc.

Johnsen BH, Kurikulum Untuk Pluraritas Kebutuhan Belajar Individu (Bandung:

Pascasarjana UPI, 2003

Marilyn Friend dan William D. Bursuck, Including students with special needs : a practical guide for classroom teachers, (USA : Pearson Education, Inc., 2012 Skjorten, Menuju Inklusi Pendidikan Kebutuhan Khusus Sebuah Pengantar

(Bandung: Program Pascasarjana UPI, 2007

Shopan Shepin dalam Sunardi, Managing Special Education (Boston: Open University Pers, 2005

World Conference On Special Needs Education: Access And Quality (1994). The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education.

Salamanca: UNESCO &Ministry Of Education And Science, Spain

(21)

Referensi

Dokumen terkait

Contact Address: Alwin Keil, University of Hohenheim, Institute for Agricultural Economics and Social Sciences in the Tropics and Subtropics, 70593 Stuttgart, Germany,