• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMIIHAN UMUM SERENTAK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENGUATAN SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA. Kasman Siburian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMIIHAN UMUM SERENTAK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENGUATAN SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA. Kasman Siburian"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PEMIIHAN UMUM SERENTAK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENGUATAN SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA

Kasman Siburian

Ada beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian serius dalam mensinergikan desain pemilu nasional serentak dan sistem presidensial.

Pertama, perlu atau tidaknya presidential threshold. Sejatinya, dengan pemilu

serentak, presidential threshold tidak relevan. Oleh karena itu, diperlukan persyaratan lain dalam pencalonan presiden/wakil presiden. Kedua, jika

presdential threshold tidak ada, maka setiap partai peserta pemilu otomatis

berhak mencalonkan presiden/wakil presiden (sesuai Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945). Masalahnya, jika jumlah partai peserta pemilu banyak, maka akan banyak pasangan presiden/wakil presiden yang dicalonkan. Oleh karena itu, agar pasangan calon presiden/wakil presiden yang muncul tidak sembarangan, maka perlu dilakukan seleksi yang lebih ketat terhadap partai peserta pemilu. Dengan kata lain, perlu adanya penyederhanaan partai politik secara alami. Sehingga pada akhirnya akan terbentuk sistem dwipartai atau multipartai sederhana yang tentu akan lebih mendukung implementasi sistem presidensial di Indonesia. Kata kunci: pemilihan umum, serentak, sistem presidensial

A. Pendahuluan

Salah satu upaya untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara demokratis adalah dengan melakukan perubahan terhadap UUD 1945, khususnya menyoal pengaturan pelaksanaan pemilihan umum. Dalam Pasal 22E UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) mengatur bahwa pemilihan umum dilaksanakn secara langsung, umum,

(3)

bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.1 Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD.2

Sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 tersebut, dilakukan juga perubahan terhadap Pasal 6 UUD 1945 yang didesain menjadi 2 pasal yakni Pasal 6 dan Pasal 6A. Dalam Pasal 6A dikatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.3Kemudian, pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pemilihan umum.4

Berdasarkan ketentuan ini, kemudian para pembuat Undang-Undang mendesain pemilihan umum menjadi dua jenis, yakni pemilihan umum legislatif untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/Kota serta pemilihan umum presiden dan wakil presiden untuk memilih presiden dan wakil presiden. Pemilhan umum legislatif dilaksanakan sebelum pemilihan umum presiden dan wakil presiden.

Selain itu, bagi peserta yang akan menjadi kontestan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden harus memenuhi prasyarat yang didapatkan berdasarkan hasil pemilihan umum legislatif. Prasyarat tersebut adalah ditentukannya ambang batas minimal bagi partai politik maupun gabungan partai politik dalam mencalonkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang sering disebut dengan presidential threshold. Misalnya, jika mengacu pada Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, untuk dapat menjadi kontestan dalam Pemilihan Umum Presiden 2014, maka partai politik atau gabungan partai politik harus mendapatkan suara

1Lihat Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1950. 2Lihat Pasal 22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 3Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 4Lihat Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

(4)

minimal 25 persen dari suara sah secara nasional atau mendapatkan minimal 20 persen kursi di parlemen (DPR).

Perkembangan selanjutnya, dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa praktik pemilihan umum yang memisahkan antara pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden/wakil presiden adalah inkonstitusional. Seharusnya pemilihan umum diselenggarakan serentak, baik Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/Kota maupun Pemilihan Umum Presiden/Wakil Presiden yang berlaku mulai 2019.

Putusan pemilihan umum serentak patut diapresiasi karena keberanian Mahkamah Konstitusi dalam menegakkan nilai-nilai konstitusi. Selain konstitusional, pemilu serentak memiliki beberapa kelebihan, misalnya penggunaan waktu yang efektif, anggaran lebih efisien dan yang terutama adalah sangat mendukung dalam upaya penguatan sistem presidensial di Indonesia. B. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah bagaimanakah implikasi sistem pemilihan umum serentak terhadap penguatan sistem presidensial di Indonesia?

C. Kebebasan Berserikat dan Berkumpul, Partai Politik dan Sistem Kepartaian

Hak berserikat dan berkumpul adalah hak yang sangat fundamental sebab setiap manusia selalu memiliki kecenderungan untuk hidup bermasyarakat, dan dalam bermasyarakat itu, perilaku setiap orang untuk memilih teman dan hubungan-hubungan sosial merupakan sesuatu yang alamiah sifatnya.5 Kebebasan berserikat dan berkumpul juga akan sanga berkaitan erat 5 Jimly Asshiddiqie, 2006, Kebebasan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 22.

(5)

dan tidak terpisahkan dengan kebebasan berekspresi (freedom of expression) dan kebebasan mengeluarkan pendapat (freedom of speech).6

Oleh karena itu, menyangkal hak kebebasan berserikat dan berkumpul sebagai hak politik setiap warga negara sangat berbahaya bagi kelangsungan berbangsa dan bernegara karena akan meruntuhkan bangunan demokrasi secara struktural.7 Itulah sebabnya, di dalam negara yang menganut sistem demokrasi, “hak-hak untuk berserikat dan berkumpul secara khusus dijamin oleh konstitusi.8 Sehingga sangat tepat ketika pengakuan dan penjaminan akan kebebasan berserikat dan berkumpul kemudian diatur secara tegas dalam Pasal 28 E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.9

Partai politik merupakan wadah yang mengakomodasi hak kebebasan berserikat dan berkumpul.10Carl Friedrich mengatakan partai politik adalah:

“Sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat adil serta materiil.11 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 mendefinisikan partai politik sebagai:

“Organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan citacita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik 6Ibid, hlm. 16-17.

7Pradjoto, 1983, Kebebasan Berserikat di Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 13. 8Ibid.

9Lihat Pasal 28 E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

10Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan Keempat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 397.

11 Friedrich, Constitutional Government and Democracy: Theorie and Practice in Europe and America, edisi ke 5, (Weltham Mass; Blasidell Publishing Company, 1967), hlm.

(6)

anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Menurut Riswandha Imawan, terdapat beberapa fungsi partai politik yang paling mendasar12, yakni:

1. Melaksanakan fungsi input dari sistem politik. 2. Membuat dan mengontrol aktivitas pemerintahan. 3. Regulator konflik masyarakat.

Namun, pelaksanaan fungsi partai politik akan berbeda di masing-masing negara. Pelaksanaan fungsi ini akan sangat banyak tergantung kepada sejarah kelahiran sebuah partai politik dan kondisi perpolitikan di negara tersebut. Sehingga fungsi partai politik di negara demokrasi dan otoriter akan sangat berbeda.13 Maksimalisasi pelaksanaan fungsi partai politik sendiri sangat

tergantung dengan sistem kepartaian yang dianut suatu negara. Sistem kepartaian dapat diartikan bagaimana partai politik berinteraksi satu sama lain dan berinteraksi dengan unsur-unsur lain dari sistem itu.14 Duverger membagi

sistem kepartaian ke dalam tiga bagian15, yakni:

1. Sistem partai-tunggal

Istilah ini dipakai untuk partai yang benar-benar merupakan satu-satunya partai dalam satu negara maupun untuk partai yang memiliki kedudukan dominan di antara partai yang lain.

2. Sistem dwi-partai

Sistem dwi partai biasanya diartikan bahwa ada dua partai di antara beberapa partai yang berhasil memenangkan tempat dua teratas dalam pemilihan umum secara bergiliran, dan dengan demikian mempunyai 12Riswandha Imawan, Op.cit, hlm.3.

13Miriam Budiardjo, Op.cit, hlm. 405.

14Istilah sistem kepartaian (party systemsi) pertama kali dikemukakan oleh Maurice Duverger dalam bukunya Political Parties, Lihat Miriam Budiardjo, Ibid, hlm. 415.

(7)

kedudukan dominan. Partai pemenang dalam pemilihan umum akan menjadi partai pemerintah dan partai yang kalah menjadi oposisi.

3. Sistem multi-partai

Sistem multipartai merupakan sistem kepartaian yang memiliki banyak partai, namun tak ada partai yang benar-benar dominan. Sehingga koalisi dan kompromi antara beberapa partai menjadi cara yang ditempuh untuk membentuk pemerintahan. Banyaknya partai politik biasanya sebagai akibat pluralitas masyarakat suatu negara.

D. Sistem Pemerintahan

Sistem pemerintahan adalah sistem hubungan dan tata kerja antara lembaga-lembaga negara.16 Pendapat ini tak jauh berbeda dengan pengertian

yang diberikan oleh Jimly Asshiddiqie yang mengemukakan bahwa sistem pemerintahan berkaitan dengan pengertian regeringsdaad yaitu penyelenggaraan pemerintahan oleh eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif.17

Jimly Asshiddiqie membagi sistem pemerintahan menjadi tiga kategori yaitu:18

1. Sistem Presidensial

Banyak ahli berpendapat bahwa jika berbicara masalah sistem presidensial, maka hal itu tidak dapat dipisahkan dari sistem pemerintahan di Amerika Serikat.19

Terdapat beberapa ciri pokok sistem presidensial20, yakni kepala pemerintahan adalah presiden yang sekaligus juga sebagai kepala negara.

16Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 1993), hlm. 83.

17 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: Buana Ilmu Populer, 2007), hlm. 311,

18 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), hlm.25.

(8)

Presiden dipilih oleh rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Presiden memegang kendali pemerintahan. Ia adalah kepala lembaga eksekutif yang menunjuk mmenteri-menteri yang akan duduk di dalam kabinet. menteri-menteri adalah para pembantu presiden yang bertanggung jawab kepada presiden. Oleh karena presiden juga adalah kepala negara, ia memegang kekuasaan simbolis tersebut.21 Kedudukan presiden dan parlemen adalah sama-sama kuat karena presiden dan parlemen memiliki legitimasi yang kuat melalui pemilihan umum yang terpisah.22

2. Sistem Parlementer

Sistem parlementer merupakan sistem pemerintahan dimana kepala pemerintahan dipimpin oleh seorang perdana menteri yang diangkat dari partai atau koalisi partai yang menguasai suara mayoritas di parlemen. Sedangkan kepala negara tidak dipegang oleh perdana menteri, namun oleh seorang presiden atau tergantung masing-masing negara. Misalnya, di Inggris, kepala negara dipimpin oleh Ratu, di Malaysia oleh Yang Dipertuan Agung dan Australia oleh seorang Gubernur Jenderal yang masih berada di bawah pengaruh Ratu Inggris.23

Sistem parlementer ini sering juga disebut sistem eksekutif parlementer, sistem kabinet, atau sistem Inggris karena sistem ini berasal dari Inggris.24

Penggunaan istilah sistem eksekutif parlementer atau sistem kabinet hanya ingin menunjukkan bahwa kekuasaan eksekutif dalam sistem 20 Maswadi Rauf, dkk, Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2009), hlm. 30-34.

21 Di dalam sistem presidensial, kekuasaan seorang presiden meliputi kekuasaan politik nyata dan kekuasaan politik simbolis yang mencerminkan kewenangan yang diberikan oleh negara.

22Oleh karena memiliki legitimasi dan kedudukan yang sama kuat, maka presiden tidak bertanggung jawab terhadap parlemen. Namun, presiden juga tidak boleh membubarkan parlemen, sebaliknya parlemen tidak boleh menjatuhkan presiden, kecuali karena alasan pelanggaran hukum berat yang harus memerlukan proses hukum terlebih dahulu.

23Denny Indrayana, Op.cit, hlm. 192-193.

24 Nomensen Sinamo, Perbandingan Hukum Tata Negara, (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2010), hlm. 63.

(9)

parlementer berada di tangan kabinet, bukan di presiden.25 Perdana menteri dengan dewan menteri maupun kabinetnya bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat dijatuhkan melalui mosi tidak percaya. Sedangkan kepala negara tidak boleh diganggu gugat.

3. Sistem Semi-Presidensial.

Jika membahas sistem presidensial tidak mungkin lepas dari kajian perkembangan ketatanegaraan Amerika Serikat dan mengkaji sistem parlementer sangat banyak dipengaruhi ketatanegaraan Inggris, maka berbicara sistem pemerintahan sistem semi-presidensial akan sangat erat dengan sistem ketatanegaraan Perancis.

E. DesainPemilihan Umum Serentak di Indonesia Setelah Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013

Sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 praktik pemilihan umum lebih dari sekali dalam lima tahun adalah inkonstitusional. Praktik tersebut juga menyebabkan beberapa hal yang menghambat perkembangan demokrasi dan kemajuan negara Indonesia yakni: 1. Politik transaksional yang terjadi berlapis-lapis dalam pengisian Pejabat

Publik, seperti:

a. Pada saat mengajukan Calon-calon Anggota Legislatif;

b. Pada saat mengajukan Calon Presiden & Calon Wakil Presiden karena ketentuan Presidential Treshold;26

c. Setelah diketahuinya hasil Putaran Pertama Pemilihan Umum Presiden (jika dibutuhkan Putaran Kedua);

d. Pada saat pembentukan kabinet;27 25Ibid, hlm. 64.

26 Presidential Threshold adalah ambang batas yang harus dipenuhi oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik untuk bisa mencalonkan Pasangan Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

27Sampai saat ini, pembentukan Kabinet belum mampu sepenuhnya menerapkan kabinet profesional (zaken kabinet), tetapi harus mempertimbangkan faktor dukungan

(10)

e. Pada saat membentuk koalisi di Dewan Perwakilan Rakyat

2. Biaya politik yang amat tinggi dan mubazir akibat politik transaksional seperti munculnya money politic.

3. Tidak ditegakkannya atau diperkuatnya sistem presidensial yang sesungguhnya.

4. Bertentangan dengan original intent Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Pemilihan Umum memang dimaksudkan untuk diselenggarakan lima tahun sekali (serentak) untuk memilih (sekaligus) anggota DPR, DPD, DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam Risalah sidang-sidang Panitia Ad Hoc 1 dengan jelas muncul kata-kata “Pemilu bareng-bareng”, “Pemilu serentak” serta istilah yang lebih spesifik “Pemilu lima kotak”. Memang dalam sidang-sidang Panitia Ad Hoc 1 tersebut serta berbagai tingkat sidang selanjutnya terdapat juga perbedaan pendapat atau perdebatan.

Menurut Mahkamah Konstitusi, untuk menentukan konstitusionalitas

penyelenggaraan Pemilihan Umum Serentak harus memperhatikan tiga pertimbangan pokok, yaitu:

1. Penyelenggaraan Pilpres haruslah dikaitkan dengan rancang bangun sistem pemerintahan menurut UUD 1945, yaitu sistem pemerintahan presidensial. Salah satu di antara kesepakatan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat saat melakukan pembahasan Perubahan UUD 1945 (1999-2002) adalah memperkuat sistem presidensial. Dalam penyelenggaraan Pilpres tahun 2004, 2009 dan 2014 yang dilakukan setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan ditemukan fakta politik bahwa untuk mendapat dukungan demi keterpilihan sebagai Presiden dan dukungan DPR dalam penyelenggaraan pemerintahan, jika terpilih, calon Presiden terpaksa harus melakukan negosiasi dan tawar-menawar politik. Hal ini bisa terjadi karena praktik sistem multipartai yang berpeluang kecil menimbulkan partai mayoritas, sehingga pemerintahan harus didukung koalisi partai politik.

(11)

(bargaining) politik terlebih dahulu dengan partai politik yang berakibat sangat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan di kemudian hari. Negosiasi dan tawar-menawar tersebut pada kenyataannya lebih banyak bersifat taktis dan sesaat daripada bersifat strategis dan jangka panjang, misalnya karena persamaan garis perjuangan partai politik jangka panjang. Oleh karena itu, Presiden pada faktanya menjadi sangat tergantung pada partai-partai politik yang menurut Mahkamah dapat mereduksi posisi Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem pemerintahan presidensial. Dengan demikian, menurut Mahkamah, penyelenggaraan Pilpres harus menghindari terjadinya negosiasi dan tawarmenawar (bargaining) politik yang bersifat taktis demi kepentingan sesaat, sehingga tercipta negosiasi dan koalisi strategis partai politik untuk kepentingan jangka panjang.

2. Sejalan dengan pemikiran di atas, penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara serentak memang akan lebih efisien, sehingga pembiayaan penyelenggaraan lebih menghemat uang negara yang berasal dari pembayar pajak dan hasil eksploitasi sumber daya alam serta sumber daya ekonomi lainnya. Selain itu, Pilpres yang diselenggarakan serentak dengan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan juga akan mengurangi pemborosan waktu dan mengurangi konflik atau gesekan horizontal di masyarakat; Bahwa selain itu, hak warga negara untuk memilih secara cerdas pada pemilihan umum serentak ini terkait dengan hak warga negara untuk membangun peta checks and balances dari pemerintahan presidensial dengan keyakinannya sendiri. Untuk itu warga negara dapat mempertimbangkan sendiri mengenai penggunaan pilihan untuk memilih anggota DPR dan DPRD yang berasal dari partai yang sama dengan calon presiden dan wakil presiden. Hanya dengan pemilihan umum serentak warga negara dapat menggunakan haknya untuk memilih secara cerdas dan efisien.

(12)

F. Implikasi Sistem Pemilihan Umum Serentak terhadap Penguatan Sistem Presidensial di Indonesia

Sistem pemilihan umum serentak memiliki beberapa dampak positif, yakni sebagai berikut:

1. Konstitusional karena sesuai dengan amanat Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, dimana pemilihan umum dilakukan lima tahun sekali.

2. Menghemat anggaran negara untuk pelaksanaan pemilihan umum. 3. Mengurangi politik transaksional

4. Menciptakan koalisi ideal dan kokoh

Penyelenggaraan pemilihan umum legislatif dan eksekutif secara bersamaan setidaknya mengakibatkan beberapa hal, yakni:

1. Ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (presidential

threshold) menjadi kehilangan relevansinya.

Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 tidak membatalkan ambang batas pengajuan pasangan calon presiden

(presidential threshold), namun ambang batas minimal tersebut menjadi

kehilangan relevansi karena semua partai politik yang dinyatakan lolos menjadi peserta pemilu dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6A Ayat (2) UUD1945. Seandainya pun pembuat undang-undang ‘memaksakan’ adanya presidential threshold, maka akan sangat sulit mencari dasar penghitungannya. Beberapa pihak berpendapat, bahwa penghitungan

presidential threshold dapat didasarkan pada hasil perolehan suara partai

politik atau gabungan partai politik pada pemilu sebelumnya. Hemat penulis, dasar penghitungan ini juga tidak relevan dan tidak logis karena kontestasi politik pada masing-masing pemilihan umum tentulah sangat berbeda. Hal ini menyebabkan pendapat tersebut tidak memiliki dasar yuridis dan politis yang kuat.

(13)

2. Jika presdential threshold tidak ada, maka setiap partai peserta pemilu otomatis berhak mencalonkan presiden/wakil presiden (sesuai Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945). Padahal, faktanya saat ini, sistem kepartaian yang diterapkan di Indonesia adalah sistem multipartai. Bila semua partai politik peserta pemilu mengajukan calon sendiri-sendiri, maka jumlah pasangan calon akan menjadi lebih banyak. Jika jumlah pasangan yang dicalonkan semakin banyak, maka akan sangat kecil kemungkinan muncul pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang mendapat dukungan mayoritas di parlemen (DPR). Jika ini yang terjadi, tentu pemilihan umum nasional serentak bukannya mendukung penguatan sistem presidensial, namun justru sebaliknya, menjadi kontraproduktif.

Memang, tidak ada kepastian bahwa ketika sistem presidensial disandingkan dengan sistem multipartai akan menimbulkan suatu pemerintahan yang kontraproduktif. Namun, berbagai studi menunjukkan, bahwa paduan sistem presidensial dengan multipartai memang problematik. Juan Linz dan Arturo Velenzuela berpendapat, sistem presidensial yang diterapkan di atas struktur politik multipartai (presidensial-multipartai) cenderung melahirkan konflik antara lembaga presiden dan parlemen serta menghadirkan demokrasi yang tidak stabil. Pandangan ini diperkuat Scott Mainwaring dan Matthew Soberg Shugart bahwa presidensial-multipartai akan melahirkan presiden minoritas (minority president) dan pemerintahan terbelah (divided government), kondisi di mana presiden sangat sulit mendapatkan dukungan politik di parlemen.28

Terbukti, tiga presiden yang pernah dan sedang berkuasa di Indonesia29 mengalami berbagai hambatan. Di tengah sistem multipartai, koalisi yang sesungguhnya tidak lazim dalam tradisi presidensialisme justru menjadi

28Ibid

29 Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001), Megawati Soekarno Puteri (2001-2004) dan Susilo Bambang Yudoyono (2004-2014).

(14)

kebutuhan mendasar dan sulit dihindari. Apalagi koalisi yang terbangun sangat rapuh dan cair karena karakter partai-partai dalam berkoalisi tidak disiplin dan pragmatis. Partai koalisi seringkali berdiri di ‘dua kaki’.30Artinya, beberapa partai yang sebenarnya bergabung dalam koalisi pendukung pemerintah justru ikut menentang kebijakan pemerintah yang dianggap tidak populer dan pro publik. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan dukungan publik demi perolehan suara di pemilu berikutnya.

Paling tidak, ada empat fakta politik paling aktual pada masa pemerintahan saat ini yang menjadi potret kerentanan multipartai yang mereduksi sistem presidensial. Pertama, tingginya kompromi dalam pembentukan dan perombakan kabinet. Pada pembentukan dan reshuffle kabinet, parpol—terutama partai-partai di DPR—kerap memangkas hak prerogatif presiden dengan melakukan intervensi. Sebaliknya presiden cenderung selalu mengakomodasi kepentingan parpol. Kedua, dukungan koalisi pendukung pemerintah tidak efektif. Walaupun secara kuantitas persentase koalisi partai pendukung pemerintahan sangat gemuk—didukung 75 persen kekuatan di DPR—sangat rapuh dan mudah retak. Kasus Century potret paling anyar kerapuhan itu.

Ketiga, kontrol parlemen terhadap pemerintah cenderung berlebihan

(legislative heavy) sehingga kebijakan presiden sangat sulit—perlu waktu terlalu lama—untuk mendapatkan dukungan politik di parlemen. Hak angket dan ancaman penarikan dukungan akan selalu menjadi alat bagi partai di DPR untuk bernegosiasi dengan presiden. Keempat, perjalanan pemerintahan dibayangi ancaman impeachment. Isu ”cabut mandat” pada masa SBY-JK dan ancaman ”pemakzulan” pada era SBY-Boediono cukup menguras energi politik bangsa.

Paduan sistem presidensial dan sistem multipartai semakin tidak efektif karena faktor personalitas dan karakter kepemimpinan presiden saat ini yang cenderung kompromistis dan akomodatif menyebabkan presidensialisme kian

(15)

tereduksi dan dijalankan setengah hati (presidensialisme setengah hati).31 Kondisi demikian tak bisa dibiarkan terjadi lebih lama lagi.

Kendati kerap terjadi paradoks, terutama dalam relasi eksekutif-legislatif dan partai politik di sisi lain, implementasi sistem presidensial yang mirip benang kusut, tak pernah terurai dan tak mampu menghasilkan sistem politik yang mapan. Sebagaimana diketahui, Indonesia sudah memilih desain institusional serta tipe kakuasaan eksekutif berdasarkan pada presidensialisme. Pilihan ini bukan persoalan benar atau salah melainkan cocok atau tidaknya dengan karakteristik, fakta dan dinamika politik yang berkembang di Indonesia. Karena dari sudut karakteristik, sistem parlementer yang pernah dianut di Indonesia dinilai kurang cocok karena lebih menunjukkan spirit demokrasi barat yang menekankan pada individualisme dalam pengambilan keputusan, padahal akar musyawarah dan mufakat telah lama menjadi ciri dominan bangsa Indonesia. Sementara fakta dan dinamika politik juga menunjukkan, praktik parlementer dengan ciri dominan sistem multipartai tak sukses menjadikan Indonesia lebih baik.32

Oleh karena itu, agar pemilihan umum nasional serentak dapat memperkuat sistem presidensial, terdapat beberapa langkah yang bisa dilakukan, yakni sebagai berikut:

1. Penyederhanaan partai politik

Secara sederhana, penyederhanaan partai politik dapat diartikan sebagai upaya untuk mengurangi jumlah partai politik yang akan mengikuti pemilihan umum legislatif. Di Indonesia, hal ini sangat mungkin dilakukan karena Undang-Undang Dasar 1945 tidak menentukan sistem kepartaian apa yang dianut, karena sistem kepartaian memang bukanlah hal yang prinsipil dalam bernegara dan dapat berubah-ubah sesuai dengan dinamika masyarat.33

31“Kerentanan Presidensial-Multipartai”, Kompas, Senin, 28 Juli 2010.

32“Menata Ulang Sistem Presidensialisme”, Seputar Indonesia, 25 November 2010. 33“Konsolidasi Sistem Pemilu”, Seputar Indonesia, Senin, 28 November 2011.

(16)

Di sisi lain, berdasarkan keadaan sosiogeografis Indonesia, sistem multipartai seolah-olah telah menjadi suatu keniscayaan dan tidak dapat terhindarkan dalam setiap pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia. Setidaknya ada beberapa faktor penyebabnya, yakni:34

a. Pluralitas masyarakat Indonesia.

Bangsa Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku, agama, ideologi politik maupun identitas kedaerahan lainnya. Keanekaragaman sosial masyarakat seperti ini memiliki hubungan searah dengan tipologi partai politik di Indonesia.

b. Sejarah dan budaya politis

Sejarah dan budaya politik sangat berpengaruh dalam pertumbuhan partai politik di Indonesia, terutama karena Indonesia memiliki budaya politik yang tumbuh dan berkembang melalui interaksi antara berbagai macam struktur sosial yang ada.

c. Desain sistem pemilihan umum.

Memang hubungan antara sistem kepartaian dan sistem pemilu bukan sesuatu yang bersifat mekanis dan otomatis. Artinya, hubungan keduanya tidak memengaruhi secara langsung. Namun berdasarkan sejarah politik di beberapa negara, sistem pemilu yang digunakan akan berpengaruh terhadap sistem kepartaian di negara tersebut.35

Oleh karena itu, penyederhanaan partai politik tidak akan mudah diterapkan di Indonesia. Apalagi harus memaksa fusi antarpartai politik. Namun demikian, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi atau menyederhanakan jumlah partai politik di Indonesia, yakni:

a. Menerapkan electoral threshold

34 Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati, Dari Dilema Ke Kompromi,(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 27-30.

35 Rumusan kecenderungan sistem pemilihan terhadap sistem kepartaian secara sederhana dapat disimpulkan bahwa sistem distrik dalam pemilihan akan kondusif menciptakan sistem dua partai, sedangkan sistem proporsional akan kondusif menciptakan sistem banyak partai (multipartai).

(17)

Cara ini dilakukan melalui pengaturan persyaratan partai politik peserta pemilihan umum yang lebih berat atau tidak lebih ringan dan longgar dari ketentuan yang ada saat ini. Artinya, dengan memakai jumlah partai politik dalam Pemilu 2014, maka paling banyak hanya akan muncul kurang atau sama dengan 12 pasangan calon pada putaran pertama pemilihan presiden. Jumlah demikian dapat dikatakan lebih dari cukup untuk menyediakan alternatif calon bagi pemilih.

b. Menerapkan parliamentary threshold

Penerapan parliamentary threshold memang tidak otomatis akan mengurangi atau membatasi jumlah partai politik yang akan ikut pemilihan umum secara langsung dan instan. Proses pengurangan partai politik peserta pemilihan umum melalui mekanisme ini akan berlangsung lama dan alami. Artinya, semakin tinggi angka parliamentary threshold, maka akan semakin berkurang kesempatan bagi partai politik untuk mendapatkan kursi di parlemen (DPR). Dengan demikian, setiap partai politik akan berfikir lebih matang untuk menjadi peserta pemilihan umum. Sebab kalau partai politik tidak mampu memenuhi angka

parliamentary threshold, maka akan sangat merugikan bagi partai yang

bersangkutan.

2. Demokratisasi partai politik

Demokratisasi partai politik dapat dilakukan dengan cara memberikan dorongan kepada partai politik agar dapat melakukan proses politik yang jauh lebih demokratis, transparan dan partisipatif, khususnya dalam hal rekrutmen dan pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Sebagai saluran utama pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden, demokratisasi internal partai politik menjadi sebuah keniscayaan. Artinya, pasangan calon yang diajukan harus berasal dari hasil sebuah proses yang terbuka dan partisipatif. Dengan cara seperti itu, posisi sentral (seperti ketua umum, ketua dewan

(18)

pembina dan lain-lain) di partai politik tidak otomatis menjadi ‘jalan tol’ menjadi calon presiden dan/atau wakil presiden.36

G. Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan pembahasan yang dilakukan pada bagian sebelumnya, adapun yang menjadi kesimpulan adalah penyelenggaraan pemilihan umum nasional serentak akan berdampak positif terhadap implementasi sistem presidensial di Indonesia jika ada keberanian dan ketegasan, terutama pembuat Undang-Undang dalam mendesain rezim pemilihan umumnasional serentak. Beberapa langkah penting yang dapat dilakukan adalah: pertama, menghapuskan parliamentary threshold; kedua, memperketat syarat partai politik untuk menjadi peserta pemilihan umum; ketiga, menaikkan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dan keempat, mendorong demokratisasi partai politik, terutama dalam hal transparansi dan partisipasi publik dalam proses rekrutmen dan pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden.

Selain itu, sistem pemilihan umum serentak juga akan memberi peluang untuk membangun koalisi yang ideal dan kokoh karena koalisi yang dibentuk adalah koalisi yang pragmatis yang menjadikan kursi presiden, wakil presiden dan kabinet sebagai perekatnya. Namun, lebih daripada itu. Koalisi yang terbangun adalah koalisi yang dibangun sejak awal berdasarkan kesamaan platform, ideologi dan kebijakan partai politik.

Berdasarkan kesimpulan tersebut, adapun yang menjadi saran penulis adalah diharapkan kepada lembaga yang berwenang membentuk Undang-Undang (baik Pemerintah maupun DPR) agar membentuk kodifikasi hukum Kepemiluan yang mengatur dengan baik dan komprehensif penyelenggaraan Pemilu Serentak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, Undang-Undang Pemilu tidak mengalami proses tambal sulam setiap lima tahun

(19)

seperti yang terjadi selama ini akibat mengakomodasi kepentingan kelompok dan partai politik tertentu.

DAFTAR PUSTAKA BUKU-BUKU

Pradjoto, 1983, Kebebasan Berserikat di Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan. Asshiddiqie, Jimly, 2006, Kebebasan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan

Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konstitusi Press.

Asshiddiqie, Jimly, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca

Reformasi, Jakarta: Buana Ilmu Populer.

Budiardjo, budiardjo, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan Keempat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Imawan, Riswandha, 2001, Pemilu Sebagai Sarana Demokratisasi Politik di

Indonesia, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2001.

Indrayana, Denny, 2008, Negara Antara Ada dan Tiada: Reformasi Hukum

Ketatanegaraan, Jakarta; Kompas, 2008.

Isra, Saldi, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi

Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo

Persada.

Lijphart, Arend, 1995, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial

(Sebuah Terjemahan), Cetakan Pertama, London: Oxford University Press,

1995.

Mahfud MD, 1993, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta: UII Press.

Mahmuzar, 2010, Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum

dan Sesudah Amandemen, Bandung: Nusa Media.

Poerwadarminta, WJS, 1982, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

(20)

Rauf, Maswadi, dkk, 2009, Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sinamo, Nomensen, 2010, Perbandingan Hukum Tata Negara, Jakarta: Jala Permata Aksara.

Strong, C.F., 1972, Modern Political Constitution: An Introduction to the

Comparative Study of their History and Existing Form, London: Sidwick

and Jackson Limited.

Yuda AR, Hanta, 2010, Presidensialisme Setengah Hati, Dari Dilema Ke

Kompromi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN PUTUSAN PENGADILAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 SURAT KABAR

Kompas, “Kerentanan Presidensial-Multipartai”, Senin, 28 Juli 2010.

Media Indonesia, “Jalan Panjang Menuju Pemilu Serentak”, 27 Januari 2014. Seputar Indonesia, “Menata Ulang Sistem Presidensialisme”, 25 November 2010.

Seputar Indonesia, “Konsolidasi Sistem Pemilu”, Senin, 28 November 2011. Suara Karya, “Setgab yang Gagap”, 14 Januari 2010.

(21)

BIODATA PENULIS

Dr. Haposan Siallagan, SH.,MH., lahir di Ambarita, 25 Agustus 1966. Menyelesaikan Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen (1989); Pascasarjana Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung (1996); dan meraih Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Sumatera Utara (2007).

Menulis beberapa buku yang berkaitan dengan Hukum Tata Negara dan Ilmu Perundang-Undangan. Saat ini menjabat sebagai Wakil Rektor I Universitas HKBP Nommensen. Juga menjabat sebagai Ketua ORGANDA Sumatera Utara. Januari Sihotang, S.H., LL.M., lahir di Pulau Samosir, 1 Januari 1984. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum (S.H) dari Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan (2008). Kemudian melanjutkan pendidikan di Klaster Kenegaraan Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (MIH-UGM) dan mendapatkan gelar Master of Laws (LL.M) sebagai lulusan terbaik dengan predikat cum-laude (2012).

Mengabdi sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen sejak 2012 sampai sekarang. Bidang keahlian penulis adalah dalam

(22)

bidang ketatanegaraan seperti Hukum Konstitusi, Otonomi Daerah, Pemilu, Legal Drafting dan Hukum Pajak. Aktif menjadi pembicara di berbagai seminar hukum, meneliti dan menulis. Menjadi juri dan pembimbing dalam berbagai kompetisi debat hukum seperti Unpar Law Fair (2010), Debat Aspirasi Untuk Negeri kerja sama TVONE dan BNI (2013-2014), Debat Publik UNPAB (2014) dan lain-lain. Menulis Buku Pemilihan Umum Serentak (2014) dan Hukum Tata Negara

Indonesia (Dinamika dan Perubahannya (2015).

Sampai saat ini, sudah menulis sekitar 300-an artikel hukum di berbagai majalah dan surat kabar, baik lokal maupun nasional. Peminat sastra dan kajian filsafat. Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected]

atau nomor handphone: 085296044787. Saat ini berdomisili di: Jl. Sejahtera Nomor 25 Helvetia, Medan, Sumatera Utara dan alamat kantor di Fakultas Hukum Universitas HKBP Medan Jjl. Sutomo Nomor 4A Medan.

Referensi

Dokumen terkait

Pene- litian ini dilakukan untuk membentuk portofolio yang optimal pada nilai tukar mata uang agar investasi yang dilakukan memberikan resiko yang minimal dan return yang

Hal-hal yang dijelaskan dalam penjelasan pekerjaan meliputi ; Metoda penyelenggaraan lelang, Cara penyampaian penawaran, Dokumen yang harus dilampirkan dalam dokumen penawaran,

BAB VI | STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN 149 Misi keempat Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara adalah mewujudkan masyarakat yang sehat, memiliki harapan hidup yang

Ia juga menambah maklumat sejarah terutama mengenai Mat Kilau yang selama ini kebanyakan para penulis tidak menyebut peranan guru dan ayah angkatnya Haji Uthman bin

Porter, komunikasi nonverbal mencakup semua ransangan (kecuali ransangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan

Karakteristik terbanyak pada pasien PGK dengan HD yang mendapatkan antihipertensi lebih dari satu dalam penelitian ini adalah usia rata- rata pasien adalah 50,94 tahun

Akuntansi merupakan aktivitas mengumpulkan, menganalisis, menyajikan dalam bentuk angka, mengklarifikasikan, mencatat, meringkas dan melaporkan aktivitas/transaksi suatu

Setiap Pemegang saham public DVLA yang secara tegas memberikan suara tidak setuju atas rencana Penggabungan Usaha pada saat RUPSLB DVLA dan bermaksud untuk menjual saham