• Tidak ada hasil yang ditemukan

PDF Penegasan Dan Penguatan Sistem Presidensial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "PDF Penegasan Dan Penguatan Sistem Presidensial"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PENEGASAN DAN PENGUATAN SISTEM PRESIDENSIAL

NI LUH GEDE ASTARIYANI [email protected]

Makalah disampaikan pada Focus Group Discussin Badan Pengkajian MPR RI Kerjasama Dengan

Fakultas Hukum UNUD, Di Hotel Ramada Bintang Kuta Bali

Pada Tanggal 21 Juli 2017

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2017

(2)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama marilah kita panjatkan puja dan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmat Nya makalah tentang Penegasan dan Penguatan Sistem Presidensiil dapat disusun dan diselesaikan tepat pada waktunya.

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk berusaha merumuskan konsep ideal sistem presidensiil, keterlibatan presiden dalam fungsi legislasi, konsep multipartai, monopoli partai politik dalam pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden yang dipandang tidak sejalan dengan makna pemilihan presiden secara langsung, serta penerapan cheks and balances yang dalam hal ini tentang pembentukan Undang-Undang yang melibatkan Presiden dan DPR.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada Sekretariat Jenderal MPR dan semua segenap panitia penyelenggara kegiatan Focus Group Discussion.

Denpasar, 21 Juli 2017 Ni Luh Gede Astariyani

(3)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ………. i

Daftar Isi ………. ii

Bab I. Pendahuluan ………. 1

Bab II. Pembahasan ………. 6

Bab III. Simpulan ………. 16

(4)

METERI BAHASAN

Dalam kerangka mengkaji dinamika perkembangan, capaian dan efektifitas pelaksanaan sisitem presidensiil dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dewasa ini, maka masukan yang diharapkan maka masukan yang diharapkan Badan Pengkajian antara lain sebagai berikut :

1) Berdasarkan praktik penyelenggaraan negara, bagaimanakah efektifitas implementasi sistem presidensiil dewasa ini? Bila dipandang belum efektif dan optimal, aspek manakah yang dipandang penting untuk dilakukan pembenahan terhadap sistem presidensiil?

2) Perlukah upaya penyederhanaan partai politik dan bagaimanakah konsekuensinya terhadap pembentukan fraksi di DPR;

3) Pelaksanaan fungsi legislasi, apakah pembahasan dan persetujuan Rancangan Undang-Undang oleh Presiden dan DPR sudah tepat? Apakah akan lebih tepat apabila pembahasan Rancangan Undang-Undang oleh DPR saja, dan Presiden diberikan Hak Veto?

4) Dalam Fungsi Pengawasan, DPR memiliki Hak Angket, Hak Interpelasi, dan Hak Menyatakan Pendapat, apakah hak-hak tersebut menjadi faktor- faktor yang menguatkan sistem presidensiil atau melemahkan sistem presidensiil?

5) DPR diberikan kewenangan untuk pertimbangan dan persetujuan terhadap hak yang dimiliki oleh Presiden dalam hal pengangkatan pejabat negara seperti Panglima TNI dan Kapolri; Pemberian amnesti dan abolisi;

pengangkatan Duta Besar. Apakah kewenangan tersebut sesuai dengan prinsip sistem presidensiil?

6) Kedudukan dan peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam fungsi legislasi dan fungsi anggaran

(5)

BAB I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Dari sisi istilah dan perkembangan gagasannya, konstitusi (constitution) dapat dipahami meliputi dua konsepsi. Pertama, konstitusi sebagai the natural frame of the state yang dapat ditarik ke belakang terkait dengan pengertian politeia dalam tradisi Yunani Kuno. Kedua, konstitusi dalam arti jus publicum regni, yaitu the public law of the realm. Menurut Cicero dapat disebut sebagai sarjana pertama yang menggunakan perkataan constitutio dalam pengertian kedua ini, seperti tergambar dalam bukunya “De Res Publica”. Di lingkungan Kerajaan Romawi, perkataan constitutio dalam bentuk latinnya juga dipakai sebagai istilah teknis untuk menyebut the acts of legislation by the emperor. Menurut Cicero, “This constitution (haec constitution) has a great measure of equability without which men can hardly remain free for any length of time”. Selanjutnya dikatakan oleh Cicero “now that opinion of Cato becomes more certain, that the constitution of the republic (consitutionem rei publicae) is the work of no single time or of no single man.” 1

Dari pendapat Cicero tersebut dapat dipahami bahwa konstitusi republik bukanlah hasil kerja satu waktu ataupun satu orang, melainkan kerja kolektif dan akumulatif. Oleh karena itu, dari sudut etimologi, konsep klasik mengenai konstitusi dan konstitusionalisme dapat ditelusuri lebih mendalam dalam perkembangan pengertian dan penggunaan perkataan politeia dalam bahasa Yunani dan perkataan constitutio dalam bahasa Latin, serta hubungan di antara keduanya satu sama lain di sepanjang sejarah pemikiran maupun pengalaman praktik kehidupan kenegaraan dan hukum.

Dalam kaitannya dengan perubahan UUD yang didasarkan pada pemikiran antara lain bahwa salah satu sumber permasalahan yang menimbulkan problem politik dalam penyelenggaraan pemerintahan negara selama ini adalah pada kelemahan Undang- Undang Dasar 1945 antara lain:

a. UUD 1945 menyerahkan kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden;

1 R.N. Berki, 1988, The History of Political Thought: A Short Introduction, London: J.J.Dent and Sons, Everyman‟s University Library, h. 74.

(6)

b. Tidak adanya prinsip check and balances dalam UUD 1945 antara lain menyerahkan kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat;

c. UUD 1945, terlalu fleksibel menyerahkan penyelenggaraan negara yang diserahkan pada semangat para penyelenggara negara yang dalam pelaksanaannya banyak disalahgunakan;

d. Pengaturan mengenai hak asasi manusia yang minim; serta

e. Kurangnya pengaturan mengenai pemilu dan mekanisme demokrasi.

Oleh karena itu, perubahan UUD 1945 yang pertama pada sidang umum tahun 1999, terjadi dalam waktu yang sangat singkat yaitu hanya sekitar satu minggu perdebatan pada tingkat Panitia Ad Hoc, menghasilkan perubahan penting terhadap 9 pasal penting yang terkait dengan penyeimbangan kedudukan Presiden dengan DPR. Walaupun demikian, kalau kita kembali melihat sejak awal pemerintahan Presiden Habibie ide perubahan UUD 1945 telah dimulai dan bahkan pernah dibentuk sebuah panitia yang diketuai oleh Bagir Manan untuk mengkaji perubahan UUD ini dan telah melakukan serial diskusi yang cukup panjang serta telah menghasilkan berbagai pemikiran terhadap perubahan undang-undang dasar ini dalam sebuah buku. Karena itu, ketika perdebatan pada MPR mengenai perubahan undang-undang dasar ini sebagian besar fraksi telah menyiapkan rancangan perubahan yang menyeluruh atas undang-undang dasar 1945 itu. Karena waktu yang tidak memungkinkan, maka perubahan pertama itu hanya terjadi terhadap beberapa pasal yang terkait dengan pembatasan kekuasaan Presiden dan penguatan DPR, dan perubahan lainnya dicadangkan pada sidang tahunan berikutnya.Trias Politika yang dikembangkan oleh Montesquieu dalam bukunya yang berjudul “L’esprit des Loi”. Di dalam “Black’s Law Dictionary, ajaran pemisahan kekuasaan (The Separation of Power) ini dijelaskan mengalami perkembangan di Amerika Serikat sebagaimana dapat disimak dari penjelasannya sebagai berikut :

The government of state and the United State are divided into three departement or branches : the legislative, which is empowered to make laws, the executive which is required to carry out the laws, and the judicial which is charged with interpreting the laws. One branch is not permitted to encroach on domein of another.

Dari kutipan di atas dapat disimak bahwa antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dipisahkan satu sama lain. Menurut Montesquieu, bilamana kekuasaan legislatif

(7)

dan eksekutif berada pada satu orang atau badan dikhawatirkan akan menimbulkan pelaksanaan pemerintahan yang bersifat tyrani. Selanjutnya kekuasaan yudikatif harus dipisahkan dengan kekuasaan legislatif agar hakim dapat bertindak secara bebas dalam memeriksa dan memutus perkara. Hal ini juga menunjukkan bahwa pemisahan kekuasaan sangat esensial dalam negara hukum, karena melalui pemisahaan kekuasaan dapat dicegah adanya pemupukan kekuasaan pada satu institusi yang dapat menjadi sebab lahirnya kekuasaan mutlak atau otoriter seperti halnya terjadi pada era monarkhi. Namun demikian, Negara Indonesia menganut ajaran pembagian kekuasaan yang dikembangkan John Locke dan tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan dari Montesquieu.

Menurut Montesque2, di setiap negara selalu terdapat tiga cabang kekuasaan yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislative dan kekuasaan yudikatif. Di Indonesia cabang kekuasaan tercermin dalam lembaga negara MPR, DPR, DPD, MK, MA, KY, Presiden dan BPK. Lembaga negara tersebut diatas diebntuk berdasarkan pada UUD NRI 1945.

Hubungan antar lembaga negara dibedakan antara lain :

1. Hubungan Fungsional adalah hubungan yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi, contoh : Hubungan antara DPR / DPD dan Presiden dalam membuat UU, Hubungan antara Komisi Yudisial, DPR dan Presiden dalam pengangkatan hakim ( dalam konteks memberikan rekomendasi )

2. Hubungan Pengawasan contoh : Hubungan antara DPR dan Presiden dalam melaksanakan pemerintahan

3. Hubungan Keanggotaan contoh : keanggotan MPR terdiri dari DPR dan DPD

4. Hubungan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban contoh : terkait dengan pelaksanaan APBN yang dilaksanakan oleh Presiden.

5. Hubungan Berkaitan dengan Penyelesaian Sengketa , contoh : MK dengan lembaga negara lain, untuk menyelesaikan sengketa antar lembaga negara3.

2 Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, h.35

3 Jimly Asshiddiqie, 2005, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Konstitusi Press, h.3

(8)

Selain itu, dengan banyaknya partai politik dalam suatu koalisi akan mempengaruhi Kabinet Presiden, dalam konteks ini Presiden harus menempatkan perwakilan anggota partai koalisi dalam susunan kabinet. Suatu susunan kabinet yang semestinya memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang dapat diandalkan di dalam menjalankan tugas presiden namun dimungkinkan terdapat anggota kabinet yang memiliki SDM yang tidak memadai, hal ini terjadi akibat perhitungan politik yang menempatkan beberapa anggota partai politik koalisi untuk dimasukkan dalam jajaran kabinet. Apabila koalisi terdiri dari banyak partai politik tentu akan menempatkan setiap anggota partai tersebut didalam kabinet, jika tidak dilakukan penempatan tentu partai politik akan keluar dari koalisi sehingga presiden akan semakin melemah. Dalam implementasi sistem pemerintahan presidensial yang terdapat sistem multipartai, tentu proses koalisi adalah suatu hal yang harus dilakukan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi dengan tujuan untuk membentuk pemerintahan yang kuat. Pada dasarnya koalisi adalah untuk membentuk pemerintahan yang lebih kuat (Strong), mandiri (autonomous), dan tahan lama (durable) didalam menjalankan pemerintahan. Menurut penulis, sistem pemerintahan Indonesia saat ini belum bisa dikatakan sebagai sistem presidensial murni karena masih adanya pada ranah pelaksanaannya masih memberikan ruang gerak pada sistem parlementer (MPR). Pasca dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945, dapat dilihat bahwa pelaksanaan pemerintahan mengarah pada penguatan sistem presidensial, termasuk dilakukannya pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. dimana pada masa sebelum amandemen proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR (Majelis Permusyawarayan Rakyat) kemudian pasca amandemen Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Umum (Pemilu).

Dipilihnya Presiden dan Wakil Presiden secara langsung berdampak pada pertanggungjawaban Presiden itu sendiri yaitu kepada rakyat yang telah memilih bukan kepada anggota MPR seperti orde lama maupun orde baru. Penguatan sistem presidensial dimana presiden bertanggungjawab tidak lagi kepada parlemen melainkan kepada rakyat tentu akan memposisikan presiden lebih kuat yang tidak bisa diberhentikan oleh parlemen.

(9)

Didalam koalisi tentunya tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan partai politik yang ada didalam koalisi tersebut, jika dalam koalisi terdapat banyak partai (multi partai) tentu Presiden harus berkoalisi dengan beberapa partai yang dominan. Jika koalisi dengan banyak partai tentu akan memperkuat dalam konteks persetujuan apabila koalisi memiliki satu ide, gagasan, visi dan misi, akan tetapi sebaliknya koalisi dengan multii partai justru dapat melemahkan Presiden karena didalam pengambilan keputusan tersebut Presiden harus mempertimbangkan kepentingan-kepentingan partai koalisi yang ada, sehingga hal ini justru akan mempersulit dalam pengambilan keputusan. Selain itu koalisi bisa menjadi ancaman jika beralih menjadi oposisi jika kepentingan partai tersebut tidak sejalan dengan Presiden. Persoalan yang sangat rumit yang dihadapi oleh Presiden didalam menjalankan pemerintahan adalah dengan berkoalisi banyak partai. Sehingga berakibat pada sikap Presiden didalam menentukan sikap atau kebijakan akan lamban, lemah dan bahkan tidak sesuai dengan konsep yang dibentuk. Hal ini dikarenakan Presiden harus memikirkan kepentingan-kepantingan partai koalisi yang terdiri dari banyak partai dan memiliki perbedaan kepentingan. Sehingga hal ini tidak efektif didalam menjalankan sistem pemerintahan dan bahkan membatasi sistem presidensial.

Dalam mengatasi persoalan tersebut langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan penyederhadaan sistem multi partai atau bahkan mengubah sistem multi partai menuju sistem dwi partai. Sebagai partai yang kalah dalam pemilihan umum, partai ini melakukan kontrol atas partai yang menang dalam pemilihan umum tetapi partai yang kalah tetap loyal terhadap sistem politik. Walaupun berupaya keras mengalahkan partai yang berkuasa, partai tersebut tidak berupaya mengganti sistem politik yang berlaku.4 Pada umumnya dianggap bahwa sistem dwi-partai lebih kondusif untuk terpeliharanya stabilitas karena perbedaann yang jelas antara partai pemerintah dan partai oposisi.5 Penyederhaan dari multi partai menuju dwi partai, dilakukan untuk memperkuat sistem presidensial, dimana partai presiden didalam pengambilan keputusan dapat bertindak secara cepat dan tepat tanpa mempertimbangkan kepentingan partai politik lain mengingat hanya ada dua partai yang ada didalam parlemen. Sehingga

4 Ramlan Subakti, 2010, Memahami Ilmu Politik, Cetakan Ketujuh (Jakarta: Kompas Gramedia, Jakarta, h 160

5Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, Cetakan Pertama Jakarta, h 418.

(10)

pelaksanaan sistem presidensial dapat diterapkan secara murni, tentu akan dapat menciptakan pemerintahan yang kuat didalam menjalankan pemerintahan serta bertindak cepat dan tepat dalam pengambilan kebijakan mensejahterahkan rakyat, terlepas dari kepentingan partai politik yang sedikit.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang tersebut maka penulis melakukan spesifikasi dalam hal melakukan kajian dengan melakukan analisis terhadap Penguatan Sistem Presidensial ?

BAB II. PEMBAHASAN

1. Sistem Presidensial Indonesia

Pemerintahan dengan sistem presidensial merupakan suatu pemerintahan yang menempatkan eksekutif bertanggung jawab kepada rakyat yang memilih. Berbeda halnya dengan sistem parlementer dimana eksekutif bertanggung jawab kepada parlemen (DPR), dengan kata lain kekuasaan eksekutif berada diluar pengawasan secara langsung parlemen. Dalam sistem presidensial, presiden memiliki kekuasaan yang kuat, karena selain sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan.

Ciri-ciri yang mendasari dari sistem Presidensial adalah adanya pemisahan kekuasaan yang meliputi cabang-cabang eksekutif, legislatif dan yudikatif, di Indonesia pemisahan kekuasaan tidak dilakukan secara murni melainkan menerapkan sistem pembagian kekuasaan antara eksekutif dengan legislatif hal ini, dapat dilihat dari pembentukan peraturan perundang-undangan eksekutif dan legislatif bersama-sama membentuk undang-undang. sedangkan sistem parlementer yang dicirikan oleh lembaga legislatif sebagai penyusunan undang-undang secara mutlak sedangkan eksekutif memiliki hak veto untuk menolak diberlakukannya undang-undang yang bersangkutan.

(11)

Sebelum amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden memiliki kekuasaan yang sangat kuat (executive heavy) karena disamping mempunyai kekuasaan legislatif untuk membentuk undang-undang juga menguasai cabang-cabang kekuasaan yudikatif hal ini dapat dilihat dalam pemberian amesti, abolisi dan grasi.

Sehingga kekuasaan yang begitu besar pada pemerintah menimbulkan tindakan yang otoriter, yang mengabaikan kepentingan rakyat, artinya UUD 1945 dipandang memiliki celah untuk disalahgunakan dimana Sedangkan secara substantif, UUD 1945 banyak sekali mengandung kelemahan. Hal itu dapat diketahui antara lain; pertama kekuasaan eksekutif terlalu besar tanpa disertai oleh prinsip check and balances yang memadai, sehingga UUD 1945 biasa disebut executive heavy, dan itu menguntungkan bagi siapa saja yang menduduki jabatan presiden, kedua, rumusan ketentuan UUD 1945 sebagian besar bersifat sangat sederhana, umum, bahkan tidak jelas (vague), sehingga banyak pasal yang menimbulkan multi tafsir; ketiga, unsur-unsur konstitusionalisme tidak dielaborasi secara memadai dalam UUD 1945; keempat, UUD 1945 terlalu menekankan pada semangat penyelenggara negara; kelima, UUD 1945 memberikan atribusi kewenangan yang terlalu besar kepada presiden untuk mengatur pelbagai hal penting dengan UU.

Akibatnya, banyak UU yang substansinya hanya menguntungkan Presiden dan DPR selaku pembuatnya ataupun saling bertentangan satu sama lain. Keenam, banyak materi muatan yang penting justru diatur di dalam penjelasan UUD, tetapi tercantum di dalam pasal-pasal UUD 1945. Ketujuh, status dan materi penjelasan UUD 1945. Persoalan ini sering menjadi objek perdebatan tentang status penjelasan, karena banyak materi penjelasan yang tidak diatur di dalam pasal-pasal UUD 1945, misalnya materi negara hukum, istilah kepala negara dan kepala pemerintahan, istilah mandataris MPR, pertanggung jawaban Presiden dan seterusnya.6

Pascra reformasi tahun 1998, pemerintah Indonesia melakukan upaya perubahan dalam konsep sistem presidensial yang dianut oleh Indonesia selama ini. Perubahan tersebut antara lain dengan mengurangi kuasa yang cenderung koruptif pada lembaga kepresidenan (eksekutif), serta memberi porsi yang lebih banyak pada parlemen

6Ni‟matul Huda, 2001, Politik Ketatanegaraan Indonesia (Kajian terhadap Dinamika Perubhan UUD 1945), Yogyakarta: UII Press, h.4-5.

(12)

(legislatif) untuk melakukan fungsi kontrol terhadap kekuasaan presiden dan untuk menghindari pemerintah yang otoriter seperti pemerintahan orde baru.

Perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan dari eksecutif heavy menuju legislative heavy tersebut menimbulkan masalah tersendiri, dimana kekuasaan presiden menjadi dilematis karena sistem politik yang „legislative heavy‟ tersebut menimbulkan keharusan bagi Presiden untuk melakukan kompromi-kompromi politik dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Akibatnya, selama penyelenggaran sistem pemerintahan pasca reformasi dinilai telah terjadi tarik-menarik kepentingan antara presiden dan parlemen dalam berbagai hal terutama dalam pengambilan keputusan.

Tarik-menarik kepentingan tersebut dipetakan menjadi dua basis yaitu kompromi internal dan eksternal. Posisi presiden yang akomodatif dan posisi partai politik di parlemen yang intervensif menjadikan kompromi tersebut mereduksi kewenangan- kewenangan yang seyogianya dimiliki oleh presiden dalam sistem presidensial. Implikasi negatifnya, terjadi kerapuhan struktur politik dan beragam ancaman dari parlemen kepada presiden dalam berbagai kebijakan.

2. Partai Politik Di Indonesia

Partai politik menjadi keharusan dalam sistem demokrasi, partai politik tidak dapat dilepaskan dari peran dan fungsinya sebagai wadah bagi aspirasi rakyat. Partai politik merupakan sarana bagi orang-orang dalam mendapatkan legitimasi rakyat untuk menduduki jabatan-jabatan politis tertentu. Sehingga, kehadiran partai politik juga perlu diletakkan dalam kerangka yang lebih luas dan tidak terbatas pada sistem pemerintahan.

Baik buruknya kaderisasi dan rekrukmen atau regenerasi dalam tumbuh organisasi partai politik akan menentukan kualitas calon. Di Indonesia Partai politik merupakan sarana bagi rakyat untuk turut serta atau berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan negara.

Sebagai organisasi politik, partai bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada melainkan adanya proses pembentukan partai politik. Kelahirannya mempunyai sejarah cukup panjang. Namun di Indonesia partai politik, bisa dikatakan partai politik yang masih muda atau lebih muda dibandingkan dengan organisasi partai politik yang ada di berbagai belahan negara. Menurut Undang-undang Nomor 2 tahun 2008 jo Undang-Undang

(13)

Nomor 1 tahun 2011 tentang Partai Politik, Pasal 1 ayat (1) “Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional untuk melaksankan programnya.

Partai politik adalah sekelompok orang-orang satu ide dan memiliki cita-cita yang sama dalam suatu level negara, yang terorganisasi dengan rapi terutama dalam orientasi terhadap nilai-nilai kehidupan, oleh karena itu mereka mempunyai sasaran merebut kedudukan politik tertentu sehingga memperjuangkan kekuasaan, agar secara konstitusional, absah dilegitinasi serta kebijaksanaannya diterima kemudian ikut dalam pengambilan keputusan pemerintahan. 7

Indonesia mempunyai sejarah yang panjang dalam berbagai jenis sistem multi- partai. Sistem ini telah melalui beberapa tahapan dengan bobot kompetitif yang berbeda- beda. Mulai 1989 Indonesia berupaya untuk mendirikan suatu sistem multi-partai yang mengambil unsur-unsur positif dari pengalaman masa lalu. Sambil menghindari unsur negatifnya.8 Salah satu dampak sistem multi-partai yang kaku seperti yang dikenal dalam era Orde Baru ialah banyaknya dinamika politik under-currents yang tak bisa tercermin dunia ini, dalam sistem kepartaian yang ada. Masalah perwakilan politik bagi berbagai segmen masyarakat nonpower.9

Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem multi partai, sistem multi-partai merupakan sistem yang dianggap tepat mengingat di Indonesia memiliki perbedaan yang cukup tajam dalam hal pengaturan ras, agama, budaya dan kelompok-

7 Inu Kencana Syafiie, 2003, Teori dan Analisis Politik Pemerintahan Dari Orde Lama, Orde Baru sampai Reformasi, Perca, Jakart, h 27.

8 Miriam Budiardjo, Dasar ... op. cit, h 429.

9 Ichlasun Amal dan Samsurizal Panggabean, 1999, Reformasi Sistem Multi-Partai dan Peningkatan Peran DPR dalam Proses Legislatif (Dalam Buku Teori-Teori Partai Politik), Cetakan Kedua, Yogyakarta: Tiara Wacana, h. 179.

(14)

kelompok masyarakat lainnya, sehingga dengan sistem multi partai akan dapat mengakomodir semua kepentingan dengan idiologi yang di anut oleh masing-masing partai yang ada.

3.Analisis Penguatan Sistem Presidensial

Berdasarkan dinamika perkembangan, capaian dan efektifitas pelaksanaan sistem presidensiil dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dewasa ini maka masukannya sebagai berikut :

3.1 Berdasarkan praktik penyelenggaraan negara, bagaimanakah efektifitas implementasi sistem presidensiil dewasa ini? Bila dipandang belum efektif dan optimal, aspek manakah yang dipandang penting untuk dilakukan pembenahan terhadap sistem presidensiil ?

Penerapan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia pasca-reformasi menunjukkan adanya purifikasi dalam penerapannya walaupun masih adanya karakteristik parlementer dalam proses legislasi. Di sisi yang lain penerapan kombinasi presidensialisme dan multipartisme mengalami penurunan kualitas dan penerapannya berjalan kurang efektif, karena prinsip-prinsip presidensialisme mengalami reduksi.

Presidensialisme di era sekarang ini termasuk dalam kategori presidensialisme reduktif.

Desain sistem pemerintahan presidensial yang efektif adalah dengan mengadakan beberapa agenda perubahan antara lain : a. Desain pemilu, pemilu perlu dirancang untuk mendorong penyederhanaan jumlah partai politik di parlemen yakni dengan menerapkan parliamentary threshold sebesar 5%; penerapan sistem campuran dalam pemilu (distrik dan proporsional); b.Desain institusi parlemen, rancangan kelembagaan parlemen diarahkan untuk menyederhanakan polarisasi kekuatan politik di parlemen, seperti pengurangan jumlah fraksi dan efektivitas koalisi agar proses-proses politik di parlemen menjadi lebih sederhana. c.Desain institusi kepresidenan juga diarahkan untuk memperkuat posisi presiden, yakni dengan pembagian kewenangan yang jelas antara presiden dan wakil presiden, dan juga pemilihan langsung hanya untuk presiden saja

(15)

3.2 Perlukah upaya penyederhanaan partai politik dan bagaimanakah konsekuensinya terhadap pembentukan fraksi di DPR;

Pada negara yang menganut sistem multipartai, koalisi telah menjadi keharusan sebagai hal yang wajib dilakukan bagi partai pemenang pemilu. Hal ini didasari bahwa jumlah masa akan terpecah pada banyak partai yang ada di parlemen. Negara yang menganut sistem Presidensial multipartai seperti Indonesia harus dilakukan koalisi agar pemerintah dapat menajalankan pemerintah dengan tepat, cepat dan tepat atas dukungan anggota parlemen yang tergabung atas anggota koalisi. Dalam mengatasi persoalan tersebut langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan penyederhadaan sistem multi partai atau bahkan mengubah sistem multi partai menuju sistem dwi partai. Sebagai partai yang kalah dalam pemilihan umum, partai ini melakukan kontrol atas partai yang menang dalam pemilihan umum tetapi partai yang kalah tetap loyal terhadap sistem politik. Walaupun berupaya keras mengalahkan partai yang berkuasa, partai tersebut tidak berupaya mengganti sistem politik yang berlaku.

Pada umumnya dianggap bahwa sistem dwi-partai lebih kondusif untuk terpeliharanya stabilitas karena perbedaann yang jelas antara partai pemerintah dan partai oposisi.

Penyederhaan dari multi partai menuju dwi partai, dilakukan untuk memperkuat sistem presidensial, dimana partai presiden didalam pengambilan keputusan dapat bertindak secara cepat dan tepat tanpa mempertimbangkan kepentingan partai politik lain mengingat hanya ada dua partai yang ada didalam parlemen. Sehingga pelaksanaan sistem presidensial dapat diterapkan secara murni, tentu akan dapat menciptakan pemerintahan yang kuat didalam menjalankan pemerintahan serta bertindak cepat dan tepat dalam pengambilan kebijakan mensejahterahkan rakyat, terlepas dari kepentingan partai politik yang sedikit.

(16)

3.2 Pelaksanaan fungsi legislasi, apakah pembahasan dan persetujuan Rancangan Undang-Undang oleh Presiden dan DPR sudah tepat? Apakah akan lebih tepat apabila pembahasan Rancangan Undang-Undang oleh DPR saja, dan Presiden diberikan Hak Veto?

Sikap presiden untuk tidak menandatangani suatu RUU yang sudah disahkan oleh DPR tanpa adanya pernyataan resmi yang menjelaskan sikapnya itu selama ini menjadi kebingungan tersendiri. Apakah ini berarti Presiden tidak setuju dengan substansi RUU yang disahkan tersebut? Ataukah hanya karena permasalahan administrasi yang ada di pemerintah, misalnya karena manajemen pengarsipan yang buruk di Sekretariatan Negara?

Sikap presiden untuk tidak menandatangani RUU yang sudah disetujui legislatif ini dikenal dengan sebutan “hak veto” presiden terhadap Undang-undang. Hanya saja pada prakteknya di Indonesia berkaitan dengan hal ini, tidak ada implikasi apa pun dari tidak ditandatanganinya oleh Presiden sebuah RUU yang sudah disahkan DPR.

Mekanisme hak veto juga dikenal dan diberlakukan di beberapa negara.

Mekanisme ini merupakan salah satu bentuk konkrit dari mekanisme checks and balances antara eksekutif dan legislatif. Karena itu, ada beberapa prosedur yang menduluinya.

Salah satu elemen penting dalam konteks ini adalah tidak adanya “persetujuan bersama”

oleh parlemen dan presiden. Persetujuan diberikan satu per satu oleh masing-masing lembaga. Dalam mekanisme ini, presiden diberikan hak veto atas suatu undang-undang yang dibuat oleh parlemen. Selanjutnya, parlemen masih bisa menggagalkan hak veto presiden tersebut melalui persetujuan dari parlemen dalam jumlah tertentu yang lebih dari jumlah yang dibutuhkan untuk mengesahkan suatu undang-undang. Hasil tentangan parlemen inilah yang biasanya masih bisa diveto lagi “secara diam-diam” oleh presiden melalui tidak ditandatanganinya undang-undang tersebut. Meski demikian, karena undang-undang itu dianggap sudah disetujui secara mayoritas oleh parlemen yang merepresentasikan rakyat, undang-undang tersebut tetap sah

(17)

3.3 Dalam Fungsi Pengawasan, DPR memiliki Hak Angket, Hak Interpelasi, dan Hak Menyatakan Pendapat, apakah hak-hak tersebut menjadi faktor-faktor yang menguatkan sistem presidensiil atau melemahkan sistem presidensiil?

Tugas dan wewenag DPR, adalah hak budget, legislatif, dan pengawasan. Semua hak itu boleh dimiliki oleh DPR, tinggal mengatur batasan dan ruang lingkup, seperti Pansus Hak Angket DPR. DPR bisa melakukan hak angket kepada semua lembaga negara (prinsip), berikutnya muncul pertanyaan, bidang dan materi apa saja yang bisa di angket DPR. DPR melakukan hak angket pada Mahkamah Agung, yang menyangkut bidang keuangan, sistem pembinaan hakim, tetapi proses yudisial tidak boleh di angket, misalnya perkara yang sudah mulai diproses sesuai dengan hukum acarannya, tidak boleh dilakukan angket, dengan dalil apapun, karena proses pengadilan yang sudah berjalan juga terbuka untuk umum, dan nantinya pengadilan juga akan memutus slah atau tidak salah. Demikian juga dengan angket DPR untuk KPK, proses Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan oleh KPK berdasarkan undang-undang, tidak boleh dilakukan hak angket. Kalau itu yang dilakukan menguatkan sistem presidesial dalam negara hukum demokratis, jika proses yudisial jadi objek hak angket, akan mengganggu sistem pemerintahan apapun.

3.4 DPR diberikan kewenangan untuk pertimbangan dan persetujuan terhadap hak yang dimiliki oleh Presiden dalam hal pengangkatan pejabat negara seperti Panglima TNI dan Kapolri; Pemberian amnesti dan abolisi; pengangkatan Duta Besar. Apakah kewenangan tersebut sesuai dengan prinsip sistem presidensiil?

Maria Farida Indrati mengatakan, bahwa kedudukan rekomendasi dalam tata hukum Indonesia memang sangat lemah, karena dia tidak termasuk ke dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Posisinya juga jauh dibandingkan dengan UU atau peraturan lainnya26, sehingga rekomendasi juga tidak memiliki kekuatan eksekusi apapun. Dalam Hukum Tata Negara memang tidak dikenal mekanisme sanksi yang dapat dikenakan kepada pemerintah (Presiden) jika mengabaikan rekomenadasi yang diberikan oleh DPR, walaupun itu dalam konteks pelaksanaan fungsi pengawasan DPR.

Sejauh ini dalam UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD hanya ada

(18)

mekanisme pembentukan Pansus atau Panja untuk menindaklanjuti pelaksanaan fungsi pengawasan DPR jika pemerintah dianggap telah melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan UU. Namun hasil Pansus atau Panja itu sendiri tidak mempunyai kekuatan eksekutorial.

Pandangan hakim Konstitusi di atas didukung oleh pendapat pakar hukum tata Negara, Saldi Isra, yang juga berpendapat bahwa rekomendasi tidak mempunyai akibat hukum apapun dari persfektif Hukum Tata Negara. Tindakan Presiden yang mengabaikan rekomendasi DPR sebagai hasil kerja Pansus atau Panja tidak dapat ditindaklanjuti dengan pemberian sanksi apapun. Perilaku itu mungkin akan mempunyai dampak politis, seperti menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat, atau dukungan legislatif kepada pihak eksekutif (Presiden), tapi tidak membawa akibat hukum apapun. Dalam peraturan perundangan yang berlaku, tindakan Presiden yang dapat membawa akibat hukum hanyalah jika Presiden dianggap telah melakukan salah satu perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 A UUD 1945. Persetujuan DPR terhadap pengangkatan Panglima TNI dan Kapolri, sebaiknya, tidak meminta atau persetujuan DPR karena mengakibatkan adanya hubungan yang kurang baik bagi keduanya. Untuk menteri tertentu bisa dimintakan klarifikasi DPR, bukan persetujuan, klarifikasi untuk menentukan calon bersih atau tidak dari masa lalunya, sehingga, tidak ada beban dalam melaksanakan tugasnya.

3.5 Kedudukan dan peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam fungsi legislasi dan fungsi anggaran.

Kedudukan DPD, kalau DPD diberi kedudukan dan tugas seperti yang ada sekarang, sebaiknya dihapus saja DPD. Kalau mau mempertahankan DPD, jadikan lembaga legislatif bikameral, pemerintah tidak lagi diberi kewenangan dalam bidang legislatif, baru bisa Hak Veto dijalankan dalam bentuk checkking power with power.

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan aktualisasi nyata demokrasi dalam praktek bernegara saat ini, pemilu menjadi sarana utama bagi rakyat untuk menyatakan kedaulatan rakyat atas negara dan pemerintahan. Kedaulatan rakyat diwujudkan dalam proses partisipasi rakyat untuk menentukan pilihannya terhadap siapa yang akan menjadi

(19)

pemimpin. Rakayat memilih pemimpin yang dipercaya rakyat untuk menjalankan kekuasaan politik untuk mencapai tujuan-tujuan hidup rakyat. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 mengatakan bahwa kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD, Negara Indonesia adalah negara hukum, jika kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum yang dimaksud dengan dilaksanakannya pemilu dimana pemilu ini dilakukan untuk memilih legislatif -calon pemimpin bangsa yang akan mendatang.

Penyelenggaraan pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam parlemen tersebut maka wakil-wakil tersebut akan melebur menjadi satu. Dilema yang terjadi dengan sistem multi partai dalam pemilu adalah terkait dengan pengaturan bagaimana dengan partai politik yang hanya mendapatkan minoritas suara dalam pemilu? Sehingga dalam mengatasipasi hal tersebut, pilihan koalisi yang dapat dilakukan. Selain itu koalisi juga diperlukan dalam sistem presidensial agar mendapat dukungan dari parlemen untuk membentuk peraturan.

Pada negara yang menganut sistem multipartai, koalisi telah menjadi keharusan sebagai hal yang wajib dilakukan bagi partai pemenang pemilu. Hal ini didasari bahwa jumlah masa akan terpecah pada banyak partai yang ada di parlemen. Negara yang menganut sistem Presidensial multipartai seperti Indonesia harus dilakukan koalisi agar pemerintah dapat menajalankan pemerintah dengan tepat, cepat dan tepat atas dukungan anggota parlemen yang tergabung atas anggota koalisi. Dalam mengatasi persoalan tersebut langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan penyederhadaan sistem multi partai atau bahkan mengubah sistem multi partai menuju sistem dwi partai. Sebagai partai yang kalah dalam pemilihan umum, partai ini melakukan kontrol atas partai yang menang dalam pemilihan umum tetapi partai yang kalah tetap loyal terhadap sistem politik. Walaupun berupaya keras mengalahkan partai yang berkuasa, partai tersebut tidak berupaya mengganti sistem politik yang berlaku.

Pada umumnya dianggap bahwa sistem dwi-partai lebih kondusif untuk terpeliharanya stabilitas karena perbedaann yang jelas antara partai pemerintah dan partai oposisi.

Penyederhaan dari multi partai menuju dwi partai, dilakukan untuk memperkuat sistem presidensial, dimana partai presiden didalam pengambilan keputusan dapat bertindak secara cepat dan tepat tanpa mempertimbangkan kepentingan partai politik lain

(20)

mengingat hanya ada dua partai yang ada didalam parlemen. Sehingga pelaksanaan sistem presidensial dapat diterapkan secara murni, tentu akan dapat menciptakan pemerintahan yang kuat didalam menjalankan pemerintahan serta bertindak cepat dan tepat dalam pengambilan kebijakan mensejahterahkan rakyat, terlepas dari kepentingan partai politik yang sedikit.

BAB III PENUTUP Kesimpulan

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 belum mengatur di dalam pasal-pasalnya secara tegas dan pasti mengenai sistem presidensial

b. Melakukan penyederhanaan kepartaian.

c. Penguatan sistem presidensiil di Indonesia di lakukan dengan tegas melalui pengaturan di dalam Undang-Undang Dasar Ngara Republik Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Inu Kencana Syfeii, 2003, Teori Analitis Politik Perubahan Dari Orde Lama, Orde Baru Sampai Reformasi, Parca, Jakarta.

Jimly Asshiddiqie, 2005, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Konstitusi Press.

Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, Cetakan Pertama Jakarta.

Ni Matul Huda, 2001, Politik Ketatanegaraan Indonesia ( Dinamika Politik Perubahan UUD NRI 1945) UII Press Yogyakarta.

R.N. Berki, 1988, The History of Political Thought: A Short Introduction, London:

J.J.Dent and Sons, Everyman‟s University Library.

Ramlan Subakti, 2010, Memahami Ilmu Politik, Cetakan Ketujuh (Jakarta: Kompas Gramedia, Jakarta

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa dalam rangka penguatan sistem pemerintahan presidensiil, maka kedepan perlu dilakukan pengaturan dalam undang-undang partai politik menuju sistem kepartaian yang dapat

Bahwa dalam rangka penguatan sistem pemerintahan presidensiil, maka kedepan perlu dilakukan pengaturan dalam undang-undang partai politik menuju sistem kepartaian yang dapat

Cara yang paling umum dalam membedakan tipe sistem partai politik adalah dengan referensi jumlah partai yang berkompetisi dalam memperebutkan kekuasaan.. Sistem kepartaian

Seballknya, bila kita kemball pada sistem parlementer - bahkan penggalangan kekuasaan berupa koalisi partai-partai mayoritas di DPR yang tidak sej'alan dengan presiden terpilih

Bahwa dalam rangka penguatan sistem pemerintahan presidensiil, maka kedepan perlu dilakukan pengaturan dalam undang-undang partai politik menuju sistem kepartaian yang dapat

Adanya amandemen terhadap UUD 1945, salah satunya adalah dimaksudkan untuk lebih memantapkan (memurnikan) penyelenggaraan sistem pemerintahan presidensiil, yakni

Selanjutnya Verney menjabarkan ciri-ciri dari sistem presidensial, yaitu (1) Presiden adalah pusat kekuasaan yang menjabat kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala

Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Sinar Grafika, Jakarta, 2011 Muhadam Labolo dan Teguh Ilham, Partai politik Dan Sistem Pemilihan Umum Di Indonesia, Rajawali Pers,