4 2.1 Kajian Pustaka
Penelitian yang dilakukan oleh (Nur Aji. 2019), “Pengaruh Variasi Jenis Kampuh Pengelasan Smaw Pada Sambungan Pengelasan Logam Baja Jis G 3131 Sphc Dengan Baja Aisi 201 Terhadap Sifat Mekanik”, dengan pengelasan smaw pada sambungan logam baja JIS G 3131, maka penulis dapat menggunakan sebagian metode untuk digunakan penulis sebagai referensi.
Penelitian yang dilakukan oleh (Syujuan. 2016), “Analisa Pengaruh Variasi Arus Dan Bentuk Kampuh Pada Pengelasan Smaw Terhadap Kekuatan Impact Sambungan Butt Joint Pada Plat Baja A36”, dengan pengelasan swam yang sama seperti referensi diatsa yang sebelumnya maka penulis memutuskan untuk menggunakan referensi ini juga untuk penulis jadikan referensi terkait judul yang penulis buat.
Penelitian yang dilakukan oleh (Marzuki. 2020), “Analisa Pengaruh Variasi Jenis Kampuh Las Terhadap Kekuatan Tarik Pada Proses Pengelasan Oaw”.
Dengan penggunaan proses pengelasan oaw maka penulis dapat menjadikan sebagian isi dari jurnal berikut untuk dipakai penulis, serta tujuan dari referensi ini adalah mengetahui pengaruh variasi jenis kampuh las terhadap kekuatan tarik.
Penelitian yang dilakukan oleh (Tri Kuncoro. 2017), Penelitian ini menyimpulkan bahwa kuat arus pengelasan berpengaruh terhadap kekuatan tarik dengan nilai Fhitung sebesar 24,45 > dari nilai tabel distribusi Ftabel untuk F(0,05;1;8) yakni 5,32. Artinya variabel kuat arus pengelasan berpengaruh terhadap kekuatan tarik.
Penelitian yang dilakukan oleh (Hadi. 2017) Dari kesimpulan penelitian berikut kesimpulan yang didapatkan, arus yang tinggi dan daerah kampuh yang besar dapat mempengaruhi kekuatan tarik sambungan pengelasan. Hasil pengujian kekuatan tarik menunjukan bahwa nilai tegangan tarik dan
regangan sambungan las TIG pada aluminium 5083 dipengaruhi oleh variasi kampuh dan arus las, semakin besar daerah leleh dan arus pengelasan maka semakin besar kekuatan tarik dan regangan tarik. Maka penulis dapat mengunakan sebagai referensi hasil tegangan tarik dan regangannya untuk penulisan penelitian penulis.
2.2 SS400
Baja SS 400 adalah salah satu spesifikasi baja yang dibuat berdasarkan standard Industri JEPANG yaitu JIS G3101 (Rolled Steel for General Structures).
JIS = Japan Industrial Standard. Sedangkan yang termasuk dalam spesifikasi JIS3101 adalah spesifikasi baja jenis: SS330, SS400, SS490 dan SS540.SS di sini berarti “Structural Steel” alias baja kontruksi, bukanlah baja “stainless steel” Pada ASTM SS 304, SS 316, SS 410, dsb, SS di sini memang jenis baja stainless steel dari standard ASTM (American Society for Testing Materials). Adapun stainless steel berdasarkan standard Insdustri di Negara Jepang, JIS. mereka memberi kode dengan awalan SUS (Steel Use Stainless) misalnya SUS 304, SUS 316, SUS 410.SS 400/ JIS G3101/ASTM A36 adalah baja umum (mild steel) dimana komposisi kimianya hanya karbon (C), Manganese (Mn), Silikon (Si), Sulfur (S) dan Posfor (P) yang dipakai untuk aplikasi struktur/konstruksi umum (general purpose structural steel) misalnya untuk jembatan (bridge), pelat kapal laut, oil tank, dll.SS 400/JIS G3101 ekivalen dengan DIN: St37-2, EN S235JR, ASTM:
A283C dan UNI: FE360B.Baja SS 400/JIS G3101/ASTM A36, baja dengan kadar karbon rendah (max 0.17 %C) / Low C Steel, material ini tidak dapat di keraskan (hardening)/perlakuan panas (heat treatment) melalui proses quench and temper.
Material ini hanya bisa dikeraskan melalui pengerasan permukaan (surface hardening) seperti karburisasi (carburizing), nitriding atau carbonitriding, dimana kekerasan permukaan bisa mencapai 500 Brinell (kira-kira 50 HRC) pada kedalaman permukaan 10 hingga 20 mikron tergantung parameter process-nya.
Dari komposisi kimia (chemical composition) unsur-unsur yang terdapat dalam material SS 400 tidak menunjukkan ciri khas yang dipunyai material baja tahan karat yang memiliki kadar krom (Cr) dan Nikel (Ni). Untuk baja tahan karat type
304/SS304 minimal memiliki kadar Cr-Ni: 18-8, yakni: 18% Chrome dan 8%
Nickel.
2.3 Pengelasan
Proses Pengelasan (Welding Process) Pada bidang industri maritim, pengelasan adalah salah satu bagian yang sangat penting. Salah satu contoh pada galangan kapal untuk sambungan pada pelat dibuat dengan proses pengelasan.
Pengelasan adalah ikatan metalurgi pada sambungan logam atau logam panduan yang dilakukan pada keadaan lumer atau cair. Dari deformasi diatas dapat dijabarkan bahwa las adalah sambungan setempat dari beberapa batang logam dengan menggunakan energi panas. Sistem penyambungan las ini dapat menghasilkan efisiensi sambungan dan tingkat kerapatan yang tinggi, dengan biaya fabrikasi yang kecil. Meskipun demikian, akibat pengelasan akan terjadi tegangan sisa yang timbul karena pemanasan lokal dalam proses pengelasan dan pendinginan yang cepat. Tegangan sisa yang terjadi pada kampuh las ini dapat menyebabkan getas material, kegagalan fatik atau SCC (Stress Corrossion rack) 5 dan dapat mengurangi kekuatan dari struktur dan komponen. Oleh karena itu tegangan sisa dalam pengelasan harus dihilangkan sampai sekecil mungkin untuk mengurangi kegagalan desain suatu komponen. Dalam proses pengelasan, bagian dilas menerima panas pengelasan setempat sehingga distribusi temperature tidak merata. Distribusi panas yang tidak merata ini mengakibatkan temperatur logam las hingga daerah temperature panas (HAZ) lebih tinggi disbanding dengan base metal. Pada saat logam las membeku, penyusutan terjadi dan logam melakukan gaya penyusutan terhadap daerah sekelilingnya dan daerah HAZ. Tegangan penyusutan yang tertinggal dalam logam lasan ini menyebabkan tegangan sisa.
Tegangan sisa menyebabkan dua efek berbahaya, yaitu distorsi dan kerusakan dini dari lasan (Syujuan. 2016).
2.4 Jenis Kampuh Las
Jenis kampuh yang dipilih berkaitan dengan metode pengelasan dan ketebalan plat. Ideal sendi menyediakan kekuatan struktural yang diperlukan dan
kualitas tanpa perlu besar volume bersama. Biaya las meningkat dengan ukuran sendi, dan masukan panas yang lebih tinggi akan menimbulkan masalah dengan kekuatan pengelasan. Kampuh las ini berguna untuk menampung bahan pengisi agar lebih banyak yang merekat ke benda kerja. Dengan demikian kekuatan las akan lebih terjamin, sedangkan jenis kampuh las yang dipakai pada tiap pengelasan tergantung pada ketebalan benda kerja, jenis benda kerja, kekuatan yang diinginkan, dan posisi pengelasan. Sebelum melakukan pengelasan, selain harus diketahui jenis sambungan, harus pula ditentukan desain kampuh yang akan dibuat. Desain tersebut selain untuk menghasilkan lasan yang baik, juga mempertimbangkan efisiensi dan efektifitas dari desain lasan. Desain yang sesuai dengan spesifikasi material yang disambung akan dapat mengurangi waktu dan biaya yang diperlukan untuk menghasilkan sambungan tanpa mengesampingkan kualitas sambungan itu sendiri, berikut ini pemaparan tentang jenis-jenis kampuh las.
1. Kampuh Persegi (Square Groove)
Kampuh persegi dapat dibuat dengan posisi kampuh tertutup ataupun terbuka.
Umumnya desain ini digunakan pada logam tipis seperti yang terlihat pada gambar 2.1 di bawah ini.
Gambar 2.1 Kampuh Persegi (Square Groove) [5]
2. Kampuh V (V Groove)
Penggunaan kampuh V ini menjadi salah satu desain yang paling banyak dipakai. Desain ini dapat menghasilkan kualitas lasan yang sangat baik.
Kampuh V digunakan pada material dengan ketebalan sedang sampai tebal seperti yang dapat dilihat pada gambar 2.2 di bawah ini.
Gambar 2.2 Kampuh V (V Groove) [5]
3. Kampuh V ganda (Double Vee Groove)
Penggunaan kampuh V ganda dapat mengurangi banyaknya tingkat endapan dan distorsi yang mungkin terjadi pada material sehingga dapat digunakan pada material dengan ketebalan yang lebih tebal dibandingkan dengan jenis kampuh lainnya. Pada umumnya pada kampuh V ganda, pengelasan dilakukan bergantian antar sisinya untuk menghindari distorsi seperti yang dapat dilihat pada gambar 2.3 di bawah ini.
Gambar 2.3 Kampuh V ganda (Double Vee Groove) [5]
4. Kampuh U (U Groove)
Desain kampuh U umumnya digunakan pada material yang lebih tebal. Desain ini dapat mengurangi tingkat endapan las yang diperlukan dibandingkan dengan kampuh V karena kampuh U menggunakan sudut kampuh yang lebih kecil 6 dan tetap menjaga fusi yang memadai seperti yang dapat dilihat pada gambar 2.4 di bawah ini.
Gambar 2.4 Kampuh U (U Groove) [5]
5. Kampuh Tirus (Bevel Groove)
Kampuh tirus memerlukan persiapan yang tidak sebanyak kampuh V.
Penirusan dilakukan hanya pada satu bagian saja sedangkan pada bagian lain yang akan dilas dibiarkan dalam bentuknya. Desain ini memerlukan tingkat endapan las yang lebih sedikit dibandingkan kampuh V dengan kekuatan las yang baik seperti yang dapat dilihat pada gambar 2.5 di bawah ini.
Gambar 2.5 Kampuh Tirus (Bevel Groove) [5]
2.5 Metode Pengujian Tarik
Uji Tarik merupakan salah satu pengujian untuk mengetahui sifat-sifat suatu bahan. Dengan menarik suatu bahan kita akan segera mengetahui bagaimana bahan tersebut bereaksi terhadap tenaga tarikan dan mengetahui sejauh mana material itu bertambah panjang. Alat eksperimen untuk uji tarik ini harus memiliki cengkeraman (grip) yang kuat dan kekakuan yang tinggi (highly stiff). Uji tarik rekayasa banyak dilakukan untuk melengkapi informasi rancangan dasar kekuatan suatu bahan dan sebagai data pendukung bagi spesifikasi bahan (Dieter, 1987).
Pada uji tarik, benda uji diberi beban gaya tarik sesumbu yang bertambah secara kontinyu, bersamaan dengan itu dilakukan pengamatan terhadap perpanjangan yang dialami benda uji (Davis, dkk. 1955). Kurva tegangan regangan rekayasa diperoleh dari pengukuran perpanjangan benda uji. Tegangan yang dipergunakan pada kurva adalah tegangan membujur rata-rata dari pengujian tarik yang diperoleh dengan membagi beban dengan luas awal penampang melintang benda uji. Tegangan (Stress) adalah beban dibagi luas penampang bahan:
Regangan yang digunakan untuk kurva tegangan regangan rekayasa adalah regangan linier rata-rata, yang diperoleh dengan membagi perpanjangan panjang ukur (gage length) benda uji, ΔL, dengan panjang awalnya, Lo. Regangan (strain) adalah pertambahan panjang dibagi panjang awal bahan:
Pada waktu menetapkan regangan harus diperhatikan: 1. Pada baja yang lunak sebelum patah terjadi pengerutan (pengecilan penampang) yang besar. 2.
Regangan terbesar terjadi pada tempat patahan tersebut, sedang pada kedua ujung benda uji paling sedikit meregang. Banyak hal yang dapat kita pelajari dari hasil uji tarik. Bila kita terus menarik suatu bahan (dalam hal ini suatu logam) sampai putus, kita akan mendapatkan profil tarikan yang lengkap yang berupa kurva seperti digambarkan pada Gambar 2.1. Kurva ini menunjukkan hubungan antara gaya tarikan dengan perubahan panjang.
Hukum Hooke (Hooke's Law)
Hampir semua logam, pada tahap sangat awal dari uji tarik, hubungan antara beban atau gaya yang diberikan berbanding lurus dengan perubahan panjang bahan tersebut. Ini disebut daerah linier atau linear zone. Di daerah ini, kurva pertambahan panjang vs beban mengikuti aturan Hooke yaitu rasio tegangan (stress) dan regangan (strain) adalah konstan.
1. AR garis lurus. Pada bagian ini pertambahan panjang sebanding dengan pertambahan beban yang diberikan. Pada bagian ini, berlaku hukum Hooke:
dengan:
ΔL = pertambahan panjang benda kerja (mm) Lo = panjang benda kerja awal (mm)
P = beban yang bekerja (N)
A = luas penampang benda kerja (mm2) E = modulus elastisitas bahan (N/mm2)
Dari rumus diatas bila disubstitusikan, maka hubungan antara stress dan strain dirumuskan:
2. Y disebut titik luluh (yield point) atas.
3. Y’ disebut titik luluh bawah.
4. Pada daerah YY’ benda kerja seolah-olah mencair dan beban naik turun disebut daerah luluh.
5. Pada titik B beban mencapai maksimum dan titik ini biasa disebut tegangan tarik maksimum atau kekuatan tarik bahan (sB). Pada titik ini terlihat jelas benda kerja mengalami pengecilan penampang (necking).
6. Setelah titik B, beban mulai turun dan akhirnya patah di titik F (failure).
7. Titik R disebut batas proporsional, yaitu batas daerah elastis dan daerah AR disebut daerah elastis. Regangan yang diperoleh pada daerah ini disebut regangan elastis.
8. Melewati batas proporsional sampai dengan benda kerja putus, biasa dikenal dengan daerah plastis dan regangannya disebut regangan plastis.
9. Jika setelah benda kerja putus dan disambungkan lagi (dijajarkan) kemudian diukur pertambahan panjangnya (ΔL), maka regangan yang diperoleh dari hasil pengukuran ini adalah regangan plastis (AF’).