• Tidak ada hasil yang ditemukan

NON-ALCOHOLIC FATTY LIVER DISEASE

N/A
N/A
ADE CHAIRINA

Academic year: 2023

Membagikan "NON-ALCOHOLIC FATTY LIVER DISEASE"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

NON-ALCOHOLIC FATTY LIVER DISEASE

Dosen Pengampu:

Prof.dr.siti fatimah muis, M.Sc., Sp.GK Dr. dr. kusmiyati DK, M.Kes

Dr. dr. dwi lestari partiningrum, Sp.PD-KGH

Disusun Oleh:

1. Ade Chairina 22030123410032

2. Azzahra Mutiara Ayu 22030123410027 3. Dewandhaka Putra Andaru 22030123410030 4. Fitri Wulandari 22030123410042 5. Lestari Suryaningsih 22030123410031 6. Munifa Majdiyyah 22030123410041 7. Putri Indah Nurmalasari 22030123410037 8. Tsamaroh Azzah M. 22030123410025

9. Ulan Safitri 22030123410043

MAGISTER ILMU GIZI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG 2023

(2)

I. Definisi

Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) mendefinisikan spektrum kelainan hati mulai dari simple fatty liver (steatosis), yaitu perlemakan hati tanpa inflamasi dan fibrosis; non-alcoholic steatohepatitis (NASH), yaitu steatosis dengan inflamasi; fibrosis hati; dan sirosis hati, yang terjadi tanpa adanya konsumsi alkohol yang signifikan, infeksi virus, atau etiologi spesifik penyakit hati lainnya.

Non-Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) dianggap sebagai kondisi dengan proses patogenesis “multi-hit”(mulanya dikenal sebagai “two-hit”) sejak tahun 1998 ketika Day dan James pertama kali mengajukan hipotesis tersebut (Day and James, 1998) dengan bukti dari Berson et al. studi yang menggambarkan peran peroksidasi lipid pada cedera hati. (Ayu & Novista, 2023)

II. Epidemiologi

Faktor makanan dan lingkungan, bersama dengan obesitas, menyebabkan peningkatan kadar serum asam lemak (FFA) dan kolesterol, perkembangan resistensi insulin, proliferasi dan disfungsi adiposit serta perubahan mikrobioma usus. Resistensi insulin bekerja pada jaringan adiposa yang memperburuk disfungsi adiposit, menginduksi lipolisis dan pelepasan adipokin dan sitokin proinflamasi seperti TNF-α dan IL-6, yang juga berkontribusi untuk mempertahankan.

keadaan resistensi insulin. Resistensi insulin di hati memperkuat de novo lipogenesis (DNL).Peningkatan fluks FFA hati yang berasal dari proses di atas dan dari aktivitas mikrobioma usus yang berubah menyebabkan dua situasi berbeda. Sintesis dan akumulasi trigliserida (TG) dan kadar asam lemak 'beracun', kolesterol bebas, dan metabolit lipid lainnya yang menyebabkan disfungsi mitokondria dengan stres oksidatif dan produksi reactive oxygen species (ROS) dan stres retikulum endoplasma (RE) dengan aktivasi unfolded protein response(UPR), semuanya menyebabkan peradangan hati. Selain itu, permeabilitas usus kecil dapat ditingkatkan dengan konsekuensi peningkatan kadar molekul sirkulasi yang berkontribusi pada

(3)

aktivasi stres inflamasi dan ER, seperti lipopolisakarida, dan pelepasan sitokin proinflamasi. Faktor genetik atau modifikasi epigenetik memengaruhi kandungan lemak hepatosit, proses enzimatik, dan lingkungan inflamasi hati, sehingga memengaruhi risiko progresi menjadi inflamasi dan fibrosis (NASH) atau persistensi dalam stadium penyakit yang stabil (NAFLD). (Ayu

& Novista, 2023) III. Tanda dan Gejala

NAFDL biasanya ditemukan secara tidak sengaja pada saat pengecekan laboratorium rutin atau skrining penyakit lain yang berkaitan dengan Syndrom Metabolic. Sebanyak 48-100% pasian dengan NAFDL tidak menyadari gejala apapun (Sarwanti, et.al., 2020). Tanda dan gejala dari NAFLD seringkali tanpa gejala (asimtomatik) dan tidak khas, beberapa kasus disertai dengan keluhan pada perut (Rengkung, et.al., 2015). Prevalensi tertinggi terjadi pada usia 40-49 tahun, namun sudah terdapat laporan mengenai anak usia 2-19 tahun, dan sama seperti orang dewasa seringkali ditemukan asimtomatik dan terdiagnosis setelah skrining penyakit yang terkait obesitas. Tanda dan gejala sirosis bisa berbeda- beda tergantung stadium dan tingkat keparahan penyakit. Tanda dan gejala umum meliputi:

1. Kelelahan dan Kelemahan

Menurut Jurnalis et.al. (2014), gejala NAFLD ditemukan pada anak laki-laki usia 11-13 tahun dengan berat badan berlebih atau obesitas, seringkali mengalami rasa tidak nyaman pada perut kanan atas dan mudah merasakan letih. NAFLD pada lansia memiliki peluang yang lebih besar untuk berkembang menjadi penyakit Syndrom Metabolic lainnya, seperti hipertensi, diabetes, dan hiperlipidemia serta seringkali diikuti dengan gejala kelelahan dan diikuti dengan rasa mengantuk disiang hari (Alqahtani dan Jorn, 2021).

2. Penyakit kuning (menguningnya kulit dan mata)

Gejala NAFLD pada banyak kasus, baru muncul setelah berada di indikasi kronik dari penyakit tersebut, diikuti dengan tanda gejala dari

(4)

Metabolic Syndrome. Pendarahan gastrointestinal, ensefalopati, dan penyakit kuning merupakan tanda-tanda penyakit hati kronik (Zhou, et.al, 2019).

3. Mual, muntah, dan hilangnya nafsu makan

Gejala yang sangat jarang ditemukan pada kasus NAFDL adalah mual dan anorexia, yang diawali dari kelebihan asupan fructose dan adanya intoleransi fruktosa. Kelebihan asupan fruktosa dapat berujung pada peningkatan kadar perlemakan hati, yang menjadi awal mula NAFLD (Buziau, et.al., 2019). Gejala ini juga seringkali diikuti dengan kehilangan nafsu makan dan gangguan pada fungsi tubuh (Zhou, et.al, 2019).

4. Sakit perut dan bengkak

Menurut penelitian rasa sakit yang muncul di bagian perut pada penderita penyakit liver tahap akhir, seringkali kambuh dengan tingkat kesakitan yang tinggi. Sebanyak 56-68% pasien diikuti gejala kram otot, kesulitan bernafas, dispepsia, mual dan kehilangan nafsu makan. Berdasarkan pada hal tersebut, berbeda pada tahap awal NAFLD, pada tingkat akhir atau

“end-stage” keragaman gejala dan signifikansinya yang menggangu kualitas hidup dan kesehatan sudah tampak, sehingga pendekatan multidisiplin dan intevensi dari waktu ke waktu menjadi sangat penting (Peng, et.al., 2019).

5. Kebingungan mental atau perubahan perilaku

Kebingungan mental atau perubahan perilaku bisa menjadi gejala sirosis. Ketika hati rusak dan fungsinya terganggu, racun yang biasanya disaring oleh hati dapat menumpuk di aliran darah dan mempengaruhi otak.

Kondisi ini dikenal sebagai ensefalopati hepatik. Ensefalopati hepatik dapat menyebabkan berbagai gejala neurologis, termasuk kebingungan, pelupa, kesulitan berkonsentrasi, perubahan kepribadian, mudah tersinggung, dan dalam kasus yang parah, koma. Mekanisme pasti yang mendasari ensefalopati hepatik belum sepenuhnya dipahami, namun diperkirakan melibatkan akumulasi amonia dan zat beracun lainnya di otak, serta perubahan fungsi neurotransmitter (Paternostro et al., 2022).

(5)

6. Pembuluh darah mirip laba-laba di kulit (spider angioma)

Pembuluh darah mirip laba-laba di kulit, juga dikenal sebagai spider angioma atau spider nevi, bisa menjadi tanda sirosis. Ini adalah pembuluh darah kecil dan melebar yang tampak dekat dengan permukaan kulit dan memiliki bintik merah di tengah dengan cabang yang menyebar. Spider angioma umumnya terlihat pada individu dengan penyakit hati, termasuk sirosis.

Penyebab pasti spider angioma pada sirosis belum sepenuhnya dipahami, namun diyakini terkait dengan peningkatan kadar estrogen dalam darah. Pada sirosis, hati tidak mampu memetabolisme estrogen secara efektif, sehingga menyebabkan peningkatan kadar estrogen dalam aliran darah.

Ketidakseimbangan hormonal ini dapat berkontribusi pada perkembangan spider angioma. Spider angioma tidak spesifik untuk sirosis dan juga dapat terlihat pada kondisi lain, seperti kehamilan dan ketidakseimbangan hormon.

Namun, kehadirannya bersamaan dengan tanda dan gejala penyakit hati lainnya, serta evaluasi medis yang tepat, dapat membantu dalam diagnosis sirosis (Paternostro et al., 2022).

7. Retensi cairan (edema) pada tungkai dan perut

Retensi cairan, juga dikenal sebagai edema, adalah gejala umum sirosis.

Hal ini dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan di tungkai, pergelangan kaki, dan kaki, serta di perut. Pada sirosis, gangguan fungsi hati menyebabkan penurunan produksi albumin, suatu protein yang bertanggung jawab untuk menjaga keseimbangan cairan dalam tubuh. Penurunan kadar albumin ini, dikombinasikan dengan peningkatan tekanan pada pembuluh darah hati (hipertensi portal), dapat menyebabkan cairan bocor keluar dari pembuluh darah dan menumpuk di jaringan sekitarnya.

Penumpukan cairan di kaki disebut edema perifer, sedangkan penumpukan cairan di perut disebut asites. Asites terjadi ketika cairan menumpuk di rongga peritoneum, ruang antara organ perut dan dinding perut.

Adanya edema dan asites pada sirosis sering dikaitkan dengan penyakit hati stadium lanjut dan dapat menjadi tanda dekompensasi. Penting untuk

(6)

menangani retensi cairan pada sirosis karena dapat menyebabkan komplikasi seperti infeksi, disfungsi ginjal, dan kesulitan pernafasan.

Penting untuk diperhatikan bahwa beberapa penderita sirosis mungkin tidak mengalami gejala apa pun sampai penyakitnya berkembang ke stadium lanjut.

Pemeriksaan dan pemeriksaan kesehatan secara teratur sangat penting untuk deteksi dini dan pengelolaan sirosis(European Association for the Study of the Liver, n.d.).

IV. Faktor Risiko

A. Patofisiologi NAFLD Berdasarkan Akumulasi Lemak, Disfungsi Adiposa, Resistensi Insulin, Dan Lipotoksisitas Pada Sindrom Metabolik

Sindrom metabolik adalah sekelompok ciri yang muncul akibat adanya gangguan metabolisme dan merupakan faktor signifikan yang dapat meningkatkan risiko penyakit Diabetes Melitus tipe 2 (DM tipe 2), penyakit kardiovaskular (CVD), atau gangguan ginjal kronis (CKD). Untuk mendiagnosis sindrom metabolik, setidaknya tiga dari lima kriteria berikut harus dipastikan: obesitas viceral, peningkatan kadar trigliserid, penurunan High Density Lipoprotein (HDL), hipertensi, dan gangguan glukosa puasa.

Faktor kunci dalam perkembangan sindrom metabolik adalah resistensi insulin, berhubungan dengan obesitas yang juga menjadi dasar masalah pada sindrom metabolik.

Kondisi ini disebabkan oleh adanya peningkatan kadar Very Low Density Lipoprotein (VLDL) dimana berfungsi sebagai pembawa trigliserid.

Selain itu, peningkatan akumulasi asam lemak bebas (FFA) ke hati dan jaringan lain juga tampak pada sindrom metabolik, dimana dapat mengakibatkan peningkatan kadar trigliserid dan berkontribusi terhadap perkembangan resistensi insulin. Selain itu, akumulasi lemak di jaringan adiposa visceral merangsang produksi adipositokin, misalnya TNF-α dan IL-6, yang tidak hanya menyebabkan peradangan tetapi juga dapat menyebabkan hipertensi. Hipertensi juga dapat disebabkan karena

(7)

hiperinsulinemia akibat peningkatan asupan lemak, dimana insulin menstimulasi endothelin-1 untuk meningkatkan proliferasi sel otot polos, yang menyebabkan vasokonstriksi (penyempitan pembuluh darah).1

Non-alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) pada dasarnya dipandang sebagai manifestasi dari komponen-komponen sindrom metabolik, meliputi obesitas viceral, diabetes melitus tipe 2, dislipidemia, dan hipertensi. Sebanyak 90% kasus NAFLD disertai dengan adanya setidaknya satu kriteria diagnostik sindrom metabolik, sementara 33%

memiliki semua kriterianya. Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap 4401 subjek menegaskan bahwa sindrom metabolik meningkatkan kemungkinan timbulnya NAFLD hampir 10 kali lipat dan secara signifikan mengurangi kemungkinan regresi penyakit. Hal ini menunjukkan bahwa sindrom metabolik merupakan faktor risiko NAFLD.1,2

NAFLD utamanya sangat berkaitan dengan pola diet tinggi energi, tinggi karbohidrat sederhana, dan tinggi lemak jenuh, tanpa dibersamai dengan aktivitas fisik. Asupan yang melebihi kebutuhan akan disimpan dalam bentuk trigliserid pada jaringan adiposa. Jaringan adiposa subkutan merupakan jaringan adiposa terbesar dan utamanya berfungsi untuk menyimpan cadangan lemak. Apabila kapasitas penyimpanan ini terlampaui, timbunan lemak akan terjadi di luar jaringan adiposa subkutan yang pada kondisi normal mengandung sedikit lemak, seperti hati, jantung, otot tulang, dan pankreas, yang disebut lemak ektopik. Lemak ektopik ini dapat mempengaruhi fungsi organ dan fungsi seluler, serta berhubungan dengan resistensi insulin.1,3

Resistensi insulin merupakan kondisi dimana insulin reseptor pada jaringan menjadi tidak responsif terhadap hormon insulin. Insulin memiliki efek anti-lipolitik, dimana akan memediasi penyimpanan trigliserid di jaringan adiposa. Dalam kondisi resistensi insulin, efek anti-lipolitik insulin berkurang dan terjadi pemecahan jaringan adiposa. Hal ini menyebabkan

(8)

asam lemak bebas (FFA) terpecah dalam jumlah besar yang kemudian disimpan di hati sebagai trigliserid dan membentuk lemak ektopik hati.4

Gambar 1. Akumulasi Lipid Abnormal.

Pola diet tinggi energi dan aktivitas fisik sedentary juga mendorong terjadinya de novo lipogenesis (DNL), suatu jalur endogen yang mengubah asupan karbohidrat dan protein berlebih menjadi asam lemak, yang semakin mendorong adanya akumulasi lemak dalam tubuh. DNL dimodulasi oleh sterol regulatory element-binding protein 1c (SREBP-1c) dan carbohydrate response element-binding protein (ChREBP). Pada keadaan resistensi insulin, terjadi peningkatan penyerapan glukosa sehingga SREBP-1c teraktivasi untuk meningkatkan proses DNL di hepatosit. Kadar glukosa darah yang tinggi juga mengaktifkan ChREBP untuk mengatur ekspresi asetil-KoA karboksilase (ACC) dan asam lemak sintase (FAS), sehingga juga meningkatkan proses DNL dalam hepatosit. Tahap awal NAFLD berupa akumulasi lemak dalam hati ini yang disebut dengan steatosis atau Non-alcoholic Fatty Liver (NAFLD).2

Kondisi obesitas juga dianggap sebagai kondisi inflamasi kronis tingkat rendah. Hal ini disebabkan karena jaringan adiposa dapat

(9)

mempengaruhi jalur inflamasi melalui produksi hormon, adipokin, sitokin, dan kemokin. TNF-α adalah sitokin proinflamasi yang menjadi penghubung antara obesitas dengan resistensi insulin. Ekspresi TNF-α akan meningkat pada individu yang mengalami obesitas. Menariknya, IL-6, suatu sitokin proinflamasi, diketahui dapat mencegah kerusakan hati dengan meningkatkan proliferasi hepatosit, sehingga melindungi hati dari fibrosis.

Namun, tingkat keparahan penyakit NAFLD diketahui juga berkorelasi dengan tingkat IL-6. Hal ini disebabkan karena IL-6 juga dapat menyebabkan steatosis. Selain memproduksi sitokin, jaringan adiposa juga mengeluarkan leptin yang dapat menghentikan rasa lapar. Tingkat leptin yang lebih tinggi dapat mengaktifkan fibrogenesis yang berkontribusi terhadap peningkatan keparahan steatosis.1

Gambar 2. Kondisi Lipotoksisitas Hepatosit.

(10)

Lipotoksisitas merupakan komposisi timbunan lemak seluler yang abnormal yang dapat menyebabkan akumulasi lipid toksik, disfungsi organel, kerusakan sel, dan kronik inflamasi. Kerusakan mitokondria pada sel dapat menyebabkan kehilangan polarisasi membrane yang menyebabkan ketidakmampuan sel dalam menyelesaikan siklus beta oksidasi dan metabolisme energi, dimana akan menyebabkan akumulasi lemak yang berlanjut. Apabila konsentrasi lemak yang tersimpan pada jaringan non- adiposa terutama di hepatosit sudah terlalu berlebih (>5%), kerusakan sel dan jaringan dapat terjadi, meliputi kerusakan mitokondria, terbentuknya ROS yang memicu stress retikulum endoplasma, dan terjadinya respon inflamasi serta fibrosis. Peningkatan kadar lemak di hati (steatosis) sederhana apabila dibersamai dengan inflamasi dan fibrosis sel hepatosit dapat berkembang menjadi tahap Non-Alcoholic Steato Hepatitis (NASH), dan apabila terus berlanjut maka hepatosit dapat mengalami kematian sel dan fibrosis parah pada Sirosis Hepatik bahkan hingga menjadi Hepatocellular Carcinoma (HCC).4,5

B. Peran Mikrobiota Usus

Nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) disebabkan oleh akumulasi lemak di hati karena berbagai faktor resiko seperti obesitas, metabolic sindrom, dan perubahan mikrobiota usus. Penyakit-penyakit metabolic seperti obesitas, sindrom metabolic lainnya mempengaruhi perubahan mikrobiota usus. Contohnya Eubacterium rectale, Bacteroides vulgates yang berkorelasi dengan NAFDL. Alkohol endogen yang dihasilkan oleh mikrobiota usus dapat mempengaruhi perkembangan NAFLD. Auto brewery syndrome hadir dengan ultrahigh blood alcohol concentration (BAC) setelah mengkonsumsi minuman berkadar gula tinggi, efek ini disebabkan oleh bakteri di usus. Bakteri usus yang terkait dengan produksi alcohol endogen adalah Klebsiella pneumonia. Diet tinggi lemak dan pengaruh Klebsiella pneumonia memperbutuk perkembangan penyakit perlemakan hati dan terjadi fibrosis pada tikus.1

(11)

Usus dan hati terhubung secara anatomis dan fisiologis, dan hubungan ini disebut “gut-liver axis,”. Hubungan ini memberikan pengaruh pada fisiologi dan patologi hati. Mikrobiota usus mempengaruhi proses fisiologis seperti metabolism dengan bekerja pada berbagai reseptor sinyal melalui metabolit dan molekul. Berbagai macam spesies mikroba hadir dalam usus manusia dan saling berhubungan satu sama lain.

Disfungsi barrier usus diduga disebabkan oleh kerusakan sel epitel usus.

Penyebabnya adalah diet tinggi lemak dalam jangka panjang. Disfungsi barrier usus diketahui tidak hanya disebabkan oleh akumulasi zat dari mikrobiota usus melalui vena porta, tetapi juga dari sistemik yang meningkat melewati hati. Liver sinusoidal endothelial cells (LSECs) atau sel endotel sinusoid yang terdapat pada hati menyusun barrier penting di hati. LSEC bertindak sebagai antigen presenting cell, mengatur homeostasis imun melalui pelepasan sitokin untuk memodulasi aktivitas sel imun.2

Mikrobiota usus menyediakan MAMPS dan PAMS yang merupakan molecular kecil dan tidak dimiliki oleh manusia. Mereka dikenali oleh reseptor sistem imun innate. Pada penyakit hati kronis sering diamati terjadinya perubahan mikroba usus, contohnya pertumbuhan mikroba yang berlebihan di usus. 2

Lipopolisakarida (LPS) merupakan komponen utama membrane luar pada bakteri gram negative. LPS dikenali akan oleh TLR4 (Toll-Like Receptor 4) yang mengaktifkan NFκβ (nuclear faktor) sinyal proinflamasi.

Lipopolisakarida yang berasal dari Escherichia coli (LPS) dilaporkan melimpah di usus pada penderita NAFDL.2 Sinyal inflamasi yang dimediasi LPS telah terbukti mempercepat perkembangan NASH dengan peradangan hati dan fibrosis. Sel Kuffer (makrofag di hati) yang berada di sinusoid memainkan peran protektif terhadap NAFLD dengan membersihkan komponen LPS. Lipokpositas dapat mengganggu sel kuffer. Selain itu, sel kuffer baru-baru ini disarankan untuk menjadi pelindung dalam patogenesis

(12)

NASH melalui pembersihan DNA mikroba yang berasal dari usus yang mengandung vesikel ekstraseluler dari darah dengan menghambat respon inflamasi. LPS sistemik lebih tinggi pada pasien dengan penyakit hati dibandingkan pada individu sehat. LPS sebagian dimetabolisme oleh hepatosit dan biasanya terdeteksi dalam darah pada konsentrasi antara 10 dan 200 pg/mL. LPS juga dibersihkan dalam hepatosit, dan kemampuan ini berkurang pada pasien dengan penyakit hati. Kadar LPS serum berkorelasi dengan kadar zonulin serum, yang peningkatannya mencerminkan penurunan fungsi barrier usus. Zonulin adalah pengatur tight junction yang penting pada sel epitel usus yang dianggap memainkan peran penting dalam menjaga integritas barrier usus.2

Lipopolisakarida merupakan produk yang toxic dari bakteri dan beraksi sebagai ligan Toll-like receptor dan mengakibatkan inflamasi akumulasi lemak dan berkembangnya menjadi perlemakan hati. Mikrobiota usus juga memproduksi enzim yang mengkatalis konversi colin ke bentuk senyawa toxic (metilamin) yang akan melewati hati. Didalam sel hati akan berubah menjadi trimethylamine-N-oxide dan mampu untuk menginduksi inflamasi dan membahayakan sel hati.3

C. Peran Genetika

Faktor resiko NAFDL adalah multifaktoral yang melibatkan lingkungan dan genetic. Ada banyak penelitian yang menunjukkan perbedaan etnis sebagai penyebab utama lemak hati. Variasi genetik yang umumnya terjadi yang terkait dengan NAFDL adalah PNPLA3 (phospholipase domain-containing protein 3). Gen PNPLA3 memberikan instruksi untuk membuat protein yang disebut adiponutrin yang ditemukan di sel lemak (adiposit) dan sel hati (hepatosit).4

Variasi urutan dalam protein seperti protein 3 yang mengandung domain fosfolipase (PNPLA3) berhubungan kuat dengan perkembangan penyakit perlemakan hati. Gen PNPLA3 terdapat pada kromosom 22.

(13)

Variasi gen yang terkait dengan NAFDL mengubah bahan penyusun protein atau asam amino isoleusin menjadi metionin di posisi protein 148, ditulis sebagai I148M. Penelitian menunjukkan bahwa perubahan protein menyebabkan peningkatan produksi dan penurunan pemecahan lemak di hati.

Penelitian Gou Y et al. (2023) menyebutkan bahwa gen varian PNPLA3 I143M yang mensubtitusi isoleusin dengan metionin di posisi 148 memiliki asosiasi kuat dengan kerentanan seseorang untuk menderita perlemakan hati/NAFDL.5 Mekanisme PNPLA3 I143M menghambat aktivitas adipose trigliserida lipase (ATGL) dan menyebabkan akumulasi lipid di hepatosit.

D. Peran Inflamasi Sistemik Kronis Tingkat Rendah

Beberapa faktor berkontribusi terhadap produksi dan pelepasan sitokin pro-inflamasi pada sindrom metabolic. Secara khusus, peningkatan kadar FFA, lipotoksisitas, resistensi insulin, disfungsi jaringan adiposa perifer, dan endotoksemia sekunder akibat peningkatan permeabilitas usus mampu menginduksi keadaan inflamasi kronis tingkat rendah, yang relevan dalam mekanisme patofisiologi NAFLD dan NASH.

Dua jalur inflamasi utama, JNK-AP-1 dan IKK-NF-ÿB, sangat terlibat dalam perkembangan inflamasi kronis yang terjadi selama NAFLD. Jun N terminal kinase (JNK) adalah anggota protein kinase teraktivasi mitogen yang terkait dengan induksi apoptosis dan pengembangan NASH. Faktor nuklir NF-ÿB adalah faktor transkripsi dan pengatur inflamasi, dan subunit IKK2 adalah komponen utama yang diperlukan untuk aktivasi selama respon inflamasi akut (Wullaert et al., 2007).

Pasien yang terkena NASH menunjukkan aktivasi jalur NF-ÿB yang persisten dan aktivasi persistennya dan ekspresi berlebih IKK2 pada hepatosit menyebabkan peradangan kronis dan memperburuk IR

(14)

(113).Paparan hati terhadap peningkatan kadar sitokin pro-inflamasi menyebabkan perubahan histologis khas NASH, seperti nekrosis dan apoptosis hepatosit, kemotaksis neutrofil, aktivasi sel stelata hati, dan produksi badan Mallory (Kazankov et al., 2019; Tomita, 2006)

Faktanya, pasien obesitas menunjukkan kadar TNF-ÿ dan IL-6 serum yang lebih tinggi, sebaliknya menurun setelah penurunan berat badan [116]. Selain itu, pasien yang mengidap NASH menunjukkan kadar TNF-ÿ serum dan hati yang lebih tinggi, yang berhubungan dengan tingkat keparahan kerusakan hati secara histologis (Crespo, 2001). Peningkatan ekspresi gen inflamasi dan aktivasi makrofag pada jaringan adiposa visceral dan subkutan pasien NAFLD berhubungan dengan perkembangan steatosis menjadi NASH dan fibrosis hati (du Plessis et al., 2015). Selain itu, peradangan dan aktivasi NF-ÿB dapat meningkatkan karsinogenesis, oleh karena itu keadaan peradangan kronis NAFLD mungkin berperan dalam perkembangan HCC (Pikarsky et al., 2004; Sutti & Albano, 2020)

E. Peran Disfungsi Mitokondria dan Stres Retikulum Endoplasma Semua perubahan struktural dan fungsional dalam mitokondria (yaitu, penipisan DNA mitokondria, perubahan morfologi dan ultrastruktural dan perubahan dalam rantai bajak laut dan oksidasi beta), berkontribusi terhadap patogenesis NAFLD (Begriche, K.; Igoudjil, A.;

Pessayre, D.; Fromenty, 2006). Faktanya, jika fungsi mitokondria dan peroksisom tidak mampu mengatur peningkatan aliran lipid, oksidasi pernafasan akan terganggu, sehingga menyebabkan gangguan homeostasis lipid, pembentukan metabolit toksik , dan produksi spesies oksigen reaktif (ROS) yang berlebihan (Begriche, K et al, 2006; Wang et al., 2020).

Molekul-molekul ini menentukan stres oksidatif dan berkontribusi terhadap proses nekroinflamasi hati dan memperburuk kerusakan mitokondria. Memang benar, kadar IR, obesitas, dan TNF-

(15)

ÿ telah terbukti berhubungan langsung dengan disfungsi mitokondria (Paradies, 2014). Selain itu, ROS, bersama dengan partikel LDL yang teroksidasi, dapat mengaktifkan Kupffer dan sel stelata hati, sehingga mengakibatkan penambahan kolagen dan fibrosis hati sekunder (Cusi, 2009).

Selain itu, peningkatan sintesis protein, disfungsi retikulum endoplasma, dan defisiensi ATP mungkin merupakan penyebab akumulasi protein yang tidak terlipat di dalam retikulum endoplasma.

Akumulasi ini mengaktifkan respons protein terbuka (UPR), respons adaptif untuk mengurangi sintesis protein, meningkatkan kapasitas perdagangan protein melalui retikulum endoplasma (ER), pelipatan dan transportasi protein, dan meningkatkan jalur degradasi protein (Wang et al., 2020). Jika terjadi kegagalan dalam mengatasi cacat pelipatan protein, UPR dapat menginduksi apoptosis hepatosit.

Sistem proteasome ubiquitin (UPS), jalur degradasi protein intraseluler non-lisosom utama , dapat dipengaruhi oleh stres oksidatif, sehingga memainkan peran penting dalam aktivasi NF-ÿB. Faktor-faktor yang menginduksi UPR selama NAFLD termasuk hiperglikemia, kerusakan mitokondria (dan akibat penipisan ATP), hiperkolesterolemia, penipisan fosfatidilkolin, dan stres oksidatif (Puri et al., 2008). UPR pada gilirannya menginduksi aktivasi JNK, yang mampu menentukan keadaan inflamasi dan apoptosis yang terlibat dalam perkembangan NASH (Puri et al., 2008), serta gangguan sinyal insulin dan perkembangan T2DM selanjutnya (Özcan et al., 2004). Selain itu, UPR juga mengaktifkan SREBP-1c, dengan konsekuensi memperburuk akumulasi lemak hati dan semakin memperparah stres ER (Kapoor & Sanyal, 2009). X-box Binging Protein-1 (XBP-1) adalah salah satu regulator utama UPR dan berinteraksi dengan jalur pensinyalan insulin melalui PI3K (Winnay et al., 2010).

Interaksi PI3K dan XBP-1 keduanya memodulasi respon sel terhadap stres endotel dan, sebaliknya, respon itu sendiri memodulasi

(16)

faktor-faktor ini , oleh karena itu mewakili hubungan potensial antara steatosis hati, IR, dan peradangan hati. Dalam hal ini, deregulasi ubiquitin-proteasome telah diusulkan sebagai faktor patogenetik yang menginduksi proses aterogenesis dan meningkatkan kerentanan plak pada pasien diabetes (Marfella et al., 2007).

V. Tahapan Perkembangan NAFLD

NAFLD dibagi menjadi Non-Alcoholic Fatty Liver (NAFL) dan Non- Alcoholic Steatohepatitis (NASH) berdasarkan gambaran histologis (Gambar 1).

NAFL didefinisikan sebagai semua kasus yang ditandai oleh steatosis, dengan atau tanpa peradangan lobular ringan. Sebaliknya, NASH ditandai tambahan oleh adanya kerusakan hepatosit. Meskipun steatosis sederhana dianggap sebagai penyakit "jinak", asosiasinya dengan fibrosis hati dapat mengarah pada perkembangan sirosis dan karsinoma hepatoseluler. Oleh karena itu, NAFLD dianggap sebagai faktor penting dalam mengatur mortalitas akibat penyakit yang terkait dengan hati (Guo et al., 2022).

Gambar 1. Tahapan NAFLD Berdasarkan Guo et al. (2022), tahapan dari NAFLD, yaitu:

1. Hati yang sehat menjadi Non-Alcoholic Fatty Liver (NAFL) dimana terjadi kondisi steatosis hepatoseluler

2. Jika tidak diobati, NAFL dapat berkembang menjadi bentuk yang lebih parah, yaitu Non-Alcoholic Steatohepatitis (NASH), yang didefinisikan sebagai inflamasi dan fibrosis selain steatosis hepatoseluler.

(17)

3. Seiring perkembangan penyakit, NASH dapat berkembang menjadi sirosis bahkan karsinoma hepatoseluler (HCC).

a. Tahapan Steatosis

Hati adalah pusat utama untuk metabolisme lipid, dan steatosis hati dapat muncul sebagai konsekuensi ketika keseimbangan yang halus ini terganggu. Di bawah kondisi fisiologis, pool asam lemak hati adalah hasil dari keseimbangan antara masuknya asam lemak dari makanan dan lipolisis jaringan adiposa, lipogenesis de novo, dan pembuangan asam lemak melalui sekresi very-low- density lipoprotein (VLDL) atau β-oksidasi. Gangguan dalam proses-proses ini dapat menyebabkan penumpukan lipid intraseluler akibat kelebihan kandungan asam lemak dibandingkan dengan kebutuhan oksidatif hepatosit. Meskipun beberapa jalur yang berbeda telah terlibat dalam deposisi lemak hati dan toksisitas lipid, yang paling banyak diselidiki termasuk sinyal insulin, sinyal mitogen- activated protein kinase (MAPK), sinyal glucagon-like peptide-1 (GLP-1), sinyal reseptor inti (NRs), dan noncoding RNA (ncRNA) (Pan et al., 2023). Oleh karena itu, mekanisme terjadinya steatosis pada NAFLD, yaitu (Pan et al., 2023):

a. ERK1/2 dari jalur sinyal MAPK menyebabkan otofagi pada hepatosit untuk mengurangi steatosis hati.

b. P38 dari jalur sinyal MAPK secara bersamaan menghambat otofagi dan menginduksi resistensi insulin.

c. JNK1/2, subkelompok lain dari MAPK, meningkatkan konsentrasi trigliserida dengan menurunkan ekspresi FGF21 yang diinduksi oleh PPARa.

JNK1 juga memediasi fosforilasi inhibitory dari Irs, yang mengakibatkan resistensi insulin.

d. Jalur sinyal insulin bekerja sama dengan jalur sinyal PI3K/PKB untuk meningkatkan tingkat TG, sementara resistensi insulin hati diyakini melibatkan fosforilasi serin dari Irs.

e. Reseptor LXR dan FXR mengatur kadar trigliserida hati secara positif dan negatif, secara berturut-turut. GLP-1R yang diaktifkan oleh ligand berfungsi untuk mencegah akumulasi trigliserida di hati. Integrasi jalur-jalur ini

(18)

akhirnya menghasilkan steatosis hati melalui resistensi insulin, inhibisi otofagi, dan peningkatan kadar trigliserida.

Gambar 2. Mekanisme terjadinya steatosis pada NAFLD b. Tahapan Inflamasi Lobular NAFLD

Secara umum, penumpukan lemak di hati tidak cukup untuk menyebabkan inflamasi parenkim, dan "pukulan kedua" diperlukan untuk memicu cedera hati. Ketika pemicu yang berbeda hadir secara bersamaan, risiko perkembangan NASH meningkat secara signifikan. Saat ini, pemicu yang paling umum dari perubahan inflamasi, yaitu stres oksidatif, stres retikulum endoplasma, sitokin, dan/atau endotoksin bakteri. Diperkirakan bahwa 15%

hingga 25% kasus NAFL pada akhirnya akan berkembang menjadi NASH.

Pengembangan NASH adalah fenomena yang kompleks di mana sel Kupffer tampaknya memainkan peran utama. Gambar 3 merupakan jalur-jalur yang mengatur inflamasi lobular dalam NAFLD (Pan et al., 2023).

(19)

Gambar 3. jalur-jalur yang mengatur inflamasi lobular dalam NAFLD

Berdasarkan Gambar 3, steatosis hati menyebabkan peroksidasi lipid dan menyebabkan stres pada retikulum endoplasma, yang keduanya mengakibatkan cedera pada hepatosit. Hepatosit yang cedera menginisiasi inflamasi lobular dalam NAFLD. Pada disbiosis, endotoksin (misalnya, LPS) yang berasal dari bakteri usus gram-negatif mengaktifkan makrofag yang telah ada dan yang direkrut melalui reseptor pengenalan pola (misalnya, TLR). Makrofag yang diaktifkan melepaskan sitokin proinflamasi, yang mengganggu keseimbangan antara faktor proinflamasi dan antiinflamasi sehingga menimbulkan respon inflamasi dalam lobulus hati (Pan et al., 2023).

(20)

c. Tahapan Fibrosis Hati

Gambar 4. Tahapan Fibrosis Hati pada NAFLD

Awal dan keparahan fibrosis hati adalah prediktor terpenting dari outcome hati dan ekstrahepatik pada pasien dengan NAFLD. Sel-sel hepatic stellate cells (HSCs) adalah mediator sel utama yang diakui dalam mekanisme profibrotik pada NAFLD. Aktivasi dan transdiferensiasi HSCs menjadi mioblast dan, dalam tingkat yang lebih rendah, sel mesenchimal lainnya (seperti portal fibroblast, fibroblast mesotelium, sel otot polos vaskular, dan sel mesenchimal terkait bekas luka) memainkan peran kunci dalam deposisi matriks ekstraseluler (ECM) hati (Pan et al., 2023).

Berdasarkan Gambar 4, ligand dari TGFBR mengaktifkan HSC melalui jalur sinyal TGF-beta dengan cara yang bergantung pada Smad3, sedangkan Smad7 menghambat proses tersebut. Demikian juga, otofagi pada HSC mempromosikan aktivasi mereka. Namun, reseptor nuklir (seperti LXR, FXR, PPAR, VDR) memiliki peran yang menghambat dalam aktivasi HSC. Apoptosis HSC mengurangi populasi HSC yang aktif. Aktivasi HSC mengganggu keseimbangan produksi/degradasi matriks ekstraseluler (ECM) dan akhirnya menyebabkan fibrosis hati (Pan et al., 2023).

(21)

VI. Pencegahan dan Pengobatan 1. Pencegahan NAFLD

NAFLD biasanya tidak menimbulkan gejala di tahap awal, sehingga seringkali sulit didiagnosis. Faktor risiko NAFLD tersering adalah obesitas, diabetes melitus tipe 2 dan dislipidemia. Selain itu, ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kejadian NAFLD antara lain genetik, usia, jenis kelamin, dan aktivitas fisik. Pencegahan NAFLD dapat dilakukan dari kesadaran diri sendiri maupun dari petugas kesehatan seperti pemberian penyuluhan mengenai NAFLD.

Terdapat banyak cara yang dapat dilakukan dari diri sendiri untuk dapat menjaga fungsi hati agar tetap baik menurut Dhiya et al, (2023), yaitu dengan cara:

1. Mempertahankan berat badan ideal sesuai perhitungan indeks massa tubuh.

2. Gaya hidup yang sehat seperti diet dan olahraga yang teratur.

3. Konsumsi makanan dan minuman bernutrisi seperti mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak serat dan hidrasi yang cukup.

4. Berolahraga secara teratur, olahraga dapat membakar lemak dalam tubuh.

5. Menghindari merokok.

6. Menjaga kebersihan lingkungan.

7. Melakukan deteksi dini dengan cara pemeriksaan fungsi hati ke dokter spesialis hati.

Pencegahan NAFLD dapat dilakukan dengan cara melakukan penyuluhan kepada masyarakat oleh tenaga kesehatan, menurut Gunawan et al, (2023) peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya mencegah NAFLD dilakukan dengan cara:

(22)

1. Kampanye kesehatan: digunakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai risiko NAFLD dan cara mencegahnya, dapat melalui media sosisal atau brosur.

2. Edukasi pada sekolah dan tempat kerja mengenai pentingnya gaya hidup sehat seperti pola makan seimbang dan olahraga yang teratur.

3. Promosi aktivitas fisik yang dapat dilakukan melalui program-program olahraga yang diadakan di komunitas, hal ini dapat membantu masyarakat untuk meningkatkan kesehatan dan mencegah NAFLD.

4. Promosi pola makan sehat di komunitas.

2. Intervensi Gizi Untuk NAFLD Prinsip Gizi:

1. Rendah kalori 2. Tinggi serat

3. Tinggi MUFA dan PUFA

Rekomendasi diet pada pasien NAFLD:

1. Energi: 25-30 kkal/kg IBW/hari atau pengurangan 600-800 kkal/hari.

2. Karbohidrat (KH): 40-50%.

a. Hindari KH kompleks seperti gula, kue kering, permen dan kerupuk.

b. Pilih KH yang mempunyai Indeks Glikemik rendah (dibawah 55) seperti: beras merah, oat, roti gandum, buah, dan sayuran.

3. Protein: 10-20% dari total kalori, jika fungsi ginjal baik dapat diberikan 1-1,5 g/kg BBI/hari.

a. Contoh pemilihan sumber proteinnya adalah: putih telur, ikan, ayam tanpa kulit, tahu, tempe,dll.

b. Lemak: <30%; SFA <7%, kolesterol <200 mg/hari.

c. Pilih lemak tidak jenuh tunggal seperti: minyak zaitun d. Hindari mentega, krim dan keju.

(23)

4. Tingkatkan konsumsi buah dan sayur. Konsumsi serat 20-39 gram/hari Asupan makan:

1. Diusahakan jangan konsumsi makanan yang digoreng dalam jumlah minyak yang banyak (deep frying)dan dalam waktu lama dan berkali-kali.

2. Lebih baik pilih makanan yang dikukus atau dipepes.

3. Hindari makanan siap saji, makanan yang mengandung banyak tepung.

4. Makan terakhir harus dikomsumsi paling lambat 3 jam sebelum tidur.

5. Makanan harus dikonsumsi dengan pelan.

6. Penting untuk mengakhiri waktu makan ketika pasien tidak ada merasakan kenyang, sinyal kenyang biasanya dirasakan 15 menit setelah konsumsi makanan. (Kargulewicz, et al, 2014)

(24)

VII. REFERENCES

1. Alqahtani, S.A. dan Schattenberg, J.M. NAFLD in the Elderly. Clinical Interventions in Aging 2021:16 1633–1649. https://doi.org/10.21 47/CIA.S295524

2. Ayu, D., & Novista, V. (2023). Non-alcoholic Fatty Liver Disease : Diagnosis and Treatment. Biologi Tropis, 23(3), 213–224.

3. Begriche, K.; Igoudjil, A.; Pessayre, D.; Fromenty, B. (2006).

Mitochondrial dysfunction in NASH: Causes, consequences and possible means to prevent it. CrossRef, PubMed, 6(Mitochondrion), 1–28.

4. Buziau et al. Recent advances in the pathogenesis of hereditary fructose intolerance: implications for its treatment and the understanding of fructoseinduced nonalcoholic fatty liver disease. Cellular and Molecular Life Sciences (2019). https://doi.org/10.1007/s00018-019-03348-2 5. Caturano A, Acierno C, Nevola R, Pafundi PC, Galiero R, Rinaldi L, et

al. Non-alcoholic fatty liver disease: From pathogenesis to clinical impact. Processes. 2021;9(1):1–18.

6. Chalasani N, Younossi Z, Laivine JE, Diehl AM, Brunt EM, Cusi K et al. The Diagnosis and Management of Non-Alcoholic Fatty Liver Disease: Practice Guideline by the American Association for the Study of Liver Disease, American College of Gastroenterology, and the American Gastroenterolgical Association. Official Journal of the American Association for the Study of Liver Disease. 2012;55(6):1-19.

7. Crespo, J. (2001). Gene expression of tumor necrosis factor [alpha ] and TNF-receptors, p55 and p75, in nonalcoholic steatohepatitis patients.

Hepatology, 34(6), 1158–1163. https://doi.org/10.1053/jhep.2001.29628 8. Cusi, K. (2009). Nonalcoholic fatty liver disease in type 2 diabetes mellitus. Current Opinion in Endocrinology, Diabetes & Obesity, 16(2), 141–149. https://doi.org/10.1097/MED.0b013e3283293015

9. Dhiya, S. S., I. N. Ramadhan, M. T. Qurrohman, N. Dewi, dan A.

Ariyanti, A. 2023. Pencegahan kerusakan hati dan penyakit alzheimer

(25)

akibat konsumsi alkohol terselubung dengan pola hidup sehat. Jurnal Peduli Masyarakat. 5(2): 409-416.

10. du Plessis, J., van Pelt, J., Korf, H., Mathieu, C., van der Schueren, B., Lannoo, M., Oyen, T., Topal, B., Fetter, G., Nayler, S., van der Merwe, T., Windmolders, P., Van Gaal, L., Verrijken, A., Hubens, G., Gericke, M., Cassiman, D., Francque, S., Nevens, F., & van der Merwe, S. (2015).

Association of Adipose Tissue Inflammation With Histologic Severity of Nonalcoholic Fatty Liver Disease. Gastroenterology, 149(3), 635- 648.e14. https://doi.org/10.1053/j.gastro.2015.05.044

11. Gou Y, Wang L, Zhao J, Xu X, Xu H, Xie F, et al. PNPLA3-I148M Variant Promotes the Progression of Liver Fibrosis by Inducing Mitochondrial Dysfunction. Int J Mol Sci. 2023;24(11).

12. Gunawan, S., A. Sarjuwita, V. C. A. Rajagukguk, dan Y. Firmansyah.

2023. Kegiatan pengabdian masyarakat dalam rangka peningkatan pemahaman masyarakat tentang penyakit perlemakan hati dan deteksi dini penyakit liver. Jurnal Pengabdian Ilmu Kesehatan. 3(2): 50-59.

13. Guo et al. Non-Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) Pathogenesis and Natural Products for Prevention and Treatment. Int. J. Mol. Sci.

2022, 23, 15489. https://doi.org/10.3390/ijms232415489

14. Guo X, Yin X, Liu Z. Non-Alcoholic Fatty Liver Disease ( NAFLD ) Pathogenesis and Natural Products for Prevention and Treatment. Int J Mol Sci. 2022;23(15439).

15. Hanlon CL, Yuan L. Nonalcoholic Fatty Liver Disease: The Role of Visceral Adipose Tissue. Clin Liver Dis. 2022;19(3):106–10.

16. Hasse, JM & Matarese, LE. MNT for Liver, Billiary System, and Exocrine Pancreas Disorders. In Mahan, LK and Escott Stump, S. 2008.

Krause’s Food & Nutrtion Therapy, 12e. Canada: Saunders Elsevier.

17. Jurnalis et al. Peran Antioksidan pada Non Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD). Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(1).

https://doi.org/10.25077/jka.v3i1.18

(26)

18. Kapoor, A., & Sanyal, A. J. (2009). Endoplasmic Reticulum Stress and the Unfolded Protein Response. Clinics in Liver Disease, 13(4), 581–590.

https://doi.org/10.1016/j.cld.2009.07.004

19. Kazankov, K., Jørgensen, S. M. D., Thomsen, K. L., Møller, H. J., Vilstrup, H., George, J., Schuppan, D., & Grønbæk, H. (2019). The role of macrophages in nonalcoholic fatty liver disease and nonalcoholic steatohepatitis. Nature Reviews Gastroenterology & Hepatology, 16(3), 145–159. https://doi.org/10.1038/s41575-018-0082-x

20. Loomba R, Friedman SL, Shulman GI. Mechanisms and disease consequences of nonalcoholic fatty liver disease. Cell [Internet].

2021;184(10):2537–64. Available from:

https://doi.org/10.1016/j.cell.2021.04.015

21. Marfella, R., D’Amico, M., Di Filippo, C., Siniscalchi, M., Sasso, F., Ferraraccio, F., Rossi, F., & Paolisso, G. (2007). The possible role of the ubiquitin proteasome system in the development of atherosclerosis in diabetes. Cardiovascular Diabetology, 6(1), 35.

https://doi.org/10.1186/1475-2840-6-35

22. Ohtani N, Kamiya T, Kawada N. Recent updates on the role of chemotherapy in pancreatic cancer. Am Assoc Study Liver Dis.

2023;7:1–11.

23. Özcan, U., Cao, Q., Yilmaz, E., Lee, A.-H., Iwakoshi, N. N., Özdelen, E., Tuncman, G., Görgün, C., Glimcher, L. H., & Hotamisligil, G. S. (2004).

Endoplasmic Reticulum Stress Links Obesity, Insulin Action, and Type 2 Diabetes.Science,306(5695),457–461.

https://doi.org/10.1126/science.1103160

24. Pafili K, Roden M. Nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) from pathogenesis to treatment concepts in humans. Mol Metab. 2021;50:1–

20.

25. Pan et al. Pathogenetic Pathways in Nonalcoholic Fatty Liver Disease:

An Incomplete Jigsaw Puzzle. Clin Liver Dis 27 (2023) 317–332.

https://doi.org/10.1016/j.cld.2023.01.013

(27)

26. Paradies, G. (2014). Oxidative stress, cardiolipin and mitochondrial dysfunction in nonalcoholic fatty liver disease. World Journal of Gastroenterology,20(39),14205.

https://doi.org/10.3748/wjg.v20.i39.14205

27. Paternostro, R., Becker, J., Hofer, B. S., Panagl, V., Schiffke, H., Simbrunner, B., Semmler, G., Schwabl, P., Scheiner, B., Bucsics, T., Bauer, D., Binter, T., Trauner, M., Mandorfer, M., & Reiberger, T. (2022).

The prognostic value of HVPG-response to non-selective beta-blockers in patients with NASH cirrhosis and varices. Digestive and Liver Disease, 54(4), 500–508. https://doi.org/10.1016/j.dld.2021.09.009 28. Pei K, Gui T, Kan D, Feng H, Jin Y, Yang Y, et al. An Overview of Lipid

Metabolism and Nonalcoholic Fatty Liver Disease. Biomed Res Int.

2020;2020.

29. Peng et al. Symptom prevalence and quality of life of patients with end- stage liver disease: A systematic review and meta-analysis. Palliative

Medicine (2019), Vol. 33(1) 24–36.

https://doi.org/10.1177/02692163188070

30. Pikarsky, E., Porat, R. M., Stein, I., Abramovitch, R., Amit, S., Kasem, S., Gutkovich-Pyest, E., Urieli-Shoval, S., Galun, E., & Ben-Neriah, Y.

(2004). NF-κB functions as a tumour promoter in inflammation- associated cancer. Nature, 431(7007), 461–466.

https://doi.org/10.1038/nature02924

31. Puri, P., Mirshahi, F., Cheung, O., Natarajan, R., Maher, J. W., Kellum, J.

M., & Sanyal, A. J. (2008). Activation and Dysregulation of the Unfolded Protein Response in Nonalcoholic Fatty Liver Disease.

Gastroenterology, 134(2), 568–576.

https://doi.org/10.1053/j.gastro.2007.10.039

32. Rengkung et al. Gambaran Penyakit Perlemakan Hati Non-Alkoholik Pada Pasien Hipertensi Yang Mempunyai Sgpt Meningkat. Jurnal e- Clinic (eCl), Volume 3, Nomor 1, Januari-April 2015.

https://doi.org/10.35790/ecl.v3i1.7657

(28)

33. Sarwanti et al. Peran CD44 pada Progresivitas Non Alcoholic Steatohepatitis (NASH). Maj Patol Indones 2020; 29(2): 71-81.

34. Sutti, S., & Albano, E. (2020). Adaptive immunity: an emerging player in the progression of NAFLD. Nature Reviews Gastroenterology &

Hepatology, 17(2), 81–92. https://doi.org/10.1038/s41575-019-0210-2 35. Tomita, K. (2006). Tumour necrosis factor signalling through activation

of Kupffer cells plays an essential role in liver fibrosis of non-alcoholic steatohepatitis in mice. Gut, 55(3), 415–424.

https://doi.org/10.1136/gut.2005.071118

36. Wang, J., He, W., Tsai, P.-J., Chen, P.-H., Ye, M., Guo, J., & Su, Z. (2020).

Mutual interaction between endoplasmic reticulum and mitochondria in nonalcoholic fatty liver disease. Lipids in Health and Disease, 19(1), 72.

https://doi.org/10.1186/s12944-020-01210-0

37. Winnay, J. N., Boucher, J., Mori, M. A., Ueki, K., & Kahn, C. R. (2010).

A regulatory subunit of phosphoinositide 3-kinase increases the nuclear accumulation of X-box–binding protein-1 to modulate the unfolded protein response. Nature Medicine, 16(4), 438–445.

https://doi.org/10.1038/nm.2121

38. Wullaert, A., van Loo, G., Heyninck, K., & Beyaert, R. (2007). Hepatic Tumor Necrosis Factor Signaling and Nuclear Factor-κB: Effects on Liver Homeostasis and Beyond. Endocrine Reviews, 28(4), 365–386.

https://doi.org/10.1210/er.2006-0031

39. Yuan J, Chen C, Cui J. Clinical and Translational Report Fatty Liver Disease Caused by High-Alcohol- Producing Klebsiella pneumoniae Clinical and Translational Report Fatty Liver Disease Caused by High- Alcohol-Producing Klebsiella pneumoniae. Cell Metab [Internet].

2019;30(4):675–88. Available from:

https://doi.org/10.1016/j.cmet.2019.08.018

40. Zelber-sagi S, Ratziu V, Oren R. Nutrition and physical activity in NAFLD. An overview of the epidemiological evidence World Gastroenterol. 2011 Agustus 7; 17 (2 9):3377-3389

(29)

41. Zhou, K. dan Fountzilas, C. Outcomes and Quality of Life of Systemic Therapy in Advanced Hepatocellular Carcinoma. Cancers 2019, 11, 861 https://doi:10.3390/cancers11060861

Referensi

Dokumen terkait

1 Menurut American Asociation for the Study of Liver Disease (AASLD), NAFLD adalah perlemakan hati yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi atau histopatologi pada

Insulin Resistance and Metabolic Syndrome in Non-Obese Indian Patients With Non- Alcoholic Fatty Liver Disease... AASLD practice guidelines: The Diagnosis and

http://doi.org/10.17576/jsm-2022-5106-18 Comparison of Non-Alcoholic Fatty Liver Disease NAFLD Model using Diet- Induced NAFLD Mice with Genetically Modified Mice Perbandingan Model

Simpulan: Peningkatan kadar MPV dan IL-6 dapat digunakan sebagai penanda adanya perlemakan hati non alkoholik pada pasien dengan obesitas sentral Kata kunci: Interleukin-6, mean

Keywords: Non-Alcoholic Fatty Liver Disease, Coronary Artery Disease, Ultrasound Date of submission: 11 Dec 2014, Date of acceptance: 16 Dec 2015 Introduction Non-alcoholic fatty

Non- alcoholic fatty liver disease is a spectrum of diseases ranging from non-alcoholic fatty liver NAFL, in which fat accumulates in liver cells with no significant inflammation, to

New AASLD PrACtiCe GuiDeLiNeS ProviDe New iNSiGhtS for DiAGNoSiNG AND treAtiNG NoN-ALCohoLiC fAtty Liver DiSeASe AND Liver CANCer January 25, 2018 - A new Practice Guideline and

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/51800369 Non-alcoholic fatty liver disease and correlation of serum alanin