1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu bidang yang dianggap penting bagi mendukung kemajuan suatu bangsa. Saat ini, pendidikan ditetapkan sebagai salah satu dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) oleh Perserikatan Bangsa- Bangsa. Pendidikan sebagai tujuan keempat dalam TPB atau dikenali sebagai Sustainable Development Goals (SDGs) dirancang untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas melalui beberapa target dan indikator yang ditetapkan. Secara umum, pendidikan merupakan suatu proses setiap individu untuk mengembangkan diri demi kelangsungan hidup (Alpian et al., 2019). Dalam pendidikan, proses pengembangan potensi secara manusiawi dan proses pewarisan kebudayaan melibatkan kegiatan yang menunjukkan perilaku pendidikan. Menurut Sukartini dan Baihaqi (2007), pendidik, pengelola pendidikan, peserta didik, administrator pendidikan, atau siapapun yang terlibat dalam pendidikan merupakan individu yang berperan dalam mewujudkan perilaku tersebut (Masni, 2018).
Pendidikan memiliki peran besar dalam mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni untuk bersaing secara sehat dan memiliki rasa kebersamaan sesama manusia yang tinggi (Alpian et al., 2019). Hal ini sejalan dengan tujuan dari pendidikan nasional, yaitu untuk mencetak sumber daya manusia dengan akhlak yang baik, kreatif, dan mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi untuk menjadi rakyat Indonesia yang baik (Undang-Undang Republik
2
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, 2003).
Pendidikan dibutuhkan untuk membentuk generasi penerus yang memiliki keyakinan beragama yang kuat, berperilaku baik, cerdas, dan memiliki keterampilan yang bermanfaat untuk diri dan orang di sekitarnya. Esensi dari pendidikan ini adalah untuk menciptakan manusia yang berkualitas dan berintegritas melalui pemahaman nilai-nilai agama, etika, kejujuran dan bertanggung jawab. Pendidikan sebagai salah satu syarat untuk memajukan bangsa perlu direncanakan dengan baik. Setiap orang perlu mendapatkan pendidikan yang berkualitas, dimulai dari jenjang taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.
Pandemi Covid-19 yang terjadi di setiap belahan dunia pada akhir tahun 2019 telah berdampak secara signifikan terhadap dunia pendidikan, termasuk Indonesia.
Sistem pendidikan yang sebelumnya dilaksanakan secara luar jaringan (luring) dalam waktu yang singkat berubah menjadi pembelajaran dalam jaringan (daring).
Hal ini terjadi karena pemberlakuan pembatasan berskala besar di Indonesia pada bulan Maret tahun 2020. Selain peserta didik yang perlu beradaptasi dengan perubahan ini, pendidik juga kewalahan untuk mencari alternatif pembelajaran yang efektif supaya pembelajaran daring dapat dilaksanakan dengan maksimal.
Menurut Utami & Cahyono (2020), kendala yang sering dihadapi peserta didik dalam pembelajaran daring diantaranya: 1) mereka belum mempunyai inisiatif untuk belajar secara mandiri, 2) belum terbiasa dengan pembelajaran matematika secara daring, 3) tujuan belajar peserta didik hanya sebatas perolehan nilai yang memuaskan namun belum mampu meningkatkan kemampuan diri mereka terhadap pemahaman materi yang diajarkan, 4) sebagian hanya belajar
3
seperlunya saja, dan 5) mereka jarang melakukan evaluasi proses dan hasil pembelajaran serta memiliki kendala ketika menyerahkan tugas melalui sistem e- learning. Oleh karena itu, pembelajaran daring yang sudah direncanakan pendidik belum benar-benar efisien terlaksana sehingga menyebabkan terjadinya penurunan minat belajar peserta didik.
Penurunan minat belajar peserta didik tentu berdampak pada pemahaman konsep yang disampaikan guru, terutama dalam pembelajaran matematika.
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran wajib yang diajarkan di sekolah dan dapat dilihat pada setiap jenjang pendidikan termuat pelajaran matematika (Ibrahim, 2020). Matematika dianggap sebagai suatu mata pelajaran yang berguna untuk kehidupan manusia. Banyak hal yang memerlukan pemahaman matematika yang baik terutama dalam pekerjaan sehari-hari seperti dalam urusan jual beli.
Menurut Hapsari (2019), penguasaan konsep yang rendah merupakan salah satu penyebab peserta didik tidak mampu menyelesaikan soal berkaitan literasi matematika karena soal tersebut membutuhkan konsep dan pengetahuan yang kuat.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ketidakpahaman terhadap konsep matematika akan berdampak pada literasi matematika peserta didik.
Menurut Zyngier, et al. (2013), literasi matematika adalah suatu kemampuan yang dimiliki individu untuk menggunakan, mendefinisikan, serta mengambil kesimpulan matematika pada berbagai konteks seperti mampu membuat penalaran matematis, mengaplikasikan berbagai konsep, prosedur, maupun fakta matematika dalam menguraikan suatu fenomena (Fatwa et al., 2019). Menurut Astuti (2018), literasi matematika merupakan kemampuan individu dalam merumuskan,
4
menerapkan, dan menafsirkan matematika pada berbagai konteks termasuk melakukan penalaran matematis dan menggunakan konsep, prosedur, dan fakta bagi menjelaskan suatu fenomena atau kejadian. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa seseorang yang secara efektif mampu menganalisis, menalar, dan mengomunikasikan pengetahuan matematika dalam menyelesaikan permasalahan matematika memiliki literasi matematika yang baik.
Peserta didik yang mampu menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya ke dalam situasi baru yang belum dikenal dapat dikatakan sebagai seseorang yang mampu menyelesaikan masalah. Kemampuan inilah yang dikenal sebagai kemampuan berpikir tingkat tinggi (Astuti, 2018). Salah satu kemampuan yang mendukung peserta didik dalam berpikir tingkat tinggi adalah kemampuan berpikir kritis. Saat ini, kemampuan berpikir kritis merupakan suatu kemampuan yang sangat dibutuhkan. Kemampuan ini memiliki manfaat secara jangka panjang dalam mendukung peserta didik untuk mengatur keterampilan belajar mereka.
Kemampuan berpikir kritis berguna dalam pemberdayaan potensi peserta didik sehingga mampu berkontribusi secara kreatif pada pekerjaan atau profesi yang dipilih. Kemampuan ini perlu dimiliki peserta didik supaya mampu bertahan hidup di masa mendatang. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kemampuan berpikir kritis penting untuk meningkatkan literasi matematika peserta didik.
Ennis (1985) berpendapat bahwa berpikir kritis adalah metode berpikir secara reflektif dan rasional berdasarkan penalaran yang berfokus untuk menetapkan hal yang harus diyakini dan dilakukan (Ennis, 2011). Kemampuan berpikir kritis matematis adalah suatu proses dalam pembelajaran matematika yang mengarahkan
5
peserta didik untuk aktif dalam menganalisis dan memahami hal abstrak secara konkrit sehingga kesimpulan akurat dapat diperoleh (Purwanto et al., 2020).
Menurut Glaser (2000), berpikir kritis jika ditinjau dari aspek matematika merupakan suatu kemampuan dan disposisi yang termuat pengetahuan, kemampuan penalaran matematika, dan strategi kognitif sebelumnya dalam menggeneralisasikan, mengevaluasi, maupun membuktikan suatu situasi matematika secara reflektif (Hendriana et al., 2013). Dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis matematis merupakan suatu kemampuan yang perlu dimiliki peserta didik untuk berpikir secara reflektif, aktif, dan mampu untuk menggunakan penalaran matematika dalam menggeneralisasikan dan membuktikan situasi matematika.
Melalui kemampuan berpikir kritis, pemahaman peserta didik terhadap materi yang dipelajari dengan adanya proses evaluasi secara kritis terhadap buku teks, diskusi bersama teman, maupun argumentasi yang disampaikan guru dalam kegiatan pembelajaran dapat ditingkatkan (Saputra, 2020). Kemampuan ini dapat dikembangkan melalui proses pembelajaran matematika dengan mengacu pada indikator berpikir kritis matematis. Kemampuan ini bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan, terutama di era globalisasi di mana setiap orang dituntut untuk mampu berpikir secara kritis dan kreatif dalam menghadapi tantangan global.
Pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 (BNSP:
2006), telah dinyatakan bahwa kemampuan berpikir kritis merupakan suatu kemampuan yang diperlukan peserta didik untuk dapat memanajemen dan memanfaatkan informasi dalam keberlanjutan hidup. Kemampuan ini merupakan
6
salah satu kunci yang dibutuhkan untuk menghadapi masyarakat disrupsi yang terus berubah sesuai perkembangan teknologi (Janah et al., 2019). Peserta didik yang tidak dilatih untuk berpikir kritis akan sulit untuk beradaptasi pada kehidupan mendatang, bahkan akan sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang membutuhkan kemampuan berpikir krits yang baik. Oleh karena itu, kemampuan berpikir kritis peserta didik perlu terus ditingkatkan, terutama dalam pembelajaran sehingga SDM yang berkualitas dapat dihasilkan.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan terhadap penurunan kemampuan berpikir kritis peserta didik. Hal ini tergambar dari pengalaman peneliti pada kegiatan Kampus Mengajar di SDN 016 Tanjungpinang Timur dari bulan Agustus – Desember 2021. Selama pemberlakuan pembelajaran daring di masa pandemi, peneliti menjumpai banyak peserta didik yang belum memahami konsep dasar operasi hitung matematika terutama jika dilihat dari operasi perkalian dan pembagian sehingga mereka kesulitan dalam menyelesaikan masalah yang membutuhkan literasi matematika yang baik. Dampaknya, mereka tidak mampu menyelesaikan soal matematika pada materi pecahan, kecepatan dan debit, serta skala. Hal ini dapat dilihat pada hasil Penilaian Akhir Semester I Kelas V di mana hanya sebagian peserta didik saja yang mampu menjawab soal yang diberikan dengan baik.
Rendahnya literasi matematika dan pengetahuan dasar konsep matematika di jenjang Sekolah Dasar (SD) akan menyebabkan ketidakmampuan peserta didik pada kelas VII Sekolah Menengah Pertama (SMP) dalam menyelesaikan soal yang membutuhkan kemampuan literasi matematika yang baik, terutama pada tingkat
7
kesukaran yang lebih tinggi. Saat ini, perkembangan pandemi Covid-19 sudah mulai mereda dan berangsur pulih sehingga kehidupan sudah mulai beralih pada fase new normal. Pembelajaran yang sebelumnya dilaksanakan secara daring mulai dilaksanakan lagi secara tatap muka. Namun, dampak dari pemberlakuan pembelajaran daring masih dirasakan karena peserta didik perlu beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan waktu belajar.
Pada semester satu tahun ajaran 2022/2023, Implementasi Kurikulum Merdeka sudah mulai dilaksanakan di Kota Tanjungpinang, yaitu pada jenjang SMP kelas VII. Materi pecahan pada kurikulum merdeka termuat dalam Elemen Bilangan dengan Tujuan Pembelajaran yang telah ditetapkan. Berdasarkan hasil wawancara kepada guru matematika kelas VII di SMP Negeri 10 Tanjungpinang, kemampuan berpikir kritis peserta didik setelah pandemi mengalami penurunan sehingga guru kewalahan untuk menjelaskan kembali materi dasar sebelum memulai pembelajaran pada materi esensial di kelas VII. Pada Elemen Bilangan, guru perlu mengulang kembali materi dan mengenalkan berbagai macam jenis bilangan yang seharusnya dipelajari di jenjang SD sebelum mengajarkan peserta didik materi Bilangan Pecahan di kelas VII. Hal ini dikarenakan ketika pembelajaran daring dilaksanakan, peserta didik terbiasa mengerjakan tugas yang diberikan melalui bantuan orang tua tanpa benar-benar memahami materi pelajaran.
Dampaknya, peserta didik belum mampu mengerjakan soal-soal pecahan secara mandiri di sekolah.
Selain wawancara bersama guru matematika di SMP Negeri 10 Tanjungpinang, wawancara turut dilakukan bersama guru matematika kelas VII di
8
SMP Negeri 4 Tanjungpinang dan SMP Negeri 16 Tanjungpinang. Berdasarkan hasil wawancara, didapatkan bahwa peserta didik kelas VII memiliki kendala dalam memahami dan menyelesaikan soal matematika dengan baik, terutama soal yang yang membutuhkan kemampuan penyelesaian masalah yang baik. Guru perlu memberi gambaran dan menjelaskan setiap informasi yang diberikan pada soal matematika untuk peserta didik pahami. Selain itu, guru juga menyatakan bahwa tahap berpikir kritis peserta didik menurun pasca pemberlakuan pembelajaran daring.
Peneliti memberikan satu soal untuk melihat cara peserta didik dalam menyelesaikan soal. Berdasarkan jawaban yang diberikan, dapat dilihat bahwa peserta didik belum mampu menyelesaikan soal tersebut dengan baik. Berikut ditampilkan pertanyaan dan jawaban peserta didik dalam menyelesaikan soal.
Pertanyaan: Ibu membeli tepung terigu sebanyak 2 kg. Tepung tersebut akan dibuat menjadi beberapa kue. Ibu khawatir tepung tersebut tidak cukup sehingga ibu membeli lagi sebanyak 112 kg. Untuk membuat kue nastar lbu membutuhkan 112 kg tepung terigu, untuk membuat kue bolu lbu membutuhkan 12
3 kg, dan sisanya akan dibuat kue kacang. Berapakah berat tepung terigu yang digunakan untuk membuat kue kacang?
Jawaban peserta didik:
Gambar 1.1 Jawaban peserta didik ketika diberi soal pecahan
9
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Tamila (2020) sebelum pandemi Covid-19 dengan tujuan mendeskripsikan hasil analisis kemampuan berpikir kritis peserta didik kelas VII dalam menyelesaikan masalah matematika menunjukkan bahwa pada tingkatan kemampuan berpikir kritis tinggi, peserta didik mampu memenuhi tahap berpikir kritis yang ditetapkan yaitu klarifikasi dasar, memberi alasan untuk suatu keputusan, menyimpulkan, klarifikasi lebih lanjut, dan tahap dugaan/ keterpaduan dengan persentase sebanyak 48% peserta didik. Pada tingkatan kedua, sebanyak 35% peserta didik pada tingkatan kemampuan berpikir kritis sedang hanya mampu memenuhi tahap klarifikasi dasar, menyimpulkan, dan tahap dugaan/keterpaduan dan pada tingkatan ketiga dengan 17% peserta didik, memenuhi tahap klarifikasi dasar dan menyimpulkan. Berdasarkan penelitian Tamila, dapat dilihat bahwa kurang dari 50% peserta didik yang memenuhi kemampuan berpikir kritis tingkat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum pemberlakuan pembelajaran daring, jumlah peserta didik yang memiliki kemampuan berpikir kritis tingkat tinggi masih tergolong rendah.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Alfisyah (2022) pada tahun 2021 ketika pandemi dengan kasus Covid-19 yang relatif tinggi, ternyata hanya 40,74%
dari 27 peserta didik yang mengikuti tes di Banjarmasin memiliki kemampuan berpikir kritis tingkat tinggi. Sebanyak 18,52% peserta didik memiliki tingkat berpikir kritis sedang dan 40,74% peserta didik tersebut berada pada tingkat berpikir kritis yang masih tergolong rendah. Menurut Alfisyah (2022), kemampuan berpikir kritis peserta didik dapat diukur melalui tes khusus atau tes yang disusun
10
berdasarkan materi tertentu dengan mempertimbangkan alasan serta sumber yang dijadikan acuan peserta didik untuk menjawab soal tersebut.
Selain itu, Alfisyah (2022) menyatakan bahwa tes berbentuk uraian dapat digunakan untuk menilai bagaimana peserta didik mendapatkan jawaban dan menjelaskan kesimpulan jawaban mereka. Graded Response Models (GRM) merupakan suatu sistem pemberian skor dengan tingkat kesukaran pada tiap kategori item tes yang disusun dari kategori rendah hingga kategori tinggi dengan penilaian dilihat dari respon peserta didik berdasarkan urutan pengerjaannya (Nonny dalam Alfisyah, 2022). Pada penelitian ini, peneliti akan memberikan peserta didik soal tes untuk mengukur kemampuan berpikir kritis mereka dalam bentuk penskoran yang bertingkat dalam menyelesaikan soal pecahan.
Walaupun data di lapangan menunjukkan ada kecenderung bahwa kemampuan berpikir kritis peserta didik menurun setelah diberlakukan pembelajaran daring, peneliti tidak dapat menyatakan bahwa berpikir kritis peserta didik akan terus menurun sehingga didapatkan data yang akurat dari hasil penelitian. Terdapat suatu kebutuhan untuk menelusuri lebih dalam gambaran kemampuan berpikir kritis peserta didik dan mengetahui pokok permasalahan yang dihadapi. Hal ini dapat dijadikan dasar oleh pendidik dalam merancang pembelajaran yang dapat menstimulasi tumbuh kembang kemampuan berpikir kritis peserta didik.
Oleh sebab itu, peneliti akan melakukan penelitian dengan judul “Analisis Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Peserta Didik Pasca Pandemi Covid-19 dengan Graded Response Models (GRM) dalam Menyelesaikan Soal Pecahan Kelas
11
VII SMP”. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kemampuan berpikir kritis peserta didik di kelas VII SMP sehingga didapatkan sebuah informasi terkait deskripsi kemampuan berpikir kritis peserta didik pasca pandemi Covid-19. Hasil penelitian ini dapat pendidik jadikan sebagai acuan dalam merancang pembelajaran yang mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, agar penelitian yang dilakukan terarah maka peneliti merincikan secara spesifik fokus penelitian.
Adapun fokus penelitian yang peneliti tetapkan adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini hanya akan menjawab permasalahan yang berkaitan dengan Analisis Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik Pasca Pandemi Covid-19 dengan Graded Response Models (GRM) dalam menyelesaikan soal pecahan pada Elemen Bilangan dengan Tujuan Pembelajaran untuk membaca, menuliskan, dan membandingkan bilangan pecahan dan persen serta menggunakannya dalam menyelesaikan permasalahan sehari-hari yang melibatkan operasional hitung (penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian) dalam Kurikulum Merdeka.
2. Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang berada pada ranah level kognitif C4 hingga C6. Oleh karena itu, instrumen tes yang dikembangkan adalah soal uraian pada ranah level kognitif C4 hingga C6.
3. Dari hasil tes, peneliti melakukan analisis dan interpretasi berdasarkan Graded Response Model (GRM).
12
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah kemampuan berpikir kritis matematis peserta didik pasca pandemi Covid-19 dengan Graded Response Models (GRM) dalam menyelesaikan soal pecahan kelas VII SMP?”
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kemampuan berpikir kritis matematis peserta didik pasca pandemi Covid-19 dengan Graded Response Models (GRM) dalam menyelesaikan soal pecahan kelas VII SMP.
E. Definisi Operasional
Beberapa istilah yang terdapat pada penelitian adalah sebagai berikut:
1. Analisis
Analisis adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengamati sesuatu secara lebih detail atau mendalam dengan menerapkan metodologi ilmu pengetahuan dalam rangka melakukan pengkajian terhadap suatu objek untuk dipelajari dan diselidiki lebih lanjut.
2. Berpikir kritis
Kemampuan berpikir kritis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan peserta didik untuk dapat berpikir secara efektif, kreatif, dan aktif dalam memperoleh suatu kesimpulan berdasarkan sumber yang valid sehingga mampu menjawab soal yang diberikan dengan benar. Indikator kemampuan berpikir kritis yang peneliti rumuskan berdasarkan beberapa indikator yang ditelaah adalah reason, inference, situation dan overview.
13
3. Graded Response Models
Graded Response Models merupakan suatu sistem penskoran secara berurut bagi mengukur tingkat kesukaran tiap kategori pada item tes. Jawaban yang diberikan peserta tes akan menjadi terurut kategorinya, dimulai dari kategori rendah hingga kategori yang tinggi. Selain itu, Graded Response Models merupakan suatu penilaian sehingga semua respon peserta didik dilihat dari ururtan pengerjannya. Graded Response Models yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sistem penskoran yang digunakan untuk menghitung hasil tes kemampuan berpikir kritis peserta didik yang mana tingkat kesukaran tiap kategori pada item tes disusun secara berurutan mulai dari kategori rendah hingga kategori yang tinggi. Melalui analisis jawaban tes peserta didik dengan GRM, akan didapatkan daya pembeda, tingkat kesukaran, dan parameter GRM sehingga kemampuan yang diukur lebih akurat.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Bagi Peserta Didik
Menambah wawasan peserta didik terkait kemampuan berpikir kritis matematis serta dapat menerapkan kemampuan ini dalam kegiatan belajar sehingga lebih bersungguh-sungguh dan penuh pertimbangan ketika menyelesaikan soal matematika.
2. Bagi Guru Mata Pelajaran Matematika
14
Penelitian ini diharapkan dapat membantu guru dalam mengetahui tingkat dan deskripsi bagi kemampuan berpikir kritis peserta didik dalam menyelesaikan soal pecahan. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai landasan dan acuan untuk melakukan perubahan serta perbaikan dalam pembelajaran sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung secara aktif.
3. Bagi Sekolah
Dapat dijadikan salah satu masukan yang baik untuk sekolah dalam rangka peningkatan proses pembelajaran yang dapat meningkatkan prestasi peserta didik.
4. Bagi Peneliti
Melalui penelitian ini, peneliti memperoleh pengetahuan dan pengalaman baru selama proses penelitian di lapangan serta dapat menjadi bekal saat terjun langsung sebagai seorang pendidik kelak.