,
• sebelum diberlakukan Undang-undang Persaingan Usaha, Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang yang mengatur mengenai praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, walaupun masih tercecer, bersifat parsial dan kurang komprehensif
• seperti terdapat beberapa pasal di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang- undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (PT), Undang- undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Undang-undang Nomor 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Undang-undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 jo. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
• Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 / 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat, perangkat hukum yang mengatur mengenai praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat jauh lebih baik dari yang diatur oleh peraturan perundang-undangan sebelumnya
• Materi yang terkandung di dalam Undang-
undang No.5/1999 secara umum mengandung 6 (enam) bagian pengaturan, yang terdiri dari:
1. perjanjian yang dilarang;
2. kegiatan yang dilarang;
3. posisi dominan;
4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha;
5. penegakan hukum;
6. ketentuan lain-lain.
Prinsip-prinsip Umum dalam
Hukum Persaingan Usaha
1. Rule of Reason dan Per se
• Secara garis besar perumusan pasal-pasal yang
terdapat di dalam Undang-undang No.5/1999 adalah menggunakan perumusan Rule of Reason dan Per Se.
• Yang dimaksudkan dengan Rule of Reason adalah untuk menyatakan bahwa suatu perbuatan yang dituduhkan melanggar hukum persaingan, penegak hukum harus mempertimbangkan keadaan disekitar kasus untuk menentukan apakah perbuatan itu membatasi persaingan secara tidak patut, dan untuk itu disyaratkan bahwa penegak hukum harus dapat menunjukan akibat-akibat anti persaingan, atau kerugian yang secara nyata terhadap persaingan.
• Dengan demikian dapat dikatakan, Rule of Reason lebih memfokuskan kepada melihat akibat yang
dimunculkan dari suatu perbuatan barulah pasal yang menggunakan rumusan secara Rule of Reason ini
dapat diterapkan.
• Pasal 4 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 yang berbunyi: “pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara
bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”
• Merupakan salah satu pasal yang menggunakan perumusan Rule of Reason
• Sedangkan yang dimaksud dengan Per Se adalah rumusan pasal mengenai perbuatan tertentu yang dilarang untuk dilakukan, dimana perbuatan
tersebut sudah dapat terbukti dilakukan dan dapat di proses secara hukum tanpa harus menunjukan akibat-akibat atau kerugian yang secara nyata
terhadap persaingan.
• Pasal 6 Undang-undang No.5/1999 yang berbunyi:
“pelaku usaha dilarang membuat perjanjianyang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar
dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang atau jasa yang sama.”
• Merupakan salah satu pasal yang mempergunakan perumusan Per Se.
• Sehingga ketika pelaku usaha melakukan perbuatan yang dilarang oleh pasal tersebut, pelaku usaha tersebut sudah dapat diproses secara hukum tampa harus
menungguadanya bukti-bukti bahwa perbuatan yang dilakukannya tersebut tanpa harus menunjukan akibat- akibat atau kerugian yang secara nyata terhadap
persaingan.
2. Pendekatan Struktur Pasar dan Tingkah Laku
• Pendekatan dalam penyusunan Undang-undang
Persaingan Usaha secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu: pendekatan struktur pasar dan pendekatan
perilaku.
• Dalam pendekatan struktur penguasaan pasar oleh pelaku usaha menjadi bahan analisis utama apakah pelaku usaha melakukan pelanggaran hukum persaingan dengan menilai struktur pasar setiap produk oleh suatu pelaku usaha.
• Sedangkan pendekatan perilaku adalah pelaku usaha tidak dilarang menjadi “besar” sepanjang posisinya tidak
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Berdasarkan Perkom No. 3 Tahun 2009 merupakan Pedoman Pasal Bersangkutan
(1). Pasar
• Pasar adalah lembaga ekonomi di mana para pembeli dan penjual baik secara langsung maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan atau jasa.
(2). Jangkauan atau daerah pemasaran
• Mengacu pada penetapan pasar bersangkutan
berdasarkan aspek geografis atau daerah/teritori yang merupakan lokasi pelaku usahamelakukan kegiatan
usahanya, dan/atau lokasi ketersediaan atau peredaran produk dan jasa dan/atau dimana beberapa daerah
memiliki kondisi persaingan relatif seragam dan berbeda dibanding kondisi persaingan dengan daerah lainnya.
Pasar Produk
• Pasar produk didefinisikan sebagai produk-produk pesaing dari produk tertentu ditambah dengan produk lain yang bisa menjadi substitusi dari produk tersebut. Produk lain menjadi substitusi sebuah produk jika keberadaan produk lain tersebut membatasi ruang kenaikan harga dari produk tersebut. Pasar produk dapat diidentifikasi dari sisi permintaan terlebih dahulu, untuk kemudian diikuti dengan penelaahan sisi penawaran
• Pasar Geografis
• Pasar geografis adalah wilayah dimana suatu pelaku usaha dapat
• meningkatkan harganya tanpa menarik masuknya pelaku usaha baru
• atau tanpa kehilangan konsumen yang signifikan, yang berpindah ke
• pelaku usaha lain di luar wilayah tersebut. Hal ini antara lain terjadi
• karena biaya transportasi yang harus dikeluarkan konsumen tidak
• signifikan, sehingga tidak mampu mendorong terjadinya perpindahan
• konsumsi produk tersebut.