• Tidak ada hasil yang ditemukan

PASAL 9 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PASAL 9 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PASAL 9 UNDANG-UNDANG

NOMOR 5 TAHUN 1999

(2)

Bagian Ketiga

Pembagian Wilayah Pasal 9

• Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian

dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi

pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek

monopoli dan atau persaingan usaha tidak

sehat.

(3)

Unsur-unsur

• Perjanjian

• Pembagian wilayah

• Antara pelaku usaha

• pesaingnya

• Untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar

• Sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak

sehat

• (Rule of Reason)

(4)

• Pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar adalah salah satu cara yang dilakukan untuk menghindari terjadinya persaingan di antara mereka.

• Melalui pembagian wilayah ini, maka para pelaku usaha dapat menguasai wilayah pemasaran atau alokasi pasar yang menjadi bagiannya tanpa harus menghadapi persaingan.

• Dengan demikian dia akan mudah menaikkan harga

ataupun menurunkan produksinya atau barang

yang dijual untuk mendapatkan keuntungan yang

sebesar-besarnya.

(5)

• Namun pembagian pasar tidak dapat berjalan secara efektif apabila konsumen mempunyai kemampuan yang cukup untuk berpindah dari pasar yang satu ke pasar yang lain untuk membeli kebutuhannya. Permasalahan baru timbul apabila biaya yang diperlukan untuk pindah pasar tersebut cukup mahal, juga bisa terjadi masalah apabila barang yang dibutuhkan terbatas dan tidak ada substitusinya.

• Perjanjian pembagian pasar dalam perkembangannya

bisa terjadi dalam bentuk suatu pelaku usaha diwajibkan

untuk memasok hanya dengan kuantitas atau kualitas

barang atau jasa tertentu, tidak mengiklankan produknya

secara gencar, atau tidak melakukan ekspansi usaha yang

berlebihan di wilayah pelaku usaha pesaingnya.

(6)

• Dengan adanya perjanjian pembagian pasar ini, jelas dapat membuat pelaku usaha yang terlibat di dalam praktek ini akan berkembang dengan pesat pada wilayah tersebut, namun dia akan mengalami kesulitan dalam mengembangkan aktifitas usahanya secara lebih besar, karena wilayahnya terbatas. Tetapi hal ini dikompensasi dengan cara melakukan eksploitasi secara besar-besaran terhadap konsumen. Namun dalam kenyataannya, sesungguhnya kerjasama antara pelaku usaha yang bersaing untuk melakukan perjanjian pembagian wilayah sebenarnya tidak hanya merugikan konsumen tetapi juga sesungguhnya dapat merugikan bagi pelaku usaha itu sendiri dimana mereka akan dibatasi dalam mengembangkan usaha mereka dan hilangnya kesempatan mereka untuk meningkatkan kekuatan pasar yang dimilikinya.

(7)

• Adapun yang menjadi tujuan dari perjanjian pembagian wilayah adalah untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar atas barang atau jasa atau yang dikenal dengan istilah “location clause”

yaitu suatu klausula yang mengatur lokasi dimana suatu pelaku usaha diberikan kewenangan untuk menjual barang atau jasa.

• Tujuan lebih lanjutnya adalah untuk mengontrol kepadatan distribusi dan mencegah terjadinya kelebihan barang pada lokasi

tertentu. Perjanjian pembagian wilayah ini dilarang karena

menyebabkan pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian menjadi memonopoli pada wilayah dimana dia dialokasikan. Ketentuan

yang mengatur mengenai perjanjian pembagian wilayah oleh Undang-undang No.5/1999 khususnya Pasal 9 dirumuskan secara

rule of reason, sehingga perlu dibuktikan apakah perbuatan tersebut mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau

persaingan usaha tidak sehat, atau apakah pelaku mempunyai alasan-alasan yang dapat diterima secara akal sehat.

(8)

Untuk lebih jelasnya, maka akan diuraikan bagaimana penerapan Pasal 9 ini dalam praktek persaingan usaha di Indonesia. Dalam

Putusan KPPU No. 53/ KPPU-L/2008 mengenai Pembagian Wilayah DPP AKLI Pusat. KPPU memutuskan bahwa bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, dan Terlapor VI terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 9 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.

Adapun para Terlapor dalam kasus ini adalah Terlapor I adalah Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPP AKLI), Terlapor II Dewan Pengurus Daerah Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPD AKLI) Sulawesi Selatan, Terlapor III Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPC AKLI) Palopo, Terlapor IV Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPC AKLI) Luwu Utara, Terlapor V Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPC AKLI) Luwu Timur, Terlapor VI Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPC AKLI) Tana Toraja.

(9)

Bahwa Terlapor I adalah asosiasi perusahaan yang bergerak di bidang pekerjaan elektrikal dan mekanikal yang bertujuan membina anggota- anggotanya untuk dapat memenuhi tugas dan tanggung jawab dalam proses pembangunan Indonesia di bidang ketenagalistrikan. Terlapor I memiliki 32 (tiga puluh dua) Dewan Pengurus Daerah (DPD), 121 (seratus dua puluh satu) Dewan Pengurus Cabang (DPC), dan 4806 (empat ribu delapan ratus enam) badan usaha instalatir. Terlapor II adalah pengurus daerah Terlapor I di Propinsi Sulawesi Selatan, Terlapor II membawahi 9 (sembilan) DPC dan memiliki anggota sebanyak 173 (seratus tujuh puluh tiga) badan usaha instalatir.

Terlapor III adalah pengurus cabang Terlapor I di Kota Palopo, Sulawesi Selatan, dan memiliki anggota sebanyak 11 (sebelas) anggota badan instalatir. Terlapor IV adalah pengurus cabang Terlapor I di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, memiliki anggota sebanyak 11 (sebelas) anggota badan instalatir. Terlapor V adalah pengurus cabang Terlapor I di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, memiliki anggota sebanyak 10 (sepuluh) anggota badan instalatir.

(10)

• KPPU berpendapat berdasarkan bukti-bukti bahwa Terlapor I melalui Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, dan DPC-DPC lain di wilayah Sulawesi Selatan, membagi

wilayah kerja PJT berdasarkan wilayah cabang PT. PLN

(Persero) di Sulawesi Selatan. Namun khusus di wilayah PT.

PLN (Persero) Cabang Palopo, Terlapor II membagi lagi wilayah kerja PJT ( Penanggung Jawab Teknik) menjadi 4 (empat)

wilayah berdasarkan tempat kedudukan DPC berada, yaitu:

Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, dan Terlapor VI. Pembagian wilayah PJT dalam SP-PJT oleh Terlapor I dapat dikategorikan sebagai perjanjian dilaksanakan oleh Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, dan Terlapor VI.

• Adapun yang menjadi alasan dari Terlapor I membagi wilayah kerja PJT melalui SP-PJT adalah untuk keselamatan dan

keamanan instalasi, serta memberdayakan potensi sumber daya PJT setempat.

(11)

• Pembagian wilayah kerja PJT yang dilakukan oleh Terlapor I di daerah Sulawesi Selatan melalui Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, dan DPCDPC lainnya di Sulawesi Selatan ini, menimbulkan dampak badan usaha instalatir tidak dapat menggunakan PJT-nya di wilayah lain dan harus menggunakan jasa PJT setempat yang menjadi pegawai di badan usaha instalatir.

• Putusan ini menunjukkan kepada kita bahwa suatu assosiasi perusahaan dapat digunakan untuk melakukan aktivitas ataupun perjanjian-perjanjian yang anti persaingan. Dengan adanya pembagian wilayah tersebut, maka kiranya jelas hal tersebut akan menyebabkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat.

• Pada sisi lain tidak ditemukan adanya alasan-alasan yang dapat membenarkan perbuatan tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Gunawan, Johanes, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Dalam Seminar Nasional : Antisipasi Pelaku Usaha Terhadap Undang-Undang