1 BAB I PENDAHULUAN
Bab I ini menguraikan (1) latar belakang, (2) rumusan masalah, (3) tujuan pembahasan, dan (4) manfaat, berikut penjelasan dari masing – masing bahasan : 1.1 Latar Belakang
Morbiditas, mortalitas dan lama rawat inap merupakan prediktor outcome pasien pasca laparotomi, untuk mengurangi angka kejadian morbiditas dan mortalitas diperlukan manajemen perioperatif baik pre operatif, intra operatif, dan post operatif yang efektif sehingga diperlukan penilaian objektif pasien dengan sistem penilaian risiko. Standar Length Of Stay (LOS) atau lama rawatan di Rumah Sakit berkisar 6 sampai 9 hari. Menurut Kemenkes RI (2010), perpanjangan lama rawatan dapat disebabkan adanya perburukan outcome salah satunya yaitu kondisi medis, komplikasi, atau infeksi nasokomial. Disisi lain menurut Potter PA & Perry AG (2005), peningkatan lama rawat inap dapat terjadi dikarenakan beberapa faktor penyebab, yaitu faktor ekstrinsik (luar) dan intrinsik (dalam). Faktor ekstrinsik (luar) meliputi kebutuhan nutrisi inadekuat, teknik atau jenis operasi, obat – obatan, dan manajemen luka post operasi. Sedangkan faktor intrinsik (dalam) meliputi usia, gangguan pada sirkulasi / masalah peredaran darah, nyeri, dan penyakit penyerta.
Menurut Regenbogen (2009), SAS merupakan penilaian bedah sederhana dan objektif yang menggunakan data umum serta efektif dalam mengidentifikasi pasien dengan komplikasi, kematian, dan lama rawat inap setelah operasi serta dalam mengevaluasi intervensi utuk mencegah outcome yang buruk. Sehingga nilai SAS dapat membantu tim medis atau para klinisi seperti dokter maupun perawat
untuk menentukan intervensi lebih lanjut pasca operasi serta dapat memprediksi lama rawatan pasca operasi.
Menurut Widyastuti & Widyaningsih (2016), 4 indeks dalam penilaian status nutrisi atau gizi yaitu Antropometri (BMI ,LiLA, Lingkar Perut), Biokimia atau laboratorium (Uji Spesimen Darah, Urine, Tinja, jaringan seperti hati dan otot), Clinical sign (tanda – tanda klinis), dan Dietery History (asupan makanan / riwayat nutrisi). IMT merupakan metode pengukuran status nutrisi / gizi yang dipercayai sebagai indikator atau menggambarkan kadar adipositas individu, IMT dipilih karena kesederhanaan dalam penggunaan. Penilaian status nutrisi atau gizi pada pasien paska operasi yang rawat inap di rumah sakit penting dilakukan, dikarenakan ketepatan penilaian status nutrisi / gizi bermakna bagi intervensi status gizi yang tepat, diharapkan dapat meminimalisir risiko terjadinya malnutrisi dan membantu proses pada pemulihan serta kuantitas lama rawat inap pasien tidak mengalami perpanjangan.
WHO (2017) menjabarkan jumlah pasien laparatomi di dunia meningkat 10% per tahun dimana jumlah pasien laparatomi meningkat secara signifikan. Pada tahun 2017, 90 juta pasien menjalani laparatomi diseluruh rumah sakit di dunia dan pada 2018, diperkirakan mengalami peningkatan sebanyak 98 juta. Menurut Kementerian Kesehatan RI (2018), pada tahun 2018 di Indonesia, laparatomi menduduki peringkat ke 5 jumlah pasien yang menjalani tindakan operasi sebanyak 1,2 juta jiwa dan diperkirakan 42% mejalani operasi laparatomi. Berdasarkan data yang dikutip oleh Widyaningrum (2017), pembedahan pada pasien di Jawa Timur tahun 2014 sebanyak 10.503 pasien. Berdasarkan data yang diperoleh dari Studi Pendahuluan di RSUD Ngudi Waluyo Wlingi yang telah dilakukan pada tanggal 17
Desember 2021, didapatkan hasil bahwa pasien yang menjalani laparatomi sebanyak 156 pasien per Desember 2020 – Desember 2021 dengan diagnosa hampir seluruh yaitu Unilateral or unspecified inguinal hernia, placenta previa with haemorrhage, dan leiomyoma of uterus, dengan rerata lama rawatan yaitu < 4 hari sebanyak 103 pasien (66%) dan ≥ 4 hari sebanyak 53 pasien (34%).
Menurut peneltian Ngarambe et al (2017) dengan metode studi observasional prospektif pada 218 pasien dewasa yang menjalani laparotomi di RS rujukan tersier di Rwanda dari Oktober 2014 – Januari 2015. Diperoleh hasil penelitian komplikasi mayor terjadi pada 32 (64%) pasien dengan kategori risiko tinggi, 22 (29%) pada kategori risiko sedang, 7 (11%) pada kategori risiko ringan dan tidak ada komplikasi pada pasien risiko rendah. Kategori pasien dengan SAS risiko tinggi memiliki kemungkinan komplikasi mayor 15 kali lebih besar (95% CI 5,66, 39,66) dan pasien dengan SAS risiko sedang memiliki peluang 3,5 kali risiko lebih besar untuk komplikasi mayor (95% CI 1,38, 8,85) dibandingkan dengan pasien dengan SAS ringan. Sedangkan, menurut Regenbogen (2009) Skor Apgar Bedah juga memprediksi hasil pasca operasi. Insiden komplikasi pasca operasi utama meningkat secara monoton dari 5% di antara pasien dengan skor 9-10, menjadi 56% dari mereka dengan skor 4 (p<0,0001). Pasien dengan skor rendah lebih mungkin untuk menderita komplikasi ganda (p<0,0001) dan lama rawat inap secara signifikan lebih lama (p<0,0001).
Menurut Widyastuti & Widyaningsih (2016), status gizi yang buruk memberikan kemungkinan lebih besar 4,8 x penurunan proses penyembuhan pada luka dan peningkatan 5,5 x terjadinya perpanjangan lama rawatan > 7 hari daripada pasien dengan status nutrisi normal. Hasil uji statistik IMT dan proses
penyembuhan luka p,000 < 0,05 dan nilai r hitung 0,961 > nilai r tabel 0,506 maka Ha diakui yang berarti adanya hubungan antara IMT dengan proses penyembuhan luka. Nilai korelasi Speraman Rank 0,961 dengan arah korelasi positif yang bermakna semakin baik IMT maka semakin baik juga proses penyembuhan luka.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Setianingsih, dkk (2020), faktor interistik yang berpengaruh pada kejadian infeksi daerah operasi adalah perdarahan (p = 0,000) dan anemia (p = 0,000). Sedangkan faktor ekstrinsik (luar) yang berhubungan dengan kejadian IDO adalah lama hari rawat inap (p = 0,0025), ASA Score (p = 0,042) didapatkan pvalue sebesar 0,000 bermakna p < 0,05 sehingga ada pengaruh perdarahan terhadap kejadian IDO pada pasien post operasi SC di Rumah Sakit Umum Islam Klaten. Perdarahan dapat meningkatkan risiko IDO dikarenakan dapat meningkatkan kerusakan jaringan. Sehingga Infeksi luka operasi meningkat 9,257 x apabila pasien mengalami anemia, nilai p<0.05 dimana peningkatan ini bermakna yang artinya dapat memperpanjang masa lama rawat inap pasien.
Menurut Gothwal et al (2019) Albumin, haemoglobin pra operasi, usia, dan kondisi komorbiditas terkait memiliki hubungan dengan tingkat komplikasi utama.
Menurut penelitian yang dilakukan Elly & Asmawati (2016) dengan menggunakan desain penelitian cross sectional rerata lama hari rawatan pasien post laparotomi tanpa komplikasi yaitu 4 hari (SD 7.9). Sedangkan intepretasi lama rawat inap menurut Baskara et al., (2014) yaitu dalam rentang pendek (< 4 hari), sedang (≥ 4 – 7 hari) , dan panjang (≥ 7 hari).
Berdasarkan data yang diperoleh dari studi pendahuluan di RSUD Bangil Pasuruan yang telah dilakukan pada tanggal 17 Januari 2021, didapatkan hasil bahwa pasien yang menjalani laparotomi sebanyak 140 pasien per Desember 2020
– Desember 2021 rerata lama rawatan yaitu < 4 hari sebanyak 72 pasien (51,42%),
≥ 4 – 7 hari sebanyak 40 pasien (28.57%) dan ≥ 7 hari 28 pasien (20%). Di RSUD Bangil, Pasuruan belum ada penelitian mengenai Hubungan Surgical Apgar Score (SAS), IMT, dan Kadar Haemoglobin Dengan Lama Rawat Inap Pada Pasien Post Laparotomi.
Menurut Nair et al (2018), Surgical Apgar Score (SAS) sebagai salah satu penilaian tingkat kondisi pasien pasca bedah yang meggunakan 10 skor sistem penilaian untuk memprediksi outcome paska operasi sampai 30 hari pada operasi seperti laparotomi, anastomosis, bedah vaskular (sistem peredaran darah), dan bedah saraf. Penilaian Surgical Apgar Score (SAS) menggunakan skoring dengan kriteria HR terendah, MAP terendah, dan perkiraan kehilangan darah. Dimulai dari skor 0 (menunjukkan kehilangan banyak darah, hipertensi, dan peningkatan denyut jantung) hingga skor 10 (perdarahan minimal, tekanan darah dalam rentang normal, denyut jantung dari fisiologi rendah ke normal). Idealnya sistem penilaian predictor outcome harus memberikan objektivitas dan pemahaman mengenai outcome pasien.
Menurut Santoshsingh & Sathyakrishna (2016) Kelompok risiko Surgical Apgar Score (SAS) dikelompokkan menjadi tiga kategori berbasis SAS untuk tujuan stratifikasi risiko yaitu 8 -10 (Kelompok Risiko Rendah), 5 – 7 (Kelompok Risiko Medium/Sedang), dan 0 – 4 (Kelompok Risiko Tinggi).
Komplikasi utama pasca bedah diklasifikasikan menurut American College of Surgeons (2018) yaitu GGA, perdarahan yang membutuhkan tranfusi 4U atau lebih SDN dalam 72 jam setelah operasi, henti jantung yang membutuhkan RJP, koma 24 jam atau lebih, trombosis vena dalam, syok sepsis, infark miokard, instubasi tidak terencana, penggunaan ventilator selama 48 jam atau lebih,
pneumonia, emboli paru, stroke, gangguan penyembuhan luka / luka operasi terbuka, Surgical Site Infection (SSI), sepsis, SIRS (Sistemic Inflamatory Response Syndrome), kegagalan cangkok vascular, anastomosis yang bocor, kelenjar cystic yang bocor setelah tindakan cholesystectomy, efusi perikard yang memerlukan drainase, obstruksi gaster yang memerlukan tindakan operasi ulang, dan kematian.
Dimana gejala lain yang timbul selain yang telah disebutkan, dikategorikan sebagai komplikasi minor.
Status gizi diketahui menjadi faktor yang sangat penting dalam penanganan seluruh jenis bedah. Status gizi dalam bedah telah terbangun secara progresif selama periode nutrisi, termasuk aspek pre operatif dan post operatif. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa kondisi nutrisi pra operasi mencegah komplikasi post operatif , termasuk infeksi. Menurut Widyastuti & Widyaningsih (2016), observasi / pemantauan kadar haemoglobin dilakukan sebelum operasi laparotomi dilakukan, bukan paska operasi. Kadar haemoglobin yang rendah / anemia dapat berpengaruh terhadap peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien mulai dari komplikasi dan peningkatan lama hari rawatan.
Manajemen perioperatif yang tepat dapat digunakan sebagai prediktor outcome pada pasien laparotomi. Melalui predictor yang akurat diharapkan dapat memperdiksi lama rawat inap dan penatalaksanaan yang akan dilakukan secara cepat dan tepat. Surgical Apgar Score, IMT, dan kadar haemoglobin diharapkan dapat menjadi prediktor lama rawat inap dan penentuan tindakan keperawatan yang akan dilakukan dikarenakan pengaplikasian yang sederhana sehingga diharapkan didapatkannya outcome yang baik dan meminimalisr outcome yang buruk serta memudahkan peran tenaga medis. Maka dari itu, penulis mengangkat tema skripsi
“ Hubungan Surgical Apgar Score (SAS), IMT, dan Kadar Haemoglobin Dengan Lama Rawat Inap Pada Pasien Post Laparotomi Di RSUD Bangil Pasuruan“ dengan menggunakan data sekunder melalui rekam medis.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas berikut rumusan masalahnya:
Bagaimana hubungan Surgical Apgar Score (SAS), IMT, dan kadar haemoglobin dengan lama rawat inap pada pasien post laparotomi?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas berikut tujuan umum dan khusus penelitiannya:
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan Surgical Apgar Score (SAS), IMT, dan kadar haemoglobin dengan lama rawat inap pada pasien post laparotomi
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi Surgical Apgar Score (SAS) pasien post laparotomi b. Mengidentifikasi Indeks Masa Tubuh (IMT) pasien post laparotomi c. Mengidentifikasi kadar haemoglobin (Hb) pasien post laparotomi d. Mengidentifikasi rerata lama rawat inap pasien post laparotomi
e. Menganalisis hubungan Surgical Apgar Score (SAS) dengan lama rawat inap pasien post laparotomi
f. Menganalisis hubungan Indeks Masa Tubuh (IMT) dengan lama rawat inap pasien post laparotomi
g. Menganalisis hubungan kadar haemoglobin (Hb) dengan lama rawat inap pasien post laparotomi6
1.4 Manfaat
Berdasarkan tujuan penelitian diatas berikut manfaat penelitiannya:
1.4.1. Manfaat Teoritis
Menjadi bahan kepustakaan untuk referensi dalam mengetahui dan memahami hubungan Surgical Apgar Score (SAS), IMT, dan kadar haemoglobin dengan lama rawat inap pada pasien post laparotomi dalam pengembangan ilmu keperawatan perioperatif.
1.4.2. Manfaat Praktis
a. Manfaat bagi Rumah Sakit
Menjadi informasi dan gambaran mengenai hubungan Surgical Apgar Score (SAS), IMT, dan Kadar Haemoglobin dengan Lama Rawat Iap Pasien Post Laparotomi sesuai Standar LOS di Rumah Sakit sehingga diharapkan membantu para klinisi dalam penilaian faktor risiko prediktor lama rawat inap pasien post laparotomi
b. Manfaat Praktis Peneliti Lain
Menjadi informasi dan bahan referensi mengenai hubungan Surgical Apgar Score (SAS), IMT, dan kadar haemoglobin dengan lama rawat inap pada pasien post laparotomi.
c. Manfaat Praktis Peneliti
Memenuhi skripsi mengenai hubungan Surgical Apgar Score (SAS), IMT, dan kadar haemoglobin dengan lama rawat inap pada pasien post laparotomi