• Tidak ada hasil yang ditemukan

PDF idah Vs Sunnah: Apakah Hukum Syariah? Ukurannya 11,43 cm x 22 cm

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PDF idah Vs Sunnah: Apakah Hukum Syariah? Ukurannya 11,43 cm x 22 cm"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

Pengertian Bid’ah dan Hukum Syariah

Pengertian Bid’ah

  • Pengertian Bid’ah Secara Bahasa
  • Pengertian Bid’ah Secara Istilah
  • Pengertian Hukum Syariah

Konsep Bid’ah vs Pilihan Penulis

Bid’ah: Apakah Hukum Syariah?

Adapun jika semasa berzikir zikir itu mudah disebut (secara lisan) dengan lafaz yang sempurna (contoh: subhanallah), maka membatasinya hanya dengan pengulangan nama (Allah) adalah bid'ah. Lebih-lebih lagi Imam Izzuddin turut menjelaskan kaedah mengetahui hukum syarak dalam perkara bid’ah. Dan bagaimana mengetahuinya (hukum bid’ah), dengan menimbang bid’ah berdasarkan hukum syara’.

Pilihan Penulis

Maksud bid'ah jenis ini ialah ibadah yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW.

Hukum-hukum Syariah Seputar Sunnah

Implikasi Tasyri’ Dari Perkataan Nabi saw

Suatu perintah mempunyai akibat wajib apabila bersifat mutlak, dalam artian tidak ada indikator dalil-dalil lain yang dapat mengalihkan hukum dari hukum wajib ke undang-undang yang lain. Sedangkan jika ada indikator yang mempengaruhinya, maka akibat hukum dari perintah tersebut bisa sunnah atau mubah. Sedangkan jika ada indikator yang mempengaruhinya, maka akibat hukum pelarangannya bisa makruh atau mubah.

Implikasi Tasyri’ Dari Perbuatan Nabi saw

  • Khushushiyyah
  • Sunnah Jibillah
  • Sunnah Khibrah Insaniyyah
  • Taqrir Nabi saw
  • Bayan al-Qur’an

Bid’ah Haqiqiyyah

Bid’ah Dalam Akidah

Secara umum, para ulama sepakat bahwa bid’ah dalam akidah, dalam pengertian hal-hal baru dalam masalah akidah yang tidak ada contoh Rasulullah saw adalah haram. Contoh bid’ah akidah seperti bid’ah khawarij yang tidak beriman kepada pelaku dosa besar, bid’ah Qadiriyyah yang menolak takdir dan qudroh Allah, bid’ah tasyayyu’ yang tidak beriman kepada sahabat, dan bid’ah lainnya. dalam masalah akidah. Di mana secara umumnya ulama menentukan istilah mubtadi' atau bid'ah adalah sama dalam masalah akidah.

Imam Malik menjawab: Ahli bid’ah ialah mereka yang berdebat tentang Nama Allah, Sifat-sifat-Nya, Firman-Nya, Ilmu-Nya dan qudroh-Nya, sambil tidak berdiam diri terhadap sesuatu yang didiamkan oleh para Sahabat dan Tabi’in dalam perkara ini. Al-Mubtadi' (ahli bid'ah) dalam takrifan Syariah ialah sesiapa yang tidak bersetuju dengan akidah ahli Sunnah seperti Syiah. 22. Di antara bidaah dalam akidah yang dikategorikan sebagai bidaah tetapi tidak jatuh kafir, begitu juga orang yang

Jika ahli bid’ah adalah dari golongan al-Bathiniyah, al-Bajaniyah, al-Mughirah atau al-Khatthabiyyah yang beriman kepada ketuhanan para Imam, atau golongan yang beriman kepada hulul (keesaan Tuhan dan hamba), atau beberapa golongan yang percaya kepada penjelmaan semula, atau golongan al-Maymuniyah daripada golongan al-Hawarij yang menghalalkan perkahwinan antara bapa dengan anak perempuan atau cucu perempuannya, atau golongan al-Yazidiyya daripada golongan al-Ibadhijeh yang berkata. ini. Namun sekiranya Ahlul Bid'ah itu adalah sebahagian daripada Bid'ah al-Mu'tazilah, al-Hawarij, ar-Rafidhah al-Imamiyah, az-Zaidiyyah, atau daripada golongan al-Bukhariyyah, al-Jahmiyah. , adh- Dhirariyyah, atau al-Muxassimah, maka mereka digolongkan sebagai sebahagian daripada Ummat Islam mengikut beberapa hukum dan dibenarkan jenazah mereka dikebumikan di tanah perkuburan Islam.

Bid’ah Dalam Ibadah

  • Bid’ah Fi At-Tarki Ma’a Wujud Ad-Daafi’ Lahu
  • Bid’ah Fi At-Tarki Ma’a ‘Adam Ad-Daafi’ Lahu

Bid'ah dalam bentuk ini, jika sama sekali (haqiqi) tidak ada dalil, baik secara khusus maupun umum, maka para ulama sepakat sebagai bid'ah madzmumah (memalukan). Bagi para ulama yang menolak pembagian bid'ah menjadi hasanah-sayyiah, hanya bid'ah idhafiyyah (dalam tafsir berikut) yang memasukkan ibadah bid'ah pada baris ini. Namun hal ini ditentang oleh mayoritas ulama yang menerima bid'ah idhafiyyah sebagai amalan yang diperbolehkan.

Sebab – sebagaimana dijelaskan pada penjelasan bid’ah idhafiyyah setelah pembahasan ini – bid’ah idhafiyyah merupakan amalan yang mengandung dua sisi; Dalam hal ini, kasus pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mushaf dapat disebut dengan bid’ah al-haqiyyah. Namun bid'ah al-haqiyyah dari sudut pandang penentuan tata cara pelestarian Al-Qur'an, bukan seterusnya.

Dan inilah yang dimaksud dengan bid'ah idhafiyyah yang dianggap sesat hasanah oleh mayoritas ulama. Contoh lainnya akan dijelaskan secara rinci pada pembahasan jenis bid’ah yang kedua, yaitu bid’ah idhafiyyah. Meskipun tujuan bid'ah jenis ini adalah ibadah yang tidak dilakukan oleh Nabi pada masanya, namun tidak ada bukti bahwa bid'ah tersebut tidak dilakukan karena bukan bagian dari agama.

Dan oleh karena itu kita jumpai ulama yang menerima bid'ah idhafiyyah dan tidak menganggapnya keberatan dan menerima syarat tersebut.

Bid’ah Dalam Tradisi / Adat Istiadat

Istilah bid’ah idhafiyyah pertama kali dipopulerkan oleh Imam Asy-Syathibi dalam al-I’tisham. Kedua: tidak didasarkan pada dalil sama sekali, yang atas dasar ini terhitung bid’ah al-haqiyyah. Kemudian bid’ah idhafiyyah ini terbagi menjadi dua jenis yaitu taqyid al-muthlaq dan ithlaq al-muqoyyad.

Terkait pentingnya bid'ah idhafiyyah jenis ini, Imam Daqiq al-'Ied menegaskan, persoalan ini cukup menimbulkan kontroversi. Dan umumnya yang berpendapat demikian adalah mereka yang menolak pembagian bid'ah menjadi hasanah-sayyiah. Diantaranya adalah apa yang disebutkan dalam kitab Mi'raj ad-Dirayah, bahwa itu adalah bid'ah.

Sebagian ulama menganggap ibadah Mukoyad bersifat mutlak, padahal hal tersebut bukanlah tujuan syariat dalam keterbatasannya, termasuk bid'ah. Dalam hal ini termasuk ulama yang menerima pembagian bid’ah menjadi hasanah dan sayyi’ah.

Bid’ah Idhafiyyah

Bid’ah Idhafiyyah: Taqyid Muthlaq

  • Mazhab Pertama: Bid’ah Idhafiyyah Taqyid
  • Mazhab Kedua: Boleh Dan Termasuk Bid’ah

Tujuan muthlaq taqid dalam bid'ah Idafi adalah membatasi ibadah yang bersifat muthlaq dengan pembatasan yang tidak didasarkan pada dalil tertentu. Sederhananya, meskipun mempertimbangkan bid'ah, Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa kasus bid'ah Idafi ini tetap dikategorikan sebagai masalah ijtihad yang mungkin bernilai pahala ijtihadnya. ةنس هلك هلمعو Walaupun banyak ulama, ahli agama, bahkan pemimpin, yang bisa dibenarkan atas perbuatannya (bidat), karena ijtihad.

Namun perlu dipahami bahwa para ulama yang menganggap bid'ah idhafiyyah ini sebagai bid'ah yang memalukan, menganggap bahwa pembatasan ini menjadi bid'ah jika dilakukan secara terus menerus (mudawamah). Adapun ibadah masyarakat yang tidak berlandaskan sunnah yang terus-menerus disyariatkan maka disebut bid'ah. Mayoritas ulama, khususnya dari kalangan Asy-Syafi’iyyah, al-Hanabilah, dan mayoritas al-Hanafiyyah serta sebagian al-Malikiyyah, khususnya kalangan al-Muta’akkhirin, berpendapat bahwa bid’ah adalah idhafiyyah melalui pembatasan ibadah. itu benar-benar diperbolehkan.

Dalam hal ini, para ulama yang membenarkan bid'ah Idafiyyah dengan taqid mutlak menyandarkannya kepada amalan para sahabat yang melakukannya pada zaman Rasulullah saw dan selepas kewafatan baginda. . Berikut adalah beberapa taqid muthlak yang dilakukan oleh para sahabat, serta furu' fiqhiyyah dari empat mazhab yang menetapkan kemampuan menyekat ibadah muthlak dengan larangan yang tidak bercanggah dengan syariat. Dari Urwah bin Zubayri, bahawa ketika Aisyah hendak tidur, beliau membaca: ALLAHUMMA INNI AS'ALUKA RU'YA SHOLIHAH, SHODIQOH GHOIRO KADZIBAH, NEAFI'AH GHOIRO DHOORROH.

Para sahabat Nabi s.a.w, apabila bertemu, jangan berpisah sehingga salah seorang daripada mereka membaca Surah al-'Ashr kepada yang lain. Dari Ali bin Abi Jamalah dan al-Awza'i mereka berkata: Bahawa Ali bin al-'Abbas sentiasa sujud sebanyak 1000 kali dalam sehari (azh-Zhahabi menulis ini dalam al-'Ibar fi Khabar man Ghobar dan Abu Nu' aim menulisnya dalam Hilyah al-Awliya'). 33 Abu Sa'id al-Khadimi, Bariqah Mahmudiyyah fi Syarhi Thariqah Muhammadiyyah wa Syariah Nabawiyyah fi Sirah Ahmadiyyah, (t.t: Mathba'ah al-Halabi, 1348 H), hlm.

Bid’ah Idhafiyyah: Ithlaq Muqoyyad

  • Ibadah Muqoyyad Yang Pembatasannya

Selain itu, ada pula ibadah-ibadah tambahan seperti ini yang menyebabkan batalnya ibadah secara mutlak, dan ada pula yang masih dianggap sah. Jika ditambah dengan jumlah dua rakaat yang menjadi ketentuan shalat subuh, dengan melakukan shalat subuh lebih dari dua rakaat, maka shalat semacam itu dengan sendirinya tertolak dan tidak sah. Sedangkan jika seseorang berwudhu dengan cara mencuci lebih dari tiga kali, maka itu termasuk bid'ah yang memalukan, namun penambahan tersebut tidak serta merta membatalkan wudhunya.

Pertama: Takbir hari raya 'ied di luar waktu yang ditetapkan dalam peruntukan hari raya 'ied. Jika seseorang terlupa solat lima waktu pada hari tasyriq, kemudian dia ingat selepas hari tasyriq, maka ia qadha', maka tidak ada takbir (yang biasa dibaca pada hari tasyriq) selepas solatnya. Bagi amalan yang disunnahkan pada waktunya (yang khusus) boleh menjadi bid'ah jika tidak dilakukan pada waktunya.

Bid’ah Idhafiyyah Ithlaq Muqoyyad Terlarang

Adapun kata-kata sebahagian Sahabat kami (ash-Syafi'iyyah) dan Ibnu Abi Zaid al-Maliki (dalam kitabnya ats-Tsamr ad-Dani, ms. 121), yang menganjurkan penambahan selawat dalam tahiyyat: “Warham. Mohammedan wa Aali. Malah Imam Abu Bakar bin al-'Arabi al-Maliki dalam kitabnya, Syarah at-Tirmizi (hlm.

Bid’ah Idhafiyyah Ithlaq Muqoyyad Terlarang

  • Ibadah muqoyyad yang pembatasannya tidak

Beliau menjawab, “Saya dikhianati oleh bid’ah.” Tathswib hanya dipanjatkan pada saat salat subuh karena salat ini dilakukan pada saat banyak orang sedang tidur. Bid'ah idhafiyyah ithlaq muqoyyad jenis ini termasuk yang menjadi perdebatan di kalangan ulama, selain bid'ah idhafiyyah taqyid muthlaq yang telah dijelaskan sebelumnya. Dan di antara bid'ah idhafiyyah yang dekat dengan bid'ah al-haqiyyah, mereka melakukan penambahan pada ibadah yang diwajibkan, tanpa ada dalil atas penambahan tersebut.

Perkara-perkara yang terdiri daripada ibadat yang disyariatkan dengan tambahan yang tidak disyariatkan oleh Rasulullah saw termasuk sebagai bid'ah. Malah, al-Qarafi malah berkata dalam kitabnya al-Qawaid bahawa antara bid'ah makruh ialah menyumbang kepada amalan sunnah yang disekat oleh syarak. Seperti kata-kata, "amalan ini bid'ah", maka dari perkataan ini difahami bahawa amalan itu tercela.

Berdasarkan hal tersebut, pelabelan suatu amalan yang berstatus khilafiyyah dengan label sesat hendaknya dihindari dalam pergaulan antar sesama umat Islam. Oleh karena itu sudah sepantasnya bagi mereka yang menolak penyebaran ajaran sesat menyikapi amalan yang dianggap bid'ah hasanah bagi yang menganutnya, berdasarkan adab-adab dalam memberikan sikap. Serta tidak melabeli pelaku bid'ah hasanah dengan nama mubtadi' atau bid'ah.

Syekh al-Jaizani, ulama kontemporer yang menentang pembagian bid'ah, menulis bahwa bid'ah tidak otomatis dicap bid'ah. Bagi mereka yang berpendapat bahwa bid’ah dapat dibedakan menjadi dua (hasenah dan sajiyah), maka mereka mendefinisikan lima hukum syariat tentang bid’ah. Yaitu bid'ah wajib, bid'ah mandub, bid'ah haram, bid'ah makruh, dan bid'ah mubah.

Referensi

Dokumen terkait

Journal of the Department of Agriculture, Journal of the Department of Agriculture, Western Australia, Series 4 Western Australia, Series 4 Volume 7 Number 8 1966 Article 8 1-1-1966