Aspektualitas dalam Bahasa Jepang dan Bahasa Indonesia Abstrak
Renny Anggraeny
Aspek adalah kategori gramatikal dalam verba yang menyatakan kondisi suatu perbuatan atau kejadian apakah baru dimulai, sedang berlangsung, sudah selesai atau berulang-ulang. Untuk menyatakan aspek dalam bahasa Indonesia biasanya ditandai oleh kata sudah, akan, pernah, sedang, …..Dalam bahasa Indonesia kata-kata tersebut tidak hanya menunjukkan aspek akan tetapi menunjukkan modalitas. Dalam bahasa Jepang, terdapat bermacam-macam cara untuk menyatakan aspek, serta terdapat beberapa jenis verba yang menentukan aspek. Untuk menyatakan aspek dalam bahasa Jepang, secara garis besarnya dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu: (1) menggunakan verba bentuk “te + verba bantu (hojo dõshi)”, (2) menggunakan verba selain bentuk te. Dalam bahasa Jepang pun aspektualitas sebagai kategori semantik fungsional mengacu unsur waktu internal/eksternal situasi yang pengungkapannya dapat diungkapkan melalui variabilitas internal dalam bentuk morfologis dan hubungan fungsional dalam tataran sintaksis. Penelitian yang tajam tentang
"aspek" dalam bahasa Jepang dan Indonesia sangat berguna sekali dalam pengajaran bahasa Jepang kepada pembelajar Indonesia ataupun sebaliknya. Sehingga penelitian dibidang ini perlu dan sangat menarik untuk dilakukan oleh para pemerhati baik bahasa Jepang maupun bahasa Indonesia.
Kata kunci: Aspek, modalitas, kata kerja bantu
Abstract
Aspectuality in Japanese and Indonesian
Aspect is a grammatical category of the verb which states the conditions of an activity or moment is beginning, in progress (imperfective), at the end of the situation (perfective) or in continuous. The expression of aspect in Indonesian relies mainly on aspect markers like sudah, akan, pernah, sedang,…. Most of these markers indicate not only an aspect, but also a modality. In Japanese, there are a variety of ways to express these aspects, and there are several types of verbs that specify aspect in Japanese. The expression of aspect in Japanese can be classified into two types, namely : 1. Use a verb form of ~te + auxiliaries (hojo dõshi), 2. Use a verb other than ~te form. In the Japanese as well, aspectuality as a functional semantic category refers to situations when the element internal/external may be diclosed through the disclosure of internal variability in the morphology and the functional context in syntax level. More scrutiny research of ‘Aspect’ in Japanese and Indonesian are very useful in teaching to Indonesia and Japan learners. So research in this field is necessary and very interesting to be done by observer of both Japanese and Indonesian.
Keyword: aspect, modality, auxiliary verb
Aspektualitas
dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Jepang
I. Pendahuluan
Aspek adalah cara memandang struktur temporal intern suatu situasi (Comrie, 1976: 3).
Situasi dapat berupa keadaan (state), peristiwa (event) dan proses (process). Keadaan sifatnya statis, sedangkan peristiwa dan proses bersifat dinamis. Hubungan antara ketiganya dapat dilihat pada diagram berikut (Hurford, 1983: 212).
1. : inkoatif (awal situasi) 2. : kausatif
3. : resultatif
Pengertian atau istilah aspek kurang dikenal apabila dibandingkan dengan kala (tense).
Penelitian terhadap aspek atau kala telah menarik perhatian para ahli bahasa, terutama bagi bahasa-bahasa yang memiliki aspek, kala (perubahan kategori gramatikal verba). Penelitian aspek dapat dilakukan dari makna (secara semantis) menuju bentuk (sintaksis atau sebaliknya).
Seperti yang telah disebutkan, aspek adalah cara memandang struktur temporal intern suatu situasi (Comrie, 1976: 3). Situasi dapat berupa keadaan, peristiwa dan proses. Keadaan sifatnya statis, sedangkan peristiwa dan proses bersifat dinamis. Peristiwa dikatakan dinamis jika dipandang secara keseluruhan (perfektif) dan proses sifatnya dinamis jika dipandang sedang berlangsung (imperfektif). Perfektif atau situasi lengkap dapat dilihat dari awal,
tengah dan akhir. Imperfektif dengan konsep duratif menunjukkan proses sedang berlangsung, termasuk habituatif (kebiasaan).
Kategori partikel keaspekan dimiliki bahasa Indonesia untuk menyatakan makna keaspekan dari verba. Partikel keaspekan bahasa Indonesia memiliki makna aspektual secara leksikal, sehingga kejelasan ciri upaya (device) aspek secara universal didukung oleh adverba + verba (Friedrich, 1974; Herbert, 1982: 197), dapat pula diteliti di dalam bahasa Indonesia.
Coba kita bandingkan contoh kalimat di bawah ini:
1. Makan
2. Sedang makan 3. Sudah makan 4. Telah makan
Pada (1) verba makan tidak menyatakan makna aspek (netral), pada (2) menyatakan aspek duratif (makan sedang berlangsung), pada (3) menyatakan makna aspek perfektif (makan sudah selesai), aspek duratif (makan sedang berlangsung), aspek inkoatif (makan mulai berlangsung). Pada (4) menyatakan makna aspek perfektif (makan sudah selesai). Partikel keaspekan sedang, sudah, telah dalam contoh tersebut mendukung makna aspek bagi verba yang dimarkahinya.
Partikel keaspekan bahasa Indonesia dapat mendukung bermacam-macam aspek, antara lain:
1. Aspek perfektif Contoh:
Sementara itu Surapati telah berhasil mendirikan kerajaan kecil di Pasundan dan ia memerintah daerah itu dengan memakai Raden Wiro Negoro.
2. Aspek imperfektif Contoh:
Kini ia berlutut, badan bagian atas terbungkuk seolah-olah ia sedang bersalat.
II. Pembahasan
2.1 Makna Aspektualitas Inhern Verba Bahasa Indonesia
Di dalam kepustakaan tentang tata bahasa Indonesia ihwal makna aspektualitas inhern verba hingga kini belum pernah dibicarakan secara khusus. Tidak adanya studi tentang makna aspektualitas inhern verba itu dapat menimbulkan kekeliruan dalam penafsiran gejala- gejala tata bahasa tertentu. Adanya anggapan bahwa reduplikasi pada kata terbahak-bahak menggambarkan ‘perbuatan yang berulang-ulang’, hal itu menunjukkan kurangnya
pemahaman tentang makna aspektualitas inhern verba sebab dalam bahasa Indonesia, leksem bahak merupakan leksem terikat berlabel ‘adverbia’ (jadi, bukan verba) yang hanya digunakan dalam bentuk terbahak-bahak (periksa KBBI, Moeliono (ed), 1988).
Disamping itu, tidak adanya gambaran tentang makna aspektualitas inhern verba juga menyebabkan para pengamat tata bahasa Indonesia tidak dapat menjelaskan lebih lanjut mengapa, misalnya reduplikasi atau sufiks ~ i tipe memukul-mukul/memukuli, memotong- motong/memotongi, disebut bermakna ‘perbuatan yang berlangsung berulang-ulang’, pada verba ‘membaca-baca, berenang-renang, duduk-duduk’, bermakna ‘perbuatan yang dilakukan tidak dengan sungguh-sungguh’, sedangkan pada verba ‘pening-pening, sakit- sakit’ dikatakan mengandung arti ‘agak’. Dilihat dari segi aspektualitas, perbedaan arti reduplikasi/sufiks ~ i itu, sebenarnya bersumber dari perbedaan makna aspektualitas inhern masing-masing verba pangkal.
2.1.1 Makna aspektualitas inhern verba dan kelas verba
Didalam linguistik umum dikenal istilah aksionalitas (actionality) yang digunakan dalam dua pengertian. Pertama, di kalangan para pengamat bahasa-bahasa Slavia istilah aksionalitas mengacu pada gejala aspektualitas yang diungkapkan melalui proses morfologi derivasional (kategori leksiko-gramatikal), yaitu yang dalam bahasa Rusia disebut sposoby dejstvija.
Kedua, di kalangan pakar bahasa Inggris (non-Slavia) istilah itu digunakan dalam arti aspektualitas yang diungkapkan secara inhern melalui verba pada umumnya (Comrie, 1978:
7). Dengan adanya kedua pengertian itu, maka untuk pengertian yang kedua para pakar menggunakan berbagai istilah lain yang berbeda-beda, antara lain ‘aspectual character’
(Lyons, 1978), ‘states of affairs’ (Dik, 1989), ‘inherent meaning’ (Comrie, 1978) atau
‘inherent aspectual meaning’ (Dahl, 1985). Yang menggunakan istilah ‘aksionalitas’ untuk pengertian yang kedua.
Makna aspektualitas inhern verba menggambarkan bermacam-macam sifat situasi yang secara inhern terkandung di dalam semantik verba. Pada tabel 1 berikut disajikan gambaran situasi aspektualitas dalam bahasa Inggris versi Brinton (1988: 54-57) yang memuat lima macam situasi dengan lima macam sifat semantis. Keadaan (state) bersifat non-dinamis, duratif, homogen, atelik, non ganda, ketercapaian (achievement) bersifat dinamis, non duratif, non homogen, atelik, non ganda, keselesaian (accomplishment) bersifat dinamis, duratif, telik, non homogen, non ganda dan serial (series) bersifat dinamis, duratif, homogen, atelik, ganda.
Tidak semua jenis situasi versi Brinton itu dapat dipandang sebagai makna aspektualitas inhern verba. Situasi ‘keselesaian’ bukanlah situasi yang secara inhern diungkapkan melalui
verba sendiri, melainkan merupakan hasil interaksi antara verba dengan argumen terikat (bounded arguments), seperti yang tampak pada kalimat (1b) (sebuah buku) atau dengan adverbial terikat (bounded adverbial), seperti yang tampak pada kalimat (2b) (satu mil).
Tanpa unsur yang terikat, situasi keselesaian itu tidak ada, seperti yang tampak pada kalimat (1a) dan (2a).
(1). a. Setiap hari ia membaca buku.
b. Setiap hari ia membaca sebuah buku.
(2). a. Setiap hari ia lari bermil-mil.
b. Setiap hari ia lari satu mil.
Tabel 1
Situasi Aspektualitas dalam Bahasa Inggris Versi Brinton
Situasi Dinamis Duratif Homogen Telik Ganda
Keadaan _ + + _ _
Ketercapaian + _ _ (+) _
Aktivitas + + _ _ _
Keselesaian + + _ + _
Serial + + + _ +
Mengenai situasi serial, yang dalam bahasa Inggris oleh Brinton (hlm 55) dicontohi dengan verba tipe ‘hammer’ ‘memukul-mukul dengan palu’ dan ‘mur-mur’ ‘berbisik-bisik’, dalam bahasa Indonesia dapat diamati pada verba tipe gemetar, gemerlapan atau berputar.
Akan tetapi, seperti kata Brinton sendiri, kespesifikan situasi jenis ini tidak jelas jika dibandingkan dengan verba seperti walk ‘berjalan’, run ‘lari’, dsb. Yang dapat ditafsirkan ’iteratif atau kontinuatif’, demikian pula dalam interaksinya dengan pemarkah formal aspektualitas, situasi jenis ini tidak memperlihatkan kespesifikan tertentu. Oleh karena itu, situasi yang diungkapkan verba jenis ini, dapat digolongkan ke dalam jenis aktivitas (jadi, bukan situasi tersendiri). Dengan demikian, yang cocok untuk digolongkan ke dalam makna aspektualitas inhern verba hanyalah keadaan dan ketercapaian.
Dilihat dari segi kenyataan luar bahasa, situasi statif menggambarkan keadaan (jadi,
‘keadaan’ merupakan gambaran luar bahasa), situasi pungtual menggambarkan peristiwa, sedangkan aktivitas menggambarkan proses (process).
Selain ketiga macam situasi itu, khusus untuk bahasa Indonesia, perlu pula disebutkan satu jenis situasi lagi, yakni situasi statis (static situation) yang, dilihat dari segi kenyataan luar
bahasa, merupakan situasi yang spesifik. Keempat macam situasi itu adalah situasi yang secara inheren terkandung di dalam semantik verba.
Tabel 2
Makna Aspektualitas Inheren Verba Bahasa Indonesia
Sub kelas verba
Sifat-sifat situasi
Dinamis Telik Duratif Homogen
Pungtual (peristiwa sekilas)
+ + _ _
Aktivitas (proses)
+ _ + _
Statis _ _ + _
Statif (keadaan) _ _ _ +
Dengan demikian, dalam bahasa Indonesia terdapat empat macam situasi yang merupakan makna aspektualitas inheren verba. Keempat jenis makna aspektualitas inheren verba itu adalah situasi-situasi yang secara inheren terkandung di dalam semantik verba bahasa Indonesia. Jadi, dilihat dari segi leksikon verba itu sendiri, berdasarkan perbedaaan makna aspektualitas inheren, dalam bahasa Indonesia terdapat empat subkelas verba, yakni verba pungtual (peristiwa), verba aktivitas (proses), verba statis dan verba statif (keadaan), masing-masing dengan sifat-sifat situasi seperti yang tampak pada Tabel 2.
2.1.2 Perihal Sifat-Sifat Situasi Aspektualitas Inheren Verba
Untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang perbedaan sifat-sifat makna aspektualitas inheren verba, perlu dibahas secara cukup rinci ihwal kespesifikan sifat-sifat tersebut. Sifat kedinamisan memandang situasi dari segi ada tidaknya perubahan (Dahl, 1975:
15, Maslov, 1978: 11, periksa pula TBBI, Moeliono (ed), 1988). Lyons (1978: 483) melukiskan kedinamisan situasi sebagai “something that happens (or occurs, or takes place)”
dan menurut Comrie (1978: 48-51), keberlangsungan situasi dinamis harus didukung oleh usaha (effort) atau tenaga (energy) secara berkesinambungan (... a dynamic situation will only continue if it is continually subject to a new input of energy).
Sifat dinamis ini menandai situasi yang diungkapkan verba pungtual dan verba aktifitas.
Situasi pungtual oleh Lyons disebut ‘peristiwa momental’ (momentary event) dan oleh Zydatiss (1978) disebut ‘situasi lintas batas’ (bordercrossing situation), sedangkan verbanya oleh Leech (1975) disebut ‘verba peristiwa transisional’ (transitional event verb). Ke dalam kelas verba pungtual termasuk verba tipe angguk, berangkat, bangun, bengkit, batuk, bunuh, capai, datang, jatuh, kedip, hilang, lompat, patah, petik, potong, pukul, tembak, tendang, tiba.
Adapun jenis situasi dinamis yang kedua, yaitu aktivitas, Lyons dan Comrie menyebutnya dengan istilah ‘proses’ (process), yaitu situasi dinamis yang berlangsung pada ‘poros waktu yang berkembang’ (Lyons: ‘extended in time’) atau ‘terus berlanjut’ (Comrie: ‘in progress’).
Yang tergolong kelas verba aktivitas ialah tipe baca, bicara, bicarakan, gambar, jalan, lari, lukis, makan, (mem) bangun, minum, nyanyi, tulis.
Mengenai ketelikan, yakni situasi yang bersifat telik atau atelik (nontelik), di dalam linguistik umum terdapat dua pandangan, yaitu yang oleh Dahl (1981: 79-90) disebut
‘pandangan Barat’ (western view), yang pengamatannya didasarkan pada struktur bahasa- bahasa non-Slavia dan ‘pandangan Timur’ (eastern view), yang pengamatannya didasarkan pada struktur bahasa-bahasa Slavia. Penganut ‘pandangan Timur’, menurut Dahl, adalah Anderson (1973). Menurut mereka, situasi telik harus mengandung dua ciri sekaligus, yakni adanya ‘proses menuju sasaran akhir’ (yang dapat diukur dengan bentuk progresif) dan
‘tercapainya sasaran akhir’ (yang diukur dengan bentuk simple past). Jadi, kalimat:
(1). a. He is writing ‘Ia sedang menulis’
b. He is running ‘Ia sedang lari’ atau
(2). a. He is writing letters ‘Ia sedang menulis banyak surat’
b. He is running quickly ‘Ia sedang lari cepat’
adalah atelik, sedangkan,
(3). a. He is writing a letter ‘Ia sedang menulis sepucuk surat’
b. He is running a mile ‘Ia sedang lari satu mil’,
adalah telik sebab kalimat ini, menurut Comrie akan selalu berakhir dengan;
(4). a. He wrote a letter ‘Ia telah menulis sepucuk surat’
b. He ran a mile ‘Ia telah lari satu mil’
Ini berarti bahwa dalam bahasa Inggris (non-Slavia) situasi telik hanya terbentuk melalui kombinasi antara verba nonpungtual dan nonstatif, yang memungkinkan berlakunya situasi progresif yang indikasi ketelikannya diungkapkan melalui kategori jumlah (3 a-b, a letter/ a mile) dan kepastian ketelikan itu dibuktikan dengan kategori kala (lampau), wrote/ran seperti yang tampak pada kalimat (4 a-b). Implikasi dari pandangan Comrie ini
adalah bahwa situasi yang digambarkan verba pungtual (Brinton: ‘ketercapaian’) seperti reach dsb, bukanlah situasi telik sebab tidak mengandung gambaran tentang adanya proses (progresif) menuju batas internal.
Adapun menurut ‘pandangan Timur’, pengertian ketelikan menyangkut ada tidaknya batas internal (Rusia: vnutrrennyj predel) di dalam situasi (Barentsen, 1973; Maslov, 1978).
Jadi, kalimat Rusia:
(5). a. Ja pisal pis’mo (kogda on prisel)
‘Saya sedang menulis sepucuk surat (ketika dia datang)’, atau b. Ja cital pis’mo (kogda on prisel)
‘saya sedang membaca sepucuk surat (ketika dia datang)’
Adalah atelik sebab verba pisal ‘sedang menulis’ dan cital ‘sedang membaca’ (kedua-duanya kala lampau) adalah verba imperfektif yang, karenanya tidak mengandung batas internal.
Lain halnya dengan kalimat di bawah ini:
(6). a. Ja napisal pis’mo (kogda on prisel)
‘Saya telah menulis sepucuk surat (ketika dia datang)’, atau c. Ja procityval pis’mo (kogda on prisel)
‘Saya sedang mengulang-ulang membaca sepucuk surat (ketika dia datang)’
Kedua-duanya adalah kalimat telik, sebab baik verba napisal ‘menulis dari awal sampai akhir’ sebagai verba perfektif maupun verba procityval ‘berulang-ulang membaca’ (kala lampau) sebagai verba imperfektif bersufiks –yva, kedua-duanya menggambarkan situasi yang mengandung batas internal.
Dengan demikian, dalam bahasa Rusia (Slavia) situasi telik dapat pula diungkapkan secara inheren melalui berbagai kelas verba. Jadi, dalam bahasa Rusia (Slavia), berbeda dari bahasa Inggris (non-Slavia), dikenal bukan hanya situasi telik yang berupa verba perfektif, melainkan juga verba imperfektif bersufiks –yva/-iva. Ke dalam jenis verba perfektif (telik) dalam bahasa Rusia, dengan sendirinya, termasuk pula verba yang menggambarkan situasi pungtual (kebanyakan bersufiks -nu) tipe kasljanut ‘batuk’ (satu kali), mignut ‘mengedip’, kriknut ‘memekik’, dll.
Bagaimana halnya dalam bahasa Indonesia? Jika diperhatikan kedua macam pandangan tersebut, mengikuti ‘pandangan Barat’, jelas tidak mungkin karena dua hal.
Pertama, dalam bahasa Indonesia tidak dikenal kategori gramatikal jumlah. Kata bantu bilangan tipe sebuah, sepucuk tidak selalu muncul di dalam kalimat, sedangkan nomina tanpa disertai kata bilangan atau kata bantu bilangan, dilihat dari segi sifat terikat/tak terikat
(bounded/unbounded), bersifat ambigu, surat, buku dalam konteks tertentu dapat saja berarti surat-surat, buku-buku. Misalnya,
(7). a. Setiap hari saya menerima surat.
b. Setiap hari saya membaca buku.
Kedua, bahasa Indonesia tidak memiliki kategori gramatikal kala (tense), yang dalam bahasa Inggris dapat digunakan sebagai alat uji ketelikan situasi (lihat kalimat 3 a-b/4 a-b).
Mengikuti ‘pandangan Timur’ sepenuhnya juga tidak mungkin sebab dalam bahasa Indonesia tidak dikenal verba perfektif/imperfektif. Sekalipun demikian, di celah-celah ‘pandangan Timur’ ini kita melihat bahwa di antara verba perfektif, seperti yang disebutkan tadi, terdapat verba pungtual yang secara semantis leksikal berpadanan dengan verba bahasa Indonesia batuk, mengedip, memekik, yang tergolong verba pungtual. Dengan demikian, verba pungtual dalam bahasa Indonesia dapat dipandang sebagai verba yang secara inheren menggambarkan situasi telik. Sikap ini sejalan dengan pandangan banyak pengamat di Barat, antara lain, Bauer (1970) dan Zydatiss (1978).
2.1.3 Perilaku Morfologis dan Sintaksis Sub-Kelas Verba dan Implikasi Semantisnya
Keempat subkelas verba tersebut, secara struktural perbedaannya satu dari yang lain dapat diamati pada perilaku morfologis dan sintaksisnya masing-masing. Perilaku morfologis dapat diamati melalui proses reduplikasi dan sufiksasi –i, perilaku sintaksis dapat diamati melalui penggunaan kata bantu aspektualitas (aspektualiser) sedang dan selesai.
Pemberlakuan reduplikasi, umpamanya, pada keempat kelas verba itu sebagian besar menghasilkan makna aspektualitas yang berbeda-beda.
a. Reduplikasi pada verba pungtual menghasilkan makna aspektualitas interatif (perulangan), misalnya, pukul-pukul, potong-potong, angguk-angguk, datang-datang, batuk-batuk, dsb.
b. Reduplikasi pada verba aktivitas menghasilkan makna atenuatif (kealakadaran atau tidak sungguh-sungguh), misalnya, makan-makan, minum-minum, jalan-jalan, lari- lari, nyanyi-nyanyi, baca-baca, dsb.
c. Reduplikasi pada verba statis, sama seperti pada verba aktivitas, menghasilkan makna atenuatif, misalnya, duduk-duduk, berdiri-berdiri, baring-baring, dsb.
d. Reduplikasi pada verba statif menghasilkan dua kemungkinan: (i) tidak gramatikal, misalnya, *cinta-cinta, *percaya-percaya, *yakin-yakin, *mengerti-mengerti atau (ii)
gramatikal dengan makna aspektualitas diminutif (agak, sedikit), misalnya, pening- pening, pegal-pegal, sakit-sakit, gatal-gatal, dsb.
Pembubuhan sufiks –i menghasilkan kemungkinan-kemungkinan berikut:
a. Sufiks –i pada verba pungtual menghasilkan beberapa makna aspektualitas, yakni (i) makna iteratif, misalnya, lempari, pukuli, tendangi, (ii) makna distributif, (perulangan situasi yang ditujukan pada banyak objek), misalnya, bunuhi, potongi, petiki, (iii) makna terminatif (ketercapaian tujuan), misalnya, datangi, jatuhi, termasuk juga kedipi, lompati.
b. Sufiks –i pada verba aktivitas menghasilkan (i) makna aspektualitas intensif, misalnya, bacai, makani, minumi atau (ii) tidak gramatikal, misalnya, *bicarai, *ceritai, ?pikiri.
c. Sufiks –i pada verba statis menghasilkan makna aspektualitas progresif (kesementaraan), misalnya, duduki, baringi, dll.
d. Sufiks –i pada verba statif menghasilkan makna kontinuatif (berketerusan), misalnya, cintai, percayai, yakini, bohongi, sakiti, dsb.
Pemaduan kata sedang dengan keempat jenis verba menghasilkan kemungkinan- kemungkinan berikut:
a. Kata sedang dengan verba pungtual menghasilkan dua kemungkinan: (i) konstruksi tidak gramatikal (kebanyakan verba intransitif), misalnya, *sedang datang/tiba,
*sedang berangkat, *sedang bangun, *sedang jatuh, *sedang patah, dsb. Atau (ii) menghasilkan makna aspektualitas progresif-iteratif, misalnya, sedang memetik (teh), sedang memotong (padi), dsb.
b. Kata sedang dengan verba aktivitas menghasilkan makna aspektualitas progresif-non iteratif, misalnya, sedang membaca, sedang menulis, dsb.
c. Kata sedang dengan verba statis menghasilkan makna aspektualitas yang sama seperti dengan verba aktivitas, yaitu makna progresif (kesementaraan), misalnya, sedang duduk, sedang berdiri, sedang berbaring, dsb.
d. Kata sedang dengan verba statif menghasilkan dua kemungkinan: (i) dengan verba yang menyatakan keadaan mental, konstruksi tidak gramatikal, misalnya *sedang cinta, *sedang percaya, *sedang yakin, *sedang bohong, dsb. Atau (ii) dengan verba yang menyatakan keadaan fisik menghasilkan makna aspektualitas progresif, misalnya, sedang sakit, sedang gatal, sedang pening, dsb.
Penggunaan kata selesai dengan keempat jenis verba menghasilkan kemungkinan- kemungkinan sebagai berikut:
a. Kata selesai dengan verba pungtual menghasilkan dua kemungkinan: (i) konstruksi yang tidak gramatikal, misalnya, *selesai bangun, *selesai datang/tiba, *selesai berangkat, *selesai jatuh, *selesai patah, dsb. Atau (ii) menghasilkan makna aspektualitas terminatif-iteratif, misalnya, selesai memetik (teh), selesai memotong (padi), dsb.
b. Kata selesai dengan verba aktivitas menghasilkan makna terminatif-non iteratif, misalnya, selesai membaca, selesai menulis, dsb.
c. Kata selesai dengan verba statis tidak gramatikal, misalnya *selesai duduk, selesai berdiri, *selesai berbaring, dsb.
d. Kata selesai dengan verba statif tidak gramatikal, misalnya *selesai cinta, *selesai percaya, *selesai yakin, *selesai bohong, *selesai sakit, *selesai gatal, *selesai pening, dsb.
Selain penggunaan kata sedang dan selesai, perbedaan-perbedaan di antara keempat subkelas itu juga tampak pada pemakaiannya dengan frasa adverbial durasi, baik yang terikat/terbatas (bounded) maupun tak terikat/tak terbatas (unbounded). Dalam pemakaian bersama frasa adverbial durasi tak terikat tipe berjam-jam umpamanya, verba pungtual tidak gramatikal, misalnya, *berangkat/datang berjam-jam, verba aktivitas, sebaliknya, sepenuhnya gramatikal, misalnya menulis/membaca berjalan berjam-jam, demikian pula gramatikal penggunaan frasa adverbial ini dengan verba statis, seperti duduk/berdiri berjam- jam, dengan verba statif dua kemungkinan, gramatikal, misalnya, sakit/pening/pegal berjam- jam (keadaan fisik) atau tidak gramatikal, misalnya, *mengerti/*percaya/*yakin berjam-jam (keadaan mental).
2.2 Aspek dalam bahasa Jepang
Aspek adalah kategori gramatikal dalam verba yang menyatakan kondisi suatu perbuatan atau kejadian apakah baru dimulai, sedang berlangsung, sudah selesai atau berulang-ulang.
Dalam bahasa Jepang, terdapat bermacam-macam cara untuk menyatakan aspek, antara lain sebagai berikut.
1. Untuk menyatakan akan dimulainya suatu kegiatan, digunakan verba bentuk kamus:
ru + tokoro da.
2. Untuk menyatakan dimulainya kegiatan, bisa juga digunakan sufik hajimeru atau dasu dan sebagainya.
3. Untuk menyatakan sedang berlangsungnya kegiatan, digunakan verba bentuk te + iru, verba bentuk te + iru + tokoro da, atau sufik tsuzukeru dalam verba majemuk, dan sebagainya.
4. Untuk menyatakan berakhir atau hasil dari suatu kegiatan, digunakan verba bentuk ta + bakari, ta + tokoro atau te + aru, te +iru, te + shimatta, dan sebagainya.
5. Untuk menyatakan suatu perubahan, digunakan verba bentuk te + iku atau te + kuru.
Sebagai contoh, kegiatan berlari dengan menggunakan verba hashiru 「走る」variasinya dapat dilihat pada gambar berikut.
走るところだ 走り出す 走っている 走った
Hashiru tokoro da hashiridasu hashitte iru hashitta
a b c d
Titik (a) pada gambar di atas, menunjukkan akan dimulainya kegiatan berlari dengan menggunakan verba bentuk kamus + tokoro da, titik (b) menunjukkan dimulainya berlari (start) dengan menggunakan verba majemuk hashiridasu, titik (c) yang dibatasi tanda kurva menunjukkan sedang berlangsungnya kegiatan berlari yang diekspresikan dengan verba bentuk te + iru, sedangkan titik (d) menunjukkan selesainya atau berakhirnya kegiatan berlari tersebut yang dinyatakan dengan verba bentuk ta.
Jenis verba yang menentukan aspek dalam Jepang, ada empat macam yaitu:
1. Shunkan dõshi, yakni verba untuk menyatakan aktivitas sesaat/pendek 2. Keizoku dõshi, yaitu verba untuk menyatakan aktivitas yang berkelanjutan 3. Jõtai dõshi, verba untuk menyatakan keadaan
4. Dai yonshũ no dõshi, yaitu verba khusus untuk menyatakan keadaan atau sifat sesuatu.
Ciri dari setiap jenis verba tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
Ciri khas verba dalam Aspek
Verba Fungsinya Ciri khusus Contoh
1. Shunkan dõshi
Kegiatan atau kejadian yang berakhir dalam waktu singkat/sesaat
Tidak digunakan dalam bentuk te + aru
結 婚 す る ‘kekkon suru’ (menikah)
2. Keizoku Aktifitas yang Biasanya disertai 走 る ‘hashiru’
dõshi memerlukan waktu tertentu
dengan, yukkuri, ....
shitsuzukeru dll.
(berlari)
3. Jõtai dõshi Menyatakan keadaan Tidak digunakan dalam bentuk te + iru, di dalamnya termasuk verba bentuk dapat
書 け る ‘kakeru’
(bisa menulis)
4. Dai yonshũ no dõshi
Menyatakan sifat atau keadaan khusus
Selalu dalam bentuk te + iru
似る ‘niru’ (mirip)
Shunkan dõshi, yaitu verba yang menyatakan suatu aktifitas atau kejadian, mengakibatkan terjadinya suatu perubahan dalam waktu singkat. Perubahan yang dimaksud, yaitu “dari tidak... menjadi....”. misalnya, pada verba kekkon suru (menikah), perubahan yang terjadi yaitu dari “dari tidak menikah menjadi menikah” atau “dari membujang menjadi beristri atau bersuami”, perubahan ini pun terjadi dalam tempo yang singkat. Oleh karena itu, verba seperti ini tidak digunakan untuk menyatakan suatu kebiasaan seseorang atau perbuatan yang dilakukan berulang-ulang (present).
Keizoku dõshi, yaitu verba yang menyatakan suatu aktifitas atau kejadian yang memerlukan waktu tertentu dan pada setiap bagian waktu tersebut terjadi suatu perubahan.
Sehingga waktu kapan dimulai dan kapan berakhirnya aktivitas atau kejadian tersebut akan terlihat jelas. Misalnya, pada verba hashiru (berlari), kapan dimulainya dan kapan berakhirnya akan teramati dan pada setiap bagian (titik) waktu akan terjadi perubahannya.
Jõtai dõshi, yaitu verba yang menyatakan keadaan sesuatu, jika dilihat dari titik waktu tertentu, sama sekali tidak akan terlihat terjadinya suatu perubahan. Misalnya verba kakeru (bisa menulis) jika dibandingkan dengan verba kaku (menulis), akan jelas kapan dimulainya dan kapan berakhirnya kegiatan menulis tersebut, dan ditengah-tengah kegiatan tersebut jika diambil titik waktu tertentu akan terjadi suatu perubahan. Seperti bertambahnya jumlah huruf yang ditulis, energi yang dikeluarkan oleh si penulis dan sebagainya, sedangkan pada verba kakeru (bisa menulis) dilihat dari titik waktu mana pun tidak akan terlihat suatu perubahannya.
Daiyonshu dõshi, yaitu verba yang menyatakan keadaan sesuatu secara khusus dan selalu dinyatakan dalam bentuk sedang (te iru). Pada verba ini pun jika dilihat dari titik waktu
tertentu, tidak akan terjadi suatu perubahan, karena memang sudah menjadi suatu kondisi yang tetap. Misalnya, verba niru (mirip) digunakan dalam contoh berikut.
a. 私は父に似ているが、姉は母に似ている。
Watashi wa chichi ni nite iru ga, ane wa haha ni nite iru.
(Saya mirip ayah, tetapi kakak (perempuan) mirip ibu).
Keempat jenis verba di atas, akan menentukan berbagai bentuk aspek dalam bahasa Jepang. Di atas telah disinggung bahwa aspek dalam bahasa Jepang bisa diekspresikan dengan cara menggunakan berbagai bentuk verba. Untuk menyatakan aspek dalam bahasa
Jepang, secara garis besarnya dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu:
(1) menggunakan verba bentuk “te + verba bantu (hojo dõshi)”, (2) menggunakan verba selain bentuk te.
2.2.1 Aspek yang menggunakan verba bentuk TE
Verba bantu (hojo dõshi) yang mengikuti verba utama (handõshi) bentuk te yang berhubungan dengan aspek, yaitu iru, kuru, iku, aru dan oku. Setiap aspek tersebut digunakan seperti berikut.
a. ... te iru (~ ている)
1. Aktifitas/kejadian yang sedang berlangsung
Contoh: 子供たちは庭で遊んでいます。
Kodomotachi wa niwa de asonde imasu.
(Anak-anak sedang bermain di halaman). (tengah berlangsung) 2. Kondisi hasil suatu perbuatan/kejadian
Contoh: ドアが閉まっている。
Doa ga shimatte iru.
(Pintu (dalam keadaan) tertutup). (kondisi/keadaan) 3. Keadaan yang terjadi secara alami
Contoh: この道が曲がっている。
Kono michi ga magatte iru.
(Jalan ini membelok). (keadaan kondisi alam) 4. Pengalaman
Contoh: あの教授は本をたくさん書いている。
Ano kyõju wa hon o takusan kaite iru.
(Profesor itu banyak menulis buku).
5. Pengulangan (perbuatan yang dilakukan berulang-ulang)
Contoh: 家には毎日流しが来ている。
Ie ni wa mainichi nagashi ga kite iru.
(Ke rumah saya setiap hari datang pengamen). (terus menerus) b. ... te kuru dan ... te iku (~ てくる・~ ていく)
1. Proses muncul dan hilangnya sesuatu
Contoh: あの選手は力を失っていった。
Ano senshu wa chikara o ushinatte itta.
(Atlit itu telah kehabisan tenaga).
2. Proses terjadinya perubahan sesuatu
Contoh: 父の病気はますます重くなっていった。
Chichi no byõki wa masumasu omoku natte itta.
(Penyakit ayah semakin berat).
3. Bermulanya suatu aktifitas/kejadian (untuk te kuru)
Contoh: 雨が降ってきた。
Ame ga futte kita.
(Hujan mulai turun).
4. Aktifitas/kejadian yang terus berlangsung
Contoh: 母は今日まで苦しい生活をしてきた。
Haha wa kyõ made kurushii seikatsu o shite kita.
(Ibu saya sampai hari ini hidup dalam kesusahan).
c. ... te aru (~ てある)
1. Keadaan sebagai hasil perubahan akibat suatu perbuatan
Contoh: そんなことは手紙に書いてある。
Sonna koto wa tegami ni kaite aru.
(Hal seperti itu sudah tertulis dalam surat).
2. Perbuatan yang telah dilakukan
Contoh: 電気代が上がるということはニヶ月も前に発表してある。
Denki dai ga agaru to iu koto wa nikagetsu mo mae ni happyõ shite aru.
(Mengenai kenaikan harga listrik, sudah diumumkan dua bulan yang lalu).
d. ... te oku (~ ておく)
1. Menyatakan kegiatan persiapan
Contoh: ドアを開けておく。
Doa o akete oku.
(membuka pintu terlebih dahulu).
e. ... te shimau (~ てしまう)
1. Aktifitas/kejadian yang dilangsungkan sampai tuntas
Contoh: 彼女はりんごを三つとも食べてしまった。
Kanojo wa ringo o mittsu tomo tabete shimatta.
(Dia (wanita) telah menghabiskan apel tiga buah).
2. Perbuatan yang tidak disengaja (tidak diharapkan) terlanjur terjadi
Contoh: 酒を飲みすぎてしまった。
Sake o nomisugite shimatta.
(Terlalu banyak minum sake).
2.2.2 Aspek yang tidak menggunakan verba bentuk TE
Aspek yang menggunakan jenis verba selain bentuk te, diantaranya dengan menggunakan sufik pada verba majemuk, atau menggunakan bentuk verba yang lainnya. Sufik dalam verba majemuk yang bisa digunakan untuk menyatakan aspek, yaitu: “... hajimeru, ... dasu, ...
kakeru, ... tsuzukeru, ...tõsu, ... owaru, ... ageru”. Hajimeru dan dasu digunakan untuk menyatakan dimulainya suatu kegiatan atau kejadian, sedangkan kakeru, tsuzukeru dan tõsu digunakan untuk menyatakan aspek sedang berlangsungnya suatu kegiatan/kejadian. Untuk menyatakan aspek berakhir atau selesainya suatu kegiatan/kejadian bisa digunakan sufik owaru dan ageru/agaru.
Selain itu, untuk menyatakan suatu kegiatan/kejadian bisa juga digunakan verba bentuk
‘yõ/ou + to suru’, verba bentuk ‘ru + tokoro’, atau verba bentuk ‘masu + sõ da’. Masih ada cara lain untuk menyatakan tengah berlangsungnya suatu perbuatan/kejadian, seperti dengan menggunakan verba bentuk ‘masu + tsutsu aru’.
Dengan berbagai macam bentuk verba yang bisa digunakan untuk menyatakan aspek dan kala, maka wajar saja jika aspek dan kala tersebut banyak dijadikan objek penelitian dalam linguistik bahasa Jepang. Terutama bagi pembelajar bahasa Jepang sebagai bahasa asing, antara aspek dan kala sering menjadi penghambat. Salah satu penyebabnya, antara lain karena kedua hal tersebut dapat dinyatakan dengan dua bentuk verba yang sama. Misalnya verba bentuk ‘ta’ selain digunakan untuk menyatakan kala lampau, bisa juga digunakan untuk menyatakan aspek selesai (kanryõ).
Contoh:
a. もう宿題をやったか。 (mõ shukudai o yatta ka?) まだ、やらない。 (mada, yaranai)
まだ、やっていない。 (mada yatte inai) まだ、*やらなかった。 (mada * yaranakatta)
b. 昨日宿題をやったか。 (kinõ, shukudai o yatta ka?) 昨日、*やらない。 (kinõ, * yaranai)
昨日、*やっていない。 (kinõ, * yatte inai) 昨日、やらなかった。 (kinõ, yaranakatta).
Contoh (a) berhubungan dengan aspek, sedangkan contoh (b) merupakan kala bentuk lampau. Pada contoh (a), bertanya dengan “Sudah mengerjakan PR?”, hal ini tidak berhubungan dengan kala (lampau, sedang atau akan), sehingga ada dua jawaban yang memungkinkan yaitu: ‘yaranai’ atau ‘yatte inai’ yang kedua-duanya menyatakan arti ‘belum dikerjakan’. Lain halnya dengan pertanyaan (b), dengan diberikan ruang lingkup waktu, yaitu kata ‘kinõ’ ‘kemarin’, maka jawabannya hanya satu yaitu: ‘yaranakatta’ ‘tidak mengerjakan’
dalam bentuk lampau.
Simpulan
Aspek atau Aspektualitas adalah cara untuk memandang pembentukan waktu secara internal didalam suatu situasi, keadaan, kejadian atau proses. Dalam berbagai bahasa, aspek ini merupakan kategori gramatikal karena dinyatakan secara morfemis. Dalam bahasa Indonesia, aspect ini terkadang suka tertukar dengan kala. Serta tidak dinyatakan secara morfemis dengan bentuk kata tertentu seperti halnya dalam bahasa Jepang atau Rusia tetapi dinyatakan dengan berbagai cara dan alat leksikal (Abdul Chaer :1994 :259).
Aspek ini juga secara universal ada dalam berbagai bahasa dan dikenal dengan berbagai macam aspek, antara lain:
1. Aspek kontinuatif, yaitu aspek yang menyatakan perbuatan terus berlangsung.
2. Aspek inseptif, yaitu aspek yang menyatakan kegiatan atau kejadian baru mulai.
3. Aspek progresif, yaitu aspek yang menyatakan perbuatan sedang berlangsung.
4. Aspek repetitif, yaitu aspek yang menyatakan perbuatan itu terjadi berulang-ulang.
5. Aspek perfektif, yaitu aspek yang menyatakan perbuatan sudah selesai.
6. Aspek imperfektif, yaitu aspek yang menyatakan perbuatan berlangsung sebentar atau sesaat.
7. Aspek sesatif, yaitu aspek yang menyatakan perbuatan berakhir.
Antara aspek perfektif dan sesatif mungkin ada sesuatu yang membedakan antara selesainya sebuah perbuatan dengan berakhirnya sebuah perbuatan perlu penjelasan lebih rinci mengenai kedua aspek ini.
Aspek dalam bahasa Jepang
Penelitian aspek dalam bahasa Jepang sangat banyak dan bervariasi, salah satu pedoman tentang penelitian aspek ini adalah pendapat yang dikemukakan oleh Kindaichi Haruhiko 金田一 春彦 (1976) dengan judul bukunya 『日本語動詞のアスペクト』dan Teramura 寺村秀夫. Kedua tokoh ini sangat terkenal dengan teorinya tentang aspek dalam bahasa Jepang.
Salah satu ciri aspek dalam bahasa Jepang adalah dengan adanya bentuk te iru dan apakah suatu verba mengandung aspek atau tidaknya bisa dilihat dengan bisa dirubahnya verba tersebut ke dalam bentuk te iru atau tidak .
一 つの動作・行為を考えるとき、その動作・行為が、1)開始前か、2)開始したと ころか、3)最中なのか(=継続)、4)終了したところか、5)終了した後 の状態 か、など、どの段階にあるのかを示すために、言い分ける文法形式のことをアスペ クトという。「相(そう)」ともいう。「食べる」という動作・行為を 考えると、
1)開始前「食べるところだ」「食べかける」、
2)開始したところ「食べはじめる」「食べだす」、
3)最中「食べている」、
4)終了「食べ終わった」、
5)終了した後「食べたばかり」「食べてしまった」、などと言い分けることができ る。
「食べる」の形は、この動き・動作の全段階を区切らずにひとまとめにして示して いるので、「完成相」とも呼ばれる。「食べている」の形は、動き・動作を表す動 態動詞では、その動作が始まって今も続いていることを示すので「継続相」とも呼 ばれる。
同じ「~ている」の形で示されていても、「看板が出ている」「眼鏡をかけてい る」などは、「看板を出す」「眼鏡をかける」という動作をした結果の跡が残って いる状態を示しているので「結果相」と呼ばれる。
また、動作・変化を表す動詞がどの段階にあるかを示すために言い分けられるとき に用いられる様々な語の形をアスペクト形式という。
Sebagai contoh dalam bahasa Jepang aspek itu dinyatakan dalam bentuk morfemis antara lain berupa bentuk perubahan tertentu dalam kata kerja (verba) yang dikenal dengan istilah katsuyõ dõshi. Umpamanya bentuk "Tebeteiru" (sedang makan) berupa aspek profresif, perbuatan yang belum selesai atau sedang berlangsung, sedangkan bentuk verba
"Tabeta" (sudah makan) beraspek perfektif, perbuatan yang telah selesai. Masih banyak bentuk yang lain yang bisa memusingkan kalau diterjemahkan langsung ke dalam bahasa Indonesia.
Dalam bahasa Indonesia untuk menyatakan aspek perfektif digunakan unsur leksikal sudah seperti pada kalimat (1), untuk menyatakan aspek inseptif perbuatan baru di mulai digunakan partikel pun dan lah seperti pada kalaimat (2), dan untuk menyatakan aspek refetitif, perbuatan yang berulang-ulang bisa dilakukan secara morfemis yaitu dengan sufiks -i seperti pada kalimat (3) bawah ini.
(1) Dia sudah makan (2) Dia pun berjalanlah (3) Dia memukuli penco
Daftar Pustaka
Alwi, Hasan. Dardjowidjodjo, Soenjono. Lapoliwa, Hans. Moeliono.Anton. M. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (edisi ketiga). Jakarta: Balai Pustaka.
Chaer, Abdul.,Drs. 2003. Linguistik Umum. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Comrie, Bernard. 1976. Tense. Departement of linguistics unversity of southern california:
Cambridge University Press.
_____________ , 1978. Aspect. An Introduction to the study of Verbal Aspect and Related Problems. Cambridge University Press.
Djadjasudarma, T. Fatimah., DR. 1999. Semantik 2 (pemahaman ilmu makna). Bandung:
Refika Aditama.
_____________ 1986. Kecap Anteuran Bahasa Sunda: Satu Kajian Semantik dan Struktur.
Disertasi Universitas Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia.
2006. Metode Linguistik (ancangan metode penelitian dan kajian).
Bandung: Refika Aditama.
Kokuritsu Kokugo. 1985. Gendai Nihongo Dõshi no Asupekuto to Tensu. Shûei Shuppan.
Katoo, Taihiko & Fukuchi, Tsutomu. 1989. Tensu∙Asupekuto∙Muudo. Aratake Shuppan.
Kusanagi, Yutaka. 1983. Tensu∙Asupekuto no Bunpo to Imi Bunpo to Imi I”. Nihon.
Kaneda, Isshunhiko. 1976. Nihongo Dõshi no Asupekuto. Tokyo: Mugisho Bõkan.
Koizumi, Tamotsu. 1993. Gengogaku Nyûmon. Kabushiki Kaisha: Taishûkan Shoten.
Lyons, John. 1968. Introduction to Theoritical Linguistics. London: Cambridge University Press.
_____________ , 1977. Semantic 2. Cambridge: Cambridge University Press.
_____________ , 1978. Semantic 1 &2. Cambridge University
_____________ , 1995. Pengantar Teori Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Maslov, J.S. 1978. K Osnovanijam Sopostavitelnoj Aspektologij (Tentang Dasar-dasar Aspektologi perbandingan). Leningrad.
Sutedi, Dedi. (2003). Dasar-dasar Linguistik Bahasa Jepang, Bandung: Humaniora Utama Press.
Teramura, Hideo. 1984. Nihongo no Shintakusu to Imi II」. Kuroshio Shuppan.
Tadjuddin, M. 1993a. Pengungkapan Makna Aspektualitas Bahasa Rusia dalam Bahasa Indonesia (Suatu Telaah tentang Aspek dan Aksionalitas). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
_____________, 1993b. Makna Aspektualitas Inhern Verba Bahasa Indonesia (Majalah Ilmiah Universitas Padjadjaran). No. 1, Vol.11.
_____________ , 1995. Bentukan se- Vdalam Bahasa Indonesia. Bandung: Pustaka Prima.
_____________ , 2005. Aspektualitas dalam Kajian Linguistik. Bandung: PT. Alumni.