EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN TIPE PAIRED STORYTELLING DALAM KETERAMPILAN BERBICARA BAHASA JERMAN SISWA
KELAS XI SMAN 11 MAKASSAR
Nurming Saleh
Fakultas Bahasa dan Sastra UNM [email protected]
Abstrak - Penelitian ini bertujuan memeroleh data dan informasi mengenai efektivitas model pembelajaran kooperatif tipe paired storytelling dalam keterampilan berbicara bahasa Jerman siswa SMA Negeri 11 Makassar. Penelitian ini adalah penelitian Quasi Eksperimen. Pengumpulan datanya melalui tes keterampilan berbicara. Data dianalisis dengan uji-t. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA SMA Negeri 11 Makassar yang terdiri atas enam kelas berjumlah 197 siswa. Sampel yang digunakan adalah sampel purpossif (Purpossive Sampling). Jumlah sampel adalah 58 siswa. XI IPA 1 sebagai kelas eksperimen yang berjumlah 30 siswa dan XI IPA 5 sebagai kelas kontrol yang berjumlah 28 siswa Hasil analisis data menunjukkan t-hitung (3,80) > t-table (2,003) pada taraf alpha 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe Paired Storytelling efektif dalam keterampilan berbicara bahasa Jerman siswa kelas XI IPA SMA Negeri 11 Makassar.
I. PENDAHULUAN A. Latar belakang
Bahasa Jerman merupakan salah satu bahasa asing yang dipelajari di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) setelah bahasa Inggris. Dalam pembelajaran bahasa Jerman, siswa diharapkan terampil menggunakan bahasa Jerman, baik secara lisan maupun tertulis.
Mempelajari suatu bahasa berarti mempelajari empat kompetensi berbahasa, yaitu: Hoerverstehen (kemampuan menyimak), Sprechfertigkeit (keterampilan berbicara), Leseverstehen (kemampuan membaca), Schreibfertigkeit (keterampilan menulis) serta ditunjang oleh dua aspek, yaitu Wortschatz (kosakata) dan Grammatik (tata bahasa).
Berbicara merupakan salah satu kompetensi berbahasa yang bersifat produktif, artinya berbicara adalah suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menyampaikan gagasan, pikiran atau perasaan sehingga gagasan-gagasan yang ada dalam pikiran pembicara dapat dipahami orang lain.
Berbicara dalam bahasa Jerman tidak semudah berbicara dalam bahasa Indonesia. Dibutuhkan strategi yang dapat membantu meningkatkan keterampilan berbicara dalam bahasa Jerman. Salah satu strategi yang dapat digunakan untuk hal tersebut adalah dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif. Pada model pembelajaran Kooperatif siswa diberikan kesempatan untuk berinteraksi secara aktif dalam kelompok belajarnya sehingga terjadi saling ketergantungan positif dalam penyelesaian tugas. Salah satu model yang dapat membantu untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa adalah model pembelajaran kooperatif tipe paired storytelling.
Model pembelajaran kooperatif tipe paired storytelling adalah salah satu model yang dianggap dapat membantu siswa untuk mengatasi kesulitan-kesulitan dalam pembelajaran bahasa Jerman, khususnya dalam keterampilan berbicara (Sprechfertigkeit). Melalui model ini, siswa diberikan kesempatan untuk saling bertukar informasi dari lawan tuturnya. Dari informasi tersebut, siswa dapat mengembangkan
kreativitasnya untuk berpikir dan berimajinasi dalam menyusun sebuah cerita. Sehingga siswa lebih banyak berpartisipasi dalam menyampaikan ide dan gagasannya melalui sebuah cerita.
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru, diperoleh informasi bahwa pada umumnya siswa mengalami kesulitan berbicara bahasa Jerman. Sebagian siswa menganggap bahwa pelajaran bahasa Jerman terutama keterampilan berbicara sangat membosankan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: peranan guru yang dominan di kelas sehingga keaktifan siswa berkurang, penggunaan metode belajar yang monoton serta kurangnya kerjasama yang terjalin antara siswa dan guru. Serta kurangnya minat siswa dalam mempelajari pelajaran bahasa Jerman.
Selanjutnya adapun beberapa penelitian tentang keterampilan berbicara yang telah dilakukan antara lain Ardiansyah (2014:iv) yang menunjukkan bahwa keterampilan berbicara bahasa Jerman siswa kelas XI IPA SMA Negeri 10 Makassar termasuk dalam kategori cukup dengan hasil (63,46%). Selanjutnya hasil penelitian yang dilakukan oleh Tenriawaru (2007:iv) mengatakan bahwa keterampilan berbicara siswa Kelas III Bahasa Jerman SMA Negeri 1 Sungguminasa termasuk dalam kategori kurang dengan persentase 39,6 %. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gaffar (2013:v) menunjukkan bahwa keterampilan berbicara siswa SMK 6 Makassar dalam kategori kurang dengan persentase 47,06 %.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui keefektifan model pembelajaran kooperatif tipe Paired Storytelling (Cerita Berpasangan) dalam keterampilan berbicara siswa kelas XI IPA SMA Negeri 11 Makassar.
B. Manfaat Hasil Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dalam bidang bahasa khususnya bahasa Jerman dan dapat dijadikan sebagai suatu referensi yang relevan bagi penelitian di masa yang akan datang.
2. Manfaat Praktis a. Manfaat bagi Pengajar
Hasil penelitian ini adalah menjadi salah satu rujukan atau referensi bagi guru untuk lebih mengembangkan kegiatan pembelajaran bahasa Jerman dengan inovasi metode pembelajaran yang menyenangkan khususnya dalam keterampilan berbicara.
b. Manfaat bagi Siswa
Hasil penelitian adalah menjadi salah satu rujukan bagi siswa untuk meningkatkan motivasi dan kepercayaan diri dalam mengemukakan ide, gagasan dan berpendapat dalam berbicara bahasa Jerman.
c. Manfaat bagi Peneliti
Sebagai sumbangan pemikiran dalam upaya meningkatkan perkembangan dan pengajaran bahasa Jerman khususnya dalam keterampilan berbicara.
II. LANDASAN TEORI A. Keterampilan Berbicara
Zainurrahman (2011:2) berpendapat bahwa “Keterampilan bahasa dibagi menjadi dua jenis, yaitu keterampilan yang bisa diperoleh secara alami dan keterampilan yang hanya diperoleh melalui latihan-latihan dan penguasaan konsep tertentu”.
Tarigan (2008:5) menuturkan bahwa :
“Kemampuan berbahasa lisan mencakup ujaran yang jelas dan lancar, kosakata yang luas dan beraneka ragam, penggunaan kalimat-kalimat yang lengkap dan sempurna bila diperlukan, pembedaan pendengaran yang tepat, dan kemampuan serta menelusuri perkembangan urutan suatu cerita, atau menghubungkan kejadian-kejadian dalam urutan yang wajar serta logis.”
Keterampilan berbicara juga diungkapkan Supriyadi (2005:178) yaitu :
“Apabila seseorang memiliki keterampilan berbicara yang baik, dia akan memperoleh keuntungan sosial maupun professional. Keuntungan sosial berkaitan dengan kegiatan interaksi sosial antar individu.
Sedangkan keuntungan profesional diperoleh sewaktu menggunakan bahasa untuk membuat pertanyaan- pertanyaan, menyampaikan fakta-fakta dan pengetahuan, menjelaskan dan mendeskripsikan.
Keterampilan berbahasa lisan tersebut memudahkan siswa berkomunikasi dan mengungkapkan ide atau gagasan kepada orang lain”.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian keterampilan berbicara adalah suatu kemampuan
berkomunikasi yang dimiliki seseorang dalam mengungkapkan ide, gagasan, maupun pikiran untuk disampaikan kepada lawan bicara. Proses komunikasi bertujuan untuk menyampaikan suatu gagasan kepada lawan bicara agar mendapat respon terhadap informasi yang telah disampaikan.
B. Pengertian Model Pembelajaran
Dalam suatu proses pembelajaran, pentingnya seorang guru atau tenaga pendidik untuk mempunyai suatu model pembelajaran yang akan diterapkan di kelas. Pentingnya untuk menguasai model pembelajaran yang akan diterapkan juga dapat digunakan untuk mengefektifkan proses pembelajaran;
menjadikan siswa lebih aktif dan kreatif; menjadikan proses pembelajaran lebih bervariasi; dan juga dapat meningkatkan daya serap siswa terhadap suatu materi pelajaran. Indriana (2011:16) berpendapat bahwa “Model adalah bantuan atau gambaran visual yang menyoroti berbagai gagasan dan variabel utama dalam sebuah proses atau sebuah sistem”. Sedangkan menurut Suprijono (2013:46) “Model pembelajaran adalah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas maupun tutorial”.
Teori yang berbeda dikemukakan Huda (2014:73) bahwa :
“Model pembelajaran dirancang untuk tujuan-tujuan tertentu, pengajaran konsep-konsep informasi, cara- cara berpikir dan sebagainya. Dengan meminta siswa untuk terlibat aktif dalam tugas-tugas kognitif dan sosial tertentu. Sebagian model berpusat pada penyampaian guru, sementara sebagian yang lain berusaha fokus pada respon siswa dalam mengerjakan tugas dan posisi-posisi siswa sebagai partner dalam proses pembelajaran”.
Adapun pendapat lain yang dikemukakan oleh Aunurrahman (2009:143) :
“Penggunaan model pembelajaran yang tepat dapat mendorong tumbuhnya rasa senang siswa terhadap pelajaran, menumbuhkan dan meningkatkan motivasi dalam mengerjakan tugas, memberikan kemudahan siswa untuk memahami pelajaran sehingga memungkinkan siswa mencapai hasil belajar yang lebih baik”.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah seperangkat prosedur yang sistematis bagi para pengajar untuk menyajikan materi atau bahan pelajaran yang dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam proses belajar-mengajar.
C. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu jenis strategi pembelajaran yang menerapkan interaksi kelompok teman sebaya. Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang didalamnya siswa bekerja bersama-sama untuk menyelesaikan sebuah tugas.
Menurut Isjoni (2010:15) “Cooperative Learning berasal dari kata Cooperatif yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dan saling membantu satu sama lainnya satu kelompok atau satu tim”. Senada dengan pendapat di atas, Slavin (2010:4) mengemukakan bahwa “pembelajaran
kooperatif merujuk pada berbagai macam metode pengajaran dimana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi pelajaran”.
Pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang saat ini banyak digunakan dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah-sekolah yang berpusat pada siswa terutama untuk mengatasi permasalahan yang ditemukan guru dalam mengaktifkan siswa didalam kegiatan belajar mengajar.
Pendapat mengenai pembelajaran kooperatif diungkapkan oleh Hamdayama (2014: 63) bahwa “Model pembelajaran kelompok adalah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa dalam kelompok–kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan”.
Adapun Roger dalam Huda (2011:29) berpendapat bahwa:
“Pembelajaran kooperatif merupakan aktivitas pembelajaran kelompok yang diorganisir oleh satu prinsip bahwa pembelajaran harus didasarkan pada perubahan informasi secara sosial diantara kelompok- kelompok pembelajar yang di dalamnya setiap pembelajar bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri dan didorong untuk meningkatkan pembelajaran anggota-anggota lainnya”.
Pembelajaran kooperatif menurut Riyanto (2010:267) adalah “model pembelajaran yang dirancang untuk membelajarkan kecakapan akademik (academic skill), sekaligus keterampilan sosial (social skill) termasuk interpersonal skill”. Sedangkan Suprijono (2013:54) berpendapat bahwa “Pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru”.
Lie (2014:28) menyebut Cooperative Learning sebagai pembelajaran gotong-royong adalah “Sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas – tugas yang terstruktur”.
Sedangkan pembelajaran kooperatif menurut Aqib (2013:15) adalah “Suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam rangka memaksimalkan kondisi belajar”.
Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa cooperative learning atau pembelajaran kooperatif adalah salah satu model pembelajaran yang mengacu pada teknik pengajaran dimana siswa bekerja sama dalam kelompok kecil saling membantu dalam belajar agar siswa dapat saling bekerja sama dalam kelompok untuk meningkatkan hasil belajar.
D. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Paired Storytelling Model pembelajaran kooperatif tipe Paired Storytelling dikembangkan sebagai pendekatan interaktif antara siswa, pengajar, dan bahan pelajaran. Dalam model ini siswa diharapkan mampu untuk mengungkapkan ide dan gagasannya dalam mengolah informasi yang didapatkan melalui mitra tuturnya menjadi sebuah cerita. Sehingga siswa lebih aktif untuk berkomunikasi di dalam kelas.
Lie (2014:71) menyatakan bahwa :
“Teknik dalam pembelajaran paired storytelling dapat digunakan dalam pengajaran membaca, menulis, mendengarkan ataupun bercerita. Dalam teknik ini guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna”.
Senada dengan pendapat di atas, Huda (2011:151) menjelaskan bahwa :
“Dalam proses pembelajaran kooperatif tipe paired storytelling siswa bekerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong-royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah berbagai macam informasi dan meningkatkan keterampilan dalam berkomunikasi”.
Pendapat lain ditambahkan oleh Isjoni (2010:80) bahwa
“Dalam pelaksanaan kegiatan ini siswa dirangsang untuk mengembangkan kreativitasnya dalam berpikir dan berimajinasi sehingga siswa menjadi aktif untuk berpartisipasi di kelas dan terdorong untuk untuk belajar”.
Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif tipe Paired Storytelling (Cerita Berpasangan) siswa dirangsang untuk mengembangkan kreatifitasnya berfikir dan berimajinasi dalam mengolah berbagai informasi yang diperoleh menjadi sebuah cerita. Hasil pemikiran mereka akan di hargai, sehingga siswa akan semakin termotivasi untuk belajar.
1. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Paired Storytelling
Teknik mengajar Paired Storytelling dikembangkan sebagai pendekatan interaktif antara siswa, pengajar, dan bahan pelajaran. Dalam kegiatannya, siswa dirangsang untuk mengembangkan kreatifitasnya dalam berfikir dan berimajinasi dalam mengolah sebuah informasi menjadi sebuah cerita.
Menurut Lie (2014:45) langkah-langkah Paired Storytelling (Cerita Berpasangan) ringkasannya sebagai berikut :
“(1) Guru membagi topik pelajaran menjadi dua bagian.(2) Guru memberikan brainstorming mengenai topik yang akan dibahas.(3) Siswa berkelompok secara berpasangan.(4) Subtopik 1 diberikan kepada siswa pertama, dan siswa kedua menerima subtopik yang ke- 2. (5) Siswa diminta untuk membaca bagiannya masing-masing dan mencatat beberapa informasi, kemudian siswa saling bertukar informasi. (6) Masing- masing siswa berusaha untuk mengarang bagian lain berdasarkan informasi yang didapatkan.(7) Kegiatan ini diakhiri dengan diskusi mengenai topik dalam bahan pelajaran hari itu”.
Sedangkan Isjoni (2010:81) menyatakan langkah-langkah Paired Storytelling sebagai berikut :
“(1) guru membagi bahan pelajaran menjadi dua bagian.(2) guru memberikan brainstorming dengan tujuan untuk mengaktifkan skemata siswa terhadap materi yang akan dibahas.(3) siswa berkelompok
secara berpasangan.(4) bagian pertama diberikan pada siswa yang pertama, dan bagian kedua diberikan pada siswa yang kedua.(5) siswa mengerjakan bagiannya masing-masing.(6)setelah selesai siswa saling berbagi mengenai bagian masing-masing.(7) kegiatan diakhiri dengan diskusi mengenai topik yang dibahas pada hari itu.”
Sedangkan Huda (2011:151) mengemukakan langkah- langkah Paired Storytelling sebagai berikut :
“(1) guru membagi bahan pelajaran menjadi dua bagian.(2) guru menanyakan apa saja yang siswa ketahui mengenai topik tersebut .
(3) siswa dikelompokkan secara berpasangan.(4) bagian pertama diberikan pada siswa yang pertama, dan bagian kedua diberikan pada siswa yang kedua.(5) siswa mengerjakan bagiannya masing-masing berdasarkan informasi yang diperoleh.(6) setelah selesai siswa saling melengkapi dan berinteraksi antara satu dengan yang lain.(7) guru dan siswa bersama-sama mendiskusikan materi ajar yang dibahas.”
Berikut tahap-tahap pembelajaran kooperatif tipe Paired Storytelling menurut Lie, Huda dan Isjoni. Ringkasannya sebagai berikut :
a.
guru memberikan brainstorming mengenai tema yang akan dibahas;b.
siswa berkelompok secara berpasangan;c.
siswa saling bertukar informasi mengenai tema yang telah diberikan;d.
siswa mendiskusikan mengenai tema berdasarkan informasi yang telah diperoleh;e.
masing-masing siswa secara bergantian menceritakan pengalaman atau kegiatan sesuai tema yang telah diberikan;f.
kegiatan diakhiri dengan diskusi mengenai topik dalam bahan pelajaran hari itu;Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa di dalam pelaksanaan model pembelajaran kooperatif tipe paired storytelling guru memberikan brainstorming mengenai tema yang akan dibahas di kelas kemudian siswa di kelompokkan secara berpasangan, siswa saling bertukar informasi yang diperoleh dan masing-masing siswa menceritakan hasil diskusinya berdasarkan informasi yang telah diperoleh serta siswa dan guru mendiskusikan tema yang dipelajari pada hari itu.
2. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Paired Storytelling sebagai berikut:
Model pembelajaran kooperatif tipe Paired Storytelling merupakan model pembelajaran yang memperhatikan skemata atau latar belakang siswa dalam mengembangkan kemampuan berpikir dan berimajinasi dalam menyusun sebuah cerita.
Adapun kelebihan dan kekurangan model pembelajaran kooperatif tipe Paired Storytelling menurut Lie (2014:46-47) sebagai berikut :
Kelebihan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Paired Storytelling (Cerita Berpasangan) :
“ 1) dapat meningkatkan partisipasi siswa. 2) cocok untuk tugas-tugas sederhana. 3) lebih banyak mendapat kesempatan untuk memberikan atau mendapatkan masukan pada masing-masing anggota kelompok. 4) interaksi yang terjalin lebih mudah. 5) lebih mudah dan cepat membentuk kelompok sehingga tidak membuang banyak waktu.”
Kekurangan dari Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Paired Storytelling (Cerita Berpasangan) yaitu :
“1) banyak kelompok yang melapor dan dimonitor sehingga guru harus lebih dapat membagi kesempatan pada kelompok-kelompok tersebut. 2) lebih sedikit ide yang muncul karena satu kelompok hanya terdiri dari dua orang. 3) jika ada perselisihan antara anggota kelompok maka tidak akan ada penengah.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Paired Storytelling merupakan suatu model pembelajaran kooperatif yang dapat diterapkan dalam keterampilan berbicara. Melalui pembelajaran paired storytelling siswa diberikan kesempatan untuk saling bertukar informasi mengenai sebuah tema. Diharapkan melalui proses bercerita terjadi hubungan timbal balik antara pembicara dan pendengar. sehingga memudahkan siswa untuk memahami materi atau tema yang diberikan.
III. METODE PENELITIAN A. Variabel dan Desain Penelitian 1. Variabel Penelitian
Penelitian ini menggunakan dua variabel yaitu variabel bebas (X) dan variabel terikat (Y). variabel bebas (X) yang dimaksud adalah model pembelajaran tipe Paired Storytelling dan variabel terikat (Y) adalah keterampilan berbicara bahasa Jerman siswa kelas XI IPA SMA Negeri 11 Makassar.
2. Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Quasy Experimental Design dengan bentuk Nonequivalent Control Group Design. Pada penelitian ini melibatkan dua kelompok yaitu kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran Paired Storytelling dalam pembicaraan berbicara dan kelas kontrol yang menggunakan model pembelajaran konvensional. Skema penelitian digambarkan sebagai berikut:
Keterangan: O1 = pretest kelas eksperimen O2 = post-test kelas eksperimen O3 = pre-test kelas kontrol O4 = post-test kelas kontrol X = perlakuan
(Sugiyono:2013)
B. Definisi Operasional Variabel 1. Definisi Operasional Variabel
O
1X O
2O
3O
4Definisi operasional variabel yang dimaksud dalam penelitian ini adalah model pembelajaran kooperatif tipe Paired Storytelling. Yang dimaksud dengan model pembelajaran kooperatif tipe Paired Storytelling adalah pembelajaran yang merangsang siswa untuk mengembangkan kreativitas berfikir dan berimajinasi dalam mengolah informasi yang diperoleh menjadi sebuah cerita. Sedangkan keterampilan berbicara adalah kemampuan siswa dalam mengungkapkan ide, gagasan dan pendapat yang berhubungan dengan materi pelajaran yang sesuai dengan gramatik yang benar.
2. Penilaian
Kriteria penilaian yang digunakan adalah kriteria penilaian keterampilan berbicara berdasarkan unsur-unsur keterampilan berbicara oleh Bolton (1995:137-138. Adapun kriteria penilaiannya adalah sebagai berikut:
Tabel 1 Kriteria Penilaian Keterampilan Berbicara Menurut Bolton Kriteria
Penilaian
Nilai Keterangan
Tata Bahasa
3
2
1
0
Kalimat yang diungkapkan sebagian besar bebas dari kesalahan
Kalimat yang diungkapkan mengandung beberapa kesalahan, namun tidak mempengaruhi pemahaman
Kalimat yang diungkapkan mengandung beberapa kesalahan dan mempengaruhi pemahaman
Kalimat yang digunakan sebagian besar salah dan tidak bisa dipahami
Kosakata 3
2
1
0
Kosakata yang digunakan bervariasi.
Siswa dapat menguraikan sesuatu dengan sangat baik
Kosakata yang digunakan cukup.
Secara umum siswa dapat menguraikan sesuatu dengan baik Kosakata yang digunakan sangat minim namun, siswa masih dapat
menggunakannya untuk
menggambarkan suatu konsep Kosakata yang digunakan sama sekali tidak memadai
Pelafalan/in tonasi
3 2
1
Pelafalan dan intonasi bebas dari kesalahan
Terdapat beberapa kesalahan pengucapan dan intonasi tetapi tidak mempengaruhi pemahaman
0
Terdapat beberapa kesalahan pengucapan dan intonasi serta susah dipahami
Terdapat banyak kesalahan pengucapan dan intonasi serta sama sekali tidak dipahami.
Pemahama n Isi
3
2
1
0
Isi percakapan sangat memadai dan siswa dapat melakukannya tanpa bantuan guru
Isi percakapan cukup memadai dan pada umumnya siswa melakukan percakapan tanpa bantuan dari guru Isi percakapan cukup, tetapi dalam melakukan percakapan siswa kadang-kadang mendapatkan bantuan dari guru. Walaupun dengan bantuan guru, siswa tidak mampu melakukan percakapan dengan baik.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah skor maksimal dari penilain Bolton untuk keterampilan berbicara adalah 12. Untuk penilaian hasil keseluruhan tes, peneliti mengacu pada pedoman yang digunakan guru untuk mengkonversi nilai Bolton ke nilai seratus dengan menggunakan rumus:
(Purwanto, 2012: 102)
Adapun konversi nilai Bolton kedalam nilai seratus sebagai berikut:
Tabel 2. Konversi nilai Bolton
No Nilai Bolton Nilai Konversi
1 1 8
2 2 17
3 3 25
4 4 33
5 5 47
6 6 50
7 7 58
8 8 67
9 9 75
10 10 83
11 11 92
12 12 100
Adapun kriteria penilaian Bolton sebagai berikut:
Tabel 3. Rentangan Skor Bolton
No. Skor Kategori Rentang Nilai
Konversi 𝑠𝑘𝑜𝑟 = 𝑠𝑘𝑜𝑟 ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙
𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 X100
1. 9-12 Sangat Baik 75-100
2. 6-8 Baik 50-74
3. 3-5 Cukup 25-49
4. 0-2 Rendah 0-24
(Bolton, 1995:137-138 ) C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA SMA Negeri 11 Makassar yang terdiri dari 6 kelas dengan jumlah 197 siswa.
2. Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 1 dan XI IPA 5 yang dipilih secara purposif (purpossive sampling).
Siswa kelas XI IPA 1 dipilih sebagai kelas eksperimen dengan jumlah 30 siswa dan kelas XI IPA 5 dipilih sebagai kelas kontrol dengan jumlah 28 siswa dengan total sampel sebanyak 58 siswa.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes kemampuan berbicara. Adapun tes yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Tes awal (pre-test), yaitu tes yang diberikan kepada siswa sebelum pemberian perlakuan. Tes yang diberikan untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol berupa tes lisan yang bertujuan untuk mengetahui tingkat penguasaan awal terhadap bahan/materi pelajaran yang akan diajarkan.
2. Tes akhir (post-test) yaitu pemberian tes yang diberikan setelah proses pemberian perlakuan (Treatment). Tes yang diberikan untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol berupa tes lisan untuk mengetahui perbandingan keterampilan berbicara siswa setelah diajar dengan menggunakan model pembelajaran tipe Paired Storytelling dengan siswa yang diajar dengan menggunakan model konvensional.
E. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis statistika inferensial untuk menguji hipotesis dengan menggunakan uji-t. Namun sebelum dilakukan pengujian hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dengan menggunakan tabel- Z score dan chi kuadrat serta uji homogenitas dengan menggunakan uji F (Fisher), sebelum menentukan uji normalitas data dan homogenitas maupun uji hipotesis terlebih dahulu tentukan nilai rata-rata (mean), simpangan baku dan varian.
Uji normalitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah data hasil penelitian berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh bersifat homogen atau tidak. Uji-t dilakukan untuk menguji hipotesis yang kemudian dibandingkan dengan tabel distribusi t untuk mengetahui apakah H0 ditolak atau terima dan H1 diterima atau ditolak.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Statistik Deskriptif
1. Analisis Statistik Deskriptif Pre-test
Penelitian ini dimulai dengan pemberian pre-test kepada kedua kelas yaitu tes memperkenalkan keluarga. untuk melihat keterampilan berbicara siswa.
a. Kelas Eksperimen
Berdasarkan nilai yang diperoleh dari hasil pre-test kelas XI IPA 1 SMA Negeri 11 Makassar sebagai kelas eksperimen, rata-rata (mean) dari 30 siswa adalah 36,36 (nilai tertinggi adalah 58 dan terendah adalah 17) hasil perhitungan ini dapat di lihat pada (Lampiran 6:93). Dari hasil perhitungan diperoleh rentangan 6,8 dibulatkan menjadi 7 dan banyaknya kelas 6.
Distribusi frekuensi data dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini:
Tabel 4. Distribusi Frekuensi dan Persentase Nilai Pre-Test Kelas Eksperimen (XI IPA 1) SMA Negeri 11 Makassar No. Kelas
Interval
Frekuensi Persentase (%)
1 17-23 2 7
2 24-30 9 30
3 31-37 6 20
4 38-44 5 16
5 45-51 6 20
6 52-58 2 7
Jumlah 30 100%
Data frekuensi dan persentase nilai pre-test kelas eksperimen berdasarkan tabel 4 di atas menunjukkan bahwa dari 30 siswa, terdapat 2 siswa (7%) memeroleh nilai pada kelas interval dengan rentangan nilai antara 17-23, 9 siswa (30%) memeroleh nilai pada kelas interval dengan rentangan nilai antara 24-30, 6 siswa (20%) memeroleh nilai pada kelas interval dengan rentangan nilai antara 31-37, 5 siswa (16%) memeroleh nilai pada kelas interval dengan rentangan nilai antara 38-44, 6 siswa (20%) memeroleh nilai pada kelas interval dengan rentangan nilai antara 45-51, dan 2 siswa (7%) memeroleh nilai pada kelas interval dengan rentangan nilai antara 52-58.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa distribusi frekuensi dan persentase nilai pre-test kelas eksperimen (XI IPA 1) SMA Negeri 11 Makassar yang paling banyak dengan frekuensi 9 siswa (30%) memeroleh nilai pada kelas interval dengan rentangan nilai 24-30, sedangkan yang paling sedikit dengan frekuensi 2 siswa (7%) memeroleh nilai pada kelas interval dengan rentang nilai 17-23.
b. Kelas Kontrol
Berdasarkan nilai yang diperoleh dari hasil pre-test kelas XI IPA 5 sebagai kelas kontrol rata-rata (mean) dari 28 siswa adalah 33,96 (nilai tertinggi adalah 50 dan terendah adalah 17).
Dari hasil perhitungan diperoleh rentangan 5,5 dibulatkan menjadi 6 dan banyaknya kelas 6 hasil perhitungan ini dapat di lihat pada (Lampiran 6:94). Distribusi frekuensi data dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini.
Tabel 5. Distribusi Frekuensi dan Persentase Nilai Pre-Test Kelas Kontrol (XI IPA 5) SMA Negeri 11 Makassar
No. Kelas Interval
Frekuensi Persentase (%)
1 17-22 2 7
2 23-28 9 32
3 29-34 6 21
4 35-40 0 0
5 41-46 7 25
6 47-52 4 15
Jumlah 28 100%
Data frekuensi dan persentase nilai pre-test kelas kontrol berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa dari 28 siswa, terdapat 2 siswa (7%) memeroleh nilai pada kelas interval dengan rentangan nilai 17-22. 9 siswa (32%) memeroleh nilai pada kelas interval dengan rentangan nilai antara 23-28, 6 siswa (21%) memeroleh nilai pada kelas interval dengan rentangan nilai antara 29-34, tidak ada siswa (0%) memeroleh nilai pada kelas interval dengan rentangan nilai antara 35-40, 7 siswa (25%) memeroleh nilai pada kelas interval dengan rentangan nilai antara 41-46, dan 4 siswa (15%) memeroleh nilai pada kelas interval dengan rentangan nilai antara 47-52.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa distribusi frekuensi dan persentase nilai pre-test kelas kontrol (XI IPA 5) SMA Negeri 11 Makassar yang paling banyak dengan frekuensi 9 siswa (32%) memeroleh nilai pada kelas interval dengan rentangan nilai 24-28, sedangkan yang paling sedikit dengan frekuensi 2 siswa (7%) memeroleh nilai pada kelas interval dengan rentang nilai 17-22.
2. Analisis Statistik Deskriptif Post-test
Setelah kelas eksperimen (XI IPA 1) diberi perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran Kooperatif tipe Paired Storytelling dan di kelas kontrol (XI IPA 5) menggunakan buku mata pelajaran di sekolah yaitu Deutsch ist einfach sebanyak empat kali pertemuan, kedua kelas diberi post-test untuk melihat tingkat keterampilan menulis siswa masing-masing kelas setelah pembelajaran.
a. Kelas Eksperimen
Berdasarkan nilai yang diperoleh dari hasil post-test kelas XI IPA 1 sebagai kelas eksperimen (Tabel.11:) rata-rata (mean) dari 30 siswa adalah 66,36 (nilai tertinggi adalah 92 dan terendah adalah 33). Dari hasil perhitungan diperoleh rentangan 9,83 dibulatkan menjadi 10 dan banyaknya kelas 6, hasil perhitungan ini dapat di lihat pada (Lampiran 6:95). Distribusi frekuensi data dapat dilihat pada tabel 3 di bawah ini:
Tabel 6. Distribusi Frekuensi dan Persentase Nilai Post-Test Kelas Ekperimen (XI IPA 1) SMA Negeri 11 Makassar
No. Kelas Interval
Frekuensi Persentase (%)
1 33-42 2 7
2 43-52 5 17
3 53-62 4 13
4 63-72 6 20
5 73-82 7 23
6 83-92 6 20
Jumlah 30 100%
Berdasarkan tabel 6 menunjukkan bahwa dari 30 siswa, terdapat 2 siswa (7%) memeroleh nilai pada kelas interval dengan rentangan nilai 33-42, 5 siswa (17%) memeroleh nilai pada kelas interval dengan rentangan nilai antara 43-52, 4 siswa (13%) memeroleh nilai pada kelas interval dengan rentangan nilai antara 53-62, 6 siswa (20%) memeroleh nilai pada kelas interval dengan rentangan nilai antara 63-72, 7 siswa (23%) memeroleh nilai pada kelas interval dengan rentangan nilai antara 73-82, dan 6 siswa (20%) memeroleh nilai pada kelas interval dengan rentangan nilai antara 83-92.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa distribusi frekuensi dan persentase nilai post-test kelas eksperimen (XI IPA 1) SMA Negeri 11 Makassar yang paling banyak dengan frekuensi 7 siswa (23%) memeroleh nilai pada kelas interval dengan rentangan nilai 73-82, sedangkan yang paling sedikit dengan frekuensi 2 siswa (7%) memeroleh nilai pada kelas interval dengan rentang nilai 33-42.
b. Kelas Kontrol
Berdasarkan nilai yang diperoleh dari hasil post-test kelas XI IPA 5 sebagai kelas kontrol (Tabel 15:) rata-rata (mean) dari 28 siswa adalah 56,32 (nilai tertinggi adalah 83 dan terendah adalah 25). Dari hasil perhitungan diperoleh rentangan 9,6 dibulatkan menjadi 10 dan banyaknya kelas 6, hasil perhitungan ini dapat di lihat pada (Lampiran 6:96). Distribusi frekuensi data dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini:
Tabel 7. Distribusi Frekuensi dan Persentase Nilai Post-Test Kelas Kontrol (XI IPA 5) SMA Negeri 11 Makassar No. Kelas
Interval
Frekuensi Persentase (%)
1 25-34 2 7
2 35-44 6 21
3 45-54 4 14
4 55-64 5 19
5 65-74 7 25
6 75-84 4 14
Jumlah 28 100%
Data frekuensi dan persentase nilai post-test kelas kontrol berdasarkan tabel 7 di atas menunjukkan bahwa dari 28 siswa, terdapat 2 siswa (7%) memeroleh nilai pada kelas interval dengan rentangan nilai 25-34, 6 siswa (21%) memeroleh nilai pada kelas interval dengan rentangan nilai antara 35-44, 4 siswa (14%) memeroleh nilai pada kelas interval dengan rentangan nilai antara 45-54, 5 siswa (19%) memeroleh nilai pada kelas interval dengan rentangan nilai antara 55-64, 7 siswa (25%) memeroleh nilai pada kelas interval dengan rentangan nilai antara 65-74, dan 4 siswa (14%) memeroleh nilai pada kelas interval dengan rentangan nilai antara 75-84.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa distribusi frekuensi dan persentase nilai post-test kelas kontrol (XI IPA 5) SMA Negeri 11 Makassar yang paling banyak dengan frekuensi 7 siswa (25%) memeroleh nilai pada kelas interval dengan rentangan nilai 65-74, sedangkan yang paling sedikit dengan frekuensi 2 siswa (7%) memeroleh nilai pada kelas interval dengan rentang nilai 25-34.
B. Analisis Statistik Inferensial 1. Uji Normalitas
Sebelum melakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan uji-t, terlebih dahulu dilakukan pengujian normalitas data dengan menggunakan tabel z-score dan chi- kuadrat.
a. Kelas Eksperimen
Untuk pengujian normalitas data pre-test untuk kelas eksperimen, jumlah kelas interval ditetapkan = 6 dan panjang kelas = 7. Adapun data post-test, jumlah kelas interval ditetapkan = 6 dan panjang kelas = 10 dengan kriteria pengujian:
- Jika 𝜒ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 2 < 𝜒𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 2 data normal - Jika 𝜒ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 2 > 𝜒𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 2 data tidak normal Berdasarkan tabel z-score dan chi-kuadrat, maka uji normalitas data pre-test dan post-test untuk kelas eksperimen adalah -124,15 dan -139,77. Hasil tersebut dikonsultasikan dengan tabel harga chi-kuadrat dengan dk = (k-1). Pada tabel, banyaknya kelas interval adalah 6. Oleh karena itu (k-1) = 6 – 1 = 5. Pada tabel dengan dk = 5 tertera harga x2 (𝛼) atau dengan taraf signifikansi 0,05 untuk pre-test yaitu 11,07 dan post-test yakni 11,02. Jadi harga chi-kuadrat hitung lebih kecil daripada chi-kuadrat tabel, 𝜒ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 2 (-124,15) < 𝜒𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 2 (11,07) atau (- 124,15< 11,07) untuk pre-test dan 𝜒ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 2 (-139,77)
< 𝜒𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 2 (11,02) atau (-139,77< 11,02) untuk post-test. Oleh karena harga chi-Kuadrat hitung lebih kecil daripada chi- kuadrat tabel, maka data pre-test dan post-test siswa pada kelas eksperimen dinyatakan berdistribusi normal.
b. Kelas Kontrol
Untuk pengujian normalitas data pre-test untuk kelas eksperimen, jumlah kelas interval ditetapkan = 6 dan panjang kelas = 6. Adapun data post-test, jumlah kelas interval ditetapkan = 6 dan panjang kelas = 10 dengan kriteria pengujian:
- Jika 𝜒ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 2 < 𝜒𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 2 data normal - Jika 𝜒ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 2 > 𝜒𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 2 data tidak normal Berdasarkan tabel z-score dan chi-kuadrat, maka uji normalitas data pre-test dan post-test untuk kelas eksperimen adalah -126,02 dan -124,14. Hasil tersebut dikonsultasikan dengan tabel harga chi-kuadrat dengan dk = (k-1). Pada tabel, banyaknya kelas interval adalah 6. Oleh karena itu (k-1) = 6 – 1 = 5. Pada tabel dengan dk = 5 tertera harga x2 (𝛼) atau dengan taraf signifikansi 0,05 untuk pre-test dan post-test yakni 11,07.
Jadi harga chi-kuadrat hitung lebih kecil daripada chi-kuadrat tabel, 𝜒ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 2 (-126,02) < 𝜒𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 2 (11,07) atau (-126,02< 11,07) untuk pre-test dan 𝜒ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 2 (-124,14) < 𝜒𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 2 (11,07) atau (- 124,14< 11,07) untuk post-test. Oleh karena harga chi-Kuadrat
hitung lebih kecil daripada chi-kuadrat tabel, maka data pre-test dan post-test siswa pada kelas kontrol dinyatakan berdistribusi normal.
2. Uji Homogenitas a. Pre-test
Hasil Fhitung pre-test kelas eksperimen dan control yaitu 1,02. Hasil tersebut apabila dikonsultasikan dengan F tabel dengan dk = k-1, dimana (k) merupakan banyaknya jumlah kelas pada interval kelas uji normalitas sehingga diperoleh dbpembilang= (6 – 1= 5) dan dbpenyebut = (6-1= 5) dengan taraf kesalahan (𝛼) = 0,05 maka diperoleh Ftabel = 5,050 Ternyata Fhitung= 1,02 < Ftabel = 5,050, oleh karena Fhitung lebih kecil dari Ftabel ( 1,02 < 5,050) maka H0 diterima, dengan demikian disimpulkan bahwa kedua sampel pre-test (eksperimen dan kontrol) memiliki varian yang sama atau homogen.
b. Post-test
Hasil Fhitung pre-test kelas eksperimen dan control yaitu 1,01. Hasil tersebut dikonsultasikan dengan F tabel dengan dk
= k-1, dimana (k) merupakan banyaknya jumlah kelas pada interval kelas uji normalitas sehingga diperolah dbpembilang= (6 – 1=5) dan dbpenyebut = (6 - 1= 5) dengan taraf signifikan (𝛼) = 0,05 maka diperoleh Ftabel = 5,050. Ternyata Fhitung= 1,01 < Ftabel = 5,050. oleh karena F hitung lebih kecil dari Ftabel (1,01 < 5,050) maka disimpulkan bahwa kedua sampel post-test (Eksperimen dan Kontrol) memiliki varian yang sama atau homogen.
3. Pengujian Hipotesis
Hasil analisis data dengan menggunakan rumus uji- t di menunjukkan bahwa harga t hitung = 3,80. Harga t hitung tersebut selanjutnya dibandingkan dengan harga t tabel dengan dk = 𝑛1+ 𝑛2− 2= 30 + 28 – 2 = 56 pada taraf alpha 0,05 maka diperoleh tt = 2,003. Kriteria pengujian hipotesis yaitu tolak H0, jika t h, > t t, dan terima H0, jika t h, < t t, . Berdasarkan analisis uji t maka diperoleh t h, = 3,80 dan t t = 2,003, maka t h = 3,80 > t t, = 2,003. Dengan demikian H0 yang berbunyi: Tidak ada perbedaan signifikan antara keterampilan berbicara bahasa Jerman siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe paired storytelling dengan siswa yang tidak diajar menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe paired storytelling pada kelas XI SMA Negeri 11 Makassar ditolak. Konsekuensi dari penolakan H0 maka H1
yang berbunyi: Ada perbedaan signifikan antara keterampilan berbicara bahasa Jerman siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe paired storytelling dengan siswa yang tidak diajar menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe paired storytelling pada kelas XI SMA Negeri 11 Makassar diterima. Penolakan H0 dan penerimaan H1 menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe paired storytelling efektif dalam pembelajaran keterampilan berbicara bahasa Jerman siswa kelas XI IPA SMA Negeri 11 Makassar.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka temuan penelitian ini yaitu model pembelajaran kooperatif tipe Paired Storytelling efektif dalam keterampilan berbicara bahasa Jerman siswa. Senada dengan teori yang
dikemukakan oleh Lie (2014:71) bahwa “dalam teknik paired storytelling guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata tersebut agar materi yang disajkan lebih menarik”.
V. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa penggunaan model pembelajaran Kooperatif tipe Paired Storytelling efektif dalam pembelajaran keterampilan berbicara bahasa Jerman siswa kelas XI IPA SMA Negeri 11 Makassar. Hal tersebut dibuktikan dari hasil analisis uji-t pada nilai post-test siswa setelah dilakukan uji-t pada masing-masing kelompok dengan hasil analisis data yaitu th = 3,80 > tt = 2,003 pada taraf signifikansi 0,05 yang berarti bahwa peningkatan yang signifikan setelah penggunaan model pembelajaran Kooperatif tipe Paired Storytelling dalam pembelajaran dimana Th lebih besar daripada Tt. Ini menunujukkan bahwa penggunaan model pembelajaran Kooperatif tipe Paired Storytelling efektif dalam keterampilan berbicara bahasa Jerman siswa kelas XI IPA SMA Negeri 11 Makassar.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pelaksanaan dan penulisan Penelitian ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak sehingga kegiatan penelitian terlaksana dengan baik. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati peneliti mengucapkan terima kasih kepada;
1. Rektor Universitas Negeri Makassar.
2. Bapak Prof. Dr. H. Jufri AP, M.Pd, selaku Ketua Lembaga Penelitian UNM beserta staf.
3. Bapak Dr. H. Syarifuddin Dollah, M. Pd, selaku Dekan Fakultas Bahasa dan Sastra UNM.
4. Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Jerman, Jurusan Pendidikan Bahasa Asing beserta staf.
5. Kepala Sekolah SMAN 11 Makassar tempat peneliti melaksanakan penelitian.
6. Guru Bahasa Jerman SMAN 11 Makassar yang telah meluangkan waktunya untuk membantu terlaksananya penelitian ini
Akhirnya, peneliti berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pendidikan, Amin.
PUSTAKA
[1]. Z. Aqib, Model-Model, Media Dan Pembelajaran Kontekstual (Inovatif). Bandung: Yrama Widya, 2013.
[2]. Aunurrahman, Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta, 2009.
[3]. S. Ardiansyah, Keterampilan berbicara siswa kelas XI SMA Negeri XI Makassar. Makassar: UNM, 2014.
[4]. Bolton, Sybille. 1995. Probleme der Leistungenmessung.
München. Goethe Institut.
[5]. U. Gaffar, Kemampuan Berbicara Bahasa Jerman Dalam Bidang Perhotelan Siswa SMK Negeri 6 Makassar. Skripsi: Universitas Negeri Makassar, 2013.
[6]. J. Hamdayama, Model dan Metode Pembelajaran Kreatif dan Berkarakter. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2014.
[7]. M. Huda, Cooperative Learning. Metode, Teknik, Struktur Dan Model Penerapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011
[8]. D. Indriana, Mengenal Ragam Gaya Pembelajaran Efektif.
Yogyakarta. DIVA Press, 2011
[9]. Isjoni. Cooperative Learning : Efektivitas Pembelajaran Kelompok. Bandung : Alfabeta, 2010.A. Lie, Cooperative Learning : Mempraktekkan Cooperative Learning Di Dalam Ruang-Ruang Kelas. Jakarta : Grasindo, 2010.
[10]. N. Purwanto, “Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran”. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012.
[11]. Y. Riyanto, Paradigma baru pembelajaran. Jakarta. Kencana, 2010.
[12]. R.E. Slavin, Cooperative Learning: Teori, Riset, Dan Praktik.
Bandung : Nusa Media, 2010.
[13]. Sugiyono. Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R
& D. Bandung: Alfabeta, 2013.
[14]. A. Suprijono, Cooperatif Learning (Teori & Aplikasi Palkem).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
[15]. Supriyadi. Strategi Belajar Mengajar Bahasa, Berbagai Pendekatan, Metode, Teknik dan Media Pengajaran. Jakarta:
Pustaka Setia, 2005.
[16]. H.G. Tarigan, Berbicara : Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung : Angkasa Bandung, 2008.
[17]. Zainurrahman, Menulis Dari Teori Hingga Praktik. Bandung : Alfabet