NYERI SENTRAL PASCA STROKE
Oleh :
Ida Ayu Sri Wijayanti
Anak Agung Indah Suadnyani Yulia Aventa Anugerahani
BAGIAN/SMF NEUROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
2016
BAB I PENDAHULUAN
Nyeri merupakan keluhan yang cukup sering membawa pasien datang ke pusat kesehatan. Nyeri kronis juga menjadi sebuah tantangan dimana ini meningkatkan hambatan fisik,emosi dan juga beban finansial yang besar. Nyeri juga merupakan salah satu keluahan utama dan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas kehidupan para penderita stroke. Nyeri seringkali dikeluhakan pada pasien stroke, tercatat dalam kurun 2 tahun pasca stoke rasa nyeri dapat timbul 15-49% . Nyeri pasca stroke dapat timbul di otot, persendian, organ dalam, ataupun dari sistem saraf pusat maupun perifer. Tipe nyeri pasca stroke yang paling sering yaitu nyeri bahu hemiplegi, nyeri akibat spasme atau spastisitas, sakit kepala pasca stroke, dan nyeri sentral pasca stroke. Pasien mungkin dapat memiliki beberapa tipe nyeri pasca stroke secara bersamaan 1.
Faktor risiko dari nyeri pasca stroke antara lain usia muda, jenis kelamin perempuan, tingkat keparahan stroke, diabetes melitus, gangguan sensoris, depresi, dan riwayat nyeri sebelum onset stroke. Sekitar 40% dari pasien dengan stroke yang menderita nyeri pasca stroke telah memiliki riwayat nyeri sebelumnya. Nyeri pasca stroke dapat menurunkan kualitas hidup, mencetuskan kelelahan, mempersulit rehabilitasi, menyebabkan gangguan tidur, mempengaruhi mood dan fungsi sosial, meningkatkan kemungkinan kematian 1.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Hansen 2012, insiden nyeri bahu yaitu 7,3% sebelum stroke dan 22,9% dalam 3 bulan dan 26,9% dalam 6 bulan pasca stroke. Nyeri bahu sering ditemui pada pasien post stoke dengan hemiparesis.
Pada pasien, nyeri bahu berhubungan dengan posisi kurang baik dari anggota gerak atas, tendon atau masalah otot. Spasitas terjadi ketika terdapat kerusakan pada bagian otak yang mengontrol otot-otot, dan spasitas meningkatkan tonus otot.
Spasitas akan menekan otot-otot dan bergerak abnormal, akibat spasme akan meneyebabkan nyeri. Nyeri kepala pasca stoke dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti efek obat, edema otak, jumalah dari cairan serebrospinal (CSF).
Namun dari beberapa nyeri pasca strok yang ditemukan, nyeri sentral pasca stroke adalah nyeri yang cukup banyak ditemui dibandingkan nyeri pasca stroke lainnya.
Nyeri sentral pasca stroke merupakan suatu kondisi nyeri neuropatik sentral yang timbul akibat lesi langsung terhadap serebrovaskular pada sistem saraf somatosensorik sentral. Penyebab lain yang dapat menyebabkan nyeri neuropatik sentral antara lain sklerosis multipel, spinal cord injury, syringomyelia, syringobulbia, tumor, abses di sistem saraf pusat, dan penyakit inflamasi lain pada SSP (contoh : mielitis). Sama seperti nyeri pasca stroke yang lain, nyeri sentral pasca stroke menyebabkan penurunan kualitas hidup dari pasien. Nyeri sentral pasca stroke pertama kali dijelaskan ahli saraf Dejerine Perancis dan Swiss tahun 1906 dalam papernya Le syndrome thalamique dan dijelaskan pada awalnya gejala neurologis dan nyeri berat yang timbul diakibatkan oleh lesi vaskular di talamus.
Oleh karena itu sindrom ini disebut Sindrom Dejerine Roussy atau Thalamic Pain Syndrom. Para ahli selanjutnya mendemostrasikan selanjutnya lesi vaskular ekstratalamik juga dapat mencetuskan nyeri dan istilah nyeri sentral pasca stroke lebih diterima 1.
Saat ini masih belum terdapat kriteria diagnosis yang terstandar, definisi pasti, tes diagnosis sederhana yang dapat membantu untuk secara akurat dalam membedakan tipe nyeri. Diagnosis nyeri sentral pasca stroke didasarkan atas riwayat kesehatan dan riwayat nyeri, pemeriksaan fisik, pemeriksaan sensoris dan pemeriksaan radiologis dari lesi (dengan Computed Tomography Scan ataupun Magnetic Resonance Imaging). Dalam penatalaksaannya masih mengalami kesulitan karena keterbatasan dari efikasi obat-obat yang tersedia dan efek samping terkait dosis dari obat-obat yang tersedia. Ini menyebabkan penatalaksanaan dalam kasus nyeri sentral pasca stroke masih belum memuaskan. Sehingga diharapkan kedepannya untuk terdapatnya kriteria diagnosis pasti dan regimen obat yang lebih baik terhadap nyeri sentral pasca stroke ini sehingga penatalaksanaannya dapat lebih maksimal 1.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Nyeri sentral pasca stroke (NSPS), juga dikenal sebagai nyeri talamik dan sindrom Déjerine-Roussy, merupakan nyeri neuropatik sentral yang terjadi pada pasien yang terkena stroke. Ini adalah salah satu manifestasi dari nyeri sentral, yang secara luas didefinisikan sebagai nyeri neuropatik sentral yang disebabkan oleh lesi atau disfungsi dalam sistem saraf pusat. Nyeri sentral pasca stroke ditandai dengan adanya rasa nyeri yang konstan atau intermiten. Hal ini berkaitan dengan adanya kelainan sensorik, terutama sensasi termal, pada bagian tubuh yang sakit. Rasa sakit tersebut dapat digambarkan seperti rasa terbakar, panas atau terasa membeku, gejala lain biasanya lemah tubuh yang sulit untuk dijelaskan, sehingga sangat sulit untuk membuat diagnosis. Pasien juga mengalami disestesia spontan dan gangguan sensorik bangkitan stimulus dari disestesia, alodinia dan hiperalgesia2.
Nyeri sentral pasca stroke dapat muncul segera setelah stroke tetapi biasanya tidak muncul sampai beberapa minggu, bulan atau bahkan bertahun-tahun kemudian. Menurut sebuah studi, sekitar dua pertiga dari pasien yang mengalami nyeri sentral pasca stroke pertama kali mengalami rasa sakit dalam waktu satu bulan, sementara sisanya mengatakan mereka tidak mengalami rasa sakit hingga enam bulan sampai satu tahun setelah mereka terkena stroke. Dalam beberapa kasus, gejala nyeri sentral pasca stroke baru muncul hingga 18 bulan3.
2.2 Epidemiologi
Prevalensi nyeri sentral pasca stroke dilaporkan bervariasi antara 1%
hingga 12%. Pada sebuah penelitian population based dari Denmark, berdasarkan kuesioner dari 608 pasien stroke dan pemeriksaan klinis dari 51 pasien dengan kemungkinan nyeri sentral pasca stroke, minimum prevalensi yang pasti atau kemungkinan menderita nyeri sentral pasca stroke adalah 7,3% (N = 35) dan 8,6%
(N = 41) jika nyeri sentral pasca stroke seperti dysesthesia termasuk didalamnya, dengan waktu follow up rata-rata 4,4 tahun1.
Dalam studi prospektif di Aarhus University Hospital, Denmark menemukan dalam pengamatan 6 bulan, sebanyak 45,8% pasien mengalami serangan nyeri baru. Dimana 13% diantaranya adalah nyeri kepala, 16,4% nyeri bahu, 11,7% nyeri sendi lainya dan 20% tergolong dalam nyeri lainya serta terdapat 8% nyeri yang distimulasi suhu dan sentuhan. Dan 10,5% pasien digolongkan dalam possible nyeri sentral pasca stroke.
Sebuah studi Finlandia menyatakan, nyeri sentral pasca stroke pada pasien muda dengan stroke iskemik,dalam waktu pengamatan rata-rata 8,5 tahun, 49 dari 824 (5,9 %) pasien memiliki nyeri sentral pasca stroke. Sedangkan sisa 775 pasien, 246 memiliki kelainan sensorik dan 529 tidak memiliki abnormalities sensorik atau nyeri sentral pasca stroke. Para peneliti menemukan bahwa pasien dengan nyeri sentral pasca stroke memiliki kualitas hidup yang rendah dibandingkan dengan pasien tanpa nyeri sentral pasca stroke, baik dengan dan tanpa kelainan sensorik.
Sedangkan dari 40 pasien dengan nyeri sentral pasca stroke (82%) memiliki keluhan nyeri lainnya. Nyeri sentral pasca stroke sering dikaitkan dengan keparahan stroke, tapi tidak dengan usia saat onset stroke, seks, atau subtipe stroke berdasarkan etiologi stroke1.
Dalam sebuah studi berbasis populasi dari Rimini, Italia, diterbitkan pada 2013, nyeri sentral pasca stroke didiagnosis pada 66 dari 601 pasien atau sekitar 11%. Nyeri sentral pasca stroke memiliki angka kejadian yang sama pada pria dan wanita. Pada sebagian besar pasien, nyeri segera muncul pada 58% pasien atau dalam bulan pertama setelah stroke sebesar 20% 1.
Dalam studi Anderson et al juga menyebutkan tidak ada perbedaan signifikan dalam hal usia, jenis kelamin, riwayat stroke atau hasil pemeriksaan fisik antara 16 pasien nyeri sentral pasca stroke dan 71 pasien dengan defisit somatosensori tapi tanpa rasa sakit. Anderson et al tidak menemukan perbedaan dalam usia antara pasien yang berkembang menjadi nyeri sentral pasca stroke (n = 87) dibandingkan dengan mereka yang tidak (n = 120). Selanjutnya, di antara subyek dengan defisit somatosensori, tidak ada perbedaan usia antara 16 pasien yang berkembang menjadi nyeri dan sisanya yang tidak2.
Dalam sebuah studi berikutnya, Bowsher menemukan perbedaan yang signifikan pada usia awitan stroke antara 130 pasien nyeri sentral pasca stroke (usia rata-rata 57 tahun) dan populasi seluruh stroke (median usia 75 tahun). Metode perekrutan untuk studi ini mungkin telah dikenakan bias seleksi, karena subyek yang digunakan pada studi ini merupakan pasien rujukan sehingga mereka mungkin tidak mewakili populasi nyeri sentral pasca stroke 2.
2.3 Etiologi
Penyumbatan atau penghambatan satu atau lebih arteriol ini dapat menyebabkan beberapa hal, menyebabkan terjadinya stroke. Stroke sering mengenai talamus dan menyebabkan sindroma nyeri yang khas. Tidak semua stroke melibatkan talamus yang menyebabkan sindroma ini, dimana gejalanya timbul seminggu atau berbulan-bulan setelah stroke terjadi. Penyebab yang pasti mengapa stroke talamus menyebabkan nyeri ini masih belum begitu diketahui 4.
Beberapa hal yang dapat menyebabkan nyeri pasca stoke;
a. Stroke (yang melibatkan talamus) b. Sklerosis multiple
c. Karsinoma (ketika merusak serabut sensorik pada SSP atau talamus) d. Cedera tulang belakang
e. Trauma fisik (seperti pembedahan, tembakan senjata, jatuh, kecelakaan lalu lintas, dll)
2.4 Patofisiologi
Mekanisme yang mendasari nyeri pada kejadian stroke, cedera otak traumatis dan multipel sklerosis tidak terlalu berbeda, namun patofisiologi yang mendasarinya berbeda. Karakteristik klinis nyeri sentral pasca stroke mirip dengan nyeri neuropatik sentral dan nyeri neuropatik perifer. Meskipun lesi terletak sama di otak, mekanisme patofisiologis dapat berbeda tergantung pada lokasi lesi di SSP5.
Saat ini, ada beberapa penelitian yang menghubungkan antara mekanisme dari nyeri, lokasi dan patologi lesi, manifestasi klinis, dan respon terhadap
pengobatan. Konsekuensinya, setiap penjelasan terhadap mekanisme yang diusulkan harus didasarkan pada karakterisitik klinis penyakitnya, seperti kehilangan sensori, hipersensitivitas (sensitisasi dan inhibisi), penurunan atau peningkatan sensasi suhu dan nyeri. Proses hantaran sensorik suhu dan rasa tertusuk terjadi melewati talamus melalui jaras spinotalamikus dan jaras spinotrigeminotalamikus yang memproyeksikannya ke thalamus6. Adapun beberapa teori yang menunjukkan terjadinya nyeri sentral pasca stroke:
a. Sensitisasi Sentral
Adanya lesi pada sistem saraf pusat yang menghasilkan baik perubahan anatomi, neurokimia, eksitotoksik, dan inflamasi, dapat memicu peningkatan rangsangan saraf. Dikombinasikan dengan hilangnya inhibisi dan meningkatnya fasilitasi, peningkatan rangsangan ini dapat mempengaruhi sensitisasi sentral (central sensitization), yang dapat menyebabkan nyeri kronis 6.
Mekanisme ini didukung oleh fakta bahwa banyak dari obat farmakologi yang tersedia untuk pengobatan nyeri sentral bertindak sebagian dengan mengurangi hipereksitabilitas neuronal. Nyeri spontan pada nyeri sentral pasca stroke mungkin terkait dengan hipereksitabilitas atau spontaneous discharge dari neuron di talamus atau korteks 6.
b. Perubahan dalam Fungsi Traktus Spinotalamikus
Gangguan nyeri dan sensasi suhu merupakan keluhan yang terjadi secara umum pada pasien dengan nyeri sentral pasca stroke, dan lesi pada traktus spinotalamikus mungkin penyebab dari munculnya sindrom ini. Defisit dalam fungsi jaras spinotalamikus dapat ditunjukkan dengan pemeriksaan laser-evoked potential (LEP). Namun biasanya gangguan tersebut juga terjadi pada lesi sistem saraf pusat tanpa keluhan nyeri. Adanya hipersensitivitas dengan rangsang nyeri dan rangsangan termal (dingin) lebih umum terjadi pada pasien stroke dengan nyeri sentral dibandingkan dengan yang tanpa nyeri sentral. Hal menunjukkan bahwa hipereksitabilitasi
dan aktivitas yang sedang berlangsung di traktus spinotalamikus mungkin merupakan mekanisme yang mendasari pada kejadian ini7.
c. Teori Disinhibisi
Input ke sistem saraf pusat terus dikontrol dengan keseimbangan antara sistem fasilitasi dan inhibisi, termasuk interaksi antara nukleus batang otak (medula ventromedial rostral & periaqueductal gricea), sumsum tulang belakang dan sirkuit talamokortikal supraspinal.
Ketidakseimbangan mekanisme diatas diduga menjadi mekanisme yang mendasari nyeri sentral, termasuk yang menunjukkan bahwa nyeri sentral adalah hasil dari lesi dari sistem lateral, menyebabkan disinhibisi dari sistem medial 6.
Head dan Holmes pada tahun 1911 menyarankan bahwa nyeri sentral disebabkan oleh lesi di talamus lateralis yang mengganggu jalur inhibisi, menyebabkan disinhibisi dari talamus medial. Sebuah modifikasi dari hipotesis ini diusulkan dalam teori disinhibisi thermosensory, yang menyatakan bahwa nyeri sentral pasca stroke adalah hasi dari hilangnya inhibisi normal nyeri dari dingin akibat adanya lesi. Ini menghasilkan ketidakseimbangan antara traktus spinotalamikus lateralis yang menghasilkan sensasi dingin dan traktus spinotalamikus medial yang menghasilkan sensasi nyeri. Lesi dari lateral traktus spinotalamikus, juga telah diduga menyebabkan disinhibisi dari Spinoretikulotalamikus yang terletak di medial atau jalur paleospinotalamic 8.
Perubahan dalam aliran darah otak regional yang dapat divisualisasikan dengan menggunakan MRI fungsional, PET (Positron Emmision Tomography), atau SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography). Perubahan tersebut telah ditunjukkan selama nyeri timbul pada pasien dengan infark medulla lateralis dan nyeri sentral pasca stroke.
Peningkatan aliran darah otak regional di talamus, area somatosensori, parietal inferior, insula anterior, dan medialkorteks prefrontal yang ditemukan selama stimulasi daerah alodinia. Pada individu sehat, ada peningkatan aktivitas dalam korteks cingulate anterior yang dihubungkan
dengan rangsangan bahaya, tetapi respon ini tidak terlihat selama alodinia.
Studi ini menunjukkan bahwa perubahan dari jalur somatosensori dan nyeri terjadi setelah stroke mungkin terjadi pada sistem diskriminatif nyeri lateral7,8,9.
d. Perubahan Talamus
Talamus diduga memainkan peranan penting dalam mekanisme yang mendasari nyeri sentral, dimana nyeri sentral pasca stroke umum terjadi setelah adanya lesi pada talamus. Dalam satu studi, sebanyak 9 dari 11 pasien dengan lesi talamus dan murni stroke sensorik memiliki infark kecil di talamus, yang semua terbatas pada inti posterolateral. 6 dari pasien ini tidak memiliki gangguan sensorik, dan 3 pasien mengeluhkan disaestesia.
Dalam serangkaian pasien dengan infark talamus, hanya lesi terletak di bagian ventral posterior talamus yang menyebabkan terjadinya nyeri sentral pasca stroke7,9.
Talamus juga diduga terlibat dalam nyeri sentral di pasien yang lesinya tidak langsung melibatkan talamus. Data dari studi PET menunjukkan penurunan aliran darah otak regional di talamus pada pasien dengan nyeri sentral pasca stroke yang memiliki rasa sakit spontan pada saat istirahat8,9.
Hipoaktivitas ini hanya mungkin menunjukan adanya kehilangan sensori, tapi mungkin juga terkait dengan patofisiologi nyeri neuropatik.
Hiperaktif talamus telah ditemukan selama alodinia dengan menggunakan SPECT dan PET. Peningkatan aktifitas ini telah ditemukan nukleus ventralis di kaudal talamus pada pasien dengan nyeri sentral yang dilihat oleh penggunaan mikroelektrode selama operasi otak. Studi nyeri sentral terbaru pada hewan dalam primata dan hewan pengerat menunjukkan bahwa peningkatan rangsangan nukleus adalah hasil plastisitas homeostatik maladaptif karena hilangnya input ascending yang normal melalui saluran spinotalamikus. Meskipun pola kerusakan yang terjadi tidak spesifik untuk pasien dengan nyeri kronis, aktivitas yang terjadi pada pasien dengan nyeri sentral tampaknya berbeda dalam lokasi dan karakteristik dibandingkan
dengan pasien yang bebas rasa sakit dengan kehilangan sensoris yang serupa. Stimulasi listrik oleh microelectrodes pada daerah-daerah tertentu di kedua lateral dan talamus medial dapat menimbulkan rasa sakit. Adanya peningkatan kejadiann stimulus nyeri di daerah ventro-kaudal dan posteroinferior talamus, dan mikrostimulasi lebih cenderung menyebabkan sensasi terbakar pada pasien dengan nyeri sentral pasca stroke dibandingkan dengan pasien dengan nyeri kronis lainnya. Oleh karena itu, talamus mungkin memiliki peran substansial dalam beberapa pasien dengan nyeri sentral, baik sebagai generator nyeri atau dengan pengolahan abnormal input ascending. Deafferentation, hilangnya penghambatan neuron yang mengandung GABA di talamus, dan aktivasi mikroglial juga telah diduga mendasari perubahan talamus7,8,9.
e. Perubahan Lain
Teori reverberation dinamis menunjukkan bahwa nyeri sentral timbul sebagai akibat dari kekacauan dari pola osilasi di dalam corticothalamocortical sensorik reverberatory loop yang berjalan antara talamus dan korteks. Melzack mengusulkan jaringan saraf, atau neuromatriks, yang mengatur sensasi pada tubuh dan memiliki substrat ditentukan secara genetik yang dimodifikasi oleh pengalaman sensorik. Dia menyarankan bahwa jaringan ini menghasilkan sensasi menyakitkan abnormal, seperti sensasi nyeri phantom, ketika kekurangan input sensorik.
Reorganisasi struktural talamus (inti ventro-caudal) dan korteks somatosensori telah ditunjukkan dalam nyeri sentral dan dalam studi pada hewan dengan menggunakan pencitraan fungsional dan tes neurofisiologis.
Reorganisasi struktural belum diperiksa dalam nyeri sentral pasca stroke, dan apakah reorganisasi di daerah nyeri sentral lainnya memiliki hubungan kausal langsung dengan nyerinya atau sekunder untuk perubahan yang terjadi pada tingkat lain dari SSP masih belum jelas7,9.
2.5 Gejala Klinis
Keluhan nyeri pada pasien pasca stroke dapat terjadi dalam 1 bulan pasca stroke atau pada sebagian orang memerlukan waktu 6 bulan sampai gejala berkembang. Nyeri akan terus berkembang seseuai kerusakan sensoris. Nyeri ini pada 8% kasus dapat berkualitas menengah, higga 5% kasus dapat berupa nyeri berat bai yang bersifat superfisial maupun dalam9,10. Gejala central post stroke pain dapat berupa rasa terbakar, seperti mememegang es, diperas, tertusuk, sensasi dikoyak. Nyeri ini dapat timbul sendiri ataupun dapat diprovokasi oleh rangsang sensoris. Alodinia, disaestesia dan hiperalgesia umumnya berkaitan dengan sebagian besar pasien nyeri sentral pasca stroke dan merupakan bagian penting dari sindrom nyeri sentral pasca stroke. Nyeri ini dapat memberat apabila ada factor emosional, diurnal, pergerakan maupun stimulasi elektrik. Nyeri ini biasanya terjadi unilateral namun dapat pula terdistribusi tidak biasa seperti pada seperempat bagian tubuh, sekitar wajah maupun sekitar tangan 9,10.
Tanda kardinal dari nyeri sentral pasca strok ini ialah gangguan melokalisasi stimulus dan disosiasi antara jalur termal dan pinprick sensation serta peningkatan batas ambang pada persepsi raba dan diskriminasi dua titik. Dimana pada pasien akan ditemukan peningkatan ambang deteksi hangat dan dingin dan sedikit peningkatan dari rasa nyeri 9,10. Hal ini dikarenakan disfungsi dari traktus spinothalamikus dibandingkan kerusakan pada kolumna posterior.
Pasien dengan nyeri sentral pasca stroke juga serng mengalami gangguan autonomic pada area yang nyeri. Dimana pada area tersebut dapat dirasakan dingin dan gangguan berkeringat1.
2.6 Diagnosis
Pada tahun 2009 International Asosiation for Study of Pain telah dikeluarkan proposal diagnosis untuk nyeri sentral pasca stroke berdasarkan sistem grading, termasuk kriteria wajib dan kriteria suportif. Hal ini ditujukan untuk membedakan nyeri nosiseptif dengan nyeri neuropati, dimana berbeda dalam pilihan terapi. Dalam Sistem Grading pada Central Post Stroke Pain International
Asosiation for Study of Pain terdapat keriteria wajib dan suportif. Kriteria wajib dalam diagnosis nyeri sentral pasca stroke antara lain nyeri pada area tubuh yang berhubungan dengan lesi CNS, riwayat stroke, onset nyeri yaitu pada saat stroke atau setelah stroke, telah dipastikan terdapat lesi CNS oleh imaging dan atau tanda sensori negatif atau positif terbatas pada area tubuh yang berhubungan dengan lesi CNS, dan eksklusi dari penyebab lain nyeri seperti nyeri nosiseptif dan nyeri neuropati perifer. Kriteria suportif antara lain tidak berhubungan dengan gerakan, inflamasi, atau kerusakan jaringan lokal lainnya, deskripsi nyeri seperti terbakar, nyeri beku, tersengat listrik, tertekan, tersengat, dan tertusuk jarum, serta alodinia atau dysesthesia terhadap sentuhan. Dari kriteria diagnostik ini kemudian dibagi menjadi possible, probable, dan definite5.
Modalitas lain yang dapat digunakan dalam mendeteksi nyeri pusat pasca stroke diantaranya kuisioner nyeri, termasuk skala nyeri neuropati seperti DN4 (Douleur Neurophatique en 4 Quentions) dan The Leeds Assessment of Neurophatic Symptoms and Signs (LANSS) Scale. Kadang penting untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut seperti Quantitative Sensory Test (QST), imaging tambahan, ataupun pemeriksaan neurofisiologi untuk menyingkirkan penyebab lain nyeri1.
Tabel 1. Sistem Grading pada Central Post Stroke Pain 1
No Kriteria yang harus
dievaluasi
Keadaan 1 Eksklusi penyebab nyeri
lainnya
Tidak ada kecurigaan penyebab lain.
Tidak berhubungan dengan pergerakan, inflamasi, atau atau kerusakan jaringan local lainnya.
Gambaran nyeri seperti terbakar, nyeri beku, sengatan listrik.
2 Nyeri dengan distribusi
sesuai dengan
neuroanatomi
Nyeri terlokalisir unilateral atau menyilang pada area tubuh yang berhubungan dengan lesi cerebrovascular.
3 Terdapat riwayat stroke Onset gelaja neurologis mendadak dengan nyeri dimualai saat atau setelah onset stroke.
4 Terdapat distribusi sesuai neuroanatomi pada pemeriksaan klinis
Temuan tanda sensori positif dan atau negatif pada distribusi sesuai anatomi dan nyeri terlokalisir pada area sensori yang abnormal.
5 Terdapat lesi vaskular yang relevan berdasarkan imaging
Visualisasi dari lesi yang dapat menjelaskan distribusi dari temuan sensori, baik dengan CT Scan maupun MRI.
Possible nyeri sentral pasca stroke: Kriteria 1, 2, dan 3 terpenuhi.
Probable nyeri sentral pasca stroke: Kriteria 1 ,2, 3, dan 4 atau 5.
Definite nyeri sentral pasca stroke: Kriteria 1-5 terpenuhi.
2.7 Tatalaksana
Tatalaksana dari nyeri sentral pasca stroke masih mengalami kesulitan karena keterbatasan efikasi obat-obat yang tersedia dan efek samping terkait dosis dari obat tersebut. Masih sangat sedikit penelitian-penelitian yang dipublikasikan untuk penanganan nyeri post stroke sentral ini. Multidisciplinary Panel on Neuropathic Pain mengeluarkan sebuah algoritma yang membantu memilih drug of choice pada nyeri sentral pasca stroke.
Gambar 1. Algoritma rekomendasi terapi Multidisciplinary Panel on Neuropathic Pain9.
Lini Pertama
•A2D ligand
•TCA
Lini kedua
•Antikonvulsan lain
•Opioid
Lini ketiga
•Adjuvant ansestesi lokal
Rujuk ke pusat penanganan
nyeri
•Pertimbangkan intratekal baclofen atau simulasi korteks motorik
a. Trisiklik antidepresan
Golongan Trisiklik antidepresan (TCA) yaitu amitriptilin dan nortriptilin lebih efektif dalam kontrol nyeri pada nyeri sentral pasca stroke jika dibandingakan Carbamazepin. Sehingga TCA digunakan obat lini pertama dalam tatalaksana nyeri sentral pasca stroke. Dalam upaya meminimalisir efek samping pasien disarankan mengkonsumsi mulai dari dosis rendah ditirasi hingga dosis maintenen. Amitriptilin dapat dimulai dari dosis 25mg perhari dititrasi hingga 75mg perhari. Pada kelompok usia tua, akan memunculkan efek samping berupa sedasi sehingga disarankan memulai dosis amitriptilin dari 10mg per hari9,11.
b. Alpha-2-Delta Ligand
Alpha-2-Delta Ligand (A2D ligand) yaitu Gabapentin dan Pregabalin mendemonstrasikan efikasi yang berbeda dalam jenis-jenis nyeri neuropati perifer. Pregabalin dapat digunakan sebagai mengurang nyeri dan juga meningkatkan ststus kesehatan pasien dengan nyeri sentral pasca stroke Gabapentin yang juga A2D ligand, sebagai terapai dari nyeri neuropati, namun juga efektif dalam menterapi nyeri sentral pasca stroke Pregabalin diberikan dengan dosis 125-600 mg perhari sedangkan Gabapentin dapat diberikan 300mg sebelum tidur dan dapat ditambah 300mg setiap tiga hari untuk mencapai dosis 1800mg per hari dalam 1 minggu. Dengan dosis maksimum 3600mg. Pada kelompok usia lanjut disarankan peningkatan 300mg dilakukan dalam waktu 1 minggu9,11 .
c. Antikonvulsan
Antikonvulsan lebih sering diberikan dalam tatalaksana pasien dengan nyeri neuropati dimana antridepresan cendrung inefektif dalam penanganan nyeri jenis ini. Carbamazepine dan phenytoin kurang efektif namun sedikit bukti menyatakan manfaatnya dalam tatalaksana NPPS9,11.
d. Opioid dan lokal anestesi
Opioid oral Levorphanol didapatkan memberi manfaat sedkit dari nyeri sentral pasca stroke. Pemberian intravena morfin dapat diertimbangkan. Pemberian anestesi lokal Lignocain (5 mg/kg IV) memberikan manfaat pereda nyeri. Mexiletin (10 mg/kg/day) merupakan golongan anastesi lokal oral yaitu sebagai penghambat celah sodium yang mirip dengan lignocain. Mexiletin dinilai memiliki peran sebagai terapi tambahan (add-on) dalam tatalaksana pasien NPSP dangan terapi TCA9,11. e. Baclofen Intratekal
Baclofen intratekal telah dilaporkan mampu mengurangi nyeri dan allodinia pada pasien nyeri sentral pasca stroke terutama pada pasien dengan lesi otak maupun medula spinalis. Namun terapi ini baru dapat dipertimbangkan apabila pasien dengan nyeri sentral pasca stroke gagal berespon dari terapi farmakologi lainnya9,11.
Selain pendekatan dengan terapi farmakologi, terdapat beberapa terapi non-farmakologi yang juga dikembangkan dalam tatalaksana pasien dengan nyeri sentral pasca stroke. Terapi non farmakologi ini dapat berupa pembedahan maupun pendekatan psikoterapi.
a. Pembedahan
Traktotomi stereotaktik mesensepalik telah banyak digunakan dalam penanganan nyeri sentral pasca stroke. Terapi ini dinilai mampu menjamin pembebasan nyeri dalam jangka panjang. Namun disisi lain mortalitas dalam modalitas ini adalah sekitar 7.4%9.
Stimulasi kortek mototik (SKM) merupaan salah satu prosedur baru yang dikembangkan dalam penatalaksanaan pasien dengan nyeri neuropati sentral. Dalam follow up 1 tahun didapatkan 60% pasien berespon baik dengan 25% pasien tidak merasakan manfaatnya. Dalam 159 kasus nyeri sental akibat stroke iskemik dan perdarahan, 52% kasus menunjukan
kesuksesan SKM dengan risiko komplikasi yang kecil. Sehingga SKM dianggap bermanfaat bagi pasien dengan NPSP refrakter9,11,12.
Stimulasi medula spinalis (SMS) merupakan teknik neurostimulasi yang paling luas digukankan dalam penanganaan nyeri kronik. Hal ini didasari oleh pertimbangan bahwa teknik SMS ini minimal invasif dengan angka kejadian komplikasinya rendah. Mekanisme efek bebas nyeri dari SMS ini belum sepenuhna dimengerti namun dinilai ada efek inhibisi segmen spinal dan mekanisme aktivasi supraspinal9,11,12.
b. Psikoterapi
Terapi kognitif prilaku (Cognitive Behavioural Therapy/CBT) juga menjadi salah satu modalitas terapi multidisplin dalam tatalaksana nyeri sentral pasca stroke. Modalitas terapi ini sudah sering dikerjakan dalam penanganan nyeri kronis. CBT mampu menolong pasien memodifikasi pikiran negative terkait nyeri dan mengajarkan strategi mengatasi nyeri sisa. Dari terapi ini diharapkan fungsi dan aktivitas pasien dapat membaik, meningkatkan suasana hati, meningkatkan kualitas tidur dengan tujuan akhir berupa kualitas hidup yang meningkat9.
2.8 Prognosis
Di Eropa insiden stroke pada tahun 2000 sekitar 1,1 juta pertahun dan diperkirakan akan menjadi 1,5 juta pada 2025 seiring dengan peningkatan proporsi dari lansia. Meningkatnya angka kejadian stroke diikuti oleh peningkatan angka kejadian nyeri pasca stroke termasuk nyeri sentral pasca stroke. Prognosis dari nyeri sentral pasca stroke dipengaruhi oleh tipe nyeri yang dialami dan penatalaksanaan yang dilakukan. Selain mengalami nyeri sentral pasca stroke, nyeri pasca stroke lain dapat juga terjadi secara bersamaan seperti nyeri bahu hemiplegi, nyeri akibat spasme atau spastisitas, sakit kepala pasca stroke. Dengan demikian nyeri yang terjadi bersama akan semakin menyulitkan penanganan dan menyebabkan prognosis yang lebih buruk. semakin cepat pengobatan yang dilakukan semakin baik prognosis pasien. Namun kriteria pasti untuk diagnosis nyeri sentral pasca stroke masih belum ada sehingga akan sulit dalam memulai terapi. Ditambah lagi
saat ini regimen pengobatan untuk nyeri sentral pasca stroke juga masih mengalami kesulitan akibat dari keterbatasan efikasi obat-obat yang tersedia dan efek samping terkait dosis dari obat-obat tersebut sehingga penatalaksanaan akan semakin sulit dilakukan. 1,5,6
BAB III RINGKASAN
Nyeri sentral pasca stroke (Nyeri Sentral Pasca Stroke), juga dikenal sebagai nyeri talamik dan sindrom Déjerine-Roussy, merupakan nyeri neuropatik sentral yang terjadi pada pasien yang terkena stroke. Nyeri sentral pasca stroke ditandai dengan adanya rasa nyeri yang konstan atau intermiten. Hal ini berkaitan dengan adanya kelainan sensorik, terutama sensasi termal, pada bagian tubuh yang sakit.
Karakteristik gejala nyeri sentral pasca stroke yaitu berupa nyeri yang digambarkan seperti rasa terbakar, ditembak, terusuk, sensasi dikoyak, sensasi diperas, sensasi dingin membeku, sensasi terpotong atau berdenyut dan dapat diperburuk oleh rangsangan seperti sentuhan (misalnya kain yang menyentuh kulit), gerakan, perubahan suhu atau stres. Dengan ditemukan tanda kardinal nyeri sentral pasca stroke ini ialah gangguan melokalisasi stimulus dan disosiasi antara jalur termal dan pinprick sensation serta peningkatan batas ambang pada persepsi raba dan diskriminasi dua titik.
Diagnosis nyeri sentral pasca stroke dapat menggunakan Sistem Grading pada Central Post Stroke Pain International Asosiation for Study of Pain. Meliputi kriteria wajib dan suportif yang diantaranya riwayat stroke dan nyeri, serta pemeriksaan klinis dengan fokus pada temuan sensorik. Sebaiknya lesi vaskular juga dapat tervisualisasi dengan imaging baik dengan Computed Tomography (CT) Scan ataupun Magnetic Resonance Imaging (MRI).
Penatalaksanaan nyeri sentral pasca stroke dapat berupa farmakologi dan nonfarmakologi. Penatalaksanaan farmakologi dengan Trisiklik antidepresan (TCA), A2D Ligand pregabalin, dan gabapentin di anjurkan sebagai obat lini pertama, sedangkan opioid sebagai lini kedua dan lini ketiga berupa anestesi lokal hingga intratekal. Secara nonfarmakologi dapat dilakukan seperti traktotomi stereotaktik mesensepalik, motor cortex stimulation (MCS), spinal cord stimulation (SCS) dan juga pendekatan psikoterapi.
Prognosis dari nyeri sentral pasca stroke dipengaruhi oleh tipe nyeri yang dialami dan penatalaksanaan yang dilakukan. Selain mengalami nyeri post stroke sentral, nyeri post stroke lain dapat juga terjadi secara bersamaan seperti nyeri bahu hemiplegi, nyeri akibat spasme atau spastisitas, sakit kepala post-stroke. Dengan demikian nyeri yang terjadi bersama akan semakin menyulitkan penanganan dan menyebabkan prognosis yang lebih buruk. Semakin cepat pengobatan yang dilakukan semakin baik prognosis pasien.
1. Kilt, HM, Finnerup, NB, Jensen, TS. Diagnosis, Prevalence, Characteristic and Treatment of Central Poststroke Pain. International Association for the Study of Pain 2015; 23. Hal 1-7
2. Hansen A.P, N.S. Marcussen, H. Klit, G. Andersen, N.B. Finnerup, T.S.
Jensen. Pain following stroke: A prospective study. Eur J Pain 16 (2012) 1128–1136.2012
3. Leigh R. Central Poststroke Pain Syndrome. The Johns Hopkins Medical Letter: Health After 2013; 50
4. Boivie J, Jensen TS. Central post-stroke pain. In: Cervero Handbook of Clinical Neurology, 2006; 81 (3rd series). Elsevier; p. 715–30
5. Kilt, HM, Finnerup, NB, Jensen, TS. Central Poststroke Pain: Clinical Characteristic, Pathophysiology, and Management. Lancet Neurology.
2009; 8. Hal 857-868
6. Kumar B, Kalita J, Misra UK. Central Poststroke Pain: A Review of Pathophysiology and Treatment. Department of Neurology Sanjay Gandhi PGIMS, Lucknow, India. 2009; 108. Hal 1645-1655
7. Jong SK. Post-stroke Pain: Expert Reviews. Department of Neurology, University of Ulsan. Expert Rev. Neurother. 2009; 9(5). Hal 711-721 8. Sprenger T, Seifert CL, Valet M, Andreou AP, Foerschler A, Zimmer C,
CollinsDL, Goadsby PJ, Tolle TR, Chakravarty MM. Assessing the risk of central post-stroke pain of thalamic origin by lesion mapping. Brain 2012;135:2536–45.
9. Ping CP,Josephine WY. Joseph MK Lam. Vincent Mok.Tsoi TH, Wong CP. Wong HSS. Recommendations for the management of central post- stroke pain.Medical Progress January 2009. Hal 5-9
10. SCHOTT G D. From thalamic syndrome to central poststroke pain.
Journalof Neurology, Neurosurgery, and Psychiatry 1995;61:560-564 11. Mulla SM, Li Wang, Rabia K, Zain I, Arnav A. Management of central
poststroke pain systematic review of randomized controlled trials.Stroke.
2015;46:2853-2860.Hal 2853-60
1]:206-212, 2010.