• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relevansi Sistem Presidensial Dan Multi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Relevansi Sistem Presidensial Dan Multi"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

SISTEM PRESIDENSIIL DENGAN MULTI PARTAI

2.4. PEMILU, PARTAI POLITIK DAN SISTEM KEPARTAIAN

MULTIPARTAI

2.4.1.

Pemilu

Bagi sejumlah negara yang menerapkan atau mengklaim diri sebagai

negara demokrasi (berkedaulatan rakyat), pemilu memang dianggap

sebagai lambang sekaligus tolak ukur utama dan pertama dari demokrasi

itu.

1

Artinya pelaksanaan dan hasil pemilu merupakan refleksi dan suasana

keterbukaan dan aplikasi dari nilai dasar demokrasi, disamping perlu

adanya kebebasan berpendapat dan berserikat yang dianggap cerminan

pendapat warga negara. Alasannya, pemilu memang dianggap akan

melahirkan suatu representasi aspirasi rakyat yang tentu saja berhubungan

erat dengan legitimasi bagi pemerintah.

2

Betapa pentingnya Pemilu sebagai ukuran bagi kualitas demokrasi,

maka konstitusi memasukan pengaturan mengenai Pemilu didalamnya.

Ketentuan tentang Pemilu diatur dalam Pasal 22E UUD 1945:

1 Dhurorudin Mashad, Korupsi Politik, Pemilu dan Legitimasi Pasca Orde Baru, 1999, Pustaka Cidesindo, Jakarta, hlm 1, dalam hal ini, Robert A. Dahl (1985), Carter dan Hertz (1982), Mayo (1982), Ranney (1990), dan Sundhaussen (1992) adalah beberapa diantara sarjana yang menganggap pemilu sebagai kriteria untuk mengukur kadar demokrasi, dalam Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, 2008, Cerdas Pustaka Publisher, Jakarta, hlm 379. Lihat juga Eep Saefullah Fatah, Pemilu dan Demokratisasi; Evaluasi Terhadap Pemilu-Pemilu Orde Baru, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 1997) hlm 4.

(2)

Ayat 1

Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,

rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

Ayat 2

Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil

presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Ayat 3

Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai

politik.

Ayat 4

Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Daerah adalah perseorangan.

Ayat 5

Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum

yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

Ayat 6

Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan

undang-undang.

3

Dari ketentuan tersebut ada beberapa poin yang dapat digarisbawahi

bahwa; Pemilu di Indonesia menganut asas langsung, umum, bebas,

rahasia, jujur dan adil. Pemilu dilaksanakan untuk memilih anggota DPR

(parpol), DPD (perseorangan), Presiden dan Wakil Presiden (parpol), dan

anggota DPRD; Pemilu diselenggarakan oleh satu lembaga independen

yang dinamakan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Para pakar umumnya mengukur sumber legitimasi pemilu adalah

kedaulatan rakyat. Sebagaimana dikatakan Harold J. Laski

“kedaulatan

(3)

kekuasaan tersebut meliputi segenap orang maupun golongan yang ada

didalam masyarakat yang dikuasainya.” Sedangkan C.F. Strong dalam

bukunya Modern Politcal Constitution mengemukakan, “kedaulatan adalah

kekuasaan untuk membentuk hukum serta kekuasaan untuk memaksakan

pelaksanaannya.”

Oleh karenanya, salah satu ciri negara demokrasi adalah

melaksanakan pemilu dalam waktu-waktu tertentu. Pemilu pada hakikatnya

merupakan pengakuan dan perwujudan daripada hak-hak politik rakyat dan

sekaligus merupakan pendelegasian hak-hak tersebut oleh rakyat kepada

wakil-wakilnya untuk menjalankan pemerintahan.

A.S.S. Tambunan mengatakan bahwa “pemilihan umum merupakan

sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat pada hakikatnya merupakan

pengakuan dan perwujudan dari pada hak-hak politik rakyat dan sekaligus

merupakan pendelegasian hak-hak tersebut oleh rakyat kepada

wakil-wakilnya untuk menjalankan pemerintahan.” Sedangkan M. Rusli Karim

mengatakan bahwa “pemilu merupakan salah satu sarana utama untuk

menegakan tatanan demokrasi (kedaulatan rakyat), yang berfungsi

sebagai alat menyehatkan dan menyempurnakan demokrasi, bukan

(4)

Sementara itu, Kusnardi dan Harmaily Ibrahim juga memberikan

pandangannya bahwa

“pemilu adalah salah satu hak asasi warga negara

yang sangat prinsipil, karena dalam pelaksanaan hak asasi adalah suatu

keharusan pemerintah untuk melaksanakan pemilu. sesuai asas bahwa

rakyatlah yang berdaulat maka semua itu dikembalikan kepada rakyat

untuk menentukannya. Oleh karena itu, pemilu adalah suatu syarat yang

mutlak bagi negara demokrasi untuk melaksanakan kedaulatan rakyat”.

4

Dalam masyarakat demokratis, pemilu merupakan suatu proses

pergantian kekuasaan secara damai yang dilakukan secara berkala sesuai

dengan prinsip-prinsip yang digariskan oleh konstitusi. Dengan demikian

dapatlah dipahami bahwa Pemilu merupakan kegiatan politik yang sangat

penting dalam proses penyelenggaraan kekuasaan dalam sebuah negara

yang menganut prinsip-prinsip demokrasi. Dalam sudut pandang ilmu

Hukum Tata Negara, Pemilu merupakan objek pembahasan yang menarik.

Salah satu kajian ilmu Hukum Tata Negara adalah hal-hal yang berkaitan

dengan masalah-masalah kekuasaan. Pendiri negara yang juga perancang

konstitusi (UUD 1945) telah menetapkan ajaran tentang kedaulatan rakyat

yang ditransformasikan kepada badan perwakilan rakyat yang dinamakan

MPR, DPR, DPD dan DPRD. Implementasi dari ajaran kedaulatan rakyat

(5)

karena Pemilu merupakan konsekuensi logis dianutnya prinsip kedaulatan

rakyat (demokrasi) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pemilu merupakan perwujudan dan erat kaitannya dengan hak asasi

manusia, khususnya hak sipil politik (Sipol),

5

salah satu dokumen dasar

(bill of human rights) dalam bidang hak-hak asasi manusia, bersanding

dengan hak Ekosob.

6

Dengan diaturnya pemilihan umum, mulai dari asas,

tujuan, peserta dan pelaksana pemilihan umum di dalam UUD 1945, maka

secara konstitusional pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia menjadi

semakin tegas dalam rangka menyempurnakan aturan dasar mengenai

tatanan negara dan jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat agar sesuai

dengan perkembangan paham demokrasi yang mengatur pembagian

kekuasaan yang lebih tegas dengan membangun sistem checks and

balances.

Oleh karenanya, pemilu merupakan sarana perwujudan aspirasi

rakyat dalam proses politik. Dalam pemilu, rakyat bisa ikut menentukan

figur dan arah kepemimpinan negara dikemudian hari. Ide demokrasi yang

menyebutkan bahwa dasar penyelenggaraan negara adalah kehendak

rakyat merupakan dasar bagi penyelenggaraan pemilu. Disisi yang lain,

5 Baca UU No 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi International Covenan on Civil and Political Rights

(ICCPR) atau Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.

(6)

Pemilu merupakan sarana untuk melahirkan regenerasi pemerintahan.

Sekaligus, dalam konteks good governance and clean government, pemilu

merupakan sarana untuk melakukan evaluasi atas kerja-kerja

pemerintahan selama periode berjalan. Dalam pemilu, perwujudan

kehendak rakyat tersebut dituangkan dalam hak dan kewajiban yang

tersedia. Hak bagi konstituen untuk menyalurkan aspirasi mereka, memilih

pemimpin yang menurut mereka adalah panutan, tanpa intervensi dan

paksaan dari siapapun, termasuk negara. Serta kewajiban bagi pihak-pihak

yang merasa dipercayakan untuk mengemban amanah rakyat, sebagai

anggota legislatif maupun presiden dan wakil presiden terpilih. Pemilu

adalah pintu gerbang menuju masyarakat demokratis.

Pemilihan umum merupakan wahana bagi warga negara untuk

menggunakan hak politiknya untuk memilih orang yang dianggapnya Iayak

sebagai Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),

Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilam Rakyat Daerah

(DPRD). maupun sebagai Presiden dan Wakil Presiden, Guburnur, Bupati,

Walikota, serta jabatan publik lainnya. Dalam pemilu, hak memberikan

suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap

individu/warga negara yang

dijamin pemenuhannya oleh

(7)

perundang-undangan. Hak untuk memberikan suara atau memilih

(right to

vote) memberikan hak kepada pemiliknya untuk menggunakan hak

pilihnya, sehingga negara berkewajiban untuk memfasilitasi setiap warga

negara yang mempunyai hak pilih untuk dapat menggunakan hak pilihnya

tanpa adanya diskriminasi;

Dalam hal ini, berbagai peraturan perundang-undangan terkait pemilu

telah memberikan jaminan bagi setiap warga negara untuk menggunakan

hak sipil-politiknya, antara lain dimulai dari Undang-Undang Dasar 1945,

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota

DPR/DPD/DPRD (Kab/Kota) serta UU No 42 Tahun 2008 tentang

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Selain berbagai peraturan nasional, jaminan pertisipasi warga negara

dalam menggunakan hak pilihnya secara universal dan sederajat tanpa

adanya diskriminasi, juga diatur di dalam berbagai peraturan hukum

internasional. Hal ini antara lain disebutkan di dalam Deklarasi Universal

Hak Asasi Manusia (DUHAM), Kovenan Intemasional tentang Hak Sipil dan

Politik yang sudah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2005 dan Konvensi Intemasional tentang Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi Rasial yang sudah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor

(8)

ketentuan tentang “hak setiap orang untuk berpartisipasi dalam politik,

termasuk hak untuk memilih, dipilih dan hak untuk tidak memilih”.

Prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan rakyat

ditandai bahwa setiap warga negara berhak untuk ikut aktif dalam setiap

proses pengambilan keputusan kenegaraan. Oleh karena itu dalam kajian

Hukum Tata Negara (HTN), pemilu merupakan proses pengambilan

keputusan oleh rakyat dalam keputusan ketatanegaraan sebagai sarana

pengemban kedaulatan rakyat dalam rangka pembentukan

lembaga-lembaga perwakilan, disamping pemilu memiliki fungsi rekrutmen

pemimpin dan legitimasi pelaksanaan kekuasaan.

7

Sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 2 ayat (1)

menyatakan bahwa “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan

menurut UUD.” Makna dari “Kedaulatan berada ditangan rakyat” dalam hal

ini bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban

secara demokrasi memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan

guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat. Salah satu

wujud dari kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan pemilu yang

dilaksanakan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi rakyat

(9)

seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,

dan adil.

Secara umum, pemilu merupakan sarana untuk melahirkan

regenerasi pemerintahan. Sekaligus, dalam konteks good governance and

clean government, Pemilu juga merupakan ruang untuk melakukan

evaluasi atas kerja-kerja pemerintahan dalam periode berjalan. Dalam

Pemilu, perwujudan kehendak rakyat tersebut dituangkan dalam hak dan

kewajiban yang tersedia. Hak bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasi

mereka, memilih wakil dan pemimpin yang menurut mereka adalah

panutan, tanpa intervensi dan paksaan dari siapapun, termasuk negara.

Serta kewajiban bagi pihak-pihak yang merasa dipercayakan untuk

mengemban amanah rakyat, sebagai anggota legislatif (DPR, DPD,

DPRD), Gubernur, Bupati, Walikota maupun Presiden dan Wakil Presiden

terpilih. Pemilu adalah pintu gerbang menuju masyarakat demokratis.

Dalam suatu negara demokrasi, pemilu dilaksanakan secara teratur.

Setiap warga negara mempunyai hak untuk memilih dan dipilih serta bebas

menggunakan haknya tersebut sesuai dengan kehendak hati nuraninya.

Rakyat bebas untuk menentukan partai atau calon mana yang akan

(10)

merupakan jaminan terhadap prinsip hak asasi manusia, khususnya hak

sipil-politik (Sipol) yang telah mendapat perlindungan konstitusional.

Menurut Mirim Budiardjo,

8

Dikebanyakan negara demokrasi,

pemilihan umum dianggap lambang sekaligus tolak ukur dari demokrasi itu.

Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan

dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap

mencerminkan dengan agak akurat partisipasi serta aspirasi masyarakat.

Sekalipun demikian, disadari bahwa pemilihan umum bukan satu-satunya

tolak ukur dan perlu dilengkapi dengan beberapa kegiatan lain yang lebih

bersifat berkesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan partai,

lobbyng, dan sebagainya.

Dalam ilmu politik, dikenal bermacam-macam sistem pemilihan

umum dengan berbagai variasinya, akan tetapi umumnya berkisar pada

dua prinsip pokok, yaitu:

1.

Single-member Constituency (satu daerah pemilihan memilih satu

wakil, biasanya disebut sistem distrik).

2.

Multi-member Constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa

wakil, biasanya dinamakan sistem perwakilan berimbang).

9

8 Miriam Budiardo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (edisi revisi), (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm 462. Lihat juga, Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2005).

(11)

Disamping itu, ada beberapa varian seperti Block Vote (BV),

Alternative Vote (AV), Sistem Dua Putaran atau Two-Round System (TRS),

Sistem Paralel, Limited Vote (LV), Single Non-Transferable Vote (SNTV).

Tiga yang pertama lebih dekat kesistem distrik, sedangkan yang lain lebih

dekat ke sistem proporsional atau semi proporsional.

Terkait tujuan pemilu, menurut Parulian Donald,

10

ada dua manfaat

yang sekaligus sebagai tujuan atau sasaran langsung yang hendak dicapai

dengan pelaksanaan lembaga politik pemilu, yaitu pembentukan atau

pemupukan kekuasaan yang absah (otoritas) dan mencapai tingkat

keterwakilan politik (political representaveness).

Dari sudut pandang tujuan kedua manfaat merupakan tujuan

langsung yang berada dalam skala waktu relatif pendek. Hal ini

mengisyaratkan bahwa manfaatnya dirasakan segera setelah proses

pemilu berlangsung. Adapun tujuan tidak langsung dihasilkan dari

keseluruhan aktivitas dari semua pihak yang terlibat dalam proses pemilu,

baik kontestan maupun para pelaksana dan pengawas dalam kurun waktu

relatif lama, yaitu pembudayaan politik dan pelembagaan politik. Dalam arti

lebih sederhana, tujuan langsung berkaitan dengan hasil pemilu,

sedangkan tujuan tidak langsung berkenaan dengan proses pencapaian

hasil tersebut.

(12)

Arbi sanit

11

menyimpulkan bahwa pemilu pada dasarnya memiliki

empat fungsi utama yakni;

1. Pembentukan legitimasi penguasa dan pemerintah

2. Pembentukan perwakilan politik rakyat

3. Sirkulasi elit penguasa, dan

4. Pendidikan politik

Sebagai sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat berdasarkan

pancasila dalam Negara Republik Indonesia, maka Pemilu bertujuan

antara lain:

1. Memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan

tertib

2. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat

3. Dalam rangka melakukan hak-hak asasi warga Negara.

2.4.2. Partai Politik

Partai politik adalah organisasi politik yang mencari dan menjaga kekuasaan

politik dalam pemerintah yang membantu posisi partai dan philosophinya menjadi suatu

kebijakan.12

Dalam Pasal 1 ayat (1) UU No 2 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan

UU No 2 tahun 2011 tentang Partai Politik, disebutkan bahwa

“Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara

11 Arbi Sanit, Partai, Pemilu dan Demokrasi , (Jakarta, Pustaka Pelajar, 1997), hlm 158.

(13)

Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Dalam negara demokrasi, Parpol memiliki kedudukan (status) dan peranan (rule)

yang sentral dan penting. Partai politik biasa disebut pilar demokrasi, karena

memainkan peran yang penting sebagai penghubung antara pemerintahan negara dan

(the state) dan warga negaranya (the citizen). Bahkan, menurut Schattscheider (1942),

“Political parties created democracy”, partai politiklah yang membentuk demokrasi,

bukan sebaliknya. Oleh sebab itu, parpol merupakan pilar atau tiang yang perlu dan

bahkan sangat penting untuk diperkuat derajat perlembagaannya (the degree of

institutionalizations) dalam setiap sistem politik yang demokratis. Derajat perlembagaan

partai politik sangat menentukan kualitas demokratisasi kehidupan politik suatu negara.

Untuk membangun demokrasi yang kuat, dibutuhkan partai politik yang juga kuat

dan efektif. Sistem partai yang efektif mensyaratkan beberapa hal, yaitu; 1) kemampuan

partai untuk mengajukan program yang mereka mempunyai komitmen terhadapnya; 2)

Parpol mempunyai tingkat kohesi yang cukup untuk melaksanakan programnya. Hal ini

sesuai dengan apa yang disyarakatkan oleh American Political Science Association,13

bahwa parpol yang efektif mensyaratkan beberapa hal; 1) Parpol yang mampu

membawa program-program yang mereka mempunyai komitmen terhadapnya; 2)

Parpol mempunyai kohesi internal yang cukup untuk mewujudkan program tersebut.

Dalam sistem partai yang kuat, mampu membuat partai tersebut akuntabel

terhadap publik sehingga alasan dasar akuntabiltas sistem dua partai adalah hadirnya

(14)

partai oposisi yang bertindak memberikan kritik pada partai yang berkuasa,

mengembangkan, mendefinisikan, serta menghadirkan kebijakan alternatif yang perlu

bagi tercapainya keputusan publik.14

Sementara Kay Lawson menyimpulkan bahwa untuk bekerja, parpol memiliki

setidaknya empat motivasi, yaitu:

“... empat jenis motivasi parpol untuk bekerja; kepentingan pribadi, kesetiaan pada seorang pemimpin, kesetiaan pada organisasi dan komitmen pada kebijakan. Mereka mengacu pada tiga aktifitas untuk mencapai tujuan mereka ini yaitu menjalin hubungan baik, performa yang rutin dan efisien, serta responsif terhadap perubahan dari luar. Pertanyaan utama dari situasi internal adalah menemukan kemana satu hal berakhir; apakah batasan partai menyatu atau tidak tampak efektif? Dan dalam menghadapi empat situasi eksternal yang merupakan kombinasi dari dua kondisi: tingkat kekuasaan partai plus tingkat sistem stabilitas yang disebut sebagai keamanan, tantangan, kesempatan dan stalemate.”15

Dalam suatu negara demokrasi, kedudukan dan peranan setiap lembaga

diidealkan sama-sama kuat dan bersifat saling mengendalikan dalam hubungan check

and balances. Namun, jika lembaga-lembaga negara tidak berfungsi dengan baik,

kinerjanya tidak efektif atau lemah wibawanya dalam menjalankan fungsinya

masing-masing, maka yang sering terjadi adalah parpol yang rakus atau ekstrimlah yang

merajalela menguasai dan mengendalikan segala proses-proses penyelenggaraan

fungsi-fungsi pemerintahan.

Karena itu, sistem kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem

berdasarkan prinsip check and balances dalam arti luas. Sebaliknya, keefektifan kerja

fungsi-fungsi kelembagaan negara itu sesuai prinsip check and balances berdasarkan

konstitusi juga sangat menentukan kualitas sistem kepartaian dan mekanisme

14 Nurliah Nurdin, ibid.

(15)

demokrasi yang dikembangkan di suatu negara. Semua ini berkaitan dengan erat

dengan dinamika pertumbuhan tradisi dan kultur berpikir berbas dalam kehidupan

kolektif. Tradisi berpikir bebas atau kebebasan berpikir (freedom of expression) itu pada

gilirannya mempengaruhi tumbuh kembangnya prinsip-prinsip kemerdekaan berserikat

atau berorganisasi (freedom of association) dan kemerdekaan berkumpul (freedom of

assembly) dalam dinamika kehidupan masyarakat demokratis yang bersangkutan.16

Tentu saja, parpol hanyalah salah satu dari bentuk perlembagaan sebagai wujud

ekspresi, ide, pikiran, pandangan dan keyakinan bebas dalam masyarakat demokratis.

Karena itu, keberadaan parpol berkaitan erat dengan prinsip-prinsip kemerdekaan

berpendapat (feredom of expression), berorganisasi (freedom of association), dan

berkumpul (freedom of assembly). Ketiga prinsip kemerdekaan atau kebebasan diakui

dan dijamin oleh UUD 1945 hasil perubahan. Pasal 28E ayat (3) menyatakan “setiap

orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Usaha untuk memperkukuh kemerdekaan mengeluarkan pendapat,berserikat,

dan berkumpul tersebut bagian dalam upaya membangun perikehidupan kebangsaan

kita yang kuat dalam Negara Kesatuan Repubik Indonesia yang merdeka, bersatu,

berdaulat, demokratis dan berdasarkan hukum. Untuk ini, parpol merupakan salah satu

wujud partisipasi masyarakat yang penting dalam upaya mengembangkan demokrasi

yang menjunjung tinggi kebebasan (freedom), kesetaraan, kebersamaan, dan

kejujuran.

Dalam konteks bernegara, parpol bertindak sebagai penghubung dan perantara

dalam proses-proses pengambilan keputusan bernegara, yang menghubungkan antara

(16)

warga negara dengan institusi-institusi kenegaraan. Menurut Robert Michels dalam

bukunya Political Parties: A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of

Modern Democracy “...organisasi merupakan satu-satunya sarana ekonomi atau politik

untuk membentuk kemauan kolektif...” Proses perlembagaan demokrasi itu pada

pokoknya sangat ditentukan oleh perlembagaan organisasi parpol sebagai bagian yang

tak terpisahkan dari sistem demokrasi itu sendiri. Oleh sebab itu, menurut Yves Meny

and Andrew Knapp,17 “A democratic system without political parties or whith asingle

party is impossible or at any rate hard to imagine.” Sistem politik dan ketatanegaraan

dengan hanya satu partai politik, sulit sekali dibayangkan untuk dapat disebut sebagai

demokratis, apalagi jika tanpa partai politik sama sekali.

Tanpa parpol, organisasi-organisasi kemasyarakatan (Ormas), serta Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM) yang bebas dan merdeka, suara rakyat tidak akan dapat

disalurkan untuk mempengaruhi proses-proses penentuan kebijakan umum yang

berkaitan dengan kepentingan bersama dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara. Dalam kerangka pemikiran yang demikian, peranan parpol,

organisasi-organisasi kemasyarakatan, dan lembaga swadaya masyarakat dapat dikatakan

serupa. Hanya bedanya, parpol berurusan langsung dengan kebijakan negara,

sedangkan organisasi kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat hanya

berhenti pada perjuangan wacana publik atau tindakan-tindakan konkrit diluar konteks

organisasi negara. Organisasi non politik tidak dapat dan tidak memegang kewenangan

hukum untuk menentukan keputusan-keputusan kenegaraan. Namun, parpol dapat

(17)

melakukannya melalui perantara orang-orang yang berhasil mereka perjuangkan untuk

menduduki jabatan-jabatan kenegaraan yang dipilih (elected officials).

Sementara terkait fungsi partai politik, para ilmuwan politik biasa

menggambarkan adanya empat fungsi partai politik. Salah satunya menurut Miriam

Budiardo,18 keempat fungsi parpol tersebut adalah;

1. Sebagai sarana komunikasi politik (political communication) 2. Sebagai sosialisasi politik (political socialization)

3. Sebagai sarana rekrutmen politik (political recruitmen), dan 4. Sebagai sarana pengatur konflik (conflict management).

Sementara dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knapp,19 fungsi parpol itu

mencakup fungsi:

1. mobilisasi dan integrasi

2. sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku pemilih (voting patterns) 3. sarana rekruitmen politik

4. Sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan.

Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait satu sama lain. Sebagai sarana

komunikasi politik (political communication), parpol sangat berperan penting dalam

upaya mengartikulasikan kepentingan (interest articulations) atau political interest yang

terdapat atau terkadang yang tersembunyi dalam masyarakat. Berbagai kepentingan ini

diserap sebaik-baiknya oleh parpol menjadi ide, visi dan kebijakan parpol yang

bersangkutan. Setelah itu, ide dan kebijakan atau aspirasi kebijakan itu diadvokasikan

sehingga diharapkan dapat mempengaruhi atau bahkan menjadi materi kebijakan

kenegaraan yang resmi.

Terkait dengan komunikasi politik itu, parpol berperan penting dalam melakukan

sosialisasi politik (political socialization). Ide, visi dan kebijakan strategis yang menjadi

18 Miriam Budiardjo, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm.163-164.

(18)

pilihan parpol dimasyarakatkan kepada konstituen untuk mendapatkan umpan balik

(feedback) berupa dukungan dari masyarakat luas. Sementara terkait dengan

sosialisasi politik, partai sangat berperan penting dalam rangka pendidikan politik.

Parpol yang menjadi struktur antara yang harus memainkan peran dalam membumikan

cita-cita kenegaraan dalam kesadaran kolektif masyarakat warga negara.

Misalnya, dalam rangka kebutuhan memasyarakatkan kesadaran negara

berkonsitusi, partai dapat memainkan peran yang penting. Tentu, pentingnya peran

parpol dalam hal ini, tidak boleh diartikan bahwa hanya parpol saja yang memiliki

tanggungjawab eksklusif untuk memasyarakatkan UUD. Semua kalangan, dan bahkan

para pemimpin politik yang duduk dalam jabatan-jabatan publik, khususnya pimpinan

pemerintahan eksekutif memiliki tanggungjawab yang sama untuk itu. Yang hendak

ditekankan disini adalah bahwa peranan parpol dalam rangka pendidikan politik dan

sosialisasi politik itu sangat besar.

Fungsi ketiga parpol adalah terkait sarana rekruitmen politik political recruitmen).

Pembentukan partai memang dimaksudkan untuk menjadi kendaraan yang sah untuk

menyeleksi kader-kader pemimpin negara pada jenjang-jenjang dan posisi-posisi

tertentu. Kader-kader itu ada yang dipilih secara langsung oleh rakyat, ada pula yang

dipilih melalui cara yang tidak langsung,seperti oleh DPR, atau melalui cara-cara yang

tidak langsung lainnya. tentu tidak semua jabatan dapat diisi oleh peranan parpol

sebagai sarana rekruitmen politik. Jabatan-jabatan profesional dibidang kepegawaian,

dan lain-lain yang tidak bersifat politik, tidak boleh melibatkan parpol. Parpol hanya

boleh terlibat dalam pengisian jabatan-jabatan yang bersifat politik dan karena itu

(19)

Fungsi keempat adalah terkait sarana pengatur dan pengelola konflik yang

terjadi dalam masyarakat (conflict management). Seperti telah disebut diatas, nilai-nilai

(values) dan kepentingan-kepentingan (interests) yang tumbuh dalam kehidupan

masyarakat sangat beraneka ragam, rumit, dan cenderung saling bersaing dan

bertabrakan satu sama lain. Jika parpolnya banyak, berbagai kepentingan yang

beranekaragam itu dapat disalurkan melalui polarisasi parpol-parpol yang menawarkan

ideologi, program, dan alternatif kebijakan yang berbeda satu sama lain. Dengan kata

lain, sebagai pengatur atau pengelola konflik (conflict management) partai berperan

sebagai sarana agregasi kepentingan (agregations of interest) yang menyalurkan

ragam kepentingan yang berbeda-beda itu melalui saluran kelembagaan politik partai.

Karena itu, dalam kategori Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi pengelola konflik

dapat dikaitkan dengan fungsi integrasi parpol. Parpol mengagregasikan dan

mengintegrasikan beragam kepentingan itu dengan cara menyalurkannya dengan

sebaik-baiknya untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik kenegaraan.20

Olehnya itu, dalam Pasal 11 UU No 2 Tahun 2008 yang menyempurnakan UU

No 31 tahun 2002 dan UU No 2 Tahun 1999 tentang Parpol disebutkan dengan jelas

bahwa fungsi parpol adalah:

1) Partai Politik berfungsi sebagai sarana:

a. pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

b. penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;

c. penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;

d. partisipasi politik warga negara Indonesia; dan

(20)

e. rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.

2) Fungsi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan secara konstitusional.

Sementara terkait dengan tujuan Parpol, Pasal 10 UU No 2 Tahun 2008 tentang

Parpol membagi tujuan berdirinya Parpol secara umum dan secara khusus:

1) Tujuan umum Partai Politik adalah:

a. mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan

menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan

d. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. 2) Tujuan khusus Partai Politik adalah:

a. meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan;

b. memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan

c. membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

3) Tujuan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan secara konstitusional.

Namun, disamping pandangan yang postif mengenai peranan partai politik itu,

banyak juga pandangan kritis dan skeptis terhadap partai politik. Yang paling serius

diantaranya menyatakan bahwa partai politik sebenarnya tidak lebih daripada sekedar

kendaraan politik bagi sekelompok elit politik yang berkuasa dan sekedar sarana bagi

mereka untuk memuaskan “birahi kekuasaannya” sendiri. Parpol hanya berfungsi

sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung yang berhasil

memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui melalui pemilihan umum, untuk

(21)

segolongan orang “at the expense of the general will” (Rosseau, 1762). Bahkan

menurut Robert Michels, Parpol seperti organisasi pada umumnya, selalu melahirkan

dominasi yang bersifat oligarkis.21

2.4.3. Sistem Kepartaian Multipartai

Konsekuensi umum yang telah menjadi karakteristik penerapan sistem

multipartai di beberapa negara adalah tingkat pelembagaan sistem kepartaian rendah.

Pengalaman beberapa negara yang sedang mengalami transisi politik yang

menerapkan sistem multipartai cenderung menciptakan sistem partai yang sudah retak

(fragile) dan dengan tingkat pelembagaan yang rendah. Akibatnya, gejala perpecahan

internal partai sangat kuat.22

Fenomena perpecahan parpol yang diikuti bertambahnya jumlah partai akan

menyebabkan munculnya gejala ketidakmampuan partai memelihara disipilin

anggotanya. Gejala ini mendorong terjadinya perpindahan politisi dari satu partai ke

partai lainnya. Perpindahan ini sering diikuti dengan pembentukan partai baru sebagai

manifestasi protes dan kekecewaan terhadap partai lama. Sifat mudah pecah dan

rendahnya tingkat pelembagaan sistem kepartaian merupakan karakteristik sistem

multipartai.23

Karakteristik kedua adalah terfragmentasinya kekuatan politik dalam parlemen.

Rendahnya tingkat pelembagaan partai akan berimplikasi terhadap sistem multipartai

21 Baca pengantar Seymour Martin Lipser dalam Robert Michels, Political Parties: A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy, McMilan, New York, edisi bahasa Indonesia dengan pengantar oleh Arbi Sanit, Partai Politik: Kecenderungan Oligarkis dalam Birokrasi, 1984, Rajawali Pers, Jakarta, hlm xiii-xiv, dalam Jimly Ashiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, 2008 , PT Bhuana Ilmu Populer, hlm 710.

22 Hanta Yudha, op.cit, hlm. 38

(22)

yang cenderung terfragmentasi. Fenomena persaingan antar parpol di dalam dan diluar

parlemen akan menghiasi dinamika politik multipartai. Partai di dalam dan diluar

parlemen terbagi kedalam faksi dan fraksi yang bersaing satu sama lain untuk

memperebutkan kekuasaan, baik di badan eksekutif (kabinet), maupun badan legislatif

(parlemen). Karakter dasar sistem multipartai ini akan menimbulkan akibat-akibat

strategis terhadap sistem pemerintahan presidensial.

Karakteristik ketiga penerapan sistem multipartai adalah kemunculan koalisi.

Implikasi sistem multipartai yang sedemikian terfragmentasinya adalah parpol

pemenang pemilu akan sulit mencapai angka mayoritas tanpa adanya koalisi dalam

pemerintahan. Presiden yang terpilih dalam pemilihan langsung dalam sistem

presidensial ditengah kondisi multipartai pada umumnya adalah presiden minoritas

(minority president).24 Presiden hanya mendapatkan dukungan minoritas di parlemen.

Presiden yang minoritas dalam konteks multipartai mutlak harus melakukan koalisi

untuk menciptakan stabilitas pemerintahannya.

Pada prakteknya, sistem kepartaian yang berhubungan langsung dengan sistem

konstitusi tentunya tidak cukup hanya dilihat dari banyaknya partai saja, namun perlu

dipetakan mengenai rentang ideologi formal yang dimiliki oleh parpol. Sejauh mana

nilai-nilai ideologi tersebut terinternalisasi dalam aktivitas dan gerak parpol. Inilah yang

nantinya akan menentukan corak koalisi-terutama dalam tipologi sistem multipartai.25

Hal ini diperjelas oleh Givanni Sartori yang membagi tipologi sistem kepartaian

berdasarkan jarak ideologi. Tipologi Sartori ini mengembangkan tipologi Duverger yang

hanya melihat sistem kepartaian berdasarkan aspek tipologi numerik. Khusus pada

24 Scott Mainwaring dan Matthew Soberg Shugart, op.cit., 1997.

(23)

tipologi multipartai, Sartori membaginya menjadi pluralisme moderat dan pluralisme

ekstrim.

Berdasarkan kriteria perhitungan pada tabel dibawah ini., Sartori membagi

sistem kepartaian dalam 4 tipe; partai, dwi partai, pluralisme moderat, dan pluralisme

ekstrim, kurang dari 5 partai.26 Pada tipologi Sartori, sistem multipartai tidak lagi dilihat

sebagai kategori tunggal. Sistem ini dijabarkan lebih jauh dalam keragaman moderat

dan ekstrim, yang masing-masing kemudian dibagi dalam sistem kepartaian yang

terpolarisasi dan tidak terpolarisasi.

Tabel 1: Sistem Kepartaian Menurut Givanni Sartori (2)27

Jumlah Partai Tingkat Jarak Ideologi

Rendah Tinggi

3-5 Pluralitas Moderat Pluralisme terbatas terpolarisasi Kurang dari 5 Pluralitas Ekstrim Pluralisme Terpolarisasi

Menurut Sartori, sistem kepartaian pluarlisme ekstrim biasanya muncul di

negara-negara berkembang, yang masyarakatnya secara sosio-kultural terbilang

majemuk.28 Sistem ini melahirkan partai-partai dalam jumlah besar dan masing-masin

memiliki ideologi yang bertentangan sehingga konsensus sulit dicapai. Padahal,

stabilitas suatu pemerintahan yang dibangun diatas platform kepartaian yang plural,

sangat tergantung pada kemampuan membangun koalisi.

Di sisi lain, Blondel dan Rokkan29 melihat jumlah suara yang diperoleh dalam

serangkaian pemilu. Suatu sistem dikategorikan sebagai sistem dua partai bila dua

partai tersebut mengumpulkan suara sebanyak 90% atau lebih dalam pemilu. Manakala

dua partai terbesar memperoleh suara 75% hingga 80% dari total suara, maka partai

26 Kuskrido Ambardi, Politik Kartel, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 8.

27 Ibid, hlm. 10-11

28 Ramlan Subakti, op.cit., hlm. 124.

(24)

tersebut masuk dalam kategori sistem tiga partai. Sistem multipartai betul-betul ada

apabila dua partai terbesar hanya memperoleh suara 66% atau kurang.

Bila karakteristik yang mendasari berbagai tipologi tersebut disesuaikan dengan

kondisi Indonesia, maka Indonesia memenuhi kriteria untuk dikatakan sebagai

penganut sistem multipartai-khususnya multipartai ekstrim bila mengacu pada tipologi

Sartori. Indonesia memenuhi kriteria masyarakat yang majemuk secara sosio kultural,

sehingga partai yang berkembang juga banyak dengan rentang ideologi yang sangat

bervariasi.

Peta ideologi partai politik peserta pemilu 2004 ternyata tidak banyak berubah

dibanding pemilu 1999. dengan menggunakan dua garis belahan-garis vertikal (

elitis-populis) dan garis horizontal (religius-sekuler)-Kevin Raymond Evan membuat tabel

tentang belahan ideologis partai-partai peserta pemilu 1999.30 Jarak ideologi formal

parpol peserta pemilu 2004 dalam pembelahan horizontal ini cukup relevan untuk

memetakan rentang ideologi formal parpol dari religius ke sekuler. Sedangkan garis

vertikal menggambarkan ikatan elit parpol dengan masyarakat (konstituen). Pada garis

populis ikatan lebih bersifat emosional dan simbolis, sedangkan pada garis elitis, ikatan

lebih pada proses politik dalam perumusan kebijakan partai.

Dalam pandangan Saiful Mujani, di negara demokrasi baru seperti Indonesia,

kalau masyarakatnya sangat majemuk, maka sangat majemuk pulalah partainya.

Berarti parpol sebenarnya adalah representasi dari kemajemukan masyarakatnya. Ini

akan menimbulkan masalah, sebab menyangkut efektivitas dan efisiensi demokrasi.

Inipun yang membuat demokrasi menjadi sulit matang.31 Terutama pasca kejatuhan

30 Kevin Raymonds Evan, Sejarah Pemilu dan Parpol di Indonesia, (Jakarta: PT Arise Concultancies, 2003), hlm.31.

(25)

rezim Orba, sistem kepartaian Indonesia jelas dapat digolongkan pada tipologi pluralitas

ekstrim. Jumlah partainya sangat banyak dan memiliki rentang ideologi formal yang

tajam serta cenderung bergerak secara sentrifugal hingga berpeluang melahirkan

partai-partai baru.32

Tahun 1999, Pemilu diikuti 48 parpol dengan persentasi suara partai pemenang

(PDIP) tidak sampai 34%. Persentase itu pula disusul oleh persentase kemenangan

tiga partai lain dengan nominal yang relatif berdekatan. Perolehan suara diatas 10%

pun hanya dicapai oleh 4 parpol. 21 parpl mendapat kursi di parlemen. Begitu juga dari

pemilu tahun 1999-2004 yang diikuti oleh 24 parpol, 6 parpol lolos electoral treshold 2%

dan 18 parpol baru dan partai yang berganti nama. Dari 24 parpol, 18 parpol mendapat

kursi di parlemen dengan perolehan kursi yang sangat tidak besar (ada yang hanya

mendapat 1 kursi). Sedangkan tahun 2009, Pemilu diikuti oleh 44 partai dengan 9 partai

yang berhasil masuk parlemen.33

Sejak kemerdekaan hingga kini, Indonesia telah mempraktikan sistem kepartaian

berdasarkan pada sistem multipartai, meski dalam derajat dan kualitas yang berbeda.

Kini derajat penerapan multipartai di Indonesia adalah sangat ekstrim (hyper

multiparties) karena banyaknya jumlah parpol yang ada.34

Pelembagaan multipartai di Indonesia merupakan implikasi dan kombinasi dari

tiga hal, yaitu; pluaralitas masyarakat yang terbentuk secara horizontal maupun vertikal,

faktor sejarah, dan desain sistem pemilu proporsional. Adapun karekteristiknya antara

lain diwarnai oleh: konvergensi dan konflik internal partai; oligarki elit dan personalisasi

32 Hanta Yudha A.R. op.cit., hlm. 34.

33 Lili Romli dalam Ikrar Nusa Bhakti dan Mochtar Pabottinggi (ed), Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm 249.

(26)

figur; konfigurasi kekuatan politik yang terfragmentasi dengan jumlah kekuatan politik

yang terpolarisasi; serta adanya koalisi partai dengan ikatan yang cair dan rapuh.35

2.5. TEORI SISTEM PEMERINTAHAN

Dua sistem yang paling dikenal di dunia adalah sistem pemerintahan presidensil dan

parlementer. Selain kedua sistem tersebut, sebetulnya ada pula sistem lain, seperti

sistem campuran yang dipraktikan di Perancis, dan sistem kolektif yang dipraktikan di

Swiss. Berkaitan dengan sistem pemerintahan, pada umumnya dibedakan kedalam dua

sistem utama; yaitu sistem presidensil dan parlementer, sebagaimana yang dikaji dalam

tesis ini, diluar kedua sistem tersebut merupakan sistem “campuran” atau kuasi

parlementer atau kuasi presidensil, ada juga yang menyebut sistem referendum.36

Dimana dalam sistem referendum badan eksekutif merupakan bagian dari badan

legislatif, yang disebuat badan pekerja legislatif. Dalam sistem ini, badan legislatif

membentuk sub badan didalamnya sebagai pelaksana tugas pemerintah. Kontrol

terhadap badan legislasi dilakukan secara langsung melalui referendum.

Sedang menurut Jimly Asshiddiqie37 terdapat empat model sistem pemerintahan;

yaitu moidel Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan Swiss. Amerika Serikat mewakili

sistem presidensil, Inggris sistem parlementer, Perancis mewakili sistem campuran,

sedang Swiss mewakili sistem yang lain, yaitu sistem kolegial, dimana presidennya

merupakan satu dewan eksekutif yang terdiri dari 7 anggota. Satu orang anggota

berfungsi sebagai presiden untuk waktu satu tahun, bergantian dengan anggota dewan

35 Hanta Yudha, op.cit., hlm 102-119.

36 Mohd. Mahfud M.D. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, edisi revisi, (Yogyakarta: Reneksa Cipta, 2000), hlm. 74.

(27)

eksekutif yang lain. C.F. Strong38 membedakannya dalam dua jenis; eksekutif nominal

dan eksekutif riil.

Pembeda utama antara sistem parlementer dan sistem presidensil adalah

pemegang kekuasaan pemerintahan. Dalam sistem parlementer, kekuasaan

pemerintahan dipegang oleh parlemen. Perdana Menteri bersama kabinet

pemeirntahan sesungguhnya adalah organ parlemen yang melaksanakan tugas

pemerintahan. Oleh karena itu seorang perdana menteri dan para menteri dapat

merangkap, bahkan lazimnya, adalah anggota parlemen. Dalam konstruksi demikian,

wewenang pembentukan dan pembubaran pemerintahan sepenuhnya ada ditangan

parlemen. Sistem parlementer tidak dapat dilepaskan dari pandangan supremasi

parlemen, sehingga dapat dipastikan bahwa negara yang menganut supremasi

parlemen akan menganut sistem parlementer. Sistem ini mengandung konsekuensi

tidak adanya pemisahan antara cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif.39 Dibawah

ini akan dikaji perbedaan kedua sistem pemerintahan tersebut.

2.5.1. Sistem Pemerintahan Presidensil

Sistem Presidensial meletakan presiden tidak hanya sebagai pusat kekuasaan

eksekutif tetapi juga pusat kekuasaan negara. Artinya, Presiden tidak hanya kepala

pemerintahan (chief of executive) tetapi juga kepala negara (chief of state). Itulah

sebabnya rentang kekuasaan presiden tidak hanya menyentuh wilayah eksekutif, tetapi

38 C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern; Kajian Tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, (Bandung: Nuansa dan Nusa Media, 2004), hlm. 203..

(28)

juga sedikit banyak merambah pada proses legislasi serta kewenangan di bidang

yudikatif.40

Dalam sistem presidensial, presiden adalah kepala negara sekaligus kepala

pemerintahan.Presiden merupakan simbol sekaligus pemangku kekuasaan. Presiden

biasanya dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilu. Presiden memiliki

kewenangan penuh terhadap pemerintahan, termasuk dalam hal menunjuk

menteri-menterinya di kabinet. Karenanya, presiden bertanggungjawab langsung terhadap

rakyat, bukan kepada parlemen/legislatif/DPR. Mekanisme yang berlaku antara

presiden dan legislatif adalah check and balances. Kedudukan antara keduanya sangat

kuat karena sama-sama memperoleh legitimasi langsung dari rakyat melalui pemilu

yang terpisah. Dalam konteks ini, presiden tidak dapat membubarkan parlemen,

demikian pula parlemen tidak dapat menjatuhkan presiden secara langsung.

Dalam pandangan Nurliah Nurdin,41 Pemerintahan presidensilal adalah bentuk

pemeirntahan konstitusional yang menempatkan presiden sebagai kepala eksekutif

yang menggunakan otoritas yang didapat dari pemilihan langsung dan memerintah

dengan mandiri dari parlemen.

Mohd. Mahfud M.D.,42 memberikan pandangannya tentang ciri dan prinsip yang

terkandung dalam sistem pemerintahan presidensil yaitu:

1. Kepala negara menjadi kepala pemerintahan;

2. Pemerintah tidak bertanggungjawab kepada parlemen (DPR); 3. Menteri-menteri diangkat dan bertanggungjawab kepada Presiden; 4. Eksekutif dan legislatif sama-sama kuat.

40 Denny Indrayana, Negara Antara Ada dan Tiada; Reformasi Hukum Ketatanegaraan, (Jakarta: KOMPAS, 2008), hlm. 195.

41 Nurliah Nurdin, op.cit,hlm. 32.

(29)

Jimly Asshiddiqie mengembangkan sembilan ciri sistem pemerintahan

presidensil sebagai berikut:

1. Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif

dan legislatif;

2. Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif presiden tidak

dapat dibagi dan yang ada hanya presiden dan wakil presiden saja;

3. Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya kepala

negara sekaligus kepala pemerintahan;

4. Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu presiden atau sebagai

bawahan yang bertanggungjawab kepadanya;

5. Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan demikian pula

sebaliknya;

6. Presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa parlemen;

7. Jika dalam sistem parlemen berlaku prinsip supremasi parlemen, maka dalam

sistem presidensial berlaku prinsip supremasi konstitusi. Karena itu

pemerintahan eksekutif bertanggungjawab kepada konstitusi;

8. Eksekutif bertanggungjawab secara langsung kepada rakyat yang berdaulat; 9. Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem parlementer

yang terpusat pada parlemen.43

Sistem presidensil merupakan sistem pemerintahan yang terpusat pada jabatan

presiden sebagai kepala pemerintahan (head of government) sekaligus sebagai kepala

negara (head of state).44

Secara lebih detail, Douglas V. Verney dalam Arend Lijhart45 mengemukakan

ciri-ciri sistem pemerintahan presidensil yaitu:

43 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2008), hlm.316.

44 Ibid, hlm. 311

(30)

1. Majelis tetap sebagai majelis 2. Eksekutif tidak dibagi

3. Kepala pemerintahan juga kepala negara 4. Presiden mengangkat kepala departemen 5. Presiden adalah eksekutif tunggal

6. Majelis tidak boleh menduduki jabatan eksekutif 7. Eksekutif bertanggungjawab kepada pemilih 8. Presiden tidak dapat membubarkan majelis

9. Majelis berkedudukan lebih tinggi daripada cabang 10.Tidak ada fokus kekuasaan dalam dalam sistem politik

Dengan karakteristik yang demikian, maka sistem presidensial memiliki

beberapa kelebihan seperti yang disampaikan oleh Arend Lijphart. Menurut Arend

Lijphart, stabilitas pemerintahan akan terjaga dalam sistem pemerintahan dalam hal

kepemimpinan dan masa jabatan. Presiden yang dipilih secara langsung pun

dipandang lebih demokratis daripada pemilihan tidak langsung. Selain itu, pembagian

kekuasaan yang jelas (mekanisme check and balances) dapat menghilangkan

otoritarianisme dalam pemerintahan. Presidenpun dapat menyesuaikan

program-programnya sesuai dengan masa periodenya.46

Scott Mainwaring juga mengemukakan beberapa kelebihan sistem presidensial,

antara lain; pemilih memiliki pilihan yang lebih luas-pemilih bebas memilih partai di

parlemen yang belum tentu sama dengan partai pengusung eksekutif; adanya

akuntabilitas dan identifikasi dalam Pemilu-pemilih memilih calonnya sendiri, maka

presiden langsung bertanggungjawab pada pemilih (rakyat); parlemen adalah lembaga

independen-parlemen berperan sebagai lembaga pengontrol kekuasaan presiden.47

Namun demikian, sistem presidensial bukannya memiliki kelemahan. Juan Linz

misalnya mengidentifikasi lima persoalan sistem presidensial. Pertama, pada sistem

46 Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, (terj) (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 14.

(31)

presidensial, presiden dan parlemen sama-sama memiliki basis legitimasi yang kuat

(dual legitimacy). Kekuatan yang berimbang ini memiliki tendensi konflik yang bersifat

laten karena masing-masing memiliki kekuasaan. Konflik akan timbul dalam hal

kebijakan yang berkaitan dengan pengakomodasian kepentingan. Kedua. Kondisi yang

fixed term memunculkan sebuha kekakuan, bahwasanya bila ternyata presiden tidak

sesuai harapan, presiden tidak dapat diganti hingga pemilu periode berikutnya.

Ketiga, sistem presidensial memunculkan fenomena zero-sum-game. Tidak ada

mekanisme power sharing yang terbentuk antara eksekutif dan parlemen, sehingga

masing-masing akan memenangkan dirinya (the winner takes all). Jika demikian,

mekanisme koalisi akan terbentuk dalam wacana memperoleh kekuasaan. Keempat,

Linz mengatakan bahwa sistem presidensial kurang menguntungkan bagi demokrasi

dibandingkan sistem parlementer. Perasaan sebagai representasi rakyat akan membuat

eksekutif kurang toleran terhadap oposisi dan bisa jadi memegang kuasa melebihi

proposisi yang dimandatkan. Kelima, demi kemenangan, partai akan cenderung

mengusung calon yang populis, meski calon tersebut tidak terikat langsung dengan

partai (bukan orang partai). Menurut Linz ini akan memunculkan potensi destabilitas

karena calon dan partai belum tentu memiliki kesamaan pandangan ideologi dan

kepentingan.48

Kritik terhadap mekanisme presidensial juga datang dari Scott Mainwaring yang

menemukan bahwa dari penelitiannya terhadap 33 negara demokrasi yang bertahan

lama, hanya 6 negara yang menerapkan sistem presidensial. Berdasarkan studinya

yang dilakukan pada pemerintahan negara di Eropa dan Amerika Latin, Mainwaring

(32)

juga menemukan bahwa 23 dari 28 negara yang menerapkan sistem parlementer

adalah negara berpenghasilan menengah keatas. Sisanya (5 negara) berpenghasilan

menegah kebawah, yaitu 3 negara menerapkan sistem presidensial dan 2 negara

menerapkan sistem parlementer-negara yang menerapkan sistem presidensial

biasanya adalah negara yang berpenghasilan rendah.49 Ini membuktikan bahwa sistem

presidensial yang diterapkan di beberapa negara tidak kondusif bagi negara lain.

2.5.2. Sistem Pemerintahan Parlementer

Apabila dalam suatu pemerintahan negara, diadakan pembedaan yang tegas

antara jabatan kepala negara (head of state) dan kepala pemerintahan (head of

government), maka pemerintahan yang bersangkutan mengandung ciri parlementer

(parliamentary government) atau bahkan merupakan negara dengan sistem

pemerintahan parlementer.50

Dalam praktik kedudukan kepala negara biasanya dipegang oleh raja, ratu,

presden, atau sebutan lain sesuai dengan bahasa resmi yang dipakai dinegara yang

bersangkutan. Sedangkan jabatan kepala pemerintahan biasanya disebut Perdana

Menteri (Prime Minister) atau di Jerman disebut Kanselir (Councellor). Di

negara-negara yang berbentuk kerajaan (monarki), dengan stelsel parlementer, dianut adanya

dua asas, yaitu; 1) raja tidak dapat diganggu gugat (the king can do no wrong), dan 2)

apabila sebagian besar wakil rakyat diparlemen tidak menyetujui kebijakan pemerintah,

secara sendiri-sendiri atau seluruhnya, menteri harus meletakan jabatan. Asas inilah

49 Ibid, hlm. 457.

(33)

yang disebut sebagai sistem pemerintahan parlementer (parlementaire

regerengsvorm).51

Dalam hubungannya dengan parlemen, perdana menteri dalam sistem

parlementer bertanggungjawab pada parlemen. Ia dan kabinetnya dapat diberhentikan

setiap saat oleh parlemen bila dukungan parlemen tidak lagi mencukupi (biasanya

sama atau kurang dari 50% jumlah anggota parlemen). Bila hal tersebut terjadi,

parlemen mengeluarkan mosi tidak percaya kepada sehingga perdana menteri atau

menteri tertentu harus berhenti dari jabatannya. Bila perdana menteri yang mendapat

mosi tidak percaya, kabinet secara keseluruhan harus berhenti sehingga dibentuk

kabinet baru. Namun dalam konflik dengan parlemen, perdana menteri dapat

membubarkan parlemen yang menyebabkan perlunya pemilu dilakukan untuk memilih

anggota-anggota parlemen yang baru yang akan memilih kabinet baru.52

Douglas V. Verney,53 mengemukakan ciri pemerintahan parlementer yaitu:

1. Majelis menjadi parlemen

2. Eksekutif dibagi menjadi dua bagian

3. Kepala negara mengangkat kepala pemerintahan 4. Kepala pemerintahan mengangkat menteri

5. Kabinet (pemerintah) adalah badan kolektif 6. Menteri biasanya merupakan anggota parlemen

7. Pemerintah bertanggungjawab secara politik kepada majelis

8. Kepala pemerintahan dapat memberikan pendapat pada kepala negara untuk

membubarkan majelis

9. Parlemen sebagai suatu kesatuan memiliki supremasi dan tidak saling

menguasai.

10.Pemerintah satu kesatuan, bertanggungjawab secara tidak langsung kepada

pemilih

51 Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, dalam Jimly Asshiddiqie, ibid..

52 Maswadi Rauf, Evaluasi Sistem Presidensial, dalam Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal, peny, (Moch. Nurhasim dan Ikrar Nusa Bhakti), (Jakarta, Pustaka Pelajar dan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, 2009), hlm. 30.

(34)

11.Parlemen adalah fokus kekuasaan dalam sistem politik

Bagir Manan,54 menyebutkan ciri sistem pemerintahan parlementer yaitu:

1. Presiden dalam sistem pemerintahan parlementer pada umumnya dipilih dan

diangkat oleh atau menyertakan badan perwakilan rakyat, tetapi tidak

bertanggungjawab dengan berbagai modifikasi.

2. Presiden tidak bertanggungjawab atas penyelenggaraan pemerintahan,

tanggungjawab penyelenggaraan pemerintahan ada pada kabinet atau deean

menteri yang bertanggungjawab kepada badan perwakilan rakyat. Presiden tidak

dapat diganggu gugat, seperti halnya raja.

3. Presiden semata-mata sebagai kepala negara, bukan sebagai kepala

penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai kepala negara, presiden hanya

sebagai simbol dan lebih banyak melakukan tugas-tugas seremonial dan

beberapa tugas dalam lingkungan hak konstitusional yang bersifat prerogatif. 4. Setiap tindakan pemerintahan atau politik yang dilakukan presiden diluar hak

konstitusional yang bersifat prerogatif dipertanggungjawabkan kepada kabinet.

Maka untuk memudahkan pemahaman terhadap perbedaan sistem

pemerintahan presidensil dan parlementer, maka ada beberapa aspek yang

membedakannya, diantaranya; hubungan kelembagaan, pola rekrutmen, serta pola

pengawasan dan pertanggungjawaban, berdasarkan tabel berikut:

Tabel 2: Perbandingan Sistem Pemerintahan Presidensil dan Parlementer.55

No Aspek Sistem

Presidensil Parlementer

1 Hubungan

kelembagaa 1. Terdapat pemisahan kekuasaan eksekutif 1. Terdapat pemisahan antara kepala negara

54 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Cet ke-2 (Yogyakarta; FH-UII 2003), hlm 48-49.

(35)

n dan legislatif. Namun tidak ada pemisahan antara jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan. 2. Eksekutif dipegang

oleh presiden sebagai kepala pemerintahan dan sekaligus kepala negara. Kekuasaan legislatif berada di parlemen. Eksekutif dan legislatif memiliki kekuasaan terpusat dan seimbang. 3. Sebutan kepala

pemerintahan sekaligus kepala negara adalah

presiden. Karenanya, sistem ini disebut presidensil.

dan kepala

pemerintahan. Namun tidak ada pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. 2. Baik eksekutif maupun

legislatif berada di parlemen. Jajaran eksekutif adalah anggota parlemen. Karenanya sistem ini disebut parlementer. 3. Kepala pemerintahan

adalah pimpinan kekuatan mayoritas di parlemen. Kepala negara hanya memiliki kekuasaan simbolik diluar eksekutif dan legislatif.

4. Sebutan kepala

pemerintahan; perdana menteri atau prime minister. Sebutan kepala negara; presiden, raja, ratu, gubernur jenderal, dll

2 Pola

rekrutmen

1. Tidak ada tumpang tindih personal antara lembaga eksekutif dan legislatif.

2. Anggota legislatif dipilih langsung lewat pemilu

3. Pimpinan eksekutif (yakni presiden dan wapres) dipilih langsung melalui pemilu.

4. Jajaran eksekutif lini kedua (yakni para menteri) diangkat oleh presiden

1. Terdapat tumpang tindih personal antara eksekutif dan legislatif 2. Anggota legislatif dipilih

langsung lewat pemilu. 3. Partai dengan kursi

mayoritas di parlemen membentuk

pemerintahan. Pimpinan partai ini menjadi perdana menteri.

(36)

Banyak studi yang dilakukan oleh para ahli untuk membedakan antara sistem

presidensial, sistem parlementer, dan sistem campuran. Douglas V. Verney,56 misalnya,

menyatakan bahwa sistem parlementerlah yang paling banyak dianut diseluruh dunia,

sehingga timbul banyak ragam corak parlementarisme yang dipraktikan di dunia.

Namun dapat dikatakan bahwa dalam berbagai sistem pemerintahan parlementer yang

dipraktikan itu, selalu terdapat sejumlah prinsip pokok, yaitu:

1. Hubungan antara lembaga parlemen dan pemerintah tidak murni terpisahkan; 2. Fungsi eksekutif dibagi kedalam dua bagian, yaitu seperti yang diistilahkan

oleh C.F. Strong sebagai “the real executive” pada kepala pemerintahan dan “the nominal executive” pada kepala negara;

3. Kepala pemerintahan diangkat oleh kepala negara;

4. Kepala pemerintahan mengangkat menteri-menteri sebagai satu kesatuan institusi yang bersifat kolektif.

5. Menteri adalah atau biasanya adalah anggota parlemen;

6. Pemerintah bertanggungjawab kepada parlemen, tidak kepada rakyat pemilih. Karena pemerintah tidak dipilih oleh rakyat secara langsung, sehingga pertanggungjawaban kepada rakyat pemilih juga bersifat tidak langsung, yaitu melalui parlemen;

7. Kepala pemerintahan dapat memberikan pendapat kepada kepala negara untuk membubarkan parlemen;

8. Dianutnya prinsip supremasi parlemen sehingga kedudukan parlemen dianggap lebih tinggi daripada bagian-bagian dari pemeirntahan;

9. Sistem kekuasaan negara terpusat pad aparlemen.

Gambar

Tabel 2: Perbandingan Sistem Pemerintahan Presidensil dan Parlementer.55

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa berawal dari pada hari Senin tanggal 21 September 2015 sekira pukul 10.00 Wib, saksi Ludi Sitompul dan korban Burju Manjalo Partuaon Sitompul datang kerumah

(taraf 1%) Berarti signifikan Hipotesis diterima Ada pengaruh yang signifikan pada penerapan pembelajaran matematika model elaborasi terhadap hasil belajar peserta didik

Karena dengan menguasai teknologi internet akan dapat mewujudkan strategi yang tepat dan jitu sehingga nilai-nilai Islam (pesan dakwah) dapat diterima dengan baik oleh sesama

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan berdasarkan data atau fakta yang sahih dan valid, benar dan dapat dipercaya tentang seberapa

Setelah buku diolah dalam system digital, maka buku akan dipublikasikan dengan menggunakan komputer kemudian bisa diakses oleh semua pengguna, hal inilah yang

Selain itu konsumen yang ingin menjaga kesehatan mata dan otak dan memiliki masalah buang air besar juga dapat mengkonsumsi obat herbal dari bubuk daun kelor dan teh

Kegiatan yang telah dilaksanakan menggunakan metoda geologi yang meliputi pengamatan morfologi, jenis sebaran endapan kerikil berpasir alami ( SIRTU) atau litologi dan

Meskipun demikian, penggunaan metformin pada lansia dibatasi oleh adanya efek samping gastrointestinal berupa anoreksia, mual, dan perasaan tidak nyaman pada perut