Bahwa Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang telah diajukan revisi substansial ke Mahkamah Konstitusi yang terdaftar dalam Daftar Perkara Nomor 77/PUU-X11/2014 yang diajukan oleh Dr. Sedangkan Pasal 42 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMKl2005 tentang Pedoman Prosedur Revisi Undang-Undang mengatur bahwa:.
POKOK PERMOHONAN
Agus
Saksi mengetahui tindak pidana asal telah diputus oleh Pengadilan Negeri Baubau dengan putusan bebas; Saksi mengetahui bahwa Pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka pencucian uang dengan tindak pidana perbankan sebagai tindak pidana asal;
KETENTUAN UU PP TPPU YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD 1945
Saksi mengetahui bahwa pemohon mentransfer uang di rekening Fahlawi ke rekening perusahaan dan digunakan untuk kegiatan usaha; Dalam kasus pencucian uang, pemohon didakwa melakukan penggelapan karena mentransfer uang dari rekening pribadi Fahlawi ke rekening perusahaan.
HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PARA PEMOHON TELAH DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA PASAL 69 UU
Perbuatan pemohon dalam mentransfer dana tersebut nyatanya menjadi dasar pemohon untuk menjadi tersangka berdasarkan laporan Polisi yang disampaikan terpidana Falahwi Mudjur Saleh W Ais Seli membuat laporan polisi yaitu Laporan Polisi Nomor LP/386NI/2014/SPKT Polda Sutra, tanggal 18 Juni 2014 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Pemohon merasa dirugikan karena penyidik Polda Sultra dalam menetapkan pemohon sebagai tersangka menggunakan dasar hukum ketentuan Pasal 69 UU 8/2010, namun pemohon mendalilkan penyidik tidak dapat menetapkan pemohon sebagai tersangka. Tindak Pidana Pencucian Uang (KPPP) karena kasus awalnya tidak.
KETERANGAN DPR RI
POKOK PERMOHONAN PEMOHON
Sedangkan pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sultra atas dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU), sebagaimana diatur dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 undang-undang a quo. Dugaan TPPU yang didakwakan terhadap pemohon dengan tindak pidana asal merupakan perkara perbankan sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf Undang-Undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992, yang semula perkara tersebut disangkakan kepada Pemohon. Para Pihak . selain pemohon. Sedangkan berdasarkan pasal a quo UU Perbankan, menurut pemohon, pelaku tindak pidana asal dan perkara TPPU berbeda/mandiri, sedangkan perkara TPPU terhadap pemohon masih dalam tahap penyidikan, sedangkan pada tindak pidana asal Yakni perkara perbankan, telah diputuskan Pengadilan Baubau yang menyatakan Ishak dan Nyoman Gede Arta dinyatakan bebas sepenuhnya.
Menurut pemohon, aneh jika pemohon didakwa melakukan TPPU jika tindak pidana pokoknya tidak terbukti. Bahwa keberadaan Pasal 69 undang-undang a quo tidak memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum serta mengabaikan hak asasi manusia. Pasal a quo tidak sesuai dan dapat ditafsirkan dengan pengertian yang bertentangan dengan pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 ayat (1) undang-undang a quo, karena pidana pokoknya ditetapkan murni. pembebasan oleh Pengadilan Baubau, sehingga bertentangan dengan asas praduga tak bersalah.
KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON
Oleh karena itu, menurut pemerintah, terhadap permasalahan praktik hukum yang diajukan pemohon, bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengusut dan mengadili perkara dalam sistem peradilan pidana yang belum diadili, melainkan dalam lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi. kewenangan Mahkamah Konstitusi. yurisdiksi hakim dan Mahkamah Agung. Oleh karena itu, pemerintah berpendapat yang menjadi permasalahan Pemohon adalah terkait dengan pelaksanaan uji pelaksanaan; dari ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). bahwa materi yang dimohonkan pemohon mengenai ketentuan Pasal 69 Undang-Undang a quo dimintakan pengujian konstitusi (constitutional review) dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusan nomor 77/PUU-XII/2014 pada tanggal 12 Februari 2015 dengan putusan “ditolak seluruhnya”. Menurut pemerintah, sejak diuji ketentuan a quo, meskipun dalam permohonannya pemohon menyatakan tujuan yang berbeda, namun ketentuan tersebut tidak dapat diubah lagi sebagaimana diatur dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa telah berubah. berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2003 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Pasal 42 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMKl2005 tentang Pedoman Prosedur Revisi Undang-Undang.
Berdasarkan hal tersebut di atas, menurut pemerintah, perlu dipertanyakan apakah kepentingan pemohon sebagai pihak yang menganggap hak konstitusionalnya dirugikan akibat penerapan pasal a quo, juga patut dipertanyakan. sebuah konstitusionalitas. khusus bagi pemohon yang menurut penalaran yang wajar pasti akan terjadi dan ada tidaknya hubungan sebab akibat (causation) antara kerugian dengan berlakunya undang-undang yang dimintakan untuk diuji. Oleh karena itu, pemerintah menilai pemohon tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011. Oleh karena itu, menurutnya kepada pemerintah, itu dia. Sudah selayaknya Yang Mulia Presiden/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dengan bijak menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
KETERANGAN PEMERINTAH ATAS MATERI PERMOHONAN YANG CIMOHONKAN UNTUK CIUJI
Bila penyidik menetapkan tidak ada tindak pidana yang dilakukan atau perbuatan itu bukan suatu tindak pidana, maka penyidik tidak akan menetapkan apakah seseorang dapat dijadikan tersangka. Sedangkan Pasal 69 undang-undang sebelumnya memberi makna bahwa tindak pidana pencucian uang sebenarnya merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri dan bersifat khusus. Oleh karena itu, kejaksaan dapat mengajukan tuntutan pencucian uang apapun jenis kejahatan yang dilakukan sebelumnya.
Sungguh tidak adil jika seseorang yang jelas-jelas mendapat keuntungan dari tindak pidana pencucian uang tidak diadili hanya karena tindak pidana asal saja belum terbukti.” Kemudian Mahkamah Konstitusi juga mengatakan demikian. Kalau tindak pidana asal saja tidak dapat dibuktikan menjadi tidak maka hal tersebut tidak menjadi hambatan untuk menuntut tindak pidana pencucian uang. Meskipun tidak sama persis dengan tindak pidana pencucian uang dalam KUHP, namun terdapat tindak pidana penahanan (lihat Pasal 480 KUHP) yang dalam praktiknya , predikatnya sudah lama merupakan tindak pidana yang bahkan tidak perlu dibuktikan.”
PETITUM
TENTANG KEDUDUKAN (LEGAL STANDING) PEMOHON
Undang-undang nomor 15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang secara tegas mengamanatkan pembentukan PPATK sebagai unit intelijen keuangan di Indonesia. Ketentuan ini menyatakan bahwa untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu asal mula tindak pidananya. Hakim Mahkamah Agung Bapak Djoko Sarwoko menyatakan tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana mandiri yang bersifat khusus.
Oleh karena itu, untuk tindak pidana pencucian uang, aparat penegak hukum tidak menggunakan pendekatan follow the suspect, melainkan menggunakan follow the money. Pasal kriminalisasi tindak pidana pencucian uang dalam UU TPPU menekankan sifat independen dari tindak pidana pencucian uang (independent crime). Berdasarkan hasil pemantauan PPATK dalam kurun waktu 2009 hingga 2014, setidaknya terdapat 33 (tiga puluh tiga) putusan yang menyatakan terdakwa secara sah dan meyakinkan (hanya) melakukan tindak pidana pencucian uang.
TUGAS,FUNGSI, DAN KEWENANGAN PPATK
Transaksi Keuangan Tunai dalam jumlah paling sedikit Rp lima ratus juta rupiah) atau dalam mata uang asing yang nilainya setara, dilakukan baik dalam satu transaksi atau beberapa transaksi dalam 1 (satu) hari kerja; Transaksi dengan penyedia barang dan/atau jasa lain yang dilakukan Pengguna Jasa dalam mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau sama dengan Rp lima ratus juta rupiah) kepada PPATK;
MENJAWAB PERTANYAAN DARI ANGGOTA MAJELIS MAHKAMAH KONSTITUSI YANG MULIA DR. I DEWA GEDE PALGUNA, DAPAT PIHAK
Filosofi 'yang patut diduga' dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 UU TPPU adalah setiap orang yang 'dimanfaatkan' oleh pelaku tindak pidana asal (Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) TPPU Undang-undang) menjadi lebih berhati-hati agar tidak dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana asal [Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU TPPU] untuk menyembunyikan, menutup-nutupi, menyamarkan dan/atau menggunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 , ayat (1) dan ayat (2) UU TPPU. Selain itu, frasa “dicurigai secara wajar” juga memberikan bukti bahwa pelaku tindak pidana asal “tidak akan mendapat perlindungan.” Berdasarkan penjelasan di atas, maka kriminalisasi tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 ayat (1) UU TPPU adalah tepat dengan mencantumkan frasa “diduga patut” dan sesuai dengan semangat Pasal 28D. ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Adalah salah jika seseorang yang jelas-jelas mendapatkan keuntungan dari tindak pidana pencucian uang tidak dituntut hanya karena tindak pidana aslinya tidak terbukti. “Apabila tindak pidana asal tidak dapat dibuktikan terlebih dahulu, maka hal tersebut tidak menjadi kendala dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang.” Namun jika berhadapan dengan TPPU, aparat penegak hukum akan fokus pada hasil tindak pidana tersebut (ikuti uangnya). , karena salah satu unsur TPPU dalam 3 Pasal, Pasal 4, dan Pasal 5 undang-undang aquo adalah “Harta yang diketahuinya atau patut diyakininya merupakan hasil tindak pidana, sebagaimana dimaksud dalam ayat pertama Pasal 2 dari TPPU.undang-undang”.
PENUTUP
Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 280 ayat (1) UUO 1945 yang menyatakan bahwa setiap manusia berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Dalil Pemohon pad a halaman 16
Khusus mengenai tindak pidana pencucian uang, merupakan kewenangan pengadilan di bawah Mahkamah Agung. Secara normatif jelas bahwa untuk mengadili suatu perkara TPPU tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu suatu tindak pidana yang telah dilakukan sebelumnya. Di sisi lain, tidak ada satu pun pasal dalam UU TPPU yang mewajibkan pembuktian adanya tindak pidana sebelumnya sebelum perkara TPPU dapat disidangkan.
Yang jelas delik asal penyebab TPPU harus ada, namun tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu. Berdasarkan pasal-pasal di atas, jelas tidak ada kewajiban untuk membuktikan terlebih dahulu tindak pidana pokoknya. Untuk mengusut suatu perkara penahanan, pelaku kejahatan utama (misalnya pencurian dan perampokan) tidak perlu ditangkap terlebih dahulu.
Standar & International Best Practice
Pendapat (Keterangan) Ahli
- PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah
- KONKLUSI
- AMAR PUTUSAN Mengadili,
Padahal, dalam pemeriksaan kasus pencucian uang di pengadilan, terdakwa membuktikan adanya keterlibatan aset. 34;Untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan penyidikan di pengadilan mengenai tindak pidana pencucian uang, tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu asal tindak pidananya.” Dalam permohonan nomor 77/PUU-XII/2014, kedudukan Akil Mochtar sebagai pemohon. sebagai tersangka asal tindak pidana dan sekaligus di TPPU.
Apabila tindak pidana asal tidak dapat dibuktikan terlebih dahulu, maka hal tersebut tidak menjadi hambatan bagi penuntutan tindak pidana pencucian uang. Sedangkan tindak pidana asal adalah tindak pidana yang menghasilkan uang/kekayaan yang kemudian dicuci. 3.13] Menimbang bahwa dalam prakteknya, dengan berlakunya ketentuan Pasal 69 UU 8/2010, besar kemungkinan sidang perkara TPPU akan selesai dan diputus sebelum perkara pidana semula.