TESIS
Oleh
FARIDA HANUM
127011060/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
FARIDA HANUM
127011060/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Nama Mahasiswa : FARIDA HANUM Nomor Pokok : 127011060
Program Studi : MAGISTER KENOTARIATAN
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD
Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
2. Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA
3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
Nama : FARIDA HANUM
Nim : 127011060
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : STATUS ANAK YANG DILAHIRKAN DARI
PERKAWINAN WANITA HAMIL KARENA ZINA
MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
perkawinan wanita hamil karena zina, bagaimana status hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan wanita hamil karena zina dan bagaimana perlindungan hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan wanita hamil karena zina, keseluruhan pokok masalah dilihat dari sudut pandang Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Untuk meneliti hal-hal tersebut diatas digunakan metode yurisdis normatif dengan pendekatan yang bersifat kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan melalui studi kepustakaan dan wawancara guna memperoleh data sekunder.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pengaturan perkawinan wanita hamil karena zina menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 secara eksplisit tidak ada diatur tetapi secara inplisit diatur pada Pasal 2 ayat (1) yaitu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam Kompilasi Hukum Islam pengaturan perkawinan wanita hamil karena zina pada Pasal 53 yaitu: (1) seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya, (2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya, (3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Status Hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan wanita hamil karena zina Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 adalah anak sah. Menurut Kompilasi Hukun Islam anak yang dilahirkan dari perkawinan wanita hamil karena zina adalah anak sah apa bila perkawinan itu dilakukan oleh laki-laki yang menghamilinya, dalam Pasal 99 ayat(1) Kompilasi Hukum Islam dan dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, dan menjadi anak tidak sah atau luar perkawinan apabila perkawinan itu dilakukan dengan laki-laki yang bukan menghamilinya,Pengaturan anak luar perkawinan terdapat dalam Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam Dan Pasal 43 Undang-Undanp Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 43.Perlindungan Hukum anak dari perkawinan wanita hamil karena zina menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam adalah Pengakuan anak, pengakuan anak ini dapat dilakukan oleh ayahnya setelah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, setelah itu maka sahlah pengakuan anak tersebut secara hukum.
on a woman who is pregnant in pre-marriage, the legal status of the child who is born as the result of adultery, and the legal protection for the child. The problems were viewed from Marriage Law No. 1/1974 on Marriage from the Compilation of the Islamic Law.
The research used judicial normative and qualitative approach. The data were gathered by conducting library research and interviews in order to get secondary data.
The result of the research shows that the regulation on pregnant woman who gets married because of adultery, according to Law No. 1/1974, is not explicitly regulated, but it is implicitly regulated in Article 2, paragraph 1 which stated that a marriage is legitimate when it was done according to each the couple’s religion and belief. In Article 53 of the Compilation of the Islamic Law, it is stated that 1) a woman who is pregnant without marriage can be married off with the man who has impregnated her, 2) the marriage can be carried out without waiting for the birth of the baby, and 3) the marriage will not be done over again after the baby is born. The baby is considered legitimate, according to Law No. 1/1974. According to the Compilation of the Islamic Law, the child who is born from adultery is legitimate when the prospect husband is the child’s biological father. In Article 99, paragraph 1 of the Compilation of the Islamic Law and Article 42 of Law No. 1/1974, it is stated that a legitimate child is a child who is born from legitimate marriage, but he will be illegitimate when the husband of his mother is the man who has not impregnated his mother. The regulation on an illegitimate child is stipulated in Article 100 of the Compilation of the Islamic Law and Article 43 of Marriage Law No. 1/1974. The legal protection for a child who is born from adultery, according to Marriage Law No. 1/1974 and the Compilation of the Islamic law, is that the Recognition of the Child which can be done by his father after all requirements have been fulfilled, and the child is legally legitimate.
“STATUS ANAK DARI PERKAWINAN WANITA HAMIL KARENA ZINA
MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN “ sebagai suatu persyaratan yang harus
dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Ilmu kenotariatan (M.Kn)
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini dapat selesai, penulis menyadari
bahwa tesis ini masih terdapat banyak sekali kekurangan, akan tetapi penulis telah
berusaha untuk mencoba menyajikan dalam bentuk penyajian yang singkat dan
diformat sesederhana mungkin dikarenakan keterbatasan yang ada.
Pada kesempatan ini tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan tesis ini
dengan memberikan berbagai referensi buku dan sumber pustaka lainnya yang dapat
penulis jadikan sebagai acuan dalam penyusunan tesis ini. Untuk itu ucapan terima
kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada:
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor
Universitas`Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi S2
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas sumatera Utara.
4. Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang
penuh perhatian, kesabaran dan ketelitian dalam memberikan bimbingan, arahan,
6. Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA, selaku Pembimbing ketiga yang telah
meluangkan waktu dan memberikan motivasi, bimbingan, dorongan, saran dan
perhatian hingga selesainya penulisan tesiss ini.
7. Para Bapak/Ibu Dosen Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas`Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang
sangat bermanfaat selama penulis mengikuti pendidikan.
8. Seluruh Staf Biro Pendidikan Magister Kenotariatan yang telah banyak
memberikan bamtuan kepada penulis selama ini.
9. Sahabat-sahabat di Magister kenotariatan dan seluruh kawan-kawan stambuk
2012.
10. Keluarga Penulis tercinta, Ibunda, Abang, Kakak, Adik, Tante dan Pak
Etek.Hanya Allah yang dapat membalas segala kebaikan dan jasa-jasa ynag
diberikan mereka semua. Dengan penuh kerendahan hati, penulis mengharapkan
kritik dan saran dari semua pihak atas segala kekurangan yang penulis sadari
sepenuhnya terdapat dalam tesis ini guna perbaikan dikemudian hari.
Medan, Desember 2014 Penulis
Nama : Farida Hanum
Tempat Tanggal Lahir : Medan, 6 Februari 1973
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Belum Menikah
Agama : Islam
Alamat : Jln. Garu III Nomor 21 Medan
II. DATA KELUARGA
1. Nama Ayah : Usman Rabbani
2. Nama Ibu : Asniar
3. Nama Saudara : Ir. Eddy Usman,
Elly Usman, S.Kep
Netty Usman
Linda Usman, S.E
Letkol. Putra Bungsu Usman, S.IP
Azlina Usman, S.E
III. PENDIDIKAN
1. SD Inpres No. 064955 Medan Lulus Tahun 1985
2. SMP Negeri 13 Medan Lulus Tahun 1988
3. SMA Muhammadiyah 1 Medan Lulus Tahun 1991
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v
DAFTAR ISI... vi
DAFTAR ISTILAH ... viii
DAFTAR SINGKATAN... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Perumusan Masalah... 8
C. Tujuan Penelitian... 9
D. Manfaat Penelitian... 9
E. Keaslian Penelitian ... 10
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 12
1. Kerangka Teori... 12
2. Kerangka Konsepsi... 17
G. Metode Penelitian... 18
1. Jenis dan Sifat Penelitian... 18
2. Sumber Data Penelitian ... 20
3. Teknik Pengumpulan Data ... 21
4. Analisis Data ... 22
BAB II PENGATURAN PERKAWINAN WANITA HAMIL KARENA ZINA ... 24
A. Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ... 24
1. Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam... 24
2. Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan ... 49
BAB III STATUS HUKUM ANAK YANG DILAHIRKAN DARI PERKAWINAN WANITA HAMIL KARENA ZINA... 52
A. Pengertian Anak... 52
1. Menurut Kompilasi Hukum Islam ... 52
2. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ... 54
B. Status Anak Yang Lahir Dari Perkawinan Wanita Hamil Karena Zina ... 58
1. Menurut Kompilasi Hukum Islam ... 58
2. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ... 63
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG DILAHIRKAN DARI PERKAWINAN WANITA HAMIL KARENA ZINA... 67
A. Perlindungan Hukum Anak... 67
1. Menurut Kompilasi Hukum Islam ... 67
2. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ... 78
B. Perlindungan Hukum Anak Yang Lahir Dari Perkawinan Wanita Hamil Karena Zina ... 88
1. Menurut Kompilasi Hukum Islam ... 88
2. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan... 93
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 103
A. Kesimpulan ... 103
B. Saran ... 105
Etimologi : Pengertian secara bahasa
Eksplisit : Gamlang, tegas, terus terang, tidak berbelit-belit
sehingga Orang dapat menangkap maksudnya dengan mudah, tersurat
Inplisit : Termasuk, terkandung, didalamnya meskipun tidak
dinyatakan secara jelas atau terang-terangan, tersimpul didalamnya, terkandung halus, tersirat
Al zawju : Pernikahan
Istibra’ : Pengosongan rahim
Asynfu walna’u : Jenis atau ragam
Al wath’u : Hubungan badan
Aldammu walnaw’u : Penggabungan dan saling mengisi
Figh Munakahat : Peraturan yang bersifat amaliyah furu’iyah
berdasarkan wahyu illahi yang mengatur hal yang berkenaan dengan perkawinan yang berlaku untuk seluruh umat yang beragama Islam Maqashid Al-Syari’ah: Tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari suatu penetapan Hukum
Ulama : Orang yang ahli dalam ilmu agama Islam
Fasakh : Jatuhnya talak oleh keputusan hakim atas dasar
SAW : Shalallahu”alaihi wa sallam
UU : Undang-undang
KHI : Kompilasi Hukum Islam
HR : Hadist Riwayat
UUPA : Undang-undang Perlindungan Anak
perkawinan wanita hamil karena zina, bagaimana status hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan wanita hamil karena zina dan bagaimana perlindungan hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan wanita hamil karena zina, keseluruhan pokok masalah dilihat dari sudut pandang Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Untuk meneliti hal-hal tersebut diatas digunakan metode yurisdis normatif dengan pendekatan yang bersifat kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan melalui studi kepustakaan dan wawancara guna memperoleh data sekunder.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pengaturan perkawinan wanita hamil karena zina menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 secara eksplisit tidak ada diatur tetapi secara inplisit diatur pada Pasal 2 ayat (1) yaitu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam Kompilasi Hukum Islam pengaturan perkawinan wanita hamil karena zina pada Pasal 53 yaitu: (1) seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya, (2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya, (3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Status Hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan wanita hamil karena zina Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 adalah anak sah. Menurut Kompilasi Hukun Islam anak yang dilahirkan dari perkawinan wanita hamil karena zina adalah anak sah apa bila perkawinan itu dilakukan oleh laki-laki yang menghamilinya, dalam Pasal 99 ayat(1) Kompilasi Hukum Islam dan dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, dan menjadi anak tidak sah atau luar perkawinan apabila perkawinan itu dilakukan dengan laki-laki yang bukan menghamilinya,Pengaturan anak luar perkawinan terdapat dalam Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam Dan Pasal 43 Undang-Undanp Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 43.Perlindungan Hukum anak dari perkawinan wanita hamil karena zina menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam adalah Pengakuan anak, pengakuan anak ini dapat dilakukan oleh ayahnya setelah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, setelah itu maka sahlah pengakuan anak tersebut secara hukum.
on a woman who is pregnant in pre-marriage, the legal status of the child who is born as the result of adultery, and the legal protection for the child. The problems were viewed from Marriage Law No. 1/1974 on Marriage from the Compilation of the Islamic Law.
The research used judicial normative and qualitative approach. The data were gathered by conducting library research and interviews in order to get secondary data.
The result of the research shows that the regulation on pregnant woman who gets married because of adultery, according to Law No. 1/1974, is not explicitly regulated, but it is implicitly regulated in Article 2, paragraph 1 which stated that a marriage is legitimate when it was done according to each the couple’s religion and belief. In Article 53 of the Compilation of the Islamic Law, it is stated that 1) a woman who is pregnant without marriage can be married off with the man who has impregnated her, 2) the marriage can be carried out without waiting for the birth of the baby, and 3) the marriage will not be done over again after the baby is born. The baby is considered legitimate, according to Law No. 1/1974. According to the Compilation of the Islamic Law, the child who is born from adultery is legitimate when the prospect husband is the child’s biological father. In Article 99, paragraph 1 of the Compilation of the Islamic Law and Article 42 of Law No. 1/1974, it is stated that a legitimate child is a child who is born from legitimate marriage, but he will be illegitimate when the husband of his mother is the man who has not impregnated his mother. The regulation on an illegitimate child is stipulated in Article 100 of the Compilation of the Islamic Law and Article 43 of Marriage Law No. 1/1974. The legal protection for a child who is born from adultery, according to Marriage Law No. 1/1974 and the Compilation of the Islamic law, is that the Recognition of the Child which can be done by his father after all requirements have been fulfilled, and the child is legally legitimate.
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat
manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakan dan dibina sesuai
dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Dalam rumah tangga
berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami istri), mereka saling berhubungan
agar mendapat keturunan sebagai penerus generasi. Insan-insan yang berada dalam
rumah tangga itulah yang disebut” keluarga”, keluarga merupakan unit terkecil dari
suatu bangsa, keluarga yang dicita-citakan dalam ikatan perkawinan yang sah adalah
keluarga sejahtera dan bahagia yng selalu mendapat ridha dari Allah SWT.1
Menurut Kompilasi Hukum Islam, seperti yang terdapat dalam pasal 2
dinyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah , Pernikahan yaitu akad
yang sangat kuat atau miitsaqan ghalidhan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.2
Di dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 seperti yang
termuat dalam pasal 1 ayat 2 perkawinan didefenisikan sebagai : “ Ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan
1Abdul Manan,Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia(Jakarta : kencana,
2006), hal . 1.
2 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan,Hukum Perdata Islam di Indonesia : Studi
membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.3
Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena Negara
Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan
Yang Maha Esa. Sampai disini tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai
hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan
saja mempunyai unsur lahir/ jasmani tetapi juga memiliki unsur batin/rohani.4
Faedah yang terbesar dalam perkawinan ialah untuk menjaga dan memelihara
perempuan yang bersifat lemah itu dari kebinasaan. Sebab seorang perempuan,
apabila dia sudah menikah, maka nafkahnya ( belanjanya ) menjadi wajib atas
tanggungan suaminya. Perkawinan juga berguna untuk memelihara kerukunan
anak-cucu (turunan), sebab kalau tidak dengan Perkawinan, tentulah anak tidak
berketentuan siapa yang akan mengurusnya dan siapa yang bertanggung jawab
atasnya. Perkawinan juga dipandang sebagai kemaslahatan umum, sebab kalau tidak
ada perkawinan, tentu manusia akan menurutkan sifat kebinatangannya, dan dengan
sifat itu akan timbul perselisihan, bencana dan perrmusuhan antara sesamanya, yang
mungkin juga sampai menimbulkan pembunuhan yang maha dahsyat. .Demikianlah
maksud perkawinan yang sejati dalam Islam, singkatnya untuk kemaslahatan dalam
rumah tangga dan turunan, juga untuk kemaslahatan masyarakat.5
3 Ibid.42 4 Ibid.43
Perkawinan adalah jalan yang dipilih Allah untuk melestarikan keturunan.
Dikeluarkannya Adam dan Hawa dari surga untuk kemudian ditempatkan di bumi
dapat dikatakan sebagai cikal bakal penciptaan manusia oleh Allah SWT. Manusia
menurut ajaran Agama Islam Adalah sebagai pemimpin atau wakil Tuhan dimuka
bumi. Dalam istilah agama fungsi manusia yang demikian disebut” Khalifah”. Misi
manusia sebagai khalifah pada pokoknya adalah memelihara dan menciptakan
kemaslahatan manusia dalam hubungannya dengan alam semesta. Manusia adalah
makhluk yang dimuliakan Allah SWT, sebagaimana dinyatakan- Nya dalam surat Al
isra ayat 70 yang artinya, “ Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam,
Kami angkat mereka didaratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki yang baik-baik
dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan
makhluk yang telah kami ciptakan “. Sayyid Sabiq menulis dalam bukunya Fikih
Sunnah: Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia
untuk beranak, berkembang biak dan melestarikan hidupnya, setelah masing-masing
pasangan siap melakukan peranannya yang positip dalam mengujudkan tujuan
perkawinan.6
Tuhan tidak mau menjadikan manusia itu seperti mahkluk lainnya, yang hidup
bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara anarki,
dan tidak ada satu aturan. Tetapi demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan
manusia, Allah membuat hukum sesuai dengan martabatnya.7
Sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhomat dan
berdasarkan saling meridhai, dengan upacara ijab dan qabul sebagai lambang dari
6 Mohammad Thalib, (Trans) Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah, (Bandung: PT.Alma’arif, 1980).
Jilid 6, cet 15, hal.7.
adanya rasa ridha-meridhai, dan dengan dihadiri oleh para saksi yang menyaksikan
kalau pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat. Perkawinan menurut
syari’at islam setdak-tidaknya akan:
1. Membuat hubungan antara laki-laki dan perempuan menjadi terhormat
dan saling meridhai.
2. Memberikan jalan yang paling sentosa pada sex sebagai naluri
manusia memelihara keturunan dengan baik dan menghindarkan kaum
wanita dari penindasan kaum laki-laki.
3. Membuat pergaulan suami-isteri berada dalam naluri keibuan dan kebapakan,
sehingga akan melahirkan anak keturunan yang baik sebagai generasi penerus
misi kekhalipahan.
4. Menimbulkan suasana yang tertib dan aman dalam kehidupan sosial.8
Kawin (menikah) adalah wajib pada seseorang yang memiliki kemampuan
untuk melakukannya dan memang membutuhkannya, dan dia takut akan melakukan
perzinaan apabila tidak menikah. Namun, jika ia ingin sekali menikah tetapi tidak
memiliki harta benda ( kebutuhan material ), hendaknya dia melakukan seperti yang
difirmankan Allah SWT dalam QS.an-Nur(24) : 33 yang artinya “ Dan orang-orang
yang tidak maampu kawin hendaklah menjaga kesuciannya( diri ) nya, sehingga
Allah memampukan mereka dengan karunianya”. Dan sabda Nabi saw: “ Hai para
pemuda,barang siapa diantara kamu mampu untuk kawin ( baik materi maupun fisik )
8H. M Zuffran Sabrie, Analisa Hukum Islam Tentang Anak Luar Nikah, (Jakarta: Departemen
hendaklah ia kawin. Sesunggunya hal itu lebih memalingkan pandangan dan lebih
menjaga farji. Barang siapa tidak mampu untuk melakukannya hendaklah ia
berpuasa, karena hal itu adalah penangkal.” (Muttafaq alaih)9
Sedangkan seseorang yang menginginkan kawin dan memiliki kemampuan
untuk kawin, tetapi ia tidak takut melakukan perzinaan, maka perkawinan dianjurkan
kepadanya, dan hal itu lebih baik baginya daripada konsentrasi sendirian dalam
ibadah, karena tidak kawin ( seperti biara ) bukanlah bagian dari ajaran islam.10
Bagi seorang wanita tentu dia tidak akan hamil, karena belum pernah
menikah, yang menjadi persoalan adalah ternyata dia hamil, maka dapat dipastikan
kehamilannya itu adalah hasil dari hubungan seksual diluar perkawinan. Akibatnya
dengan berbagai pertimbangan dicoba untuk menutup-nutupinya. Ada yang lari
kedokter atau kedukun bayi untuk menggugurkan kandungan dan ada juga yang
segera melangsungkan pernikahan dengan pasangan yang menghamilinya atau orang
lain sebagai tumbal agar kehamilan diketahui masyarakt sebagai kehamilan yang
sah.11
Solusi pengguguran kandungan jelas melanggar syariat, jadi haram hukumnya
karena sama dengan melakukan pembunuhan manusia. Sedang cara yang kedua, yaitu
segera melangsungkan pernikahan, cara yang selama ini ditempuh orang, dalam hal
ini para ulama berbeda pendapat tentang dibolehkannya.12
9
Muhammad Bin Jamil Zainu,Pilar-Pilar Islam dan Iman, ( Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2001 ), hal 369-370.
10 Ibid. hal. 371.
11
Huzaemah Tahido Yanggo,Fikih Perempuan Kontemporer, (Bogor : Ghalia Indonesia ), hal.58
Para Ulama berbeda pendapat tentang perkawinan yang terjadi terhadap
wanita yang sedang hamil akibat zina. Dan juga status anak dalam perkawinan
tersebut.13
Tentang hamil diluar nikah sendiri sudah kita ketahui sebagai perbuatan zina,
baik oleh pria yang menghamilinya maupun wanita yang hamil. Dan itu merupakan
dosa besar. Para Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang secara ketat
tidak memperbolehkan, ada pula yang menekankan pada penyelesaian masalah tanpa
mengurangi kehati-hatian mereka. Sejalan dengan sikap para ulama itu, ketentuan
hukum Islam menjaga batas-batas pergaulan masyarakat yang sopan dan memberikan
ketenangan dan rasa aman.14
Dalam Kompilasi Hukum Islam, telah mengatur persoalan perkawinan wanita
hamil yang terdapat dalam pasal 53 yaitu :
1. Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria
yang menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Dasar pertimbangan Kompilasi Hukum Islam terhadap perkawinan wanita
Hamil adalah Qur’an Surat: An-Nur ayat 3 yang artinya.15 “ Laki-laki yang berzina
13Ibid. hal.59.
14Ppti.malalo, Perkawinan Wanita Hamil, http:/ppti.malalo.blogspot.com/2013/10/25,
Perkawinan Wanita Hamil. Diakses tanggal 1 maret 2014.
tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musrik
dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina
atau laki-laki musrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang
mukmin.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa
perkawinan terhadap wanita hamil, berdasarkan pasal 2 ayat (1) bahwa: “perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaanya itu”.
Hasil dari suatu perkawinan akan lahir anak yang merupakan bagian yang
sangat penting kedudukannya dalam suatu keluarga menurut hukum Islam. Sebagai
amanah Allah, maka orang tuanya mempunyai tanggung jawab untuk mengasuh,
mendidik dan memenuhi keperluannya sampai dewasa. Namun tidak semua anak
lahir dari perkawinan yang sah, bahkan ada kelompok anak yang lahir sebagai akibat
dari perbuatan zina. Anak-anak yang tidak beruntung ini oleh hukum dikenal dengan
sebutan anak luar nikah. Sebagai anak tidak sah atau luar nikah, yaitu yang berkaitan
dengan hah-hak keperdataan mereka tentu saja amat tidak menguntungkan, padahal
kehadiran mereka didudunia ini adalah atas kesalahan dan dosa orang yang
membangkitkan mereka. Anak-anak luar nikah, baik yang lahir dari perkawinan yang
tidak sah maupun dari hasil perbuatan zina diasumsikan relatif banyak terdapat di
Indonesian dan sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang beragama Islam.
Menurut Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukunm Islam, anak
meskipun anak tersebut lahir dari perkawinan wanita hamil yang usia kandungannya
kurang dari enam bulan lamanya sejak ia menikah resmi.
Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 42: “ Anak
yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah”. Dan
dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 99: anak yang sah adalah :
a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;
b. Hasil pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri
tersebut. Sedangkan menurut hukum Islam anak baru dianggap sah dan
mempunyai hubungan nasab dengan bapaknya bila perkawinan wanita hamil
yang usia kandungannya minimal enam bulan dari perkawinan yang resminya.
Diluar ketentuan itu itu adalah anak dianggap sebagai anak tidak sah.
Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang keabsahan dari
perkawinan yang dilakukan saat wanita hamil karena zina dan bagaimana status anak
yang akan dilahirkan dari perkawinan wanita hamil karena zina tersebut.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dilakukan penelitian dengan judul “
Status Anak Yang Dilahirkan dari Perkawinan Wanita Hamil Karena Zina Menurut
Kompilasi Hukum Islam Dan Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang jadi rumusan pokok
1. Bagaimanakah pengaturan perkawinan wanita hamil karena zina menurut
Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan ?
2. Bagaimanakah status hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan
wanita hamil karena zina menurut Kompilasi Hukum Islam dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ?
3. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak yang dilahirkan dari
perkawinan wanita hamil karena zina menurut Kompilasi Hukum Islam dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan Perkawinan wanita hamil karena
zina menurut Kompilasi Hukum Islam danUndang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan
2. Untuk mengetahui status hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan
wanita hamil karena zina menurut Kompilasi Hukum Islam
danUndang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak yang dilahirkan dari
perkawinan wanita hamil karena zina menurut Kompilasi Hukum Islam dan
Undang_Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
D. Manfaat Penelitian
Disamping tujuan penelitian diatas diharapkan juga penelitian ini memberikan
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur mengenai
perkawinan, khususnya mengenai pengaturan perkawinan wanita hamil
karena zina dan sebagai sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan
ilmu hukum agar ada suatu aturan hukum yang jelas mengenai perkawinan
wanita hami karena zina dan status hukum anak yang dilahirkan menurut
Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.
2. Secara Praktis, Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman dan
masukan bagi para praktisi maupun pihak terkait mengenai status hukum
perkawinan wanita hamil.karena zina dan status hukum anak yang dilahirkan.
E. Keaslian Penelitian
Menurut data yang ada dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap
hasil-hasil penelitian yang sudah ada, maupun sedang dilakukan, khususnya pada
Sekolah Pasca sarjana Universitas Sumatera Utara, pembahasan mengenai “ Status
Anak yang dilahirkan dari perkawinan wanita hamil karena zina menurut Kompilasi
Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Tentang
Perkawinan “ belum pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya.
Namun dalam penelusuran pustaka tersebut ditemukan beberapa karya
mahasiswa yang menyangkut tentang perkawinan, akan tetapi permasalahan dan
1. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Poligami Tanpa Izin dan Kaitannya
dengan Status Anak Menurut Undang-Undang Nomor 1Ttahun 1974 (Studi di
Pengadilan Agama Klas 1A Medan ), dengan permasalahan yang dibahas:
a. Apakah faktor penyebab terjadinya tuntutan pendaftaran perkawinan
poligami tanpa izin ?
b. Bagaimanakah pertimbangan Hakim terhadap tuntutan perkawinan
poligami tanpa izin ?
c. Bagaimana kedudukan anak dan tanggung jawab orang tua terhadap
anak-anak yang lahir dari perkawinan poligami yang dibatalkan ?
2. Kedudukan Perjanjian Perkawinan Dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi
Hukum Islam ( Studi Pada Kota Medan), dengan permasalahan yang dibahas:
a. Bagaimanakah kedudukan perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang
Nimor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ?
b. Bagaimanakah kedudukann Perjanjian Perkawinan dalam Kompilasi
Hukum Islam ?
c. Bagaimanakah akibat hukum yang timbul dari pelaksanaan perjanjian
perkawinan dan penyelesaiannya
Jika diperhadapkan, permasalahan yang diteliti sebelumnya sebagaimana
disebutkan diatas dengan penelitian yang dilakukan ini sangat berbeda. Maka dari itu,
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Menurut pendapat Sudikno Mertokusumo kata teori berasal dari kata theoria
yang artinya pandangan atau wawasan, kata teori mempunyai banyak arti dan
biasanya diartikan sebagai pengetahuan yang hanya ada dalam alam pikiran tanpa
dihubungkan dengan kegiatan yang bersifat praktis.16Teori adalah
menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,
suatu teori harus diuji dngan menghadapkannya pada fakta – fakta yang dapat
menunjukkan ketidakbenarannya. Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk
memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang
diamati.17
Menurut M. Solly Lubis menyebutkan bahwa landasan teori adalah suatu
kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau
permasalahan (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang
mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang merupakan masukan dalam membuat
kerangka berpikir dalam penulisan.18
Teori merupakan generalisasi yang dicapai setelah mengedepankan pengujian
dan hasilnya mencakup ruang lingkup dan fakta yang luas.19
16Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, ( Yogyakarta : Cahaya Atma Pusaka, 2012 ), hal 4 17JJ. Wuisman, Penyunting M. Hisyam,Penelitian Ilmu Sosial, Jilid 1, (Jakarta : Universitas
Indonesia Press, 1996), hlm. 203.
18M. Solly Lubis ,Filsafat Ilmu Dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hlm. 80. 19 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press,
Sedangkan menurut H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto. Teori berasal
dari kata theoria dalam bahasa latin yang berarti perenungan yang pada gilirannya
berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan suatu
yang disebut dengan realitas. Dalam banyak literatur beberapa ahli mengunakan kata
ini untuk menunjukan bangunan berpikir yang tersusun secara sistematis, logis
(rasional), empiris (kenyataannya ) , juga simbolis.20
Tugas teori hukum ialah memberikan suatu analisis tentang pengertian hukum
dan tentang pengertian-pengertian lain yang dalam hubungan ini relevan, kemudian
menjelaskan hubungan antara hukum dengan logika dan selanjutnya memberikan
suatu filsafat ilmu dari ilmu hukum dan suatu ajaran metode untuk praktek hukum.21
Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis, dengam
merumuskan masalah penelitian di dalam kerangka teoritis yang relevan sehingga
mampu menerangkan masalah tersebut. Adapun kerangka teori yang digunakan
adalah Teori Hukum Islam yaitu teori Maqashid Al-Syari’ah yang berarti
tujuan-tujuan syari’at¸teori Kepastian Hukum yaitu bahwa dengan adanya hukum setiap
orang mengetahui yang mana dan seberapa hak nya dan kewajibannya serta teori
perlindungan hukum.
Maqashid al-Syariah terdiri dari dua suku kata, maqshid yang merupakan
bentuk jamak dari kata maqashad yang berarti tujuan, dan kata al-syari’ah yang sering
20H.R Otje Salman S dan Anthon F. Susanto,Teori Hukum, mengingat, mengumpulkan dan
membuka kembali, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2010), hal. 21.
21B. Arief Sidarta, Meuwissen,Tentang pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum,
dipahami dalam arti hukum Islam, jadi istilah Maqashid al-syari’ah berarti tujuan
syari’at.22
Ulama ushul fiqih mendefenisikan Maqashid al-Syari’ah dengan makna dan
tujuan yang dikehendaki syarak dalam mensyariatkan suatu hukum bagi
kemaslahatan umat manusia. Sebagai contoh sarak mewajibkan berbagai macam
ibadah dengan tujuan untuk menegakan agama Allah S.W.T. Disyari’atkan hukuman
zina bagi untuk memelihara kehormatan dan keturunan.23
Dilihat dari segi objeknya, Muhammad Thahir Bin Ashur, ahli ushul fiqih
kontemporer asal Tunisia,membagi maqashid al-Syari:ah menjadi tiga macam:24
1. Al-Maqashid al-Ammah (tujuan-tujuan umum).
2. Al-Maqashid al-khassah (Tujuan-tujuan khusus).
3. Almaqashid al-Juz’iyyah yaitu tujuan yang hendak dicapai syarak dalam
menetapkan hukum syarak, dalam menetapkan hukum wajib, sunnah, haram,
makruh, dan mubah terhadap sesuatu, atau menetapkan sesuatu menjadi sebab,
syarat, dan penghalang. Contohnya nikah disyari’atkan untuk
memelihara keturunan dan menjaga kehormatan.
Maqashid Al-Syari’ah sebagai prinsip pokok dalam hukum Islam ada 5 tujuan
yaitu :25
1. Memelihara agama
22Zamakhsyari,Teori-Teori Hukum Islam dalam Fiqih Dan Ushul Fikih, (Bandung : Cipta
Pustaka Media Perintis, 2013), hal.1
2. Memelihara jiwa
3. Memelihara Akal
4. Memelihara Keturunan
5. Memelihara Harta
Dalam memelihara keturunan, ajaranIslam memerintahkan para pemuda dan
pemudi yang sudah mampu untuk menikah. Bahkan Islam mendorong para wali
untuk mempermudah proses nikah dengan tidak menetapkan mahar yang terlalu
tinggi sehingga memberatkan para calon suami. Islam menjelaskan kriteria suami
ideal dan isteri ideal, hak dan kewajiban suami dan istri, agar dapat terujud keluarga
sakinah , mawaddah dan warahmah, sehgingga tujuan dari pernikahan yang kekal
abadi dapat terlaksanakan, dan Islam melarang perzinaan dan segala bentuk perbuatan
yang dapat menghantarkan pada perzinahan. Perbuatan zina yang dilarang Islam ini
bukan hanya mencakup tindak kriminal pemerkosaan, tetapi juga termasuk hubungan
seksual diluar nikah walaupun didasarkan atas dasar suka sama suka.26
Perkawinan sebagai bentuk sakral suami istri dalam hidup suatu rumah tangga
yang menciptakan kehidupan yang sakinah, mawaddah warahma, Selain itu membina
sebuah mahligai rumah tangga atau hidup berkeluarga merupakan perintah agama
bagi setiap muslim dan muslimah. Kehidupan dan peradaban manusia tidak akan
berlanjut tanpa adanya kesinambungan perkawinan dari setiap generasi manusia.
Karena itu Rasulullah saw menganjurkan kepada umatnya yang telah mampu untuk
menikah. Perkawinan telah diatur secara jelas oleh ketentuan-ketentuan hukum Islam
yang digali dan sumber-sumbernya baik dari alquran, As sunnah dan hasil ijtihad para
ulama. Bagi seorang wanita tentu tidak akan hamil tanpa didahului dengan
perkawinan,namun ketika terjadi kecelakaan atau seorang wanita hamil yang terjadi
diluar pekawinan yang sah, ini bisa dikatakan perzinaan yang didalam nash telah jelas
keharamannya.
Teori Kepastian Hukum oleh Van Kant, yang mengatakan bahwa hukum
bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap manusia agar kepentingan itu tidak
diganggu. Bahwa hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum
dalam masyarakat.27
Teori kepastian hukum menegaskan bahwa tugas hukum itu menjamin
kepastian hukum dalam hubungan – hubungan pergaulan kemasyarakatan. Terjadi
kepastian yang dicapai” oleh karena hukum”. Dalam Tugas itu tersimpul dua tugas
lain yakni hukum harus menjamin keadilan maupun hukum harus tetap berguna.
Akibatnya kadang-kadang yang adil terpaksa dikorbankan untuk yang berguna. Ada 2
(dua ) macam pengertian” kepastian hukum” yaitu kepastian oleh karena hukum dan
kepastian dalam atau dari hukum. Kepastian dalam hukum tercapai kalau hukum itu
sebanyak-banyaknya hukum undang-undang dan bahwa dalam undang-undang itu
tidak ada ketentuan yang bertentangan, undang-undang itu dibuat berdasarkan
“rechtswerkelijheid” (kenyataan hukum) dan dalam undang-undang tersebut tidak
dapat istilah-istilah yang dapat di tafsirkan berlain-lainan.28
27C.S.T. Kansil,Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2002), hal.44.
28M. Solly Lubis,Diktat Teori Hukum,disampaikan pada rangkaian Sari kuliah semester II,
Menurut Satijipto Raharjo perlindungan hukum adalah memberikan
pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan
perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak
yang diberikan oleh hukum.29
2. Kerangka Konsepsi
Kerangka konsepsi merupakan gambaran bagaimana hubungan antara
konsep-konsep yang akan diteliti. Salah satu cara untuk menjelaskan konsep-konsep-konsep-konsep tersebut
adalah dengan membuat defenisi. Defenisi merupakan suatu pengertian yang relatif
lengkap tentang suatu istilah dan defenisi bertitik tolak pada referensi.30
Dalam penelitian tesis ini, perlu kiranya didefenisikan beberapa pengertian
tentang konsep-konsep guna menghindari kesalah pahaman atas berbagai istilah yang
dipergunakan dalam penelitian ini, selanjutnya akan dijelaskan maksud dari
istilah-istilah tersebut dalam suatu kerangka konsep
a . Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.31
b. Perkawinan wanita hamil karena zina adalah seorang wanita yang hamil karena
zina sebelum melangsungkan akad nikah, kemudian dinikahi
oleh pria yang menghamilinya.32
29Satijipto Raharjo,Ilmu Hukum( Bandung: PT. Citra Aditya Bakti , 2000) hal.53
30Amiruddin dan H.Zainal Asikin,Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2006), hal.47-48
c. Wanita hamil yaitu wanita hamil dengan akibat oleh suami yang sah atau
wanita hamil akibat zina.
d. Kompilasi Hukum Islam adalah kumpulan hukum-hukum yang terkodifikasi
sebagai hukum yang dijadikan sumber hukum Islam di dalam tatanan masyarakat
dan peradilan agama setelah Al-Qur’an dan Hadist.
e. Status adalah Keadaan atau kedudukan (orang atau badan hukum dan sebagainya
yang berhubungan dengan masyrakat sekeliling.33
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian hukum
yuridis normatif atau penelitian hukum doctrinal yaitu penelitian hukum yang
menggunakan sumber data sekunder atau data yang diperoleh melalui bahan-bahan
pustaka dengan meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan tema penelitian,
meliputi penelitian terhadap azas-azas hukum, sumber –sumber hukum, teori hukum,
buku-buku, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat
menganalisa permasalahan yang dibahas.34
Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doctrinal dikonsepkan
33Andi Hamza, Kamus Hukum,(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986) hal 98
34Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (
Sebagai apa yang tertulis didalam peraturan perundang-undangan ( law in the
books ) atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan
patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.35
Penelitian hukum doctrinal dilakukan dengan cara melakukan pengumpulan
peraturan perundang-undangan, Peraturan itu dikumpulkan dengan cara mengoleksi
publikasi-publikasi dan dokumen-dokumen yang mengandung peraturan hukum
positif. Setelah bahan-bahan tersebut terkumpul, kemudian di klasifikasi secara
sistematis untuk melakukan inventarisasi data sebagai bahan perpustakaan saat
melakukan penelitian serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam
peraturan perundangan di Indonesia.36
Penelitian ini bersifat deskripsi analitis, yang mengungkapkan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek
penelitian.37
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute
approach) yang dilakukan dengan mencari dan menelaah semua peraturan
perundang-undangan dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang
ditangani. Oleh karena itu untuk memecahkan suatu isu hukum harus menelusuri
berbagai produk peraturan perundang-undangan.38
35Muslan Abdurrahman, Sosiologi Dan Metode Penelitian Hukum, ( Malang : UMM Pers,
2009 ), hal. 127.
36Bambang Sunggono,metodologi Penelitian Hukum, ( Jakarta : Rajawali Pers, 2011), hal.
81-82
Dalam hal ini dilakukan studi pustaka yang segala sesuatunya berkaitan
dengan pengaturan hukum mengena Status Anak Yang Dilahirkan Dari Perkawinan
Wanita Hamil Karena zina Menurut Kompilasi Hukum Isalm Dan Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 ahun 1974 Tentang Perkawinan.
2. Sumber Data Penelitian
Berhubung karena metode penelitian ini adalah penelitian hukum normatif
maka sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari
bahan penelitian yang berupa bahan-bahan hukum, yang terdiri darin bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Data sekunder adalah data
yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan dan data yang
dikumpulkan melalui dokumen dan wawancara.
a. Bahan Hukum Primer yaitu : bahan-bahan hukum atau dokumen peraturan
yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang berupa bahan
pustaka yang berisikan peraturan perundang-undangan, yang antara lain terdiri
dari :
1. Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahaun 1974 tentang Perkawinan.
2. Kompilasi Hukum Islam.
3. Peraturan Perundangan lain yang berkaitan dengan penelitian ini.
4. Alqur’an dan hadist
b. Bahan Hukum sekunder yaitu : bahan-bahan hukum yang berkaitan erat dan
untuk proses analisis seperti buku- buku yang ditulis para ahli hukum, doktrin/
pendapat/ ajaran dari para ahli hukum, hasil seminar, jurnal-jurnal hukum,
karya ilmiah , artikel majalah, maupun Koran serta artikel-artikel sumber dari
dunia maya / internet yang memiliki kaitan erat dengan dengan permasalahan
yang menjadi objek penelitian dan lain-lain.
c. Bahan Hukum Tersier yaitu : semua bahan yang memberikan petunjuk,
penjelasan dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer
dan sekunder seperti kamus umum, , ensiklopedia dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan
studi pustaka, yaitu menghimpun data dari hasil penelaahan bahan pustaka dan data
sekunder dan baham hukum tersier. Untuk memperoleh data sekunder yang berupa
bahan hukum primer, sekunder dan tersier, dalam penelitian ini akan menggunakan
alat penelitian:
a. Studi dokumen/ pustaka atau penelitian pustaka (library research) dengan
cara mengumpulkan semua peraturan perundangan, dokumen-dokumen
hukum dan buku-buku yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian.39
b. Wawancara (interview)
39Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad,Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris.
Untuk melengkapi data yang diperoleh disamping data sekunder, untuk
menambah data dalam penelitian ini akan dipergunakan cara memperoleh data dari
informan, yaitu pelaku perkawinan wanita hamil karena zina (3) orang.
4. Analisis Data
Dalam penelitian ini bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tersier yang sebelumnya telah disusun secara sistematis kemudian akan
dianalisa dengan menggunakan prosedur logika ilmiah yang sifatnya kualitatif.
Kualitatib berarti akan dilakukan penelitian analisa data yang bertitik tolak dari
penelitian terhadap asas atau prinsip sebagaimana yang diatur di dalam bahan hukum
primer dan kemudian akan dibahas lebih lanjut menggunakan sarana pada bahan
hukum sekunder, yang tentunya akan diupayakan penggayaan sejauh mungkin
dengan didukung oleh bahan hukum tersier. Dalam hal peneliti ini menggunakan
metode deduktif yaitu penarikan kesimpulan dari yang umum ke yang khusus.40
Adapun tahapan untuk menganalisa bahan-bahan hukum yang telah ada
tersebut, secara sederhana dapat diuraikan dalam beberapa tahapan :
1. Tahapan pengumpulan data, yakni mengumpulkan dan memeriksa
bahan-bahan pustaka misalnya ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan langsung dengan permasalahan yang akan diteliti.
2. Tahapan pemilihan data, dalam tahapan ini seluruh data yang telah
dikumpulkan sebelumnya akan dipilah-pilah secara sistematis dengan
mempedomani konteks yang sedang diteliti, sehingga akan lebih memudahkan
dalam melakukan kajian lebih lanjut terhadap permasalahan didalam
penelitian tesis ini.
3. Tahapan analisis data dan penulisan hasil penelitian, sebagai tahapan klimaks
dimana seluruh data yang telah diperoleh dan dipindah tersebut akan dianalisa
dengan seksama dengan melakukan interprestasi/ penapsiran yang diperlukan
dengan berpedoman terhadap konsep, asas kaidah hukum yang dianggap
relevan dan sesuai dengan tujuan utama dari pada penelitian ini. Hasil
penelitian kemudian akan ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode
pendekatan deduktif. Kesimpulan adalah merupakan jawaban khusus atas
BAB II
PENGATURAN PERKAWINAN WANITA HAMIL KARENA ZINA
A. Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
1. Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat atau miitsaaqon gholidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.41
Disamping kata nikah digunakan juga kata Alzawaj secara etimologi Zawaj
berasal dari bahasa Azzawa’ju artinya (genap), lawan kata dari alfarda (sendiri,
ganjil), dipergunakan untuk beragam maksud. Diantaranya, Asynfu walnaw’u (jenis
atau ragam ). Setiap dua jenis , dua bentuk,atau model yang saling brekaitan disebut
Al Zawjani. Maka dikatakan bagi laki-laki dan wanita (yang menikah). Sebagai Al
zawjani (sepasang). Masing-masing pihak menjadi pasangan bagi pihak lainnya.
Sebagaimana firman Allah yang artinya:42 “Dan bahwasannya Dia-lah yang
menciptakan (sesuatu) berpasang-pasangan, yaitu laki-laki dan perempuan.
“(An-Najam:45).
Selain itu ada juga kata alnikahu (pernikahan) secara etimologi mengandung
pengertian Aldhammu waltadakhulu (penggabungan dan saling mengisi) dikatakan
dalam sebuah ungkapan, tanakahati al zara-u, maksudnya sebagai pohon menyatu dan
41Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam
menyelinap (masuk), karena memuat unsur penyatuan antara salah satu pasangan
suami istri dengan pasangannya berdasarkan aturan agama Islam, baik melalui
persetubuhan atau akad nikah, sehingga dua pihak tersebut menjelma bak dua sisi
pintu, dan sepasang sepatu. Kata nikah ini, bisa dipergunakan untuk makna akad
nikah, sehingga bermakna pernikahan atau juga diarahkan pada pengertian alwath’u
(hubungan badan).43
Pengertian Al zawju (pernikahan) secara termonologi kata Al zawju seperti
yang telah disampaikan, merupakan bentuk sinonim kata alnikahu (nikah).
Para ahli fikih mendefenisikannya dengan beragam defenisi. Hal ini karena,
setiap mazhab memiliki defenisi khusus yang berbeda-beda. yaitu :
1. Ulama Hanafiyah mengatakan, perkawinan adalah perjanjian yang
diselenggarakan untuk tujuan memperoleh kenikmatan dari wanita dengan
disengaja. Maksudnya, untuk menghalalkan seorang lelaki memperoleh
kesenangan (istimta’) dari seorang wanita. Defenisi ini menghindari keracuan
dari akad jual beli (wanita), yang bermakna sebuah akad perjanjian yang
dilakukan untuk memiliki budak wanita.44
2. Ulama Malikiyah mendefenisikan, “Pernikahan adalah akad perjanjian
untuk menghalalkan meraih kenikmatan dengan wanita yang bukan mahram,
wanita ahli kitab melalui subuah ikrar.
3. Ulama Syafi’iyah mendefenisikan, pernikahan merupakan akad perjanjian
yang mengandung unsur memperbolehkan persetubuhan dengan
menggunakan lafazh inkahu ( aku menikahimu wahai fulan dengan fulana)
atau tazawwajtu ( aku mengawinkan engkau wahai fulan dengan fulanah).45
4. Ulama Hanabilah berkata, akad pekawinan maksudnya sebuah perjanjian
yang didalamnya, terdapat lafazh nikah atau tazwij atau terjemahan (dalam
bahasa lain ) nya yang dijadikanh sebagai pedoman.46
Defenisi yang terbaik untuk perkawinan adalah sebagai berikut: perjanjian
yang bersifat syar’i yang berdampak pada halalnya seseorang (lelaki atau
perempuan), memperoleh kenikmatan dengan pasangan berupa bersetubuh badan dan
cara-cara dalam bentuk yang disyaratkan, dengan ikrar tertentu secara disengaja,
begitu akad nikah usai, maka menjadi halal bagi masing-masing pihak untuk
mendapatkan kenikmatan dari pasangannya dalam bingkai yang diperbolehkan oleh
syariat.47
Islam mengatur masalah perkawinan dengan sangat teperinci, untuk
membawa umat manusia hidup terhormat, sesuai dengan kedudukannya yang amat
mulia di tengah-tengah mahluk Allah yang lain. Hubungan manusia laki-laki dengan
perempuan ditentukan agar didasarkan pada rasa pengabdian kepada Allah sebagai
al-Khaliq dan kebaktian kepada kemanusiaan guna melangsungkan kehidupan jenisnya.
Syarat Dan Rukun Nikah Menurut Hukum Islam:
Bagi umat Islam diisyaratkan beberapa hal yang berkenaan dengan akad nikah
untuk mencapai sahnya perkawinan yaitu harus memenuhi syarat dan rukun nikah.
Menurut M. Idris Ramulyo, bahwa bagi golongan muslim diberlakukan hukum
perkwainan Islam seperti yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974.
Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum, yang memerlukan syarat dan
rukun agar dapat dipandang sah menurut hukum. Yang dimaksud dengan syarat disini
ialah syarat perkawinan,48yaitu yang berkaitan dengan rukun-rukun perkawinan itu
sendiri, diantaranya syarat bagi calon mempelai pria yang bukan merupakan mahram
dari mempelai wanita, atas kemauan sendiri, jelas orangnya dan tidak sedang
menjalani ihram. Syarat bagi wanita diantaranya tidak berhalangan syar’i, jelas
orangnya dan tidak sedang melaksanakan ihram. Syarat bagi wali diantaranya
laki-laki, baligh, berakal sehat, adil dan tidak sedang melaksanakan ihram. Sedangkan
saksi haruslah laki-laki, baligh, sehat akalnya, adil, dapat mendengar dan melihat,
tidak mengerjakan ihram dan memahami bahasa yang digunakan dalam ijab – Kabul.
Adapun rukun-rukun nikah sebagai berikut :
a. Lafadz Ijab dan Qabul,
b. Calon Suami,
c. Calon Istri.
d. Dua Saksi,
48H.S.A. Alhamdani,Risalah Nikah, terjemahaan Drs. Agus Salim, (Jakarta: Pustaka Amani,
e. Wali.
Ijab Qabul merupakan lafadz yang diucapkan oleh wali mempelai perempuan
kepada calon mempelai pria. Lapadz yang mengikuti antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan dalam ikatan perkawinan. Ijab Qabul merupakan unsur yang
paling penting antara yang mengakadkan, yaitu wali, dengan yang menerima akad.
Berkaitan artinya: tidak sah nikah kecuali dengan wali.
Dalam pembahasan fiqh wali dibagi 3 (tiga) macam:
1. Wali Nasab,
2. Wali Hakim’
3. Wali Tahkim,
Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 20 Ayat (1) yang bertindak sebagai
wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yaitu muslim,
aqil dan baligh, Ayat (2) Wali nikah terdiri dari (a) wali nasab, (b) wali hakim.49
Syarat-syarat sahnya perkawinan adalah:
1. Mempelai perempuan halal dinikahi oleh laki-laki yang akan menjadi suaminya,
2. Dihadiri dua orang saksi laki-laki,
3. Ada wali mempelai perempuan yang melakukan akad. Syarat ketiga ini dianut
Kaum muslimin di Indonesia dan merupakan pendapat Syafi’i, Ahmad bin
Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Hasan Basari, Ibn Abi Layla dan Ibn Syubrumah.50
49Pasal 20 ayat 1 Kompilasi hukum Islam.
50A. Hamid Sarong,Hukum perkawinan Islam di Indonesia, (Banda Aceh: Pena, 2010)
Perkawinan menurut ajaran Islam ditandai dengan prinsip-prinsip sebagai
berikut51:
1. Pilihan jodoh yang tepat,
2. Perkawinan didahului dengan peminangan,
3. Ada ketentuan tentang larangan perkawinan antara laki-laki dan perempuan,
4. Perkawinan didasarkan atas suka rela antara pihak-pihak yang bersangkutan,
5. Ada persaksian dalam akad nikah,
6. Perkawinan tidak ditentukan untuk waktu tertentu,
7. Ada kewajiban pembayaran mahar oleh suami,
8. Ada kebebasan mengajukan syarat atau perjanjian dalam akad nikah,
9. Tanggung jawab pimpinan keluarga adalah suami,
10. Ada kewajiban bergaul dengan baik dalam kehidupan rumah tangga.
Akad nikah adalah perikatan hubungan perkawinan antara mempelai laki-laki
dengan mempelai perempuan yang dilakukan didepan dua orang saksi laki-laki
dengan menggunakan kata-kata ijab qabul. Ijab di ucapkan pihak wali perempuan,
yang menurut kebanyakan para fuqaha’ dilakukan oleh walinya (wakilnya) dan qabul
adalah pernyataan menerima dari pihak mempelai laki-laki. Mas kawin tidak mesti
ada dalam akad nikah, meskipun biasanya disebut dalam akad dan disertakan pula
barangnya.52Karena mas kawin adalah kewajiban suami bukan syarat sah perkawinan.
Dari pengertian akad nikah tersebut kita ketahui adanya empat unsur akad
nikah yaitu:
1. Mempelai laki-laki dan perempuan,
2. Wali mempelai perempuan,
3. Dua orang saksi laki-laki,
4. Ijab dan qabul.
Seperti halnya pada akad umumnya, pihak-pihak yang melakukan akad
(mempelai laki-laki dan perempuan) di syaratkan mempunyai kecakapan sempurna,
yaitu telah baliqh, berakal sehat dan tidak terpaksa. Orang yang kehilangan
kecakapan karena gila, rusak akal atau dibawah umur tidak sah melakukan akad.
Anak umur 7 tahun sampai sebelum baliqh dipandang berkecakapan tak sempurna
dan apabila mengadakan akad diserahkan pada izin walinya, menurut pendapat
kebanyakan fuqaha’, mempelai perempuan tidak boleh melakukan akad sendiri dan
harus dilakukan oleh walinya. Selain itu ada syarat yang perlu ditambahkan, yaitu
masing-masing pihak yang melakukan akad harus mendengar dan mengerti arti
ucapan atau perkataan masing-masing.53
Perkawinan yang mubah, adalah bahwa syarat kecakapan sempurna bagi
calon mempelai diperlukan, umur yang melampaui umur baligh (15 tahun ) seperti
ketentuan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 bahwa calon mempelai
laki-laki sekurang-kurangnya mencapai umur 16 tahun (pasal 7 ayat 1).54
Objek dalam akad nikah bukan orang yang terikat dalam perjanjian, tetapi
orang yang menjadi persetujuan bersama, yaitu halal melakukan hubungan timbal
balik antara suami dan istri. Hal ini berarti dengan adanya akad nikah itu tidak terjadi
penguasaan suami terhadap pribadi istri atau sebaliknya. Oleh karena itu diperlukan
adanya syarat bahwa calon mempelai perempuan tidak haram dinikahi oleh calon
suami, atau dengan kata lain tidak terdapat larangan perkawinan antara calon-calon
suami dan istri.55
Pada dasarnya akad nikah dapat terjadi dengan menggunakan bahasa apapun
yang dapat menunjukan keinginan serta dapat dimengerti pihak-pihak bersangkutan
dan dapat dipahami pula oleh para saksi. Di Indonesia sering di pergunakan bahasa
Arab dikalangan mereka yang memahaminya dengan menggunakan kata nikah.
Mempergunakan Bahasa Indonesia atau Bahasa Daerah semuanya dipandang sah bila
dipergunakan kata nikah. Sealain itu pada dasarnya ijab kqabul dilakukan secara
lisan. Dalam hal secara lisan tidak mungkin dapat diganti dengan cara tertulis. Dalam
hal secara tertulis tidak mungkin dilakukan karena salah satu pihak buta huruf
misalnya, dapat dilakukan dengan isyarat.56
Antara ijab dan qabul diisyaratkan terjadi dalam satu majelis, tidak disela
dengan pembicaraan lain atau perbuatan-perbuatan yang menurut adat kebiasaan
dipandang mengalihkan akad yang sedang dilakukan tapi tidak diisyaratkan antara
ijab dan qabul harus berhubungan langsung, andai kata setelah ijab dinyatakan oleh
wali mempelai perempuan atau wakilnya, tiba-tiba mempelai laki-laki berdiam
beberapa saat tidak segera menyatakan qabul, baru setelah itu menyatakan qabulnya,
maka ijab qabul dipandang sah. Imam Malik berpendapat bahwa qabul hanya boleh
terlambat dalam waktu amat pendek dari ijab. Ulama-Ulama Madzhab Syafi’I
mensyaratkan harus langsung, yaitu setelah wali mempelai perempuan menyatakan
ijab mempelai laki-laki harus segera menyatakan qabul tanpa berselang waktu.
Pendapat yang terakhir ini yang diperaktekkan di kalangan kebanyakan kaum muslim
di Indonesia. Dalam masalah ini, pendapat Ulama-Ulama Madzhab Hanafi dan
Hanbali sudah memenuhi syarat sahnya ijab qabul tanpa menentukan majelis dan
interval waktu.57
Ada syarat ijab qabul yang perlu disebutkan, yaitu tidak boleh digantungkan
kepada suatu syarat, disandarkan pada waktu yang akan datang atau dibatasi dengan
jangka waktu tertentu. Akad bersyarat yang dipandang tidak sah ini ialah apabila
syarat dimaksud tidak terjadi seketika, misalnya wali mengatakan kepada calon
mempelai laki-laki: “ Apabila engkau telah mendapat pekerjaan nanti, aku nikahkan
engkau dengan anakku fulanah dengan mahar lima ribu rupiah.” Ijab seperti ini tidak
sah, sebab syaratnya yaitu mendapat pekerjaan, belum tentu terpenuhi dalam waktu
mendatang. Akad bersandar pada waktu yang akan datang, misalnya wali mempelai
perempuan mengatakan kepada calon suami: “ aku nikahkan anakku fulana besok
pagi, dengan mahar mushhaf al-Qur’an ini.” Akad nikah seperti itu tidak sah baik
untuk hari diucapkan maupun untuk waktu yang disebutkan dalam akad.
Selain itu akad yang dibatasi untuk waktu tertentu, misalnya selama sebulan
atau lebih, atau kurang, tidak dibolehkan, karena bertentangan dengan prinsip
perkawinan dalam Islam. Nikah untuk waktu tertentu disebut: “ Nikah Mut’ah”
(nikah senang-senang) dan “ nikah muqathi “ ( nikah terputus ). Kebanyakan fuqaha’
berpendapat bahwa nikah mut’ah itu haram, dengan berdasarkan antara lain hadist
nabi riwayat Ibnu Majah yang mengajarkan: “wahai umat manusia, dulu aku
mengijinkan kamu kawin mut’ah, tetapi ketahuilah, Allah telah mengharamkannya
sampai hari kiamat. “Ulama-Ulama Madzhab Syi’ah sampai sekarang masih
membolehkan kawin mut’ah itu dengan beberapa persyaratan yang ketat. Tetapi
Ulama-Ulama Madzhab lain tidak dapat menyetujuinya.58
2. Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Di Indonesia peraturan tentang perkawinan diatur dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, Bab 1 Dasar Perkawinan Pasal 1 Undang-Undang ini memberi
pengertian perkawinan /Pernikahan sebagai berikut59:
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.
Jadi menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara 2 (dua) orang yaitu antara pria dan wanita, sebagai ikatan lahir,
58Ibid.
perkawinan merupakan hubungan hukum antara pria dengan seorang wanita untuk
hidup bersama sebagai suami istri. Ikatan lahir ini merupakan hubungan yang formal
yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau
masyarakat. Sebagai ikatan batin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin
karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dan seorang wanita
untuk hidup bersama sebagai suami istri.60Perkawinan barulah sah apabila dilakukan
antara seorang pria dan seorang wanita.61
Dari pengertian tersebut unsur-unsur perkawinan adalah :
1. Adanya seorang pria dan wanita;
2. Ikatan lahir batin;
3. Adanya tujuan tertentu yaitu membentuk keluarga bahagia dan kekal;
4. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dari rumusan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahaun 1974
tercantum tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal. Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk
sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan tetapi untuk seumur
hidup atau selama-lamanya, dan tidak boleh diputuskan begitu saja.62Dalam rumusan
perkawinan itu dinyatakan dengan tegas bahwa pembentukan keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, hal ini
60Tan Kamelo,Hukum Perdata: Hukum Orang Dan Keluarga, (Medan, USU Press
2011),hal.42.
61Mega Magdalena,fungsi Pencatatan perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974, ( Medan : Tesis Pascasarjana USU, 2005) hal.15.
berarti bahwa perkawinan harus didasarkan pada agama dan kepercayaan. Dalam
agama Islam, perintah religius merupakan sunnah Rasulullah. Keberadaan unsur
ketuhanan dalam sebuah perkawinan bukan saja peristiwa itu merupakan perjanjian
yang sakral melainkan sifat pertanggungjawaban hukumnya jauh lebih penting yaitu
pertanggungjawaban kepada Tuhan sang pencipta (Allah SWT). Dengan adanya
unsur ketuhanan, maka hilanglah pandangan yang menyatakan bahwa perkawinan
adalah urusan manusia semata-mata.63
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dalam pasal 2 ayat (1) menyatakan
bahwa hukum Islam sebagai rujukan sah atau tidaknya suatu pernikahan, ketentuan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terlihat bahwa perkawinan merujuk paham
relegius. Tujuan perkawinan bukan bersifat sementara, melainkan untuk kekal dan
abadi, hidup bahagia kecuali putus hubungan karena kematian.
Syarat sahnya perkawinan menurut Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974
meliputi syarat-syarat materil dan formil. Syarat-syarat materil yaitu syarat-syarat
mengenai pribadi calon mempelai, sedangkan syarat –syarat formil menyangkut
formalitas-formalitas atau cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat
dilangsungkannya perkawinan, syarat-syarat materil dan formil dalam perkawinan
secara terperinci, yaitu:64
a. Syarat Materil
Syarat-syarat yang termasuk dalam kelompok syarat materil adalah: