• Tidak ada hasil yang ditemukan

PDF Laporan Penelitian Analisis Kesintasan Faktor Yang Mempengaruhi ... - Unud

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2025

Membagikan "PDF Laporan Penelitian Analisis Kesintasan Faktor Yang Mempengaruhi ... - Unud"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

Bidang: Epidemiologi

LAPORAN PENELITIAN

ANALISIS KESINTASAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MORTALITAS PASIEN KOINFEKSI HIV TUBERKULOSIS

DI KOTA DENPASAR

TIM PENELITI

dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid.

dr. I Made Sutarga, M.Kes Made Pasek Kardiwinata, SKM, M.Kes Luh Putu Suaryani, S.KM, M.Hlth&Int.Dev.

dr. Ni Wayan Septarini, MPH drh. I Made Subrata, M.Erg.

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA 2014

(2)

ii Halaman Pengesahan:

--- 1. Judul: Analisis Kesintasan Faktor Yang Mempengaruhi Mortalitas Pasien Koinfeksi

HIV Tuberkulosis Di Kota Denpasar

--- 2. Ketua Peneliti

3. a. Nama lengkap dengan gelar : dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid.

b. Pangkat/Gol : Penata Muda Tk I/ IIIb

c. NIP/NIDN : 198104042006041005

d. Jabatan Fungsional/Stuktural : -

e. Pengalaman penelitian : (terlampir dalam CV) f. Program Studi/Jurusan : PS IKM

g. Fakultas : Kedokteran

h. Alamat RumahHP : Jl Tukad Pancoran XIIA No.1 Panjer 087860118004

i. E-mail : [email protected]

--- 3. Jumlah Tim Peneliti : 6 orang

--- 4. Jumlah Mahasiswa Berperan : 3 orang

--- 5. Lokasi Penelitian : Denpasar

--- 6. Kerjasama

a. Nama Instansi : Dinas Kesehatan Kota Denpasar

b. Alamat : Jl. Maruti Denpasar

--- 7. Jangka waktu penelitian : 5 Bulan

--- 8. Biaya Penelitian : Rp 17.000.000 (tujuh belas juta rupiah)

Denpasar, 31 Oktober 2014

Mengetahui Ketua Peneliti

Ketua Program Studi

(dr. Putu Ayu Swandewi A, MPH) (dr. I Wayan Gede Artawan EP., M.Epid.) NIP. 197608182003122003 NIP: 198104042006041005

(3)

iii KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas anugrahnya-Nya, penyusunan laporan penelitian yang berjudul “Analisis Kesintasan Faktor Yang Mempengaruhi Mortalitas Pasien Koinfeksi HIV Tuberkulosis Di Kota Denpasar” dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Penelitian ini merupakan salah satu bentuk pengamalan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang merupakan kewajiban sebagai tenaga pendidik. Atas selesainya laporan penelitian ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penelitian ini terutama kepada Dinas Kesehatan Kota Denpasar.

Penulis menyadari masih adanya keterbatasan dan kekurangan dalam penulisan laporan penelitian ini. Untuk itu sangat diharapkan kritik dan saran kepada semua pihak yang bersifat membangun. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalam pembangunan kesehatan di masa yang akan datang.

Denpasar, Oktober 2014

Penulis

(4)

iv DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ... ii

KATA PENGANTAR . ... ... iv

DAFTAR ISI ... ... ... v

RINGKASAN... ... ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... ... 1

1.1 Latar Belakang ... ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... ... 3

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... ... 4

2.1 Tuberkulosis ... ... 4

2.2 Strategi Penanggulangan Tuberkulosis ... 4

2.3 HIV ... ... ... 5

2.4 Koinfeksi HIV TB... ... 7

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERATIONAL VARIABEL 10 3.1 Kerangka Konsep ... ... 10

3.2 Definisi Operasional Variabel... 10

BAB IV METODE ... ... ... 12

4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian ... 12

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 12

4.3 Populasi dan Sampel ... ... 12

4.4 Cara dan Instrumen Pengumpulan Data ... 12

4.5 Pengolaha Data ... ... 12

4.6 Analisis Data ... ... 13

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN . ... 14

5.1 Sosio Demografi Tempat Penelitian ... 14

5.2 Karakteristik Subjek... ... 15

5.3 Mortalitas Pasien Koinfeksi HIV TB ... 17

5.4 Pengaruh Umur Terhadap Mortalitas Pasien Koinfeksi HIV TB ... 18

5.5 Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Mortalitas Pasien HIV TB ... 19

(5)

v

5.6 Pengaruh Fasilitas Kesehatan Terhadap Mortalitas Pasien HIV TB .. 20

5.7 Pengaruh Klasifikasi Terhadap Mortalitas Pasien Koinfeksi HIV TB 21 5.8 Pengaruh Tipe Pasien Terhadap Mortalitas Pasien HIV TB ... 22

5.9 Pengaruh Hasil BTA Terhadap Mortalitas Pasien Koinfeksi HIV TB 23 5.10 Pengaruh Waktu Terdeteksi Terhadap Mortalitas Pasien HIV TB ... 24

5.11 Hasil Analisis Multivariat Faktor Mortalitas Pasien HIV TB ... 25

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... ... 28

5.1 Simpulan ... ... 28

5.2 Saran ... ... ... 28

DaftarPustaka ... ... ... 29

Lampiran-lampiran ... ... ... 30

(6)

vi ANALISIS KESINTASAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MORTALITAS

PASIEN KOINFEKSI HIV TUBERKULOSIS DI KOTA DENPASAR

RINGKASAN

Telah terjadi peningkatan prevalensi kasus HIV positif pada pasien TB dari 8,8% pada tahun 2011 menjadi 13,7% pada tahun 2012 dan 16,8% pada tahun 2013.

Selain itu mortalitas pasien TB semua tipe di Kota Denpasar juga mengalami peningkatan dari 7,9% pada tahun 2011 menjadi 10,2% pada tahun 2012 dimana 25,8%

pada tahun 2010 dan 35,1% pada tahun 2012 meninggal karena koinfeksi HIV TB.

Fakta ini menunjukkan bahwa masalah koinfeksi HIV TB dan dampaknya dalam meningkatkan mortalitas harus mendapatkan prioritas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi mortalitas pasien koinfeksi HIV TB di Kota Denpasar.

Penelitian ini adalah longitudinal study berbasis fasilitas kesehatan (health facilities based) dilaksanakan di Kota Denpasar selama 5 bulan, mulai bulan Agustus sampai dengan Desember tahun 2014. Populasi penelitian ini adalah semua Pasien koinfeksi HIV TB yang berobat di faskes di wilayah Kota Denpasar mulai tahun 2011 sampai dengan 2013. Sampel adalah keseluruhan populasi (total populasi). variabel bebas dan variabel tergantung akan dinilai dengan cara mengambil data pasien yang tercatat oleh program kolaborasi HIV TB pada sistem informasi terpadu tuberkulosis (SITT). Analisis data secara univariat yang bertujuan menggambarkan karakteristik subjek penelitian, secara bivariat yang bertujuan mengetahui pengaruh satu variabel bebas terhadap variabel tergantung menggunakan grafik estimasi survival Kaplan-Meier dan multivariat yang bertujuan mengetahui pengaruh murni dari masing-masing variabel bebas terhadap variabel tergantung menggunakan Cox regression.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan median umur pasien HIV TB adalah 32,5 tahun dengan inter quartil range 28 – 39,5. Sebagian besar berjenis kelamin lagi- laki (74,6%) dan sebagian besar pasien ditemukan dan diobati di rumah sakit (87,7%), sisanya di puskesmas. Survivor function (survivor rate) pasien koinfeksi HIV TB sebesar 0,75 (75%) atau mortalitas sampai akhir masa pengamatan (8 bulan) sebesar 25%. Risiko mortalitas pasien HIV TB yang ditemukan dan diobati di rumah sakit 2,795 kali dibandingkan di puskesmas. Risiko mortalitas pasien HIV TB paru 2,143 kali dibandingkan ekstra paru. Risiko mortalitas pasien HIV TB baru 0,584 kali dibandingkan bukan baru (riwayat mangkir berobat, gagal, kronik dan kambuh). Risiko mortalitas pasien HIV TB yang HIV terdeteksi terlebih dahulu 0,68 kali dibandingkan yang TB terdeteksi terlebih dahulu.

Penerapan sistem deteksi dini infeksi HIV sangat penting terhadap pasien suspek TB yang datang ke fasilitas kesehatan terutama puskesmas. Pasien TB dengan karakteristik berisiko tertular HIV harus mendapatkan konseling yang baik agar bersedia memeriksakan diri untuk HIV. Program pendampingan pengobatan pasien TB khususnya HIV TB sangat penting menjamin keteraturan, mencegah pasien mangkir berobat, kekambuhan, kegagalan berobat dan mencegah pasien kronik.

Kata kunci: Analisis Kesintasan, Mortalitas, Pasien Koinfeksi HIV TB

(7)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Penyakit TB dapat menyebabkan penurunan daya tahan fisik Pasiennya secara serius oleh karena kerusakan jaringan tubuh secara permanen (Kemenkes, 2009).

Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Secara geografis, benua Asia dan Afrika merupakan daerah dengan kasus TB tertinggi. Hampir 40% kasus TB di dunia terjadi di India dan Cina. Sekitar 60% kasus TB terjadi di Asia Tenggara dan daerah pasifik bagian barat.

Di daerah Afrika, kasus TB mencapai 24% dari kasus TB di dunia serta memiliki tingkat kejadian dan kematian per kapita tertinggi (WHO, 2012). Terdapat 22 negara dikategorikan sebagai high-burden countries terhadap TB sebab situasi TB di dunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan (Kemenkes, 2009). Indonesia berada pada peringkat keempat negara dengan beban TB tertinggi (high-burden countries) di dunia (WHO, 2012).

WHO dalam Annual report on global TB Control (2012) menyebutkan bahwa, estimasi kasus TB baru di Indonesia setiap tahunnya terdapat 130 per 100.000 penduduk untuk semua jenis baik BTA positif, BTA negatif, dan TB ekstra paru dengan prevalensi sebesar 281 per 100.000 penduduk dan insiden rate sebesar 187 per 100.000 penduduk, serta angka kematian mencapai 27 per 100.000 penduduk. Hasil Survei Prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi TB BTA positif secara Nasional 110 per 100.000 penduduk (Kemenkes, 2011).

Infeksi human immunodeficiency virus (HIV) disertai infeiksi oportunistik TB, baik TB paru maupun ekstra paru merupakan masalah kesehatan global yang menjadi prioritas. Dilihat dari banyaknya kejadian infeksi oportunistik, TB paling sering dan paling awal terjadi pada Pasien HIV/AIDS. Mycobacterium tuberculosis sebagai kuman penyebab TB dapat muncul sebagai reaktivasi infeksi laten pada pasien penurunan sistem kekebalan tubuh atau sebagai infeksi baru (primer) karena resiko tertular yang meningkat akibat penurunan kekebalan tubuh dan interaksi dengan orang yang terinfeksi TB. Menurut laporan WHO dalam Global Tuberculosis Control 2011, pada

(8)

2 tahun 2010 terdapat 1,1 juta kasus baru TB dengan status HIV positif dan jumlah pasien meninggal sebanyak 350 ribu atau 31,8%. Tuberkulosis merupakan permasalahan kesehatan yang serius dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien HIV.

Di Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan RI hingga akhir Desember 2010 secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan berjumlah 24.131 kasus dengan infeksi penyerta terbanyak adalah TB sebanyak 11.835 kasus (49%). Selain itu diperkirakan sekitar 3% pasien TB dengan status HIV positif. Epidemi HIV menunjukkan pengaruh yang besar terhadap peningkatan epidemi TB di seluruh dunia termasuk Indonesia. Hal ini berakibat meningkatnya jumlah kasus TB di masyarakat. Pandemi HIV merupakan tantangan terbesar dalam pengendalian TB dan begitu pula sebaliknya HIV merupakan salah satu prioritas masalah pada program pengendalian TB disamping adanya multi drugs resisten (MDR) (Kemenkes, 2012).

Di Provinsi Bali berdasarkan hasil penelitian Partha Muliawan dan kawan-kawan pada tahun 2008 tentang prevalensi HIV positif pada pasien TB mendapatkan angka sebesar 8%.

Program pengendalian TB di Indonesia telah berhasil mencapai target Millenium Development Goals (MDG) salah satu provinsi yang telah cukup berhasil dalam program pengendalian TB adalah Provinsi Bali, tetapi meningkatnya prevalensi HIV/AIDS akan mempengaruhi peningkatan kasus TB di masyarakat dan meningkatnya kematian akibat penyakit TB.

Kabupaten/kota dengan beban TB tertinggi dilihat dari case notification rate (CNR) dan beban infeksi HIV tertinggi dilihat dari prevalensinya adalah Kota Denpasar. Berdasarkan hasil analisis terhadap data kasus HIV positif pada program kolaborasi HIV TB diketahui bahwa terdapat peningkatan prevalensi kasus HIV positif dari 8,8% pada tahun 2011 menjadi 13,7%

pada tahun 2012 dan 16,8% pada tahun 2013. Selain itu data mortalitas Pasien TB semua tipe di Kota Denpasar juga mengalami peningkatan dari 7,9% pada tahun 2011 menjadi 10,2% pada tahun 2012 dimana 25,8% pada tahun 2010 dan 35,1% pada tahun 2012 meninggal karena koinfeksi HIV TB. Data diatas menunjukkan bahwa masalah koinfeksi HIV TB dan dampaknya dalam meningkatkan mortalitas harus mendapatkan prioritas. Penting untuk diketahui faktor- faktor apa saja yang mempengaruhi mortalitas Pasien koinfeksi HIV TB sehingga dapat dirumuskan cara penanggulangan yang lebih tepat.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka dirumuskan permasalahan bahwa semakin meningkatnya mortalitas Pasien TB terutama Pasien yang disertai infeksi HIV sebelumnya maupun sesudahnya merupakan permasalahan kesehatan yang serius dan harus mendapatkan prioritas penanggulangan. Untuk itu penelitian ini ingin menjawab apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi mortalitas Pasien koinfeksi HIV TB di Kota Denpasar?

(9)

3 1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui pengaruh umur terhadap mortalitas Pasien koinfeksi HIV TB di Kota Denpasar.

2. Mengetahui pengaruh jenis kelamin terhadap mortalitas Pasien koinfeksi HIV TB di Kota Denpasar.

3. Mengetahui pengaruh fasilitas kesehatan terhadap mortalitas Pasien koinfeksi HIV TB di Kota Denpasar

4. Mengetahui pengaruh klasifikasi TB terhadap mortalitas Pasien koinfeksi HIV TB di Kota Denpasar.

5. Mengetahui pengaruh tipe pasien TB terhadap mortalitas Pasien koinfeksi HIV TB di Kota Denpasar.

6. Mengetahui pengaruh jenis TB Paru berdasarkan BTA terhadap mortalitas Pasien koinfeksi HIV TB di Kota Denpasar.

7. Mengetahui waktu terdeteksi HIV terhadap mortalitas Pasien koinfeksi HIV TB di Kota Denpasar

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang diharapkan dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah:

1. Dapat menjadi bahan kajian yang bersifat akademis terhadap faktor yang mempengaruhi mortalitas Pasien koinfeksi HIV TB.

2. Dapat memberikan masukan yang penting bagi Dinas Kesehatan Kota Denpasar dan Provinsi Bali dalam mencegah kematian Pasien koinfeksi HIV TB.

3. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam perbaikan penanganan Pasien koinfeksi HIV TB baik di puskesmas maupun rumah sakit.

4. Penelitian ini merupakan peran nyata civitas akademika di lingkungan Universitas Udayana untuk membantu program yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota Denpasar.

(10)

4 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Kemenkes RI, 2011). Tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 yaitu tuberkulosis paru dan tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, tuberkulosis paru dibagi dalam tuberkulosis paru BTA positif, dengan kriteria sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif, 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif, serta tuberkulosis paru BTA negatif yaitu kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif (Kemenkes, 2009). Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu TB Ekstra paru ringan dan TB Ekstra Paru berat (Kemenkes, 2009).

2.2 Strategi Penggulangan Tuberkulosis

Strategi penanggulangan TB yang direkomendasikan oleh WHO adalah Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy). Strategi DOTS telah dibuktikan dengan berbagai uji coba lapangan dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi. Bank Dunia menyatakan Strategi DOTS merupakan strategi kesehatan yang paling cost effective. Strategi DOTS terdiri dari lima komponen, yaitu:

a. Komitmen politik dengan pendanaan berkelanjutan

Salah satu unsur penting dalam penerapan DOTS adalah komitmen yang kuat dari pimpinan rumah sakit, komite medik dan profesi lain yang terkait dalam penerapan strategi DOTS di rumah sakit termasuk dukungan administrasi dan operasionalnya (Kemenkes, 2009).

b. Diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung

Dalam program pemberantasan TB Paru, pemeriksaan dahak secara mikroskopis merupakan komponen kunci dalam menegakkan diagnosis penyakit TB Paru.

(11)

5 Tujuan pemeriksaan bakteriologis adalah untuk menegakkan dan mengevaluasi hasil pengobatan. Untuk mendiagnosis TB kita harus memeriksa tiga spesimen.

Ketika spesimen dahak tersebut sebaiknya sudah dapat dikumpulkan dalam dua hari kunjungan. Dahak yang dikumpulkan adalah dahak sewaktu, pagi dan sewaktu (SPS) (Kemenkes, 2009).

c. Pengawasan Langsung Oleh Pengawas Menelan Obat (PMO)

Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO. Persyaratan PMO adalah seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien, Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien, Bersedia membantu pasien dengan sukarela, Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien (Kemenkes, 2009).

d. Ketersediaan obat dan sistem manajemen

Elemen ke empat dari strategi DOTS adalah jaminan tersedianya obat secara teratur, menyeluruh dn tepat waktu. Masalah utama dalam hal ini adalah perencanaan dan pemeliharaan stok obat pada berbagai tingkat daerah. Untuk itu diperlukan pencatatan dan pelaporan penggunaan obat yang baik untuk menyediakan informasi perencanaan, kebutuhan, pendistribusian, menjaga ketersediaan obat yang adekuat, seperti misalnya jumlah kasus pada setiap katagori pengobatan, kasus yang ditangani dalam waktu yang lalu, data akurat stok dimasing-masing gudang yang ada, dan lain-lain (Kemenkes, 2009).

e. Pencatatan dan pelaporan untuk mendukung monitoring dan evaluasi program Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam sistem informasi penanggulangan TB. Semua unit pelaksana program penanggulangan TB harus melakukan suatu sistem pencatatan dan pelaporan yang baku (Kemenkes, 2009).

2.3 HIV

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. HIV merupakan virus RNA yang termasuk dalam golongan Retrovirus. Retrovirus anggota famili Retroviridae menurut sistem klasifikasi Baltimore termasuk golongan VI. AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome merupakan kumpulan gejala penyakit akibat

(12)

6 menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh virus yang disebut HIV. AIDS disebabkan oleh adanya virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) di dalam tubuh. Pada tahun 1993, CDC memperluas definisi AIDS, yaitu dengan memasukkan semua orang HIV positif dengan jumlah CD4 200 per µL darah atau 14% dari seluruh limfosit.

UNAIDS, WHO yang mengurusi masalah AIDS, memperkirakan jumlah Pasien HIV/AIDS di seluruh dunia sampai akhir tahun 2009 sebanyak 33,3 juta orang. Pada tahun 2009 terdapat 2,6 juta orang yang baru terinfeksi HIV dan 1,8 juta orang meninggal akibat infeksi HIV/AIDS. Menurut Laporan Situasi Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sampai dengan Maret 2012 10 provinsi dengan jumlah kumulatif kasus AIDS terbanyak dilaporkan dari provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, Papua, Jawa Barat, Bali, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Riau, dan DIY. Angka kematian AIDS menurun dari 3,7% pada tahun 2010 menjadi 0.2% pada tahun 2012. Dalam menentukan diagnosis HIV positif dapat ditegakkan berdasarkan beberapa hal. Diagnosis laboratorium dapat dilakukan dengan dua metode:

a. Langsung: isolasi virus dari sampel, umumnya digunakan mikroskop elektron dan deteksi antigen virus. Salah satu cara deteksi antigen virus adalah Polymerase Chain Reaction (PCR).

b. Tidak langsung: dengan melihat respon zat anti spesifik, misalnya dengan ELISA, Immunoflurescent Assay (IFA), atau Radioimmuniprecipitation Assay (RIPA).

Diagnosis AIDS dapat ditegakkan apabila menunjukkan tes HIV positif dan sekurang-kurangnya didapatkan 2 gejala mayor dan 1 gejala minor. Gejala mayor meliputi: berat badan turun lebih dari 10% dalam 1 bulan, diare kronik, berlangsung lebih dari 1 bulan, demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan, penurunan kesadaran dan demensia atau HIV ensefalopati. Gejala minor meliputi: batuk menetap lebih dari 1 bulan, dermatitis generalisata, Herpes Zooster multisegmental dan berulang, candidiasis orofaringeal, herpes simpleks kronis progresif, limfadenopati generalisata, infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita dan retinitis citomegalo virus.

Prinsip penatalaksanaan Pasien HIV/AIDS meliputi: pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV), pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasma, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks dan pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan

(13)

7 pengobatan pendukung lain, seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan menjaga kebersihan.

2.4 Koinfeksi HIV TB

Pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Ko-infeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Di samping itu TB merupakan penyebab utama kematian pada ODHA (sekitar 40-50%). Kematian yang tinggi ini terutama pada TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru yang kemungkinan besar disebabkan keterlambatan diagnosis dan terapi TB.

Sebagian besar orang yang terinfeksi kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) tidak menjadi sakit TB karena mereka mempunyai sistem imunitas yang baik. Infeksi tanpa jadi sakit tersebut dikenal sebagai infeksi TB laten. Namun, pada orang-orang yang sistem imunitasnya menurun misalnya ODHA maka infeksi TB laten tersebut dengan mudah berkembang menjadi sakit TB aktif. Hanya sekitar 10% orang yang tidak terinfeksi HIV bila terinfeksi kuman TB maka akan menjadi sakit TB sepanjang hidupnya. Sedangkan pada ODHA, sekitar 60% ODHA yang terinfeksi kuman TB akan menjadi sakit TB aktif. Dengan demikian, mudah dimengerti bahwa epidemi HIV tentunya akan menyulut peningkatan jumlah kasus TB dalam masyarakat. Pasien TB dengan HIV positif dan ODHA dengan TB disebut sebagai pasien ko-infeksi TB-HIV. Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien ko-infeksi TB-HIV di dunia diperkirakan ada sebanyak 14 juta orang. Sekitar 80% pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut dijumpai di Sub-Sahara Afrika, namun ada sekitar 3 juta pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut terdapat di Asia Tenggara. Dari uraian tersebut di atas, jelas bahwa epidemi HIV sangatlah berpengaruh pada meningkatnya kasus TB; sebagai contoh, beberapa bagian dari Sub Sahara Afrika telah memperlihatkan 3-5 kali lipat angka perkembangan kasus notifikasi TB pada dekade terakhir. Jadi, pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Hal ini berarti bahwa upaya-upaya pencegahan HIV dan perawatan HIV haruslah juga merupakan kegiatan prioritas bagi pengelola program TB.

a. Tuberkulosis pada perjalanan infeksi HIV

Tuberkulosis dapat terjadi kapanpun saat perjalanan infeksi HIV. Risiko berkembangnya TB meningkat secara tajam seiring dengan semakin memburuknya sistem kekebalan tubuh.

b. Konsekuensi ko-infeksi HIV dan M.tuberculosis

Dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV maka orang yang terinfeksi HIV berisiko 10 kali lebih besar untuk mendapatkan TB. Notifikasi TB telah meningkat pada

(14)

8 populasi di mana infeksi HIV dan M.tuberculosis merupakan hal yang biasa.

Seroprevalensi HIV pada TB pasien ini di atas 70%.

c. Dampak pada pengendalian TB

Prinsip pengendalian TB tetap sama meskipun terdapat banyak pasien ko-infeksi TB- HIV. Meskipun demikian, di populasi yang banyak terdapat pasien ko-infeksi TB-HIV maka layanan kesehatan berjuang untuk menanggulangi meluasnya dan meningkatnya jumlah pasien TB. Konsekuensinya sebagai berikut:

1) Overdiagnosis TB paru BTA negatif (karena kesulitan dalam diagnosis).

2) Underdiagnosis TB paru BTA positif (karena beban kerja petugas laboratorium).

3) Pengawasan terhadap OAT tidak adekuat.

4) Angka kesembuhan yang rendah.

5) Angka kesakitan tinggi selama perawatan.

6) Angka kematian tinggi selama perawatan.

7) Angka kegagalan tinggi karena efek samping.

8) Tingginya angka pasien TB yang kambuh.

9) Meningkatnya penularan strain M.tb yang resisten obat pada pasien yang terinfeksi HIV pada lingkungan yang padat seperti lapas/rutan.

d. Pola ko-infeksi TB-HIV

Ketika infeksi HIV berkembang maka jumlah dan fungsi limfosit-T CD4+ menurun.

Sel-sel ini mempunyai peran yang penting untuk melawan kuman TB. Dengan demikian, sistem kekebalan tubuh menjadi kurang mampu untuk mencegah perkembangan dan penyebaran lokal kuman ini. Tuberkulosis ekstraparu dan diseminata (meluas) menjadi lebih lazim ditemukan.

e. Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru masih merupakan penyakit yang paling sering ditemukan pada orang yang terinfeksi HIV. Gambaran klinisnya tergantung tingkat kekebalan tubuh.

Tabel di bawah ini menunjukkan bagaimana gambaran klinis, hasil mikroskopis TB dan gambaran foto toraks seringkali berbeda antara stadium awal dan lanjutan infeksi HIV.

f. Tuberkulosis ekstraparu

Bentuk yang paling sering ditemukan pada TB ekstraparu adalah efusi pleura, limpadenopati, penyakit perikardium, milier, meningitis, TB diseminata/meluas (dengan mikobakteriemia).

(15)

9 g. HIV TB pada anak

Seperti pada orang dewasa, riwayat alamiah TB pada anak yang terinfeksi HIV tergantung pada stadium infeksi HIV. Pada awal infeksi HIV, ketika sistem kekebalan masih bagus maka gejala TB mirip dengan anak-anak yang tidak terinfeksi HIV. Ketika infeksi HIV berkembang dan kekebalan menurun maka penyebaran TB menjadi hal yang biasa terjadi. Dapat terjadi meningitis TB, TB milier dan limfadenopati TB yang meluas.

h. Dampak TB pada HIV

Pada individu yang terinfeksi HIV, terdapatnya infeksi lain termasuk TB dapat membuat virus HIV berkembang biak dengan lebih cepat sehingga progresivitas penyakit menjadi lebih cepat.

(16)

10 BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERATIONAL VARIABEL

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan dengan bagan sebagai berikut:

3.2 Definisi Operational Variabel

Sesuai dengan penjabaran variabel pada kerangka konsep diatas maka variabel- variabel pada penelitian ini dapat didefinisikan sebagai berikut.

a. Mortalitas adalah suatu keadaan dimana Pasien koinfeksi HIV TB meninggal selama periode waktu pengobatan TB (8 bulan) yang diketahui melalui data kolaborasi HIV TB pada SITT. Variabel mortalitas berskala data nominal dengan 2 kategori, mengalami mortalitas atau pada penelitian ini juga disebut sebagai event dan tidak mengalami mortalitas sampai periode waktu pengamatan 6 bulan atau disebut juga sebagai sensor.

b. Event adalah kejadian meninggalnya Pasien koinfeksi HIV TB meninggal selama periode waktu pengamatan (8 bulan).

c. Sensor adalah subjek penelitian yang dalam masa pengamatan mengalami lost to follow up atau sampai pada akhir pengamatan tidak mengalami event.

d. Time adalah waktu pengamatan dari masing masing subjek sampai terjadi event atau sensor dalam satuan bulan.

Variabel Bebas:

1. Umur

2. Jenis kelamin 3. Fasilitas kesehatan 4. Klasifikasi TB 5. Tipe pasien TB

6. Klasifikasi BTA TB paru 7. Waktu terdeteksi HIV

Variabel Tergantung:

Mortalitas penderita koinfeksi HIV TB

(17)

11 e. Umur adalah umur Pasien yang dihitung sejak lahir sampai terdiagnosis mengalami koinfeksi HIV TB dalam satuan tahun yang diketahui melalui data kolaborasi HIV TB pada sistem informasi terpadu tuberkulosis (SITT).

f. Jenis kelamin adalah jenis kelamin Pasien yang diketahui melalui data kolaborasi HIV TB pada SITT. Variabel jenis kelamin berskala data nominal yang dibagi menjadi 2 kategori, laki-laki dan perempuan.

g. Fasilitas kesehatan adalah tempat pelayanan kesehatan dimana Pasien koinfeksi HIV TB ditemukan yang diketahui melalui data kolaborasi HIV TB pada SITT.

Variabel fasilitas kesehatan berskala data nominal yang dibagi menjadi 2 kategori, puskesmas dan rumah sakit.

h. Klasifikasi TB adalah klasifikasi Pasien TB dilihat dari organ tubuh yang terserang kuman Mycobacterium tuberculosis, diketahui melalui data kolaborasi HIV TB pada SITT. Variabel klasifikasi TB berskala data nominal yang dibagi menjadi 2 kategori, TB paru dan TB ekstra paru.

i. Tipe pasien TB adalah tipe pasien TB yang dilihat dari tipenya saat memulai pengobatan, diketahui melalui data kolaborasi HIV TB pada SITT. Variabel tipe pasien TB berskala data nominal dengan 2 kategori yaitu pasien baru bukan atau selain pasien baru.

j. Klasifikasi BTA TB paru adalah Pasien koinfeksi HIV TB paru diklasifikasikan berdasarkan hasil pemeriksaan sputum awal (sebelum memulai pengobatan.

Variabel Klasifikasi BTA TB paru berskala data nominal dengan 2 kategori, BTA positif dan BTA negatif.

k. Waktu terdeteksi HIV adalah waktu pasien koinfeksi HIV TB terdeteksi HIV, HIV terdeteksi sebelum diagnosis TB ditegakkan atau sebaliknya diagnosis TB terlebih dahulu ditegakkan sebelum HIV terdeteksi. Variabel ini berskala data nominal dengan 2 ketegori.

(18)

12 BAB IV

METODE

4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan rancangan longitudinal study berbasis fasilitas kesehatan (health facilities based). Desain ini dipilih berdasarkan alasan bahwa variabel bebas dinilai pada masa lalu pada saat Pasien koinfeksi HIV TB baru ditegakkan diagnosisnya dan pengobatan belum dimulai kemudian diikuti oleh fasilitas kesehatan tempat menjalani pengobatan sampai diketahui hasil akhirnya..

Semua variabel bebas dan variabel tergantung diukur di fasilitas kesehatan dan terekam dalam medical record kemudian terinput di SITT.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kota Denpasar selama 5 bulan, mulai bulan Agustus sampai dengan Desember tahun 2014.

4.3 Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah semua Pasien koinfeksi HIV TB yang berobat di fasilitas kesehatan di wilayah Kota Denpasar mulai tahun 2011 sampai dengan 2013.

Sampel adalah keseluruhan populasi (total populasi).

4.4 Cara dan Instrumen Pengumpulan Data

Semua variabel bebas dan variabel tergantung akan dinilai dengan cara mengambil data rekam medis pasien yang tercatat oleh program kolaborasi HIV TB pada sistem informasi terpadu tuberkulosis (SITT).

4.5 Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan bantuan komputer dan menggunakan perangkat lunak Microsoft excel. Data yang telah terkumpul akan disunting terlebih dahulu, antara data yang memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat. Data yang memenuhi syarat dientri ke dalam program komputer Microsoft excel sehingga dapat dibuat row data. Setelah itu row data yang dalam bentuk Microsoft excel diexport ke dalam bentuk stata file kemudian di koding dan selanjutnya baru dilakukan analisis menggunakan stata.

(19)

13 4.6 Analisis Data

Analisis data dilakukan dalam 3 tahap, pertama dilakukan analisis univariat, kedua dilakukan analisis bivariat dan kemudian multivariat.

a. Analisis univariat, bertujuan untuk menggambarkan karakteristik subjek penelitian dengan cara membuat tabel distribusi frekuensi.

b. Analisis bivariat, bertujuan untuk mengetahui pengaruh satu variabel bebas terhadap variabel tergantung. Hasil analisis bivariat ditampilkan menggunakan grafik estimasi survival Kaplan-Meier kemudian dinilai perbedaan median time dan probabilitas survival berdasarkan variabel bebas. Uji statistik yang digunakan pada analisis bivariat adalah Logrank test. Pertimbangan penggunaan metode Kaplan-Meier karena pada penelitian ini terdapat variabel time (waktu) event dan sensor. Selain itu keuntungan penggunaan analisis Kaplan-Meier pada subjek penelitian yang datanya dianalisis sesuai dengan waktu aslinya adalah menghasilkan perhitungan probabilitas survival yang lebih akurat. (Kleinbaum and Klein, 2005).

c. Analisis Multivariat bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh murni dari masing-masing variabel bebas dengan cara memasukkan semua variabel bebas secara bersama-sama pada model multivariat. Uji statistik yang digunakan pada analisis multivariat adalah Cox regression atau Cox Proportional Hazard Model.

Penggunaan uji statistik ini didasari karena hazard rasio yang dihasilkan diharapkan berasal dari perbandingan kelompok pajanan yang tidak berubah (konstan) sepanjang waktu atau dikenal dengan istilah proportional hazard assumption. Untuk mengetahui apakah proportional hazard assumption sudah terpenuhi atau belum maka sebelum masuk ke dalam model regresi Cox, pengaruh variabel bebas utama di uji proportional hazards assumption (Global test). Bila nilai p > 0,05 maka proportional hazard assumption terpenuhi dan bila nilai p ≤ 0,05 maka proportional hazard assumption tidak terpenuhi. Bila proportional hazard assumption tidak terpenuhi maka terlebih dahulu dilakukan stratifikasi berdasarkan variabel waktu. Kemudian kembali dilakukan uji global test dan baru setelah proportional hazard assumption terpenuhi dilakukan uji Cox regression. (Kleinbaum and Klein, 2005).

(20)

14 BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Sosio Demografi Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Denpasar. Kota Denpasar terletak pada posisi 08o35’31” sampai 08o44’49” Lintang Selatan dan 115o00’23” sampai 115o16’27” Bujur Timur. Kota Denpasar merupakan daerah dengan ketinggian 500 meter dari permukaan laut. Luas Wilayah Kota Denpasar 127,78 km2 atau 2,18% dari luas wilayah Propinsi Bali. Secara administratif Kota Denpasar terbagi menjadi 4 (empat) kecamatan, yaitu Kecamatan Denpasar Barat, Kecamatan Denpasar Timur, Kecamatan Denpasar Selatan, dan Kecamatan Denpasar Utara yang terdiri dari 43 desa atau kelurahan dengan 209 dusun. Kecamatan Denpasar Selatan memiliki luas terbesar yaitu 49,99 km2 dan Kecamatan Denpasar Timur merupakan kecamatan terkecil dengan luas 22,31 km2 (Dinkes Kota Denpasar, 2012).

Menurut data BPS Provinsi Bali tahun 2011 disebutkan bahwa rasio beban ketergantungan (perbandingan antara banyaknya orang yang tidak produktif dengan banyaknya umur produktif) di Kota Denpasar sebesar 35,34% angka ini menunjukkan setiap 100 orang yang masih produktif akan menanggung 35 orang yang belum/sudah tidak produktif lagi. Sedangkan rasio jenis kelamin penduduk Denpasar adalah 103%

artinya diantara 103 penduduk laki-laki terdapat 100 penduduk perempuan. Laju pertumbuhan penduduk Kota Denpasar mencapai angka 4,28%. Untuk tingkat kepadatan penduduk adalah 5.410/km2. Sedangkan Umur Harapan Hidup (UHH) penduduk Kota Denpasar tahun 2010 mencapai umur 73.01 tahun.

Kota Denpasar memiliki 11 puskesmas yang tersebar merata sesuai dengan luas dan jumlah penduduk pada masing-masing kecamatan. Semua puskesmas telah menerapkan strategi DOTS dalam penatalaksanaan kasus TB. Selain itu di Kota Denpasar terdapat 4 rumah sakit milik pemerintah, 1 rumah sakit umum pusat (RSUP) dan 1 rumah sakit umum daerah 1 rumah sakit TNI dan 1 rumah sakit Polri. Semua rumah sakit pemerintah telah melaksanakan strategi DOTS dalam penatalaksanaan pasien TB. Hal ini cukup untuk mendukung Beban TB Kota Denpasar yang merupakan kabupaten/kota dengan jumlah kasus dan beban TB tertinggi di Provinsi Bali dengan CNR semua tipe pada tahun 2012 sebesar 44 per 100.000 penduduk dan pada tahun 2013 sebesar 46 per 100.000 penduduk.

(21)

15 Sejak tahun 2011 Program TB Kota Denpasar telah melaksanakan sistem informasi terpadu tuberkulosis (SITT). Sistem ini merupakan sistem pencatatan dan pelaporan tuberkulosis berbasis elektronik dan mampu menjawab semua indikator program TB yang diperlukan. Di dalam SITT variabel yang dilaporkan tidak hanya semata-mata variabel program pengendalian TB saja tetapi juga program kolaboreasi TB-HIV. Hal ini merupakan sebuah langkah maju dalam integrasi program TB dengan HIV. Data di dalam SITT tidak hanya berguna untuk menjawab indikator program pengendalian TB dan kolaborasi TB-HIV tetapi juga sangat berguna untuk melakukan penelitian operasional berbasis data surveilans agar dapat memberikan masukkan dan saran penting terhadap program.

5.2 Karakteristik Subjek

Penelitian ini berhasil mengekstrak data pasien TB yang terekam dalam SITT dari tahun 2011 sampai dengan 2013 sebanyak 3461 orang termasuk pasien TB anak.

Berdasarkan penelusuran terhadap data riwayat HIV dan hasil test HIV diketahui pasien TB dengan HIV sebanyak 449 orang (13,0%). Proporsi pasien HIV TB dari tahun ketahun mengalami peningkatan dari 8,8% pada tahun 2011, 13,7% pada tahun 2012 menjadi 16,8% pada tahun 2013. Untuk melakukan analisis kesintasan terhadap pasien HIV TB maka salah kriteria yang harus terpenuhi adalah pasien TB dewasa, menjalani pengobatan dan diamati selama minimal 6 bulan bagi pasien TB yang menerima pengobatan kategori 1 dan 8 bulan untuk pasien yang mendapat pengobatan kategori 2.

Oleh karena itu maka data pasien yang dianalisis kesintasan pada penelitian ini adalah data pasien dewasa HIV TB tahun 2011 dan 2012 sebanyak 260 orang.

Karakteristik pasien HIV TB pada penelitian ini meliputi umur, jenis kelamin, fasilitas kesehatan, klasifikasi dan tipe. Median umur pasien HIV TB di Kota Denpasar adalah 32,5 tahun dengan inter quartil range (IQR) 28 – 39,5 tahun. Berdasarkan median dan sebaran umur ini terlihat bahwa koinfeksi HIV TB cenderung terjadi pada kelompok umur yang produktif. Hal ini sesua dengan berbagai penelitian sebelumnya dimana didapatkan bahwa sebaran umur pasien TB cendrung pada kelompok umur produktif. Fakta ini tentu merupakan masalah baik dari sisi kesehatan masyarakat karena penduduk produktif mempunyai mobilitas tinggi sehingga lebih berisiko menularkan penyakitnya kepada orang lain. Selain itu penyakit ini juga merupakan masalah ekonomi karena akan menurunkan produktifitas manusia yang terinfeksi.

(22)

16 Sebagian besar pasien HIV TB berjenis kelamin lagi-laki sebesar 74,6% hal ini sesuai dengan studi tentang faktor risiko TB dimana laki-laki lebih berisiko dibandingkan perempuan. Risiko TB lebih tinggi pada laki-laki disebabkan karena mobilitas penduduk laki-laki yang lebih tinggi sehingga lebih rentan terpapar orang yang sakit TB. Berdasarkan klasifikasi sebagian besar pasien HIV TB adalah pasien TB paru sebesar 88,8% sisanya adalah pasien TB ekstra paru hal ini sesuai dengan kondisi dilapangan pada pasien TB secara keseluruhan dimana memang sebagian besar adalah TB paru.

Dilihat dari fasilitas kesehatan tempat pasien HIV TB ditemukan dan dirawat, sebagian besar berasal dan dirawat di rumah sakit sebesar 87,7%, sisanya di puskesmas.

Hal ini menunjukkan bahwa penemuan pasien HIV TB relatif terlambat. Pasien HIV TB yang ditemukan lebih banyak dalam kondisi yang sedang sampai berat atau pada tahap perjalan penyakit yang lanjut. Idealnya pasien penyakit apapun terutama penyakit yang berat dan bersifat kronis seperti TB sebaiknya ditemukan atau terdeteksi lebih dini.

Berdasarkan tipe hampir semua pasien HIV TB adalah pasien baru sebesar 91,5%

walupun demikian masih ada pasien HIV TB yang merupakan pasien kambuh, defaulter dan bahkan ada yang riwayat gagal pengobatan.

Hasil tabulasi jenis pasien TB paru berdasarkan hasil pemeriksaan BTA didapatka sebagian besar adalah pasien TB pau BTA - sebanyak 71,4%. Hal ini bukan berarti pasien TB yang ditemukan masih stdium dini tetapi justru sebaliknya. Pasien HIV TB sebagian besar memang BTA – karena terjadinya kerusakan paru yang lebih progresif. Tipe pasien yang sebagian besar BTA – mencerminkan pasien HIV TB sudah berada pada stadium lanjut. Pasien TB sudah mengalami kerusakan paru yang lebih luas dan sudah tidak memiliki mekanisme batuk dan mengeluarkan dahak sebagai salah satu mekanisme pertahanan diri.

Berdasarkan waktu terdeteksi didapatkan distribusi sebagian besar ditemukan dengan terlebih dahulu terdiagnosis TB baru terdiagnosis HIV yaitu sebesar 54,6%. Hal ini belum bisa mencerminkan kondisi sebenarnya di populasi karena data penelitian ini hanya bersumber dari program pengendalian TB sehingga memang lebih fokus pada pasien yang terdeteksi TB terlebih dahulu. Bila digabung dengan data di program HIV/Aids akan sangat mungkin mendapatkan hasil berbeda. Bila hasil ini mencerminkan kondisi populasi maka dapat diinterpretasikan bahwa pasien HIV TB yang ditemukan sebagian besar dalam stadium lanjut atau pasien HIV yang sudah

(23)

17 mengalami infeksi oportunistik (IO). Hasil selengkapnya tentang distribusi pasien HIV TB berdasarkan karakteristik dapat dilihat pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1 Distribusi Karakteristik Pasien HIV TB Di Kota Denpasar 2011-2012 Karakteristik (n=261) Median (IQR) atau f (%)

Umur 32,5 (28-39,5)

< 45 tahun 223 (85,8)

≥ 45 tahun 37 (14,2)

Jenis kelamin

Perempuan 66 (25,4)

Laki-laki 194 (74,6)

Fasilitas Kesehatan

Puskesmas 32 (12,3)

Rumah Sakit 228 (87,7)

Klasifikasi

TB Ekstra Paru 29 (11,2)

TB Paru 231 (88,8)

Tipe

Baru 238 (91,5)

Kambuh 5 (1,9)

Pindahan 8 (3,1)

Defaulter 4 (1,5)

Gagal 1 (0,4)

Lainnya 4 (1,5)

Jenis BTA

BTA - 165 (71,4)

BTA + 66 (28,6)

Waktu terdeteksi HIV

HIV terdeteksi sebelum TB 118 (45,4) TB terdeteksi sebelum HIV 142 (54,6)

5.3 Mortalitas Pasien Koinfeksi HIV TB

Mortalitas pasien koinfeksi HIV TB dalam penelitian ini adalah terjadinya kematian pada pasien HIV TB yang sedang menjalani pengobatan TB. Berdasarkan hasil analisis kesintasan terhadap semua pasien koinfeksi HIV TB diketahui survivor function (survivor rate) sebesar 0,75 atau 75% dengan kata lain mortalitas pasien koinfeksi HIV TB sebesar 25%. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan angka kematian pasien TB secara keseluruhan yang sebesar 9% dan angka kematian pasien TB tanpa HIV yang sebesar 7%. Adanya perbedaan ini menujukkan bahwa koinfeksi HIV

(24)

18 merupakan salah satu faktor yang meningkatkan risiko pasien TB. Hasil analisis kesintasan terjadinya mortalitas pada pasien HIV TB dapat dilihat pada Gambar 5.1.

Gambar 5.1 Grafik Kesintasan Kaplan Meier Terjadinya Mortalitas Pada Pasien HIV TB Di Kota Denpasar

5.4 Pengaruh Umur Terhadap Mortalitas Pasien Koinfeksi HIV TB

Umur merupakan salah satu faktor risiko penting terhadap terjadinya mortalitas secara umum. Dalam analisis terhadap faktor yang berpengaruh pada mortalitas pasien HIV TB faktor umur juga merupakan faktor yang penting. Umur dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi 2 kategori, kurang dari 45 tahun dan lebih dari atau sama dengan 45 tahun. Berdasarkan hasil analisis kesintasan menggunakan grafik Kaplan Meier didapatkan ada perbedaan survivor rate berdasarkan kelompok umur. Pada kelompok umur < 45 tahun survivor rate sampai akhir pengamatan sebesar 0,762 atau 76,2% sedangkan pada kelompok umur ≥ 45 tahun sebesar 0,676 atau 67,6%. Adanya perbedaan ini menunjukkan adanya pengaruh umur terhadap mortalitas dimana pada kelompok umur lebih tua (≥ 45 tahun) resiko kematian pasien HIV TB lebih tinggi walaupun demikian secara statistik tidak bermakna. Hasil analisis kesintasan pengaruh umur terhadap terjadinya mortalitas pada pasien HIV TB dapat dilihat pada Gambar 5.2.

(25)

19 Gambar 5.2 Grafik Kesintasan Kaplan Meier Terjadinya Mortalitas

Pada Pasien HIV TB Berdasarkan Kelompok Umur Di Kota Denpasar

5.5 Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Mortalitas Pasien Koinfeksi HIV TB

Berdasarkan hasil analisis Berdasarkan hasil analisis kesintasan menggunakan grafik Kaplan Meier pengaruh jenis kelamin terhadap mortalitas pasien HIV TB didapatkan ada perbedaan survivor rate antara pasien perempuan dengan laki-laki. Pada pasien perempuan survivor rate sampai akhir pengamatan sebesar 0,773 atau 77,3%

sedangkan pada pasien laki-laki sebesar 0,742 atau 74,2%. Adanya perbedaan ini menunjukkan adanya pengaruh jenis kelamin terhadap mortalitas dimana pada pasien laki-laki 3% lebih beresiko mengalami kematian dibandingkan perempuan walaupun demikian secara statistik tidak bermakna. Risiko kematian yang lebih rendah pada perempuan dapat disebabkan karena sifat mereka yang lebih telaten dan patuh dalam berobat. Selain itu, perempuan cendrung lebih perhatian dan awas terhadap kesehatan diri sehingga berbagai penyakit yang mungkin menyerang akan terdeteksi lebih dini.

Hasil analisis kesintasan pengaruh jenis kelamin terhadap terjadinya mortalitas pada pasien HIV TB dapat dilihat pada Gambar 5.3.

(26)

20 Gambar 5.3 Grafik Kesintasan Kaplan Meier Terjadinya Mortalitas

Pada Pasien HIV TB Berdasarkan Jenis Kelamin Umur Di Kota Denpasar

5.6 Pengaruh Fasilitas Kesehatan Terhadap Mortalitas Pasien Koinfeksi HIV TB Fasilitas kesehatan dalam penelitian ini dibedakan menjadi 2 kategori, puskesmas dan rumah sakit. Alasan pengkategorian ini karena sampai saat ini program pengobatan pasien TB sesuai strategi DOTS baru dilakukan pada kedua jenis fasilitas kesehatan ini. Berdasarkan hasil analisis kesintasan menggunakan grafik Kaplan Meier didapatkan ada perbedaan survivor rate berdasarkan fasilitas kesehatan. Pada kelompok pasien HIV TB yang ditemukan dan diobati di puskesmas survivor rate sampai akhir pengamatan sebesar 0,875 atau 87,5% sedangkan pada rumah sakit sebesar 0,773 atau 77,3%. Adanya perbedaan ini menunjukkan bahwa pasien HIV TB yang dirawat di rumah sakit lebih berisiko mengalami kematian dibandingkan puskesmas. Penyebab pasien yang mendapat pengobatan lebih berisiko mengalami kematian bukan karena fasilitas dan penanganan di rumah sakit yang lebih jelek dibandingkan puskesmas tetapi lebih dikarenakan kondisi pasien yang datang ke rumah sakit sebagian besar pada stadium lanjut (keadaan umum yang lebih jelek). Perbedaan ini secara statistik

(27)

21 bermakna sedang (moderate significant). Hasil analisis kesintasan pengaruh fasilitas kesehatan terhadap mortalitas pada pasien HIV TB dapat dilihat pada Gambar 5.4.

Gambar 5.4 Grafik Kesintasan Kaplan Meier Terjadinya Mortalitas Pada Pasien HIV TB Berdasarkan Fasilitas Kesehatan Di Kota Denpasar

5.7 Pengaruh Klasifikasi Terhadap Mortalitas Pasien Koinfeksi HIV TB

Klasifikasi penyakit TB dibagi menjadi 2 kelompok, TB paru dan TB ekstra paru. Berdasarkan hasil analisis kesintasan pengaruh klasifikasi penyakit TB menggunakan grafik Kaplan Meier didapatkan ada perbedaan survivor rate antara pasien TB ekstra paru dengan TB paru. Pada pasien TB ekstra paru survivor rate sampai akhir pengamatan sebesar 0,862 atau 86,2% sedangkan pada pasien TB paru sebesar 0,736 atau 73,6%. Perbedaan ini menunjukkan adanya pengaruh klasifikasi terhadap mortalitas dimana pada pasien TB paru resiko kematian pasien HIV TB lebih tinggi dibandingkan TB ekstra paru. Hal ini dapat disebabkan karena pasien koinfeksi HIV TB dengan klasifikasi TB paru memiliki kekebalan tubuh yang lebih rendah sehingga lebih cepat mengalami perburukan. Sedangkan pada pasien dengan TB ekstra paru kekebalan tubuh masuih relatif baik sehingga mampu melokisir kuman TB supaya tidak menyebar.

(28)

22 Hasil analisis kesintasan pengaruh klasifikasi TB terhadap terjadinya mortalitas pada pasien HIV TB dapat dilihat pada Gambar 5.5.

Gambar 5.5 Grafik Kesintasan Kaplan Meier Terjadinya Mortalitas Pada Pasien HIV TB Berdasarkan Klasifikasi Di Kota Denpasar

5.8 Pengaruh Tipe Pasien Terhadap Mortalitas Pasien Koinfeksi HIV TB

Tipe pasien TB dalam analisis ini hanya dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu pasien baru dan selain pasien baru. Berdasarkan hasil analisis kesintasan menggunakan grafik Kaplan Meier didapatkan ada perbedaan survivor rate berdasarkan tipe pasien terutama pada setelah bulan pertama sampai bulan kelima. Terlihat survivor rate pada selain atau bukan pasien baru lebih baik dibandingkan pasien baru. Sampe akhir pengamatan survivor rate pada bukan pasien baru sebesar 0,773 atau 77,3% sedangkan pada pasien baru sebesar 0,748 atau 74,8%. Perbedaan ini baik secara statistik maupun secara kesehatan masyarakat tidak bermakna terlihat dari nilai p dan perbedaannya sendiri hanya berkisar 2,5%. Hasil analisis kesintasan pengaruh tipe pasien terhadap terjadinya mortalitas pada pasien HIV TB dapat dilihat pada Gambar 5.6.

(29)

23 Gambar 5.6 Grafik Kesintasan Kaplan Meier Terjadinya Mortalitas

Pada Pasien HIV TB Berdasarkan Tipe Pasien Di Kota Denpasar

5.9 Pengaruh Hasil BTA Terhadap Mortalitas Pasien Koinfeksi HIV TB

Hasil BTA yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengelompokkan pasien TB paru berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis awal, dibagi menjadi 2 kelompok, pasien TB paru BTA + dan pasien TB paru BTA -. Berdasarkan hasil analisis kesintasan pengaruh hasil BTA terhadap mortalitas menggunakan grafik Kaplan Meier didapatkan ada perbedaan survivor rate berdasarkan hasil BTA. Pada kelompok pasien TB paru BTA + diketahui survivor rate sampai akhir pengamatan sebesar 0,818 atau 81,8% sedangkan pada kelompok pasien TB paru BTA - sebesar 0,703 atau 70,3%.

Adanya perbedaan ini menunjukkan adanya pengaruh jenis pasien TB berdasarkan hasil BTA awal terhadap mortalitas dimana pada pasien TB paru BTA + resiko kematian lebih rendah dibandingkan pasien TB paru BTA – dan perbedaan ini secara statistik termasuk bermakna sedang (moderate significant). Hal ini dapat terjadi karena pasien TB paru BTA + masih memiliki reflek mekanis perlindungan diri berupa produksi dahak dan reflek batuk itu sendiri sedangkan pada pasien TB paru BTA – sudah mengalami kerusakan paru yang lebih luas sehingga sudah tidak mampu menghasilkan

(30)

24 dahak dan reflek batuk sebagai perlindungan diri. walaupun demikian secara statistik tidak bermakna. Hasil analisis kesintasan pengaruh hasil BTA terhadap terjadinya mortalitas pada pasien HIV TB dapat dilihat pada Gambar 5.7.

Gambar 5.7 Grafik Kesintasan Kaplan Meier Terjadinya Mortalitas Pada Pasien HIV TB Berdasarkan Hasil BTA Di Kota Denpasar

5.10 Pengaruh Waktu Terdeteksi Terhadap Mortalitas Pasien Koinfeksi HIV TB Waktu terdeteksi adalah waktu pasien koinfeksi HIV TB terdeteksi HIV ataukah TB terlebih dahulu, dibagi mejadi 2 kategori yaitu kelompok pasien HIV terdeteksi sebelum diagnosis TB ditegakkan atau sebaliknya pasien dengan diagnosis TB terlebih dahulu ditegakkan sebelum HIV terdeteksi. Berdasarkan hasil analisis kesintasan pengaruh waktu terdeteksi terhadap mortalitas menggunakan grafik Kaplan Meier didapatkan ada perbedaan survivor rate antara pasien dengan diagnosis TB terlebih dahulu ditegakkan sebelum HIV terdeteksi dibandingkan pasien HIV terdeteksi sebelum diagnosis TB ditegakkan. Pada kelompok pasien HIV terdeteksi lebih dulu sebelum diagnosis TB ditegakkan survivor rate sampe akhir pengamatan sebesar 0,780 atau 78,0% sedangkan pada pasien dengan diagnosis TB terlebih dahulu ditegakkan sebelum

(31)

25 HIV terdeteksi sebesar 0,725 atau 72,5%. Perbedaan ini menunjukkan adanya pengaruh waktu terdeteksi terhadap mortalitas dimana risiko kematian pasien HIV terdeteksi lebih dulu sebelum diagnosis TB ditegakkan lebih rendah dibandingkan pasien dengan diagnosis TB terlebih dahulu ditegakkan sebelum HIV terdeteksi walaupun demikian secara statistik tidak bermakna. Hasil analisis kesintasan pengaruh waktu terdeteksi HIV terhadap terjadinya mortalitas pada pasien HIV TB dapat dilihat pada Gambar 5.8.

Gambar 5.8 Grafik Kesintasan Kaplan Meier Terjadinya Mortalitas Pada Pasien HIV TB Berdasarkan Waktu Terdeteksi HIV Di Kota Denpasar

5.11 Hasil Analisis Multivariat Faktor Mortalitas Pasien Koinfeksi HIV TB

Analisis multivariat faktor yang mempengaruhi moratlitas pasien koinfeksi HIV TB menggunakan uji Cox proportional hazard regresion atau regresi Cox. Metode eleminasi yang digunakan adalah metode backward dengan kriteria variabel tetap berada dalam model adalah variabel dengan nilai p < 0,2. Pada tahap awal semua faktor yang diperhitungkan pada analisis bivariat dimasukkan kemudia dileminasi satu persatu hingga didapatlah model faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien HIV TB. Jumlah variabel yang tetap berada dalam model seperti terlihat pada tabel 5.2. Faktor yang

(32)

26 meningkatkan risiko mortalitas pasien HIV TB adalah fasilitas kesehatan rumah sakit dan klasifikasi pasien TB paru. Sedangkan faktor yang menurunkan risiko moratlitas pasien HIV TB adalah pasien baru dan pasien yang terlebih dulu terdiagnosis HIV baru TB. Adanya keempat faktor dalam model baik yang meningkatkan maupun mencegah risiko kematian sangat penting diperhatikan dalam program penanggulangan pasien koinfeksi HIV TB.

Faktor fasilitas kesehatan yang menemukan dan mengobati pasien HIV TB di rumah sakit berisiko 2,795 kali untuk mengalami kematian dibandingkan puskesmas menunjukkan adanya keterlambatan dalam deteksi dan ulai pengobatan. Pasien yang datang dan berobat dirumah sakit cendrung datang dalam kondisi lebih parah atau stadium lanjut sehingga lebih sulit untuk bertahan hidup. Hasil ini memberikan implikasi tentang penerapan sistem deteksi dini terhadap pasien suspek TB yang datang ke fasilitas kesehatan. Penting secara konsisten ditanyakan kepada mereka apakah mengalami atau melakukan berbagai faktor risiko yang berhubungan dengan HIV seperti penggunaan narkoba suntik, melakukan hubungan seksual berisiko, dan faktor risko lain atau karakteristik tertentu yang menyebabkan berisiko tertular HIV.

Bukti lain yang menunjukkan penting deteksi dini pasien HIV TB adalah didapatkannya hasil bahwa pasien yang terlebih dahulu terdiagnosis HIV baru terdeteteksi TB mempunyarisiko 0,68 kali (lebih rendah) dibandingkan yang terdiagnosis TB terlebih dahulu. Sesuai patofisiologi, pasien koinfeksi HIV TB hampir semua didahului infeksi HIV yang mengalami penurunan kekebalan tubuh kemudian terinfeksi TB secara oportunistik. Ini artinya pasien HIV TB yang ditemukan HIVnya terlebih dahulu merupakan pasien yang ditemukan secara lebih dini dibandingkan yang ditemukan TBnya terlebih dahulu sehingga risiko kematian yang ditemukan HIVnya lebih dahulu lebih rendah dibandingkan yang ditemukan Tbnya terlebih dahulu.

Selain pentingnya deteksi dini, riwayat pengobatan pasien HIV TB sebelumnya juga berperan. Riwayat pengobatan sebelumnya tercermin dari tipe pasien saat ini, apakah pasien pernah menjadi defaulter atau riwayat mangkir dari pengobatan, pernah mengalami gagal pengobatan dan kronik atau merupakan pasien baru yang belum pernah menjalani pengobatan sebelumnya. Berdasarkan hasil analisis multivariat diketahui bahwa resiko mortalitas pada pasien baru 0,584 (lebih rendah) dibandingkan yang bukan pasien baru (riwayat mangkir berobat, gagal, kronik dan kambuh). Hasil ini mempunyai implikasi pentingnya menjamin pengobatan pasien TB terutama HIV TB

(33)

27 supaya tidak mangkir berobat, supaya tidak gagal berobat, tidak menjadi kronik atau dicegah supaya tidak kambuh.

Tabel 5.2 Hasil Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Mortalitas Koinfeksi HIV TB Variabel Hazard Ratio

(HR)

95% Confident Intervals

Nilai p Batas bawah Batas Atas

Faskes: Rumah sakit 2,795 1,042 7,493 0,041

Klasifikasi: TB paru 2,143 0,792 5,800 0,133

Jenis: Pasien baru 0,584 0,315 1,081 0,087

HIV terdeteksi sebelum TB 0,680 0,418 1,108 0,122

(34)

28 BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dibuat beberapa simpulan sebagai berikut:

1. Risiko mortalitas pasien HIV TB yang ditemukan dan diobati di rumah sakit 2,795 kali dibandingkan pasien HIV TB yang ditemukan dan diobati di puskesmas.

2. Risiko mortalitas pasien HIV TB paru 2,143 kali dibandingkan pasien HIV TB ekstra paru.

3. Risiko mortalitas pasien HIV TB baru 0,584 kali dibandingkan pasien HIV TB bukan baru (riwayat mangkir berobat, gagal, kronik dan kambuh).

4. Risiko mortalitas pasien HIV TB yang HIV terdeteksi terlebih dahulu 0,68 kali dibandingkan pasien HIV TB yang TB terdeteksi terlebih dahulu.

6.2 Saran

Berdasarkan hasil, pembahasan dan simpulan yang telah disampikan, maka dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Penerapan sistem deteksi dini infeksi HIV terhadap pasien suspek TB yang datang ke fasilitas kesehatan terutama puskesmas. Semakin banyak pasien HIV TB ditemukan dipuskesmas mencerminkan semakin dini terdeteksi dan pengobatan semakin cepat bisa dimulai untuk mencegah perburukan dan kematian.

2. Pasien TB dengan karakteristik berisiko tertular HIV harus mendapatkan konseling yang baik agar bersedia memeriksakan diri untuk HIV.

3. Program pendampingan pengobatan pasien TB khususnya HIV TB agar lebih ditingkatkan supaya dapat menjamin keteraturan pengobatan, mencegah pasien mangkir berobat, mencegah kekambuhan, mencegah kegagalan berobat dan mencegah pasien kronik.

4. Kolaborasi program penanggulangan HIV TB harus ditingkankan sampai pada integrasi data SITT dan SIHA sehingga pencatatan data pasien HIV TB menjadi lebih valid.

(35)

29 DAFTAR PUSTAKA

Ait-khaled N, Enarson D. (2003). Tuberculosis A Manual For Medical Students. World Health Organization

Amin, Zulkifli dan Bahar, Asril. (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid II.

Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta

Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2012. Profil Dinas Kesehatan Provinsi Bali Tahun 2011.

Denpasar Bali.

Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2013. Petunjuk Teknis Pelaksanaan TB-DOTS 2013.

Denpasar Bali.

Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2009. TB Elektronik 2008-2012. Denpasar Bali.

Handayani, S. Respon Imunitas Seluler Pada Infeksi Tuberkulosis Paru. Cermin Dunia Kedokteran. 2002; 137:34-37.

HIV Management in Australasia: a guide for clinical care. In: Hoy J, Lewin S, Post JJ, Street A, editors. Darlinghurts: Australasian Society for HIV Medicine; 2009.

Kemenkes Nomor 364/MENKES/SK/V/2009. (2009). Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB). Jakarta

Kemenkes Nomor 565/MENKES/PER/III/2011. (2011). Terobosan Menuju Akses Universal Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Jakarta

Kemenkes RI, 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.

Kemenkes RI, 2012. Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis Ko-infeksi TB-HIV. Jakarta.

Kleinbaum, D.G., Mitchel Klein, 2005, Survival Analysis, A Self-Learning Text, Second Edition, Springer Science+Business Media Inc., New York.

Permatasari A. (2005). Pemberantasan Penyakit TB Paru dan Strategi DOTS. Universitas Sumatera Utara Fakultas Kedokteran Bagian Paru, Sumatera Utara.

Sunaryo. (2004). Psikologi untuk Keperawatan. ECG, Jakarta : Avaiable:

http://books.google.co.id/books?id=6GzU18bHfuAC (Accessed: 2013, Januari : 14) WHO. (2012), Desember 20 – last update). “WHO Annual report on global TB Control”,

Available: www.who.int/tb/data (Accessed: 2012, Desember 28)

(36)

30 Lampiran Biodata ketua dan anggota tim peneliti (mahasiswa) yang terlibat

A. Identitas Diri

1. Nama Lengkap (dengan gelar) dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra,

M.Epid. L/P

2. Jabatan Fungsional Asisten Ahli

3. Jabatan Struktural -

4. NIP/NIK/No.Identitas lainnya 198104042006041005

5. NIDN 0004048104

6. Tempat dan Tanggal Lahir Denpasar, 04 April 1981

7. Alamat Rumah Jl. Tukad Pancoran XIIA no.1 Panjer 8. Nomor Telepon/Faks /HP 0361 7848123 / 087860118004 9. Alamat Kantor Jl PB Sudirman Denpasar 10. Nomor Telepon/Faks 0361 7448773

11. Alamat e-mail [email protected]

12. Lulusan yang telah dihasilkan S-1= 100 orang; S-2= ..Orang; S-3= ..Orang 13. Mata Kuliah yg diampu 1. Prinsip-prinsip Epidemiologi

2. Patofisiologi

3. Epidemiologi Penyakit Infeksi 4. Epidemiologi Penyakit Non-Infeksi 5. Surveilans Kesehatan Masyarakat B. Riwayat Pendidikan

Program S-1 S-2 S-3

Nama Perguruan Tinggi Unud UI

Bidang Ilmu Kedokteran Epidemiologi

Tahun Masuk 1999 2010

Tahun Lulus 2005 2011

Judul Skripsi/Thesis/Disertasi Status Gizi dan Pola Makan Ibu Hamil Di Kecamatan Abian Semal Kab Badung

Pengaruh Metode Kanguru Terhadap Pencapaian Berat Normal pada BBLR di Temanggung

Nama Pembimbing/Promotor dr. I Wayan Weta, MS

Dr. dr. Ratna Djuwita, MPH

C. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir (Bukan Skripsi, Tesis, maupun Disertasi)

No. Tahun Judul Penelitian Pendanaan

Sumber *) Jml (Rp.) 1. 2007 Pengaruh Konsumsi Tablet Besi disertai Air

Jeruk dengan Kadar HB ibu Hamil Di Abian Semal

DIPA Unud 5 juta

2. 2008 Faktor yang mempengaruhi kontribusi praktisi swasta dalam program TB Paru di provinsi Bali

KNCV 90 juta

3. 2012 aaaaa Pengaruh pemberian SKP terhadap penjaringan suspek TB Paru Oleh Praktisi swasta di Kota Denpasar

KNCV 114 juta

(37)

31 D. Pengalaman Pengabdian kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir

No. Tahun Judul Pengabdian Kepada Masyarakat

Pendanaan

Sumber *) Jml (Rp.) 1. 2008 Pemberdayaan Ibu-ibu PKK dalam

pencegahan DBD di Pemecutan Kaja

Dipa Unud 4 Juta

E. PengalamanPenyampaian Makalah Secara Oral pada Pertemuan/ Seminar Ilmiah dalam 5 Tahun Terakhir

No. Nama Pertemuan ilmiah/

Seminar Judul Artikel Ilmiah Waktu dan

Tempat 1. Parade TB Nasional 2010 Faktor yang mempengaruhi

kontribusi praktisi swasta dalam program TB Paru di provinsi Bali

Bandung, 2010

2. Kongres IAKMI Faktor yang mempengaruhi Kepatuhan Pasien TB minum Obat di Kota Denpasar

Bandung, 2010

3. 1st Nasional Sientific

Conference on Epidemiology

Faktor yang mempengaruhi perilaku berrisiko tertular flu burung pada pedagang unggas di Pasar Beringkit

Jogjakarta, 2010

4. Konas JEN ke-14 Imunisasi pada bayi berat lahir rendah ≥2000 gram di Kabupaten Temanggung Tahun 2011

Solo, 2012

5. Simposium TB Nasional Kemitraan Program Pengendalian Tuberkulosis Dengan Praktisi Swasta:

Sikap, Persepsi, Kesiapan Dan Peran Apa Yang Mereka Pilih?

Jakarta, 2013

6. 7th Tephinet Biregional Conference

The Influence of Therapy

Adherence to the Conversions of Smear Positive TB Cases

In Denpasar, Bali, Indonesia 2012

Danang, Vietnam, 2013

7. 3rd Nasional Sientific Conference on Epidemiology

Factors Associated to Compliance of Government Offices to Local Regulation No.

10 2011 Regarding No Smoking Area in Bali Province 2013

Jogjakarta, 2013

Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila dikemudian hari ternyata dijumpai ketidak- sesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima risikonya.

Denpasar, 31 Oktober 2014 Pengusul,

(dr. I Wyn Gd Artawan Eka Putra M.Epid)

Gambar

Tabel 5.1 Distribusi Karakteristik Pasien HIV TB Di Kota Denpasar 2011-2012  Karakteristik (n=261)  Median (IQR) atau f (%)
Gambar 5.1 Grafik Kesintasan Kaplan Meier Terjadinya Mortalitas  Pada Pasien HIV TB Di Kota Denpasar
Gambar 5.4 Grafik Kesintasan Kaplan Meier Terjadinya Mortalitas  Pada Pasien HIV TB Berdasarkan Fasilitas Kesehatan Di Kota Denpasar
Gambar 5.5 Grafik Kesintasan Kaplan Meier Terjadinya Mortalitas  Pada Pasien HIV TB Berdasarkan Klasifikasi Di Kota Denpasar
+4

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 4 Ilustrasi Pengaruh Jumlah Uang Beredar Terhadap Harga Saham ……5. Gambar 5 Grafik Perkembangan Indeks Saham Syariah

Skripsi berjudul “Analisis Faktor -faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Sekunder pada Pasien Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) ” ini telah diuji dan

Keadaan ini mengindikasikan bahwa terjadinya korelasi yang kuat antara bonus pada faktor pendapatan di masa datang dengan faktor yang lainnya.Kemudian, pada Tabel 5

”ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PASIEN TB PARU” sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program Sarjana di program studi keperawatan

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor apa saja yang berpengaruh terhadap laju kesembuhan pasien TB paru di Kota Semarang. Mengetahui pengaruh usia

4 Saya menyelesaikan target poin yang ditetapkan perusahaan setiap harinya.. 5 Perusahaan

Untuk menghindari terjadinya pemberian duplikasi penomoran, seharunya petugas rekam medis dibagian pendaftaran pasien baik rawat jalan maupun rawat inap

Dari 10 variabel ini, diperoleh 5 variabel yang berpengaruh terhadap terjadinya kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan di Kota Kupang yaitu variabel suami tidak