• Tidak ada hasil yang ditemukan

PDF HAK PERDATA ANAK DARI PERKAWINAN SIRRI PADA DUA SISTEM HUKUM ... - Unila

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "PDF HAK PERDATA ANAK DARI PERKAWINAN SIRRI PADA DUA SISTEM HUKUM ... - Unila"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1 HAK PERDATA ANAK DARI PERKAWINAN SIRRI PADA DUA SISTEM HUKUM

(HUKUM ISLAM DAN HUKUM INDONESIA)

Abstract*1

Fakta sosial ada sebagian masyarakat melakukan perkawinan sirri. Fakta hukumnya perkawinan secara agama (Islam) yang tidak dicatatkan maka perkawinan tersebut perspektif negara adalah perkawinan yang tidak sah.Akibat hukumnya adalah anak-anak yang lahir disebutkan sebagai anak tidak sah. Pespektif negara anak2 tersebut tidak punya hubungan perdata dengan bapaknya (Pasal 43 (lama) UUP. Untuk perkawinan tidak dicatat yang dilakukan oleh masyarakat non Islam, mereka dapat melakukan pengesahan anak, melalui pengadilan negeri. Sejauh ini peraturan untuk masyarakat yang menundukkan diri pada KUHPerdata hak-hak anak yang lahir dari perkawinan tidak dicatat dapat dilindungi oleh negara. Meskipun perkawinan secara sirri oleh umat Islam tidak dilindungi negara, tetapi hak keperdataan anak-anak tersebut tidak otomatis hilang. Dalam keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warohmah hak anak-anak tetap terlindungi. Hanya dalam kasus tertentu saja hak anak dari perkawinan sirri yang terabaikan

In social fact some people like to unregistered married. In law fact that not true and not legally. In the state perspective the children wa born in unregistered married is not legal. So the children have not relationship with their father. (old article 43 UUP) But the children have a chance to legal children if can proof with knowledge and tecknology (new article 43 UUP). In Islamic Law, if the family have responsibility with full sakinah, mawaddah, warohmah, so far so good to protection their children. Just a special case the moslem children was born in unregister married no protection.

LATAR BELAKANG

Setiap manusia ingin menjalani kehdupan yang pantas dan teratur sesuai kehendak undang- undang. Akan tetapi dalam perjalanan waktu hidup pantas dan teratur menurut undang- undang kadang kala dilanggar demi menegakkan hukum allah swt. Demikian juga dalam hal perkawinan. Perkawinan sirri dalam konteks ini adalah perkawinan yang dilangsungkan menurut agama dan sah, tidak ada larangan perkawinan yang dilanggar. Fakta hukumnya perkawinan secara agama yang tidak dicatatkan maka perkawinan tersebut dalam perspektif negara adalah perkawinan yang tidak sah. Padahal pencatatan perkawinan adalah urusan tertib administrasi, bukan substansi keabsahan perkawinan yang sebetulnya berada pada

1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung

(2)

2 ranah hukum materill perkawinan Islam. Namun apa daya masyarakat peraturan UUP, PP No.1/1975, KHI telah menetapkan demikian. Fakta Sosial berkata beda sebagian masyarakat berhukum dengan hukum perkawinan Islam dan tidak mencatatkan perkawinannya karena beberapa kendala. Perkawinan ini bila kemudian hari melahirkan anak-anak maka anak-anaknya menjadi anak tidak sah secara perspektif negara. Imbas dari ketentuan UUP dan KHI ini adalah pada anak-anak tersebut tidak mempunyai hak keperdataan dan anak tersebut diakui negara menjadi anak luar kawin. Kalau perkawinan perspektif agama ini tidak berjalan lancar maka akan ada dua pihak yang dirugikan yaitu perempuan dan anak. Padahal anak dalam konsep Islam adalah suci, anak adalah aharta dan perhiasan, anak adalah anugrah penerus keturunan. Setiap anak yang lahir di bumi telah mempunyai hak dasar. Hak dasar tersebut telah di atur dalam undang-undang. Akan tetapi ketika seorang anak yang lahir pada perkawinan tidak dicatat belum mendapatkan perlindungan hukum. Secara soaial terdapat masyarakat melakukan perkawinan sirri. Data di bawah ini menunjukkan adanya perkawinan sirri:

Tabel 1 Jumlah anak dari Perkawinan Tidak Dicatat dari kota Sidoarjo, Bandar Lampung dan Kendari

Perkawinan siri Sidoarjo B.Lampung Kendari Total Pelaku Jumlah/% Jmlah/% Jumlah/% Jumlah/%

Punya anak 17 28,4 25 78,4 15 25 47 78,4

Sumber: Wagianto, Disertasi Undip, 2008

Oleh karena itu penulis tertarik untuk menganalisis sejauh mana peraturan melindungi hak keperdataan anak yang lahir dari perkawinan sirri .

1. PERMASALAHAN

(3)

3 Dengan uraian di atas maka penulis menentukan permasalah Bagaimanakah pengaturan hak perdata anak yang lahir dari perkawinan sirri ?

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian adalah penelitian normatif, pendekatan masalah adalah yuridis, menggunakan data sekunder dengan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, pengumpulan data melalui studi pustaka, data dianalisis dengan analisis kualitatif

3. PEMBAHASAN

3.1 Hak Anak dalam sistem hukum Islam

Menurut Alqur’an yang disebut sebagai orang tua adalah ibu bapaknya. karena Allah menciptakan seorang anak melalui perkawinan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dan dari perkawinan melahirkan anak, sebagimana dalam Al-Quran Surat An-Nisa’ ayat 1:

Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telahmenciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakanistrinya; dan dari pada keduanya Allah mmperkembang biakkan laki-lakidan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Dan sesungguhnya Allah selalumenjaga dan mengawasi kamu.2

Dari ayat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa hubungan antara ayah dan ibu tidak dapat dipungkiri, karena pada ayat tersebut bahwa seorang ibu adalah wanita yang melahirkan anak, sedang ayah adalah yang membuahi janin yang ada pada ibu. Hubungan kebapak-an seorang anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak akan terus ada, jika antara wanita yang melahirkan anak, dengan laki-laki yang menghamilinya terjadi perkawinan yang sah sebelum wanita tersebut hamil.

2 QS. An-Nisa’ (4): 1.

(4)

4 Eratnya hubungan antara anak dan orangtuanya yang menimbulkan hak dan kewajiban timbal balik antara orangtua dan anak disebutkan dalam Alqur’an Surat Al Baqarah: 233 seperti tentang kewajiban orang tua terhadap anak:3

“Dan para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.

Menurut ayat tersebut di atas, maka orang tua berkewajiban terhadap anaknya sesuai dengan kadar kemampuannya yaitu, menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Dengan kata lain orangtua berkewajiban memelihara, mengasuh, mendidik, menjaga dan melindunginya.

Menurut Wahbah al-Zuhaili, ada lima macam hak anak terhadap orang tuanya, yaitu:

hak nasab (keturunan), hak radla’ (menyusui), hak hadlanah (pemeliharaan), hak walayah (wali), dan hak nafkah (alimentasi). Dengan terpenuhinya lima kebutuhan ini, orang tua akan mampu mengantarkan anaknya dalam kondisi yang siap untuk mandiri.4 yaitu :

a. Hak Radla’

Hak Radla' artinya hak anak untuk mendapatkan pelayanan makanan pokoknya dengan jalan menyusu pada ibunya. Dan dalam masa penyusuan ini yang bertanggung jawab dalam hal pembiayaannya adalah kerabat terdekat menurut garis nasab dan dalam hal ini ayahlah yang memiliki kedudukan tersebut.5

b. Hak Hadlanah

3 QS. Al Baqarah:233.

4 Dikutip dari Aris Bintania, Hak Dan Kedudukan Anak Dalam Keluarga Dan Setelah Terjadinya Perceraian, Majalah Hukum Islam Vol.VIII No.2 Desember 2008, hal.157.

5 QS Surat Al-Baqarah ayat (233).

(5)

5 Menurut Bahasa, kata “hadlanah” berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk seperti menggendong, atau meletakkan sesuatu dalam pangkuan. Menurut istilah fikih, hadhanah ialah tugas menjaga dan mengasuh atau mendidik bayi atau anak kecil sejak ia lahir sampai mampu menjaga dan mengatur dirinya sendiri.6 Para ahli fiqh mendefinisikan

"hadhanah" ialah:

“Melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar, tetapi belum tamyiz, tanpa perintah daripadanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusakya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya. tugas hadlanah akan dipikul oleh dua orang ibu bapaknya sekaligus bersama-sama.7

c. Hak Walayah (Perwalian)

Dalam pemeliharaan anak dari kecil sampai baligh selain ada hak hadlanah juga terdapat hak perwalian. Tugas perwalian selain mengandung pengertian dalam perkawinan, juga untuk tugas pemeliharaan atas diri anaksemenjak berakhir periode hadhanah sampai ia berakal, atau sampai menikah bagi anak perempuan dan perwalian dalam hal harta. Dalam Hukum Islam, perwalian anak dibagi menjadi tiga, yaitu: Perwalian dalam pemeliharaan dan pendidikan anak, Perwalian harta, Perwalian perkawinan.8

d. Hak Nafkah

Hak untuk mendapatkan nafkah adalah hak anak yang berhubungan langsung dengan nasab. Begitu anak lahir, maka hak nafkahnya sudah mulai harus dipenuhi. Hak nafkah anak ini saling terkait dengan masing-masing hak-hak di atas.9

Hak dan tanggung jawab adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, anak memiliki hak dari orang tuanya dan orang tua dibebani tanggung jawab terhadap anaknya. Jika

6 M. Zuffran Sabrie, Analisa Hukum Islam Tentang Anak Luar Nikah. Jakarta : Departemen Agama Rl, 1998, hlm. 79-84.

7 Mohammad Thalib, (Trans) Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 8, Bandung, PT. Alma'arif, Cet. 15, 1980, hlm.

173.

8 Satria Effendi Zein, Makna, Urgensi dan Kedudukan Nasab dalam Perspektif Hukum Keluarga Islam, (Artikel Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, AI-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam No. 42 Tahun X 1999), 1999, hlm. 7-19.

9 M. Zuffran Sabrie, op.cit, hlm. 79-84.

(6)

6 digolongkan hak anak dapat diketagorikan dalam empat kelompok besar, yaitu hak untuk hidup, hak untuk tiimbuh dan berkembang, hak untuk mendapat perlindungan dan hak untuk berpartisipasi.10

Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah (menurut agama Islam) akan mempunyai hak dan kewaJiban terhadap orangtuanya yang melahirkannya meskipun bila kedua orangtuanya telah bercerai. Suatu perceraian tidak berakibat hilangnya kewajiban orang tua untuk tetap memberi nafkah kepada anak-anaknya sampai dewasa atau dapat berdiri sendiri.11

Namun demikian semua itu tergantung dari kedua orangtuanya apakah mau tetap memenuhi kewajibannya saat kedua suami isteri ini telah bercerai, atau tidak. Tak ada sanksi dari negara bagi orangtua yang lalai memberi nafkah pada anak-anak setelah bercerai. Akan tetapi, semua masalah dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah dengan mendasarkan pemahaman agama dan hati nuraninya masing-masing untuk menyadari bahwa ada anak yang masih membutuhkan kedua orangtuanya.

Selain hubungan darah seorang anak dengan orang tuanya, hubungan anak dan orang tua menyangkut hak seorang anak sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdul Razak Husain yang menyangkut 7 hak seorang anak yaitu:12

1. Hak anak sebelum dan sesudah lahir 2. Hak anak dalam kesucian dan keturunan.

3. Hak anak dalam pemberian nama baik.

4. Hak anak dalam menerima susuan.

5. Hak anak dalam memperoleh asuhan, perawatan dan pemeliharaan.

6. Hak anak dalam kepemilikan harta benda atau warisan demi kelangsungan hidupnya.

7. Hak anak dalam memperoleh pendidikan dan pengajaran.

Hal yang hampir senada disampaikan oleh Masruri13 bahwa perlindungan hukum anak didasarkan pada Alqur’an adalah anak memiliki pengertian transendental yaitu anak

10 Saifullah, Problematika Anak dan Solusinya (Pendekatan Sadduzzara'i), (Artikel Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, AI-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam No. 42 Tahun X1999), hlm. 48.

11 Aris Bintania, op.cit., hlm. 160.

12 Adul Razak Husain, 1992, Hak Anak Dalam Islam, Jakarta, Fikahati Aneka, hlm. 21.

(7)

7 merupakan anugrah Allah yang menjadi penerus orangtua dan amanah, dan ujian bagi orangtua, karena itu setiap anak dianugrahi berbagai hak, hak anak tersebut dibangun atas dasar kemuliaan (karomah) yaitu hak kelangsungan hidup (survival),tumbuh dan berkembang (development) dan perlindungan (protectional). Hak anak menurut Alqur’an lebih dirinci yaitu:

1. Hak anak dalam kandungan 2. Hak anak setelah lahir

3. Hak perlindungan anak pada masa tumbuh kembang 4. Hak anak dari diskriminasi perlakuan.

Dengan uraian di atas jelaslah bahwa anak yang lahir dari perkawinan secara agama dengan Rukun dan Syarat yang benar tak ada penyimpangan atas larangan-larangan menikah maka status anak adalah anak sah dan ia mempunyai hak sebagaimana patutnya.

Perkawinan yang sah menurut Islam adalah bila dilakukan dengan memenuhi Rukun dan Syarat yang ditetapkan syara’. Artinya bila Rukun dan Syarat telah benar sebenar- benarnya dan tidak ada larangan-larangan menikah yang dilanggar, maka perkawinan adalah sah. Akibat hukum yang timbul adalah anak-anak yang lahir dari perkawinan demikian adalah anak sah. Akibat hukumnya adalah anak-anak berhak mendapatkan kasih sayang yang cukup, sandang dan pangan serta hak hukum lainnya seperti berhak mendapatkan pengakuan nasab dengan segala akibat hukumnya, berhak mendapatkan biaya pendidikan, berhak mendapatkan hibah, berhak mendapatkan warisan dari orangtuanya.

Pada keluarga yang menikah secara agama Islam dan tidak tercatat tetapi keluarganya didirikan atas prinsip “samara” sakinah, mawaddah, warahmah maka anak-anak yang lahir tetap mendapatkan hak-hak keperdataannya. Hanya untuk kasus tertentu saja anak-anak

13 Masruri,

(8)

8 kehilangan hak keperdataannya. Hak-hak seperti yang diuraikan di ata tetap diterima anak- anak pada perkawinan tidak dicatat atau sirri

4.2 Perlindungan Anak Menurut KUH Perdata

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerd/B.W) bidang Perkawinan menganut azas monogami mutlak artinya pada sebuah Perkawinan hanya ada satu suami untuk satu isteri dan sebaliknya satu istri bagi satu suami dalam satu masa. Hal ini diatur dengan tegas pada Pasal 27 KUHPerd yang isinya bahwa dalam waktu yang bersamaan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai satu orang perempuan sebagai isterinya dan seorang perempuan hanya memiliki satu laki-laki sebagai suaminya.14 Meskipun tidak ada poligami bukan berarti tidak ada perselingkuhan, oleh karena itu, KUHPerd memberi upaya perlindungan terhadap anak-anak yang lahir di luar Perkawinan. Untuk anak yang lahir dari perzinahan maka ada upaya preventif (pencegahan) maka KUHPerdata (KUHPerd) memberi solusi dengan mengelompokkan 2 macam anak luar nikah yaitu:

1. Anak yang dilahirkan dari Perkawinan sebelum 6 bulan dari ikrar Perkawinan

Anak yang dilahirkan dari Perkawinan sebelum seratus delapan puluh hari dari ikrar Perkawinan orangtuanya. Anak jenis ini disebut anak tidak sah atau anak luar nikah.

Begitu juga anak yang lahir setelah tiga ratus hari setelah putusnya Perkawinan orangtuanya (perceraian) adalah anak tidak sah (Pasal 255 KUHPerd). Menurut Pasal 280 KUHPerd anak tidak sah mempunyai peluang untuk menjadi anak sah bila kedua orang tuanya melakukan perbuatan hukum yaitu pengakuan dihadapan pejabat yang berwenang, apabila kedua orangtuanya tidak melakukan pengakuan tentu si anak akan menjadi anak tak berayah dan tak beribu dengan segala akibat hukumnya.

2. Anak yang lahir diluar Perkawinan yang tidak diakui oleh ayahnya maupun ibunya.

14Subekti dan Tjitrosudibio, 2001.KUHPerdata dengan tambahan UU Agraria dan UU Perkawinan.Jakarta:Pradnya Paramitha, hlm. 8.

(9)

9 Anak yang lahir diluar Perkawinan yang tidak diakui oleh ayahnya maupunibunya.

Menurut hukum tidakpunya ibu.15Menurut Ali Affandi16 ada dua macam anak luar nikah yaitu pertama anak yang dilahirkan dari ayah dan ibu yang mana antara mereka tidak ada halangan Perkawinan (samenleven). Kedua anak yang lahir dari ayah atau ibu yang dilarang untuk nikah karena sebab yang ditentukan undang-undang atau jika salah satu ayah atau ibu terikat Perkawinan dengan orang lain(anak zina versi KUHPerdata).

Anak zina adalah adalah anak yang lahir dari seorang ibu yang dibuahi oleh seorang laki- laki, sedangkan laki-laki atau perempuan itu masih terikat Perkawinan.Status anak yang lahir karena perzinahan dan sumbang tidak diperkenankan untuk diakui oleh orang yang berbuat zina, kecuali mendapat dispensasi dari presiden sebagaimana yang diatur dalam KUHPerd Pasal 283 yang isinya sebagai berikut:

Sekalian anak yang dibuahi dalam zina ataupun dalam sumbang sekali-kali tidak boleh diakui kecuali terhadap yang terakhir ini apa yang ditentukan dalam Pasal 273.

Pasal 272 KUHPerd menyatakan bahwa kecuali anak yang dibenihi dalam zina atau sumbang tiap-tiap anak yang dibuahkan di luar Perkawinan dengan kemudian menikahnya bapak dan ibunya akan menjadi sah apabila kedua orang itu sebelum menikah menurut ketentuan- ketentuan atau apabila pengakuan itu dilakukan dalam akta nikah sendiri17.

Pengakuan adalah pengesahan orangtua terhadap anak yang lahir di luar Perkawinan dan pengesahan ini hanya dapat dilakukan dengan ketentuan KUHPerd Pasal 272, sedangkan pengakuannya diatur dalam Pasal 281 KUHPerd dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Dicantumkan dalam akta kelahiran si anak

15Affandi, Ali. 1986. Hukum Waris, Hukum Keluarga Dan Hukum Pembuktian. Jakarta:Bina Aksara.hlm. 40.

16 Ibid.

17Ibid.hlm.68.

(10)

10 2. Dalam akta Perkawinan orangtuanya (kalau kemudian orangtuanya menikah)

3. Dalam akta yang dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil dan kemudian dibukukan dalam daftar kelahiran menurut tanggal dibuatnya akta tadi

4. Dalam akta otentik lain

5. Setiap orang yang berkepentingan dapat menuntut supaya pengakuan ini dicatat dalam akta kelahiran si anak.18

6. KetentuanPasal 272 KUHPerd menyatakan bahwa anak luar nikah yang dapat diakui oleh orang tuanya adalah anak yang lahir dari seorang ibu yang dibenihi oleh seorang laki-laki yang tidak terikat Perkawinan. Akan tetapi, bila si laki-laki terikat Perkawinan, maka si anak tidak dapat diakui dan hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibu yang melahirkannya saja.

7. Sehubungan dengan kewarisan anak luar nikah yang bapak dan ibunyatidak boleh menikah karena dekatnya hubungan darah (anak sumbang), dan anak hasil perzinahan tidak ada kemungkinan untuk diakui oleh bapak atau ibunya. Anak seperti ini tidak berhak atas harta warisan dari orang tuanya, anak tersebut hanya berhak mendapatkan biaya hidupnya saja. Anak tidak sah hanya mempunyai hubungan hukum dengan orangtua yang mengakuinya(Pasal 872 KUHPerd).

8. Anak luar nikah dapat disahkan dengan Perkawinan orangtuanya atau dengan surat pengesahan maka jika pengesahan karena Perkawinan maka status anak sama dengan anak yang lahir dari Perkawinan sah. Ini artinya ia berhak penuh atas warisan dari peninggalan orangtuanya seperti yang disebutkan dalam Pasal 916 KUPerd yang isinya sebagai berikut:

18R.Subekti dan Tirtosudibio, op.cit .hlm.69.

(11)

11 9. “Bagian mutlak anak luar nikah yang telah diakui dengan sah adalah setengah dari bagian yang menurut undang-undang sedianya harus diwarisinya dalam pewarisan karena kematian”.19

10. Status anak luar nikah dalam hal pewarisan menurut KUHPerd sebagai berikut:

11. “jika salah seorang keluarga sedarah tersebut meninggal dunia dengan tidak meninggalkan sanak saudara dalam derajat yang mengizinkan kewarisan, maupun suami isteri yang hidup lebih lama maka si anak luar nikah berhak menuntut warisan untuk dirinya sendiri dengan mengesampingkan negara”.

12. Jika pengesahan dilakukan dengan surat pengesahan maka pewarisan tidak boleh merugikan anak-anak sah sebelum pengesahan itu dilakukan. Dengan penjelasan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa status anak luar nikah dapat berubah menjadi anak sah apabila kedua orangtuanya mengakui sepanjang kedua orang tuanya tidak terdapat larangan menikah menurut KUHPerd Pasal 283 yo Pasal 273.

Kesimpulannya adalah KUHPerdata adalah sistem hukum tertulis yang lengkap dalam hal perlindungan hukum anak dalam pengakuan akan hak-hak anak seperti pengakuan akan status anak luar nikah, kecuali untuk anak zina dan anak sumbang yang dapat dilakukan pengakuan oleh orang tuanya atas izin dari presiden. Anak-anak tetap mendapatkan waris bagi anak luar nikah yang diakui oleh orangtuanya dan bagi anak zina yang mendapat pengakuan dari orangtuanya mendapatkan harta hibah atau hadiah. Peraturan KUHPerd ini tidak berlaku bagi umat Islam, kecuali mereka menundukkan diri ke dalam KUHPerdata.

4.4 Hak anak dalam Undang-Undang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

19Ibid .hlm, 240.

(12)

12 Implementasi Perlindungan Anak menurut Pasal 42 UUP dan Pasal 100 KHI anak dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu anak sah dan anak tidak sah. Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah, anak tidak sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah. Seperti diuraikan diatas konsep perkawinan sah adalah perkawinan yang dilakukan secara agama dan dilakukan dan diawasi goleh PPN dan dicatatkan di KUA. Undang-Undang Perkawinan tidak mengenal jangka waktu kehamilan sebagai pembuktian anak sah dan anak tidak sah seperti yang dikenal dalam Islam dan KUHPerd. Akan tetapi diatur tentang adanya penyangkalan atas sahnya seorang anak oleh suami, bila ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berbuat zina dan anak tersebut merupakan anak hasil perzinahan tersebut.20 Lembaga yang memproses penyangkalan tersebut adalah pengadilan dengan mewajibkan yang bersangkutan mengucapkan sumpah.

Dalam perjalanan waktu anak dari perkawinan sirri yang para pihak beragama Islam dapat dimintakan pengesahannya melalui pengadilan, sepanjang dapat dibuktikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Sesuai isi Pasal 43 (baru) UUP. Sedangkan dalam KHI anak dari perkawinan sirri tidak mendapat perlindungan hukum. Berbeda dengan isi Pasal 43 UUP yang telah diubah, aturan perlindungan anak dalam KHI belum berubah. KHI masih produk lama yang berpegang pada Pasal 43 (lama) bahwa anak dari perkawinan sirri hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya.

Kesimpulannya adalah UUP dan KHI sejalan yaitu tidak melindungi hak keperdataan anak yang dilahirkan dari perkawinan tidak dicatat. Anak hanya punya hubungan keperdataan dengan ibunya (Pasal 43 UUP lama), kecuali dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (Pasal 43 UUP baru).

3. Kesimpulan

20 Ridwan Syahrani, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta:Rieneka Cipta, 2000, hlm. 55

(13)

13 Dari dua sistem hukum tersebut yaitu hukum Islam dan hukum Indonesia maka perlindungan anak pada perkawinan sirri hanya berlaku untuk masyarakat beragama Islam sepanjang mereka mau mentaatinya. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata secara lengkap memberikan perlindungan hukum pada anak yang lahir pada perkawinan sirri. Hanay saja orang beragama Islam tidak bisa menggunakan KUHPerdata karena alasan penundukan hukum. KUHPerdata hanya berlaku untuk orang non islam dan juga mereka yang menundukkan diri kepadanya.

Undang-Undang Perkawinan Pasal 43 sudah direvisi melalui putusan MK No 46/PU- VIII/2010, tetapi belum bisa diterapkan. Masih perlu waktu agar anak yang lahir dari perkawinan sah secara agama Islam (sirri), tapi tidak dicatat untuk mendapatkan perlindungan hukum dari negara.

DAFTAR PUSTAKA

Alqur’an dan terjemahnya

Sabrie, M. Zuffran , 1998, Analisa Hukum Islam Tentang Anak Luar Nikah. Jakarta : Departemen Agama Rl,

Thalib, Mohammad, (Trans) Sayyid Sabiq, 1980,Fikih Sunnah 8, Bandung, PT. Alma'arif, Cet. 15.

Subekti dan Tjitrosudibio, 2001.KUHPerdata dengan tambahan UU Agraria dan UU Perkawinan.Jakarta:Pradnya Paramitha.

Syahrani, Ridwan, 2000, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta:Rieneka Cipta,

Suteki, 2009, Reformasi Politik Hukum Hak Atas Air Pro rakya, Jawa Timur, Surya Pena Gemilang.

Gosita, Arief , 1993, Masalah Korban Kejahatan (kumpulan karangan), Jakarta:Akademik Presindo.

Jurnal/majalah/tesis

(14)

14 Bintania, Aris, Hak Dan Kedudukan Anak Dalam Keluarga Dan Setelah Terjadinya Perceraian, Majalah Hukum Islam Vol.VIII No.2 Desember 2008.

Masruri, 2005. Hak perlindungan anak dalam perspektif Islam. Semarang:IAIN Walisongo. Tesis S2

Wagianto, 2008. Perlindungan hukum terhadap anak hasil Perkawinan Mut’ah dan Sirri dalam Perspektif Politik Hukum. Semarang: Disertasi, Undip, 2008

UU No. 23 Tahun 2002 jo UU Perlindungan Anak No. 35 tahun 2014 dan Konvensi Hak Anak

Zein, Satria Effendi, Makna, Urgensi dan Kedudukan Nasab dalam Perspektif Hukum Keluarga Islam, (Artikel Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, AI-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam No. 42 Tahun X 1999), 1999.

Undang-Undang:

UUPA No. 35 Tahun 2014 jo No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Dan penjelasannya.

Profil Penulis

Nama : Dr. Amnawaty, S,H.,M.H

Tempat.Tanggal lahir : Sungai Gerong / 24 April 1957.

Pangkat/Gol : Pembina Tk I/ Lektor kepala

Alamat email : amnawaty@yahoo.com

Alamat rumah : Perum Bataranila Jl.Raflesia C 402 Hajimena Natar Lampung Selatan

Riwayat Pendidikan : Pendidikan S1 pada Universitas Sriwijaya Palembang (1985).

Pendidikan S2 pada Universitas Indonesia. (2000) Pendidikan S3 pada UNDIP (2015)

Penerima Hibah:

1. Hibah buku teks Dikti TPSDP dengan judul Hukum Islam dalam Perspektif Ilmu Hukum (Tahun 2000)

2. Hibah buku teks Dikti Head Project i dengan judul Hukum Ekonomi Islam ( 2005) 3. Hibah buku Ajar Dikti dengan judul Hukum Acara Peradilan Agama (2006)

4. Hibah buku teks Dikti dengan judul Aspek Hukum Perbankan Syariah (Tahun 2008)

(15)

15 Panitia:

Penulis aktif dalam kegiatan pendidikan dan pengembangan pembelajaran.

1. Sebagai PIC program development TPSDP Fakultas Hukum Universitas Lampung untuk bidang IT (2006)

2. PIC Program OS dan OM. (2006)

3. Sebagai Sekretaris PIC untuk Program Improving Interaction among Student and staff (2006)

4. Sekretaris PIC Program Improving Interaction among Student and staff sub activity workshop and technique of writing and Research Proposal (2006)

5. Sekretaris PIC Program Workshop and training and monitoring How to develop Teaching Media (2006)

6. Sekretaris PIC Program How to Write Teks Books.(2006)

7. Tim penyusunan buku Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Universitas Lampung (2005).

8. Ketua Pusat Dokumentasi dan Kepustakaan Bag,Perdata Fakultas Hukum (2006 sd 2008)

9. Tim FGD penyusunan Manual Mutu Universitas Lampung (2006).

10. Ketua Pelaksana Desiminasi Klinik Hukum kerjasama dengan Universitas Indonesia (2016)

Publikasi

1. Rekonstruksi Sistem Hukum Perkawinan dalam rangka perlindungan anak pada perkawinan tidak dicatat (prosiding internasional 2014)

2. Upaya penanggulan tumpahan minyak oleh Pertamina UP III Plaju Palembang (jurnal akreditasi 2015)

3. Upaya penyelesaian kridit bermasalah (Jurnal non akreditasi 2014)

Referensi

Dokumen terkait

Seorang anak mendapatkan status sebagai anak zina jika ia dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang salah satu atau kedua-duanya memiliki ikatan

Dengan demikian anak luar kawin dalam arti, sempit adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang kedua-duanya tidak terikat

ayah dan ibunya tidak dicatatkan sebagaimana mestinya, sehingga perkawinan mereka dianggap tidak ada. Suami istri berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anak

Pendekatan istilah “anak zina” sebagai “anak yang lahir di luar perkawinan yang sah”berbeda dengan pengertian anak zina yang dikenal dalam Hukum Perdata umum, sebab dalam

Jadi bila ada seorang anak yang lahir diluar perkawinan yang sah menurut hukum (misalnya ada anak yang lahir hanya dari perkawinan siri atau lahir di luar perkawinan),

2) Kewarganegaraan Ganda Pada Anak Hasil Perkawinan Campuran Berdasarkan Undang – Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan ini anak yang lahir dari perkawinan

Anak syah, yaitu seorang anak yang lahir dalam suatu perkawinan (pasal 250 KUH Perdata). Anak yang lahir di luar perkawinan, tetapi dapat diakui. Golongan ini adalah anak

DEFINISI zina/zi·na/ n 1 perbuatan bersanggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan perkawinan; 2 perbuatan bersanggama seorang laki-laki yang